Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

NYERI

Disusun Oleh:
Gamatari Subpraba Purnama Sari
SN202010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2021
A. PENGERTIAN
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau
yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu
pengalaman sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda
dalam intensitas (ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar,
tajam), durasi (transien, intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial
atau dalam, terlokalisir atau difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi,
nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang digambarkan dalam
suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan reflex menghindar dan
perubahan output otonom (Baharudin, M., 2017)
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah rasa inderawi dan pengalaman yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan yang nyata atau potensial rusak atau tergambar
seperti itu. Nyeri adalah keaddan dimana individu mengalami sensasi yang
tidak menyenangkan dalam berespon terhadap suatu arangsangan yang
berbahaya (Awaludin, 2017)
Nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan
baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya
suatu kerusakan jaringan atau faktor lainnya,

B. FISIOLOGI NYERI
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara
stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi
adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus
(misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut
A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap
stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau
nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat
dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon
terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju
otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari
sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula
spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal. Modulasi
adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural
signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan
area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata,
selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini
adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di
kornu dorsalis.
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen. (Baharudin, M., 2017)

C. PATOFISIOLOGI
Munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya
rangsangan.Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak
memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera,
persendian dinding arteri, hati dan kandung empedu.Reseptor nyeri dapat
memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan.Stimulasi
tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamine, bradikinin,
prostaglandin, dan macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada
jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa
termal, listrik atau mekanis. Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor
tersebut ditransmisikan ke serabut C. serabut-serabut aferen masuk ke spinal
melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn.Dorsal horn,
terdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang saling bertautan. Diantara
lapisan dua dan tiga berbentuk substansia gelatinosa yang merupakan saluran
utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang
belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang
paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur spinothalamus
tract (SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari
proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur
opiate dan jalur non-opiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor
pada otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari thalamus yang melalui
otak tengah dan medulla ke tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang yang
berkonduksi dengan nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan
neurotransmitter dalam impuls supresif.System supresif lebih mengaktifkan
stimulasi nociceptor yagn ditransmisikan oleh serabut A. Jalur non-opiate
merupakan jalur desendens yang tidak memberikan respons terhadap
naloxone yang kurang banyak diketahui mekanismenya. (Barbara C. Long,
2016)

D. KLASIFIKASI NYERI
Nyeri dapat diklarifikasikan berdasarkan durasinya dibedakan menjadi
nyeri akit dan nyeri kronis.
1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan ukuran intensitas
yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu yang
singkat. Nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari
beberapa detik hingga enam bulan (Smletzer, 2016).
Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi system saraf simpatis yang
akan memperlihatkan gejala – gejala seperti peningkatan respirasi,
peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan
diatas pupil. Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan
adanya ketidaknyamanan berkaitan nyeri yang dirasakan. Klien yang
mengalami nyeri akut biasanya juga akan memperlihatkan respon emosi dan
perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau
menyeringai (Andarmoyo, 2017).
2. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas
yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Manifestasi
klinis yang tampak pada nyeri kronis sangat bebrbeda dengan yang
diperlihatkan oleh nyeri akut. Dalam pemeriksaan tanda tanda vital, sering
kali didapatkan masih dalam batas normal dan tidak disertai dilatasi pupil.
Manifestasi yang biasanya muncul berhubungan dengan respon psikososial
seperti rasa keputusasaan, kelesuan, penurunan libido, penurunan berat badan,
perilaku menarik diri, iritabel, mudah tersinggung, marah dan tidak teratrik
pada aktivitas fisik. Secara verbal klien mungkin akan melapor adanya
ketidaknyamanan, kelemahan dan kelelahan (Andarmoyo, 2017).

