Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan
berhubungan dengan kerusakan jaringan, nyeri mempunyai sifat yang sangat unik karena di satu
sisi nyeri akan menimbulkan penderitaan bagi yang merasakan, tetapi di sisi lain nyeri juga dapat
menunjukkan manfaatnya. Nyeri disebut bermanfaat karena merupakan indikator kerusakan
jaringan yang dapat timbul tanpa ada penyebab yang diketahui, derajat disabilitas dalam
hubungannya dengan pengalaman nyeri dapat bervariasi, juga terdapat variasi individual pada
respon terhadap metode anti nyeri. Pemahaman tentang mmekanisme dan fisiologi nyeri
sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh pasien. Bila
pengelolaan nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat berkembang
menjadi nyeri kronik.1,2
Pengobatan yang direncanakan untuk menanggulangi nyeri haruslah diarahkan pada
proses penyakit yang mendasari guna pengendalian respon nyeri tersebut,obat-obat analgesia
dapat digunakan untuk menangani atau mencegah nyeri ,sehingga dapat memberikan rasa
nyaman dan mengurangi pengalaman tidak menyenangkan . Penatalaksanaan nyeri tersebut salah
satunya dengan menggunakan Analgesia Epidural , analgesia epidural adalah suatu teknik
memasukkan obat anastesi lokal ke ruang epidural di daerah lumbal tulang belakang dengan
menempatkan selang kateter untuk memasukkan obat anestesi secara berkala sesuai kebutuhan
pasien. Ruang epidural adalah ruang potensial yang berbentuk segitiga, ruang ini berada di antara
ligamentum flavum dan duramater ,bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan bagian
bawah dengan selaput sakrokoksigeal. 1,2
Selang epidural yang berhubungan dengan pasien tersebut kemudian dihubungkan ke
sebuah mesin yang dinamakan PCA dan karena demikian teknik tersebut dinamakan PCEA
(Patient Controlled Epidural Analgesia), kemudian cara kerja PCEA itu sendiri umumnya
diasumsikan sebagai pemberian obat opioid , on-demand,intermitten di bawah kontrol pasien
(dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu). Teknik ini didasarkan pada penggunaan pompa infus
yang canggih yang dikendalikan mikroprosesor yang memberikan opioid dengan dosis
terprogram ketika pasien menekan tombol permintaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Nyeri


Berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai
suatu bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan.1,2
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif yang
merupakan aspek fisiologi sensorik nyeri dan komponen subjektif yang merupakan aspek
emosional dan psikologis ,nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik
(Prostaglandin, serotonin dan atau bradikinin) pada reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada
lapisan superfisial kulit dan pada beberapa jaringan di dalam tubuh seperti periosteum,
permukaan sendi, otot rangka, dan pulpa gigi.3
1.2 Mekanisme Nyeri
Nyeri dikonduksikan melalui tiga jalur neuron yang mampu mentransmisikan stimulus noksius
dari perifer ke kortek serebral ,nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada
nosiseptor yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan beberapa jaringan di dalam
tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot rangka dan pulpa gigi. Nosiseptor merupakan
reseptor ujung saraf bebas yang terdapat di kulit, otot sendi, viscera dan pembuluh darah,
nosiseptor berfungsi sebagai pendeteksi stimulus berbahaya yang diakibatkan oleh perubahan
kimia, suhu dan mekanik, nosiseptor masih inaktif pada jaringan normal. Jika nosiseptor
dirangsang oleh energi yang cukup yang melampaui ambang rangsang atau istirahatnya maka
nosiseptor akan menjadi aktif dan menimbulkan serangkaian aktifitas nyeri.3
Neuron nosiseptif bersinap di kornu dorsalis medula spinalis yang kemudian akan membawa
informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi yaitu di batang otak dan thalamus, reseptor nyeri
bersifat protektif sehingga seseorang tetap sadar terhadap kerusakan jaringan yang berikutnya.

