NYERI
Disusun Oleh:
Gamatari Subpraba Purnama Sari
SN202010
B. FISIOLOGI NYERI
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara
stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi
adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus
(misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut
A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap
stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau
nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat
dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon
terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju
otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari
sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula
spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal. Modulasi
adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural
signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan
area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata,
selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini
adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di
kornu dorsalis.
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen. (Baharudin, M., 2017)
C. PATOFISIOLOGI
Munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya
rangsangan.Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak
memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera,
persendian dinding arteri, hati dan kandung empedu.Reseptor nyeri dapat
memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan.Stimulasi
tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamine, bradikinin,
prostaglandin, dan macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada
jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa
termal, listrik atau mekanis. Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor
tersebut ditransmisikan ke serabut C. serabut-serabut aferen masuk ke spinal
melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn.Dorsal horn,
terdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang saling bertautan. Diantara
lapisan dua dan tiga berbentuk substansia gelatinosa yang merupakan saluran
utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang
belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang
paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur spinothalamus
tract (SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari
proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur
opiate dan jalur non-opiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor
pada otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari thalamus yang melalui
otak tengah dan medulla ke tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang yang
berkonduksi dengan nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan
neurotransmitter dalam impuls supresif.System supresif lebih mengaktifkan
stimulasi nociceptor yagn ditransmisikan oleh serabut A. Jalur non-opiate
merupakan jalur desendens yang tidak memberikan respons terhadap
naloxone yang kurang banyak diketahui mekanismenya. (Barbara C. Long,
2016)
D. KLASIFIKASI NYERI
Nyeri dapat diklarifikasikan berdasarkan durasinya dibedakan menjadi
nyeri akit dan nyeri kronis.
1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan ukuran intensitas
yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu yang
singkat. Nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari
beberapa detik hingga enam bulan (Smletzer, 2016).
Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi system saraf simpatis yang
akan memperlihatkan gejala – gejala seperti peningkatan respirasi,
peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan
diatas pupil. Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan
adanya ketidaknyamanan berkaitan nyeri yang dirasakan. Klien yang
mengalami nyeri akut biasanya juga akan memperlihatkan respon emosi dan
perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau
menyeringai (Andarmoyo, 2017).
2. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas
yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Manifestasi
klinis yang tampak pada nyeri kronis sangat bebrbeda dengan yang
diperlihatkan oleh nyeri akut. Dalam pemeriksaan tanda tanda vital, sering
kali didapatkan masih dalam batas normal dan tidak disertai dilatasi pupil.
Manifestasi yang biasanya muncul berhubungan dengan respon psikososial
seperti rasa keputusasaan, kelesuan, penurunan libido, penurunan berat badan,
perilaku menarik diri, iritabel, mudah tersinggung, marah dan tidak teratrik
pada aktivitas fisik. Secara verbal klien mungkin akan melapor adanya
ketidaknyamanan, kelemahan dan kelelahan (Andarmoyo, 2017).
E. MEKANISME NYERI
Dipermukaan kulit terdapat ujung syaraf bebas (free nerve endings)
yang akan aktif pada saat terdapat rangsangan nyeri dan akan menghantarkan
stimulus nyeri. Pada ujung syaraf bebas serabut aferen primer terdapat suatu
reseptor yang akan teraktivasi secara spesifik oleh stimulus noxius atau
stimulus nyeri. Respetor ini disebut sebagai nosiseptor dan tersebar luas
hamper di seluruh jaringan dalam tubuh antara lain periosteum, dinding arteri,
permukaan sendi, dan serebri (Brunner & Suddarth, 2017). Nosiseptor
memiliki sifat mudah mengalami modifikasi atau plastis sebagai respon
terhadap adanya perlukaan pada akson dan akibat paparan pada inflamasi.
Terdapat dua macam nosiseptor yaitu serabut A yang bermielin tipis dan
serabut C yang tiddak bermielin (Guyton & Hall, 2016).
Nyeri yang dihantarkan serabut A biasanya memiliki lokalisasi yang
jelas dengan kualitas menusuk tajam atau elektris. Sedangkan sensasi nyeri
yang dihantarkan oleh serabut C memiliki lokalisasi kurang jelas dengan rasa
terbakar (Brunner & Suddarth, 2017). Stimulasi terhadap serabut C secara
terus menerus oleh stimulus noxius disertai pelepasan peptida transmitter
seperti substansi P yang ditemukan di serabut C bersama dengan glutamate
bertanggung jawab terhadap adanya respon nosiseptif di dorsal horn.
Fenomena ini bersifat reversible dan akan kembali normal setelah stimulus
noxius hilang (Brunner & Suddarth, 2017).