E. MEKANISME NYERI
Dipermukaan kulit terdapat ujung syaraf bebas (free nerve endings)
yang akan aktif pada saat terdapat rangsangan nyeri dan akan menghantarkan
stimulus nyeri. Pada ujung syaraf bebas serabut aferen primer terdapat suatu
reseptor yang akan teraktivasi secara spesifik oleh stimulus noxius atau
stimulus nyeri. Respetor ini disebut sebagai nosiseptor dan tersebar luas
hamper di seluruh jaringan dalam tubuh antara lain periosteum, dinding arteri,
permukaan sendi, dan serebri (Brunner & Suddarth, 2017). Nosiseptor
memiliki sifat mudah mengalami modifikasi atau plastis sebagai respon
terhadap adanya perlukaan pada akson dan akibat paparan pada inflamasi.
Terdapat dua macam nosiseptor yaitu serabut A yang bermielin tipis dan
serabut C yang tiddak bermielin (Guyton & Hall, 2016).
Nyeri yang dihantarkan serabut A biasanya memiliki lokalisasi yang
jelas dengan kualitas menusuk tajam atau elektris. Sedangkan sensasi nyeri
yang dihantarkan oleh serabut C memiliki lokalisasi kurang jelas dengan rasa
terbakar (Brunner & Suddarth, 2017). Stimulasi terhadap serabut C secara
terus menerus oleh stimulus noxius disertai pelepasan peptida transmitter
seperti substansi P yang ditemukan di serabut C bersama dengan glutamate
bertanggung jawab terhadap adanya respon nosiseptif di dorsal horn.
Fenomena ini bersifat reversible dan akan kembali normal setelah stimulus
noxius hilang (Brunner & Suddarth, 2017).
Perlukaan dan kerusakan jaringan akan menyebabkan perubahan
lingkungan kimia nosiseptor terminal di perifer. Jaringan yang rusak saat
inflamasi mengakibatkan dilepaskannya mediator inflamasi yang dapat
menyebabkan nyeri. Berbagai mediator ini dapat dilepaskan oleh sel jaringan
yang mengalami kerusakan atau sel penginduksi inflamasi yang bergerak
menuju jaringan tersebut. Sel yang rusak akan melepaskan Adenosine
Triphospate (ATP) dan ion K+. Sel penginduksi inflamasi akan bergerak
menuju jaringan yang mengalami kerusakan dan akan mengeluarkan mediator
inflamasi seperti sitokin, kemokin, bradikinin, histamin, serotonin,
prostaglandin, substansi P, maupun faktor pertumbuhan (Nerve Growth
Factor/NGF). Pada jaringan yang rusak juga terjadi penurunan pH akibat
pelepasan H+ (Woolf, 2017).
Komponen biokimiawi yang dilepaskan selama inflamasi akan
mengaktifkan terminal perifer nosiseptor. Serotonin merupakan hormon lokal
yang dapat merangsang timbulnya rasa nyeri dengan lebih kuat dibandingkan
dengan bradikinin. Adanya peningkatan konsentrasi K+ akan mempengaruhi
intensitas nyeri. Aktivasi nosiseptor terus menerus oleh mediator inflamasi
seperti NGF, Bradikinin, Prostaglandin E2 akan menimbulkan sensitisasi
perifer meliputi allodynia dan hiperalgesia primer (Woolf, 2017).

F. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Potter & Perry (2017) yaitu:
1. Usia
Persepsi nyeri dipengaruhi oleh usia, yaitu semakin bertambah usia maka
semakin mentoleransi rasa nyeri yang timbul, kemampuan untuk
memahami dan mengontrol nyeri kerap kali berkembang dengan
bertambahnya usia
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor pernting dalam merespons adanya nyeri.
Umumnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dalam
merespon nyeri tetapi pada anak perempuan lebih cenderung menangis
bila mengalami nyeri dibandingkan anak laki-laki.
3. Lingkungan
Lingkungan akan mempengaruhi persepsi nyeri, lingkungan yang ribut
dan terang dapat meningkatkan intensitas nyeri.
4. Keadaan Umum
Kondisi fisik yang menurun, misalnya kelelahan dan kurangnya asupan
nutrisi dapat meningkatkan intensitas nyeri yang dirasakan klien. Begitu
juga rasa haus, dehidrasi dan lapar akan meningkatkan persepsi nyeri.
5. Endorfrin
Tingkatan endorphin berbeda-beda antara satu orang dan yang lainnya.
Hal inilah yang sering menyebabkan rasa nyeri yang dirasakan oleh
seseorang berbeda dengan yang lainnya.
6. Situasional
Pengalaman nyeri klien pada situasi formal akan terasa lebih besar dari
pada saat sendirian. Persepsi nyeri juga dipengaruhi oleh trauma jaringan.
7. Status emosi
Status emosional sangat memegang peranan penting dalam persepsi rasa
nyeri karena akan meningkatkan persepsi dan membuat impuls rasa nyeri
lebih cepat disampaikan. Adapun status emosi yang sangat mempengaruhi
persepsi rasa nyeri pada individual antara lain: kecemasan, ketakutan dan
kekhawatiran.
8. Pengalaman yang lalu
Adanya pengalaman nyeri sebelumnya akan mempengaruhi respons nyeri
pada klien. Contohnya, pada wanita yang mengalami kesulitan,
kecemasan dan nyeri pada persalinan sebelumnya akan meningkatkan
respons nyeri.