Tipe nosiseptor spesifik, bereaksi terhadap tipe stimulus berbeda. Nosiseptor C dan A bereaksi
hanya terhadap stimulus panas dan dingin, sementara tipe nosiseptor lain bereaksi terhadap
multipel stimulus (mekanik, panas, dingin ). Beberapa reseptor A mempunyai aktivitas seperti
nosiseptor,serat-serat sensori dalam mekanoreseptor A dapat direkrut untuk menstransmisi
rangsang yang akan diinterpretasikan sebagai nyeri jika lingkungannya diubah oleh peradangan
atau produk radang itu sendiri.3
Transduksi
Proses transduksi adalah proses perubahan rangsang nyeri/stimulasi noksius menjadi aktifitas
listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans
P, potassium, histamin, dan asam laktat merupakan zal-zat algesik yang mampu mengaktifkan
atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri.4
Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C,
reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan
jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang
mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat,
interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. Jika
ambang nyeri dari nosiseptor terlampaui, maka energi atau stimulus mekanik, suhu dan kimia
akan diubah menjadi potensial aksi elektrikal (transduksi) yang kemudian akan ditransmisikan
sepanjang serat saraf ke arah medula spinalis.3
Mediator-mediator peradangan seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, serotinin dan sitokinin
akan dilepaskan pada peradangan akut ,paparan terus menerus dan dalam jangka waktu lama
terhadap mediator mediator tersebut, dapat menyebabkan serat C dan A mengalami sensitisasi
perifer yang akan menyebabkan ambang nyeri dari nosiseptor tersebut menurun. Hal ini akan
mengakibatkan meningkatnya stimulus nyeri yang sampai di Sistem Saraf Pusat. Pada sebagian
besar kasus peradangan akut, proses akan berhenti saat penyembuhan jaringan sehingga
sensitisasi perifer akan berkurang dan kembalinya ambang nyeri di keaadaan normal.
Jika peradangan tidak dapat sembuh atau berhenti disebut nyeri kronik, yang akan menyebabkan
sensasi nyeri persisten dengan stimulus yang normalnya memang menyebabkan nyeri
(Hiperalgesia) dan adanya sensasi nyeriyang normalnya tidak menimbulkan nyeri (Alodinia).

Hiperalgesia terjadi jika menurunnya ambang nyeri pada area peradangan, hal ini mungkin
terjadi karena keluarnya mediator-mediator peradangan dari sel-sel pada area peradangan yang
akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor nyeri (Sensitisasi Perifer) ,mediator peradangan
khusunya asam arakhidonat dan bradikinin tampaknya memiliki peran besar dalam terjadinya
sensitisasi perifer.3
Transmisi
Transmisi adalah proses penyaluran impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C setelah
terjadinya proses tranduksi ,serat afferent A-delta dan C meneruskan impuls nyeri ke sentral,
yaitu kornu dorsalis medula spinalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan
impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih
besar dibanding dengan serat C ,serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk)
dibandingkan dengan serat C (2-3 m/dtk). Sel-sel neuron di kornu dorsalis medula spinalis yang
berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. 1,4
Modulasi
Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri yang masuk
ke kornu dorsalis medula spinalis, impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke
sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral
lewat traktus spinotalamikus, di daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen, tergantung
mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan
merasakan sensibel nyeri, sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita
tidak akan merasakan sensibel nyeri.1,4
Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortek sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan persepsi nyeri.

1.3 Penatalaksanaan Nyeri dengan Epidural Analgesia


Pemberian obat nyeri diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup pasien salah satunya
pemberian pengobatan epidural analgesia , snalgesia epidural adalah suatu teknik memasukkan
obat anastesi lokal ke ruang epidural di daerah lumbal tulang belakang dengan menempatkan
selang kateter untuk memasukkan obat anestesi secara berkala sesuai kebutuhan pasien, ruang
epidural adalah ruang potensial yang berbentuk segitiga, ruang ini berada di antara ligamentum
flavum dan duramater.5
Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan bagian bawah dengan selaput
sakrokoksigeal, kedalaman ruang ini 4,5-5 cm. Ruang epidural berisi sakus duralis, cabang saraf
spinal, pleksus venosus epiduralis, arteri spinalis, pembuluh limfa dan jaringan lemak.6,7
Efek analgesia didapatkan dengan menggunakan bupivakain 0,125-0,25% sebanyak 5-10 ml
yang , fentanil 1-2mcg/ml atau sulfentanil 0,3-0,5 mcg/ml dapat ditambahkan ,keuntungan
anestesia epidural antara lain dapat mengurangi penggunaan obat nyeri secara sistemik. Pada
analgesi epidural pasien kondisi sadar