Perlukaan dan kerusakan jaringan akan menyebabkan perubahan
lingkungan kimia nosiseptor terminal di perifer. Jaringan yang rusak saat
inflamasi mengakibatkan dilepaskannya mediator inflamasi yang dapat
menyebabkan nyeri. Berbagai mediator ini dapat dilepaskan oleh sel jaringan
yang mengalami kerusakan atau sel penginduksi inflamasi yang bergerak
menuju jaringan tersebut. Sel yang rusak akan melepaskan Adenosine
Triphospate (ATP) dan ion K+. Sel penginduksi inflamasi akan bergerak
menuju jaringan yang mengalami kerusakan dan akan mengeluarkan mediator
inflamasi seperti sitokin, kemokin, bradikinin, histamin, serotonin,
prostaglandin, substansi P, maupun faktor pertumbuhan (Nerve Growth
Factor/NGF). Pada jaringan yang rusak juga terjadi penurunan pH akibat
pelepasan H+ (Woolf, 2017).
Komponen biokimiawi yang dilepaskan selama inflamasi akan
mengaktifkan terminal perifer nosiseptor. Serotonin merupakan hormon lokal
yang dapat merangsang timbulnya rasa nyeri dengan lebih kuat dibandingkan
dengan bradikinin. Adanya peningkatan konsentrasi K+ akan mempengaruhi
intensitas nyeri. Aktivasi nosiseptor terus menerus oleh mediator inflamasi
seperti NGF, Bradikinin, Prostaglandin E2 akan menimbulkan sensitisasi
perifer meliputi allodynia dan hiperalgesia primer (Woolf, 2017).
Pengukuran Wong-Baker Faces Pain Rating Scale (Potter & Perry, 2006)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG untuk data penunjang apa bila ada nyeri tekan di
abdomen
2. Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ dalam yang abnormal
3. Pemeriksaan LAB sebagai data penunjang pemerriksaan lainnya
4. Ct Scan (cidera kepala) untuk mengetahui adanya pemb uluh darah yang
pecah di otak
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua (Potter & Perry, 2017) yaitu :
1. Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis efektif untuk nyeri sedang dan
berat. Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri biasanya
menggunakan obat analgesic yang terbagi menjadi dua golongan yaitu
analgesik non narkotik dan analgesik narkotik. Penatalaksanaan nyeri dengan
farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obat analgesik narkotik baik
secara intravena maupun intramuskuler. Pemberian secara intravena maupun
intramuskuler misalnya dengan meperidin 75 – 100 mg atu dengan morfin
sulfat 10 – 15 mg, namun penggunaan analgesic yang secara terus menerus
dapat mengakibatkan ketagihan obat. Namun demikian pemberian
farmakologis tidak bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien sendiri
untuk mengontrol nyerinya (Potter & Perry, 2017).
2. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi dapat dilakukan dengan cara
terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan dingin,
TENS, akupuntur dan akupresur) serta kognitif dan biobehavioral terapi
(meliputi latihan nafas dalam, relaksasi progresif, rhytmic breathing, terapi
musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik,
meditasi, hipnosis, humor dan magnet) (Blacks dan Hawks, 2017).
Pengendalian nyeri non farmakologi menjadi lebih murah, mudah, efektif dan
tanpa efek yang merugikan (Potter & Perry, 2017). Salah satu penyembuhan
non farmakologis untuk menurunkan nyeri pemasangan infus dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan aromaterapi lavender dan
aromaterapi lemon.
J. PATHWAY
Trauma sel,
Infeksi
Kerusakan Jaringan
Kerusakan
Sel
Merangsang thermo
sensitive reseptor
Pelepasan mediator nyeri
(Histamalin, bradikinin,
prostaglandin, serotonin
ion kalium, dll.
Merangsang Nosiseptor
Dihantarkan serabut
tipe A Serabut Tipe C
Medulla
Spinalis
Hipotalamus,
thalamus dan
limbik
Otak
(Korteks somasensorik
Otak
(Korteks somasensorik
Persepsi nyeri
NYERI AKUT
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan langkah perawat dalam menetapkan
tujuan dan kriteria/hasil yang diharapkan bagi klien dan merencanakan
intervensi keperawatan. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa dalam
membuat perencanaan perlu mempertimbangkan tujuan, kriteria yang
diperkirakan/ diharapkan, dan intervensi keperawatan (Andarmoyo,
2017). Intervensi keperawatan merupakan segala treatment yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian
klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang di harapkan (Tim Pokja
SIKI DPP PPNI, 2018). Luaran (Outcome) Keperawatan merupakan
aspek-aspek yang dapat diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku,
atau persepsi pasien, keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap
intervensi keperawatan. Luaran keperawatan menunjukkan status
diagnosis keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan. Hasil
akhir intervensi keperawatan yang terdiri dari indikator-indikator atau
kriteria-kriteria hasil pemulihan masalah. Terdapat dua jenis luaran
keperawatan yaitu luaran positif (perlu ditingkatkan) dan luaran negative
(perlu diturunkan) (Tim Pokja SLKI PPNI, 2018).
Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama
luaran keperawatan berupa kata-kata kunci informasi luaran), ekspetasi
(penilaian terhadap hasil yang diharapkan, meningkat, menurun, atau
membaik), kriteria hasil (karakteristik pasien yang dapat diamati atau
diukur, dijadikan sebagai dasar untuk menilai pencapaian hasil intervensi,
menggunakan skor 1-3 pada pendokumentasian computer-based).