G. PENILAIAN RESPON INTENSITAS NYERI


Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai
berikut (Potter & Perry, 2017) :
1. Skala Deskriptif
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih objektif. Skala pendeskritif verbal (Verbal Descriptor Scale)
merupakan sebuah gari yang terdiri dari tiga sampai disepanjang garis.
Pendeskripsi ini dirangkin dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.

Gambar Pengukuran Skala VDS (Potter & Perry, 2006)


2. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai
dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada
pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien
yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa
lokal setempat.

Pengukuran Wong-Baker Faces Pain Rating Scale (Potter & Perry, 2006)

3. Numerical Rating Scale (NRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak
ada nyeri, angka 1-3 menunjukan nyeri ringan, angka 4-6 menunjukan
nyeri sedang dan angka 7-10 menunjukkan nyeri berat.
Keterangan:
0 : Tidak Nyeri
1–3 : Nyeri ringan
4–6 : Nyeri sedang
7 – 10 : Nyeri berat
Pengukuran Numerical Rating Scale (NRS) (Potter & Perry, 2006)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG untuk data penunjang apa bila ada nyeri tekan di
abdomen
2. Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ  dalam yang abnormal
3. Pemeriksaan LAB sebagai data penunjang pemerriksaan lainnya
4. Ct Scan (cidera kepala) untuk mengetahui adanya pemb uluh darah yang
pecah di otak

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua (Potter & Perry, 2017) yaitu :
1. Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis efektif untuk nyeri sedang dan
berat. Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri biasanya
menggunakan obat analgesic yang terbagi menjadi dua golongan yaitu
analgesik non narkotik dan analgesik narkotik. Penatalaksanaan nyeri dengan
farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obat analgesik narkotik baik
secara intravena maupun intramuskuler. Pemberian secara intravena maupun
intramuskuler misalnya dengan meperidin 75 – 100 mg atu dengan morfin
sulfat 10 – 15 mg, namun penggunaan analgesic yang secara terus menerus
dapat mengakibatkan ketagihan obat. Namun demikian pemberian
farmakologis tidak bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien sendiri
untuk mengontrol nyerinya (Potter & Perry, 2017).
2. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi dapat dilakukan dengan cara
terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan dingin,
TENS, akupuntur dan akupresur) serta kognitif dan biobehavioral terapi
(meliputi latihan nafas dalam, relaksasi progresif, rhytmic breathing, terapi
musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik,
meditasi, hipnosis, humor dan magnet) (Blacks dan Hawks, 2017).
Pengendalian nyeri non farmakologi menjadi lebih murah, mudah, efektif dan
tanpa efek yang merugikan (Potter & Perry, 2017). Salah satu penyembuhan
non farmakologis untuk menurunkan nyeri pemasangan infus dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan aromaterapi lavender dan
aromaterapi lemon.
J. PATHWAY

Panas atau dingin Etiologi


yang berlebihan

Trauma sel,
Infeksi
Kerusakan Jaringan

Kerusakan
Sel
Merangsang thermo
sensitive reseptor
Pelepasan mediator nyeri
(Histamalin, bradikinin,
prostaglandin, serotonin
ion kalium, dll.

Merangsang Nosiseptor

Dihantarkan serabut
tipe A Serabut Tipe C

Medulla
Spinalis

Hipotalamus,
thalamus dan
limbik

Otak
(Korteks somasensorik
Otak
(Korteks somasensorik

Persepsi nyeri

NYERI AKUT

(Sumber: Potter & Perry (2017)


K. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan kegiatan menganalisis informasi, yang
dihasilkan dari pengkajian skrining untuk menilai suatu keadaan normal
atau abnormal, kemudiannantinya akan digunakan sebagai pertimbangan
dengan diagnosa keperawatan yang berfokus pada masalah atau resiko.
Pengkajian harus dilakukan dengan dua tahap yaitu pengumpulan data
(informasi subjektif maupun objektif) dan peninjauan informasi riwayat
pasien pada rekam medic (Herdman, 2018). Pengkajian melibatkan
beberapa langkah-langkah di antaranya yaitu pengkajian skrining. Dalam
pengkajian skrining hal yang pertama dilakukan adalah pengumpulan
data. Pengumpulan data merupakan pengumpulan informasi tentang klien
yang di lakukan secara sistemastis. Metode yang digunakan dalam
pengumpulan data yaitu wawancara (anamnesa), pengamatan (observasi),
dan pemeriksaan fisik (physical assessment). Langkah selanjutnya setelah
pengumpulan data yaitu lakukan analisis data pengelompokan informasi.
Selain itu, terdapat 14 jenis subkategori data yang harus dikaji
yakni respirasi, sirkulasi, nutrisi atau cairan, eliminasi, aktivitas atau
latihan, neurosensori, reproduksi atau seksualitas, nyeri atau kenyamanan,
integritas ego, pertumbuhan atau perkembangan, kebersihan diri,
penyuluhan atau pembelajaran, interaksi sosial, dan keamanan atau
proyeksi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Dalam hal ini, masalah
yang diambil termasuk kedalam kategori psikologis dan subkategori nyeri
dan kenyamanan. Pengkajian pada masalah nyeri akut meliputi:
a. Identitas
Identitas pasien yang harus dikaji meliputi nama, jenis kelamin,
umur, alamat, agama, suku, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, golongan darah, nomor rekam medik, tanggal MRS,
diagnosa medis.
b. Data keluhan utama:
Subjektif: mengeluh nyeri
Objektif: tampak meringis, bersikap protektif (misalnya waspada,
posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit
tidur.
Menurut (Andarmoyo, 2017) karakteristik nyeri dikaji dengan
istilah PQRST sebagai berikut:
1) P (provokatif atau paliatif) merupakan data dari penyebab atau
sumber nyeri pertanyaan yang ditujukan pada pasien berupa:
a) Apa yang menyebabkan gejala nyeri?
b) Apa saja yang mampu mengurangi ataupun memperberat
nyeri?
c) Apa yang anda lakukan ketika nyeri pertama kali
dirasakan?
2) Q (kualitas atau kuantitas) merupakan data yang menyebutkan
seperti apa nyeri yang dirasakan pasien, pertanyaan yang
ditujukan kepada pasien dapat berupa:
a) Dari segi kualitas, bagaimana gejala nyeri yang dirasakan?
b) Dari segi kuantitas, sejauh mana nyeri yang di rasakan
pasien sekarang dengan nyeri yang dirasakan sebelumnya.
c) Apakah nyeri hingga mengganggu aktifitas?
3) R (regional atau area yang terpapar nyeri atau radiasi)
merupakan data mengenai dimana lokasi nyeri yang dirasakan
pasien, pertanyaan yang ditujukan pada pasien dapat berupa:
a) Dimana gejala nyeri terasa?
b) Apakah nyeri dirasakan menyebar atau merambat?
4) S (skala) merupakan data mengenai seberapa parah nyeri yang
dirasakan pasien, pertanyaan yang ditujukan pada pasien dapat
berupa: seberapa parah nyeri yang dirasakan pasien jika diberi
rentang angka 1-10?
5) T (timing atau waktu ) merupakan data mengenai kapan nyeri
dirasakan, pertanyaan yang ditujukan kepada pasien dapat
berupa:
a) Kapan gejala nyeri mulai dirasakan?
b) Seberapa sering nyeri terasa, apakah tiba-tiba atau
bertahap?
c) Berapa lama nyeri berlangsung?
d) Apakah terjadi kekambuhan atau nyeri secara bertahap?
c. Data riwayat penyakit sekarang: pasien mastektomi diawali agen
pencedera fisik (prosedur operasi).
d. Data riwayat penyakit keluarga: riwayat keluarga dihubungkan
dengan adanya penyakit keturunan yang di derita.
e. Data Psikologis
Pada pasien dengan nyeri akut termasuk kedalam kategori
psikologis dan subkategori nyeri dan kenyamanan, perawat harus
mengkaji data mayor dan minor yang tercantum dalam buku
Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017) yaitu :
1) Gejala dan tanda mayor
a) Subjektif : Mengeluh nyeri
b) Objektif :Tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur
2) Gejala dan tanda minor
a) Subjektif : -
b) Objektif : tekanan darah meningkat, pola napas berubah,
nafsu makan berubah, proses berpikir terganggu, menarik
diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Menurut PPNI (2017) Nyeri akut
adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari tiga bulan.
Terdapat tiga penyebab utama nyeri akut menurut (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2016) yaitu:
a. Agen pencedera fisiologis yaitu seperti inflamasi, iskemia,
neoplasma
b. Agen pencedera kimiawi yaitu seperti, terbakar, bahan kimia iritan
c. Agen pencedera fisik yaitu seperti, abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengankat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan.
Gejala dan tanda Nyeri menurut PPNI (2017) adalah sebagai
berikut:
a. Mayor
1) Subjektif
Mengeluh nyeri
2) Objektif
a) Tampak meringis
b) Bersifat protektif (misalnya waspada, posisi menghindari
nyeri)
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
b. Minor
1) Subjektif
Tidak ditemukan data subjektif
2)Objektif
a) Tekanan darah meningkat
b) Pola nafas berubah
c) Nafsu makan berubah
d) Proses berpikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaforesis
Rumusan diagnosa keperawatan adalah nyeri akut berhubungan
dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi) ditandai dengan pasien
mengatakan mengeluh nyeri pasien tampak meringis, bersikap protektif,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat.