dan risiko aspirasi paru lebih rendah dibandingkan

dengan general anestesi.8


Kontraindikasi penggunaan analgesia epidural antara lain; pasien menolak, gangguan koagulasi,
infeksi pada daerah penempatan kateter dan hipovolemia,komplikasi anestesi dan analgesi
epidural meliputi paresthesia, accidental dural puncture (nyeri kepala), injeksi subdural
(hipotensi), analgesi epidural massif (pasien tidak sadar), accidental intravascular injection
(kejang

atau

kolaps

kardiovaskular),

toksisitas

kardiovaskular,

nyeri

pinggang,

methemoglobinemia, rusaknya kateter epidural. Komplikasi neurologi meliputi prolonged neural


blockade, disfungsi bladder.8,9

1.4 Penggunaan PCEA(Patient Controlled Epidural Analgesia)


PCEA itu senidri terdiri dari lumbar epidural analgesia dan thoracal epidural analgesia , pada
lumbar analgesia penyuntikan biasanya dilakukan dari interspace lumbal 4-5 sejajar krista iliaka

sedangkan pada thoracal epidural analgesia dipilih segmen thoracal 9-10 pemberian Analgesia
baik pada thoracal atau lumbal dapat meneggunakan ,konsentrasi lemah bupivacaine, misalnya
0,1-0,166 % dengan atau tanpatambahan opioid dosis rendah . Berdasarkan pengalaman klinis
disarankan penggunaan ropivacaine atau bupivacaine dalam konsentrasi 0,1% atau kurang.
Penambahan obat opioid lipofilik akan menurunkan konsentrasi obat anestesi lokal yang
digunakan dan mengurangi blok motorik. Baik fentanyl (1-3 g/ml) atau sufentanyl (0,2-0,3
g/ml) sama nilai efektivitasnya
Patient Controlled Analgesia (PCA) umumnya diasumsikan sebagai pemberian opioid intravena,
on-demand , intermitten di bawah kontrol pasien (dengan atau tanpa bantuan infuse kontinyu).
Teknik ini didasarkan pada penggunaan pompa infus yang canggih yang dikendalikan
mikroprosesor yang memberikan opioid dengan dosis terprogram ketika pasien menekantombol
permintaan. Penting untuk dicatat bahwa PCA adalah konseptual kerangka kerja untuk
administrasi analgesik.Konsep yang lebih luas dari PCA tidak dibatasi untuk satu kelas analgetik
saja atau rute tunggal atau satu cara administrasi,setiap analgesik yang diberikan melalui rute
apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau transdermal) dapat dianggap sebagai
PCA jika diberikan segera atas permintaan pasien dan cukup secara kuantitas.7,9,10
Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA) merupakan sebuah metode yang efektif dalam
mengontrol nyeri dengan pemberian obat analgesik kuat dan anestesi lokal melalui sebuah
kateter yang dimasukan ke ruang epidural yang dihubungkan dengan sebuah pompa yang akan
mengirimkan dosis kecil obat tersebut langsung menuju saraf spinal. Dikarenakan dosis obat
yang rendah untuk terbebas dari rasa nyeri, efek samping seperti mual, sedasi, dan depresi nafas
dapat diminimalkan ,penggunaan metode ini biasanya pada prosedur obstetrik dan nyeri pasca
operasi tubuh bagian bawah dan juga digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pada pasien kanker
stadium lanjut atau nyeri kronik non-kanker.Pemasangan epidural analgesia yang berguna pada
pasien post operatif dapat dikombinasi dengan mesin PCA yakni untuk mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan oleh pasien dengan pasien sebagai pengontrolnya , dan bisa disebut PCEA .
Pasien Control Epidural Analgesia (PCEA) adalah istilah yang terkait menjelaskan administrasi
pasien yang dikontrol obat analgesik dalam ruang epidural, dengan cara bolus intermiten atau
pompa infus. Ini dapat digunakan pada pasien kanker atau untuk mengelola rasa sakit pasca
operasi. 10