Ekspetasi luaran keperawatan terdiri dari ekspetasi meningkat yang
artinya bertambah baik dalam ukuran, jumlah, maupun derajat atau
tingkatan, menurun artinya berkurang baik dalam ukuran, jumlah maupun
derajat atau tingkatan, membaik artinya menimbulkan efek yang lebih
baik, adekuat, atau efektif. Pemilihan luaran keperawatan tetap harus
didasarkan pada penilaian klinis dengan mempertimbangkan kondisi
pasien, keluarga, kelompok, atau komunitas (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2018).
Intervensi keperawatan memiliki tiga komponen yaitu label,
definisi dan tindakan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Label
merupakan kata kunci untuk memperoleh informasi mengenai intervensi
keperawatan. Label terdiri atas satu atau beberapa kata yang diawali
dengan kata benda (nomina) yang berfungsi sebagai deskriptor atau
penjelas dari intervensi keperawatan. Terdapat 18 deskriptor pada label
intervensi keperawatan yaitu dukungan, edukasi, kolaborasi, konseling,
konsultasi, latihan, manajemen, pemantauan, pemberian, pemeriksaan,
pencegahan, pengontrolan, perawatan, promosi, rujukan, resusitasi,
skrining dan terapi. Definisi merupakan komponen yang menjelaskan
tentang makna dari table intervensi keperawatan. Tindakan adalah
rangkaian perilaku atau aktivitas yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Tindakan tindakan pada
intervensi keperawatan terdiri atas tindakan observasi, tindakan
terapeutik, tindakan edukasi dan tindakan kolaborasi (Tim Pokja SIKI
DPP PPNI, 2018).
Sebelum menentukan perencanaan keperawatan, perawat terlebih
dahulu menetapkan tujuan. Dalam hal ini tujuan yang diharapkan pada
klien dengan nyeri akut yaitu: Tidak mengeluh nyeri, tidak meringis, tidak
bersikap protektif, tidak gelisah, tidak mengalami kesulitan tidur,
frekuensi nadi membaik, tekanan darah membaik, melaporkan nyeri
terkontrol, kemampuan mengenali onset nyeri meningkat, kemampuan
mengenali penyebab nyeri meningkat, dan kemampuan menggunakan
teknik non-farmakologis. Setelah menetapkan tujuan dilanjutkan dengan
perencanaan keperawatan. Rencana keperawatan pada pasien dengan
nyeri akut antara lain: pemberian analgesik dan manajemen nyeri.
Perencanaan Keperawatan pada Diagnosa Keperawatan dengan
Nyeri Akut
NO Diagnosa Luaran Perencanaan
Keperawatan
Keperawatan SLKI SIKI
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Intervensi Utama:
berhubungan asuhan keperawatan Dukungan Nyeri
dengan agen selama 3 kali 24 jam, Akut: Pemberian
pendera fisik maka diharapkan analgesik
(prosedur tingkat nyeri Observasi
operasi) menurun dan kontrol 1) Identifikasi
nyeri meningkat karakteristik nyeri
dengan kriteria hasil: (mis. pencetus,
1) Tidak mengeluh pereda, kualitas,
nyeri lokasi, intensitas,
2) Tidak meringis frekuensi, durasi)
3)Tidak bersikap 2) Identifikasi riwayat
protektif alergi obat
4) Tidak gelisah 3) Identifikasi
5) Tidak mengalami kesesuaian jenis
kesulitan tidur analgesik (mis.
6) Frekuensi nadi narkotika, non-
membaik narkotika, atau
7) Tekanan darah
NSAID) dengan
membaik
8) Melaporkan nyeri tingkat keparahan
terkontrol nyeri
9) Kemampuan 4) Monitor tanda-
mengenali onset tanda vital sebelum
nyeri meningkat dan sesudah
10) Kemampuan pemberian analgesik
mengenali penyebab 5) Monitor efektifitas
nyeri meningkat analgesik
11) Kemampuan Terapeutik
menggunakan teknik 1) Diskusikan jenis
non-farmakologis analgesik yang disukai
untuk mencapai
analgesia optimal
2)Pertimbangkan
pengguanaan
infuskontinu, atau
bolus oploid untuk
mempertahankan
kadar dalam serum
3) Tetapkan target
efektifitas analgesik
untuk
mengoptimalkan
respons pasien
4) Dokumentasikan
respons terhadap efek
analgesik dan efek
yang tidak diinginkan
Edukasi
1) Jelaskan efek terapi
dan efek samping obat
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai
indikasi
Dukungan Nyeri
Akut:
Manajemen Nyeri
Observasi
1) Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
2) Identifikasi skala
nyeri
3) Identifikasi respons
nyeri nonverbal
4) Identifikasi faktor
yang memperberat dan
memperingan nyeri
5) Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
6) Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
7) Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8) Monitor
keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
9) Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur,
terapi musik,
biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
2) Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat
dan tidur
4) Pertimbangkan
jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1)Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2) Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3) Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
4) Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
5) Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pemberian analgetik
Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan 2018
DAFTAR PUSTAKA