3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan langkah perawat dalam menetapkan
tujuan dan kriteria/hasil yang diharapkan bagi klien dan merencanakan
intervensi keperawatan. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa dalam
membuat perencanaan perlu mempertimbangkan tujuan, kriteria yang
diperkirakan/ diharapkan, dan intervensi keperawatan (Andarmoyo,
2017). Intervensi keperawatan merupakan segala treatment yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian
klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang di harapkan (Tim Pokja
SIKI DPP PPNI, 2018). Luaran (Outcome) Keperawatan merupakan
aspek-aspek yang dapat diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku,
atau persepsi pasien, keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap
intervensi keperawatan. Luaran keperawatan menunjukkan status
diagnosis keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan. Hasil
akhir intervensi keperawatan yang terdiri dari indikator-indikator atau
kriteria-kriteria hasil pemulihan masalah. Terdapat dua jenis luaran
keperawatan yaitu luaran positif (perlu ditingkatkan) dan luaran negative
(perlu diturunkan) (Tim Pokja SLKI PPNI, 2018).
Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama
luaran keperawatan berupa kata-kata kunci informasi luaran), ekspetasi
(penilaian terhadap hasil yang diharapkan, meningkat, menurun, atau
membaik), kriteria hasil (karakteristik pasien yang dapat diamati atau
diukur, dijadikan sebagai dasar untuk menilai pencapaian hasil intervensi,
menggunakan skor 1-3 pada pendokumentasian computer-based).
Ekspetasi luaran keperawatan terdiri dari ekspetasi meningkat yang
artinya bertambah baik dalam ukuran, jumlah, maupun derajat atau
tingkatan, menurun artinya berkurang baik dalam ukuran, jumlah maupun
derajat atau tingkatan, membaik artinya menimbulkan efek yang lebih
baik, adekuat, atau efektif. Pemilihan luaran keperawatan tetap harus
didasarkan pada penilaian klinis dengan mempertimbangkan kondisi
pasien, keluarga, kelompok, atau komunitas (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2018).
Intervensi keperawatan memiliki tiga komponen yaitu label,
definisi dan tindakan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Label
merupakan kata kunci untuk memperoleh informasi mengenai intervensi
keperawatan. Label terdiri atas satu atau beberapa kata yang diawali
dengan kata benda (nomina) yang berfungsi sebagai deskriptor atau
penjelas dari intervensi keperawatan. Terdapat 18 deskriptor pada label
intervensi keperawatan yaitu dukungan, edukasi, kolaborasi, konseling,
konsultasi, latihan, manajemen, pemantauan, pemberian, pemeriksaan,
pencegahan, pengontrolan, perawatan, promosi, rujukan, resusitasi,
skrining dan terapi. Definisi merupakan komponen yang menjelaskan
tentang makna dari table intervensi keperawatan. Tindakan adalah
rangkaian perilaku atau aktivitas yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Tindakan tindakan pada
intervensi keperawatan terdiri atas tindakan observasi, tindakan
terapeutik, tindakan edukasi dan tindakan kolaborasi (Tim Pokja SIKI
DPP PPNI, 2018).
Sebelum menentukan perencanaan keperawatan, perawat terlebih
dahulu menetapkan tujuan. Dalam hal ini tujuan yang diharapkan pada
klien dengan nyeri akut yaitu: Tidak mengeluh nyeri, tidak meringis, tidak
bersikap protektif, tidak gelisah, tidak mengalami kesulitan tidur,
frekuensi nadi membaik, tekanan darah membaik, melaporkan nyeri
terkontrol, kemampuan mengenali onset nyeri meningkat, kemampuan
mengenali penyebab nyeri meningkat, dan kemampuan menggunakan
teknik non-farmakologis. Setelah menetapkan tujuan dilanjutkan dengan
perencanaan keperawatan. Rencana keperawatan pada pasien dengan
nyeri akut antara lain: pemberian analgesik dan manajemen nyeri.
Perencanaan Keperawatan pada Diagnosa Keperawatan dengan
Nyeri Akut
NO Diagnosa Luaran Perencanaan
Keperawatan
Keperawatan SLKI SIKI
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Intervensi Utama:
berhubungan asuhan keperawatan Dukungan Nyeri
dengan agen selama 3 kali 24 jam, Akut: Pemberian
pendera fisik maka diharapkan analgesik
(prosedur tingkat nyeri Observasi
operasi) menurun dan kontrol 1) Identifikasi
nyeri meningkat karakteristik nyeri
dengan kriteria hasil: (mis. pencetus,
1) Tidak mengeluh pereda, kualitas,
nyeri lokasi, intensitas,
2) Tidak meringis frekuensi, durasi)
3)Tidak bersikap 2) Identifikasi riwayat
protektif alergi obat
4) Tidak gelisah 3) Identifikasi
5) Tidak mengalami kesesuaian jenis
kesulitan tidur analgesik (mis.
6) Frekuensi nadi narkotika, non-
membaik narkotika, atau
7) Tekanan darah
NSAID) dengan
membaik
8) Melaporkan nyeri tingkat keparahan
terkontrol nyeri
9) Kemampuan 4) Monitor tanda-
mengenali onset tanda vital sebelum
nyeri meningkat dan sesudah
10) Kemampuan pemberian analgesik
mengenali penyebab 5) Monitor efektifitas
nyeri meningkat analgesik
11) Kemampuan Terapeutik
menggunakan teknik 1) Diskusikan jenis
non-farmakologis analgesik yang disukai
untuk mencapai
analgesia optimal
2)Pertimbangkan
pengguanaan
infuskontinu, atau
bolus oploid untuk
mempertahankan
kadar dalam serum
3) Tetapkan target
efektifitas analgesik
untuk
mengoptimalkan
respons pasien
4) Dokumentasikan
respons terhadap efek
analgesik dan efek
yang tidak diinginkan
Edukasi
1) Jelaskan efek terapi
dan efek samping obat
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai
indikasi
Dukungan Nyeri
Akut:
Manajemen Nyeri
Observasi
1) Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
2) Identifikasi skala
nyeri
3) Identifikasi respons
nyeri nonverbal
4) Identifikasi faktor
yang memperberat dan
memperingan nyeri
5) Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
6) Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
7) Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8) Monitor
keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
9) Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur,
terapi musik,
biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
2) Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat
dan tidur
4) Pertimbangkan
jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1)Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2) Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3) Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
4) Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
5) Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pemberian analgetik

Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan 2018

DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo. 2017. Konsep dan Proses Keperawatn Nyeri. Jogjakarta: AR-RUZZ


MEDIA
Awaludin, S. (2017). Efektifitas Teknik Distraksi Nafas Dalam Dengan Meniup
Balon Untuk menurunkan Skala nyeri Paskaoperasi Megakolon Pada Anak
Usia Preschool Di Bangsal A2 Rs. Kariadi Semarang. Nursing Program
Study Medical Faculty Diponegoro University Malang.
Baharudin, Mochamad., (2017). Patofisiologi Nyeri (PAIN). e-Journal UMM,
XII(1), 7-13.
Black, J. M., Hawks, J. H (2017). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinik
untuk Hasil yang Diharapakan. Jakarta: Salemba Medika.
Brunner, & Suddarth. (2017). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta:
EGC, 1022
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and
classification 2018-2020. Jakarta: EGC.
Long, Barbara C. (2016). Perawatan Medikal Bedah, (Volume 2) penerjemah:
Karnaen, Adam, Olva, dkk, Bandung: Yayasan Alumni Pendidikan
Keperawatan
Potter & Perry (2017). Buku ajar fundamental keperawatan. Jakarta Erlangga.
Smeltzer, S. C. (2016). Keperawatan medikal-bedah brunner & suddarth edisi 12.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC
Tamsuri, A. (2016). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia. Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I).
Jakarta. Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from
http://www.inna- ppni.or.id
Woolf, C. J. 2017: Pain: Moving from Sympom Control coward Mechanism –
Specife Pharmacologic Management, Ann Intern Med ; 140: 441 – 451.

Anda mungkin juga menyukai