Administrasi obat secara epidural didistribusikan melalui tiga jalur utama, antara lain melalui
proses difusi melalui dura menuju cairan likuor serebrospinalis, kemudian menuju ke medulla
spinalis atau akar saraf. Kedua melalui pengambilan oleh pembuluh darah pada ruang epidural
menuju sirkulasi sistemik. Dan terakhir pengambilan oleh lemak pada ruang epidural,
membentuk suatu kumpulan obat dimana obat tersebut bisa masuk menuju cairan likuor
serebrospinalis atau sirkulasi sistemik. Pada penggunaan PCEA yang terbaru menjadi teknik
untuk analgesia persalinan ,teknik ini telah terbukti aman dan efektif ketika digunakan dengan
larutan cair anestesi lokal, dengan atau tanpa opioid terlarut lemak, seperti fentanyl atau
sufentanil, dibandingkan dengan infus kontinu sendiri, pasien yang menerima PCEA
membutuhkan lebih sedikit intervensi klinisi
Melalui penggunaan patient controlled epidural analgesia (PCEA) memungkinkan pasien untuk
berperan dalam menentukan kebutuhan akan obat analgesik secara pribadi. PCEA bisa
memberikan waktu untuk terbebas dari rasa nyeri yang lebih baik, kontrol terhadap nyeri, dan
menjadi keuntungan bagi pasien dan perawat untuk mengurangi waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan dan memberikan bolus obat analgesic.
1.5 Obat-obatan yang Digunakan
A. Anestesi Lokal
LIDOCAINE
Lidokain adalah anestetik local kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topical dan
suntikan , anesthesia terjadi lebih cepat , lebih kuat dan lebih lama disbanding procain . Pada
konsentrasi yang sebanding , lidokain merupakan aminoetilamid dan merupakan prototype dari
anestetik local golonganamida . Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia infiltrasi ,
sedangkan larutan 1,0-2% untuk anestesi blok saraf , anestesi spinal , epidural ataupun kaudal ,
lidokain adalah obat pilihan bagi mereka yang hipersensitif terhadap anestetik local golongan
ester . Pada anestesi infiltarsi biasanya digunakan larutan 0,25-0,50% dengan atau tanpa
epinefrin dosis total tidak boleh melebihi 200 mg dalam waktu 24 jam . Efek samping lidocain
antara lain berkaitan dengan SSP mengantuk , pusing , parestesia , kedutan otot , gannguan koma
dan bangkitan

PROCAINE
Procaine adalah obat anestesi sintetik yang pertama kali dibuat , merupakan derivate-benzoat
yang disintesa tahun 1905 dengan sifat yang tidak begiyu yoksik jika dibandingkan dengan
kokain , anestetik loakal dari kelompok ester ine bekerja dengan durasi yang sangat singkat .
Dalam tubuh zat ini dengan cepat dan sempurna dihidrolisa oleh kolinesterase menjadi
dietilaminoetanol dan PABA (asam para-aminobenzoat) , yang mengantagonis daya kerja
sulfonamide , sehingga toksisitasnya di dalam vascular dapat minimal .Prokain hanya digunakan
sebagai injeksi dan sering kali bersamman dengan adrenalin untuk memperpanjang daya
kerjanya , efek samping antralain adalah hipertensi , dosis anetesi infiltrasi 0,25-0,5 % , untuk
blockade saraf epidural 1-2%
BUPIVACAINE
Struktur mirip dengan lidokain , kecuali gugus yang mengandung amin dan butyl piperidin ,
merupakan anestetik local yang mempunyai masa kerja yang panjang dengan efek blockade
terhadap sensoris lebih besar daripada motoric . Karena efek ini bupivacaine lebih popular
digunakan untuk memperpanjang durasi analgesia selama persalinan dan masa pasca bedah .
Suatu penelitian menunjukkan bahwa bupivacaine dapat mengurangi dosis penggunaan morfin
dalm mengintrol nyeri pada pasca pembedahan cesar , pada dosis efektif bupivakain lebih kardio
toksik jika dibandingkan dengan lidokain , lidoakain dan bupivakain keduanya menghambat
saluran Na+ jantung selama sistolik , namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih lambat daripada
lidokain Selma diastolik , sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat pada akhir
diastolik . Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk anestesi
dosis maksimum 2mg/Kg/BB , indikasi bupivakain antara lain blok saraf , epidural dan
anestesiintratekal

.Terkadang

bupivakain

dikombinasikan

dengan

epinefrin

untuk

memperpanjang durasi , dengan fentanyl untuk analgesia epidural.


PRILOCAINE
Anestetik local golongan amida ini efek farmakologinya mirip lidocain , tetapi mulai kerja dan
amsa kerjanya lebih lama disbanding dengan lidokain . Prilokain juga menimbulkan kantuk
seperti lidokain , anestesi ini digunakan untuk berbagai macam blok epidural disuntikkan dengan
sediaan 0,1 % , 0,2 % , 0,3 % . Priloakin umumnya dipasarkan dalam bentuk garam hidroklorida

Pada umumnya, hampir semua efek samping yang terjadi pada anestesi spinal, berhubungan
dengan efek blokade pada saraf itu sendiri, bukan karena efek obatnya, antara lain: hipotensi,
bradikardi, sakit kepala setelah punksi dural
b. Opioid
Penggunaan analgesia epidural untuk mengurangi rasa nyeri menjadi populer setelah mulai
penggunaan obat opioid secara epidural akibat penemuan reseptor opioid pada kornu posterior
medulla spinalis. Opioid memiliki efek pada pre sinap dan post sinap kornu posterior dan
mempengaruhi modulasi terhadap rangsangan nyeri yang masuk, tetapi tidak mengakibatkan
blok motorik dan saraf simpatis. Penggunaan obat opioid telah secara luas digunakan di Amerika
dan Australia yaitu pemberian bolus obat seperti morphine, diamorphine, dan pethidine atau
infus kontinyu opioid lipofilik seperti fentanyl atau sufentanil. Walaupun bolus obat opioid
epidural memberikan efek analgetik yang lebih lama dengan dosis kecil dibandikan dengan IM
opioid. Tidak ditemukan perbedaan hasil klinis yang signifikan antara pemberian opioid lipofilik
epidural (PCEA) dibandingkan dengan pemberian opioid intravena (PCA IV). Akan tetapi pada
pembedahan abdomen bagian bawah dan thorak ditemukan pemberian fentanyl epidural
memberikan efek terbebas dari rasa nyeri yang lebih efektif dibandingkan dengan PCA IV
dengan obat morphine atau fentanyl. Pada studi terhadap konsentrasi plasma obat, tidak
ditemukan perbedaan konsentrasi plasma pada kedua rute pemberian.
c. Kombinasi anestesi lokal dan opioid
Infus kontinyu epidural dengan menggunakan kombinasi anestesi lokal dan opioid paling sering
digunakan. Penggunaannya berdasarkan observasi klinis kombinasi anestesi lokal dan opioid
mengurangi efek blok sensorik dibandingkan anestesi lokal saja dan meningkatkan kualitas
terbebas dari rasa nyeri ,Kebanyakan studi menunjukkan penggunaan kombinasi anestesi lokal
dan opioid berhubungan dengan terbebas dari rasa nyeri yang lebih baik setelah pembedahan
abdomen atas atau bawah, ortopedi, dan thoraks. PCEA dengan kombinasi anestesi okal dan
opioid menunjukkan secara signifikan lebih baik dibandingkan PCA IV dengan obat morphine
dalam menangani nyeri pasca pembedahan mayor abdomen. Dan juga kombinasi anestesi lokal
dan opioid secara signifikan menunjukkan pengurangan keperluan atau dosis akan obat opioid.
Banyak studi awal menggunakan konsentrasi fentanyl 10 g pada penggunaan epidural tanpa

kombinasi. Tetapi dengan kombinasi levobupivacaine 0,125% konsentrasi optimal fentanyl


menjadi 4 g saja. Begitu juga terjadi penurunan pada konsentrasi obat morphine dan
diamorphine sekitar 50 g yang efektif dalam penanganan nyeri. Dosis optimal dari anestesi
lokal pada studi menunjukkan konsentrasi dari bupivacaine 0,1% atau kurang, yang diberikan
dalam patient controlled epidural analgesia (PCEA) tanpa infus background, dosis 4-12 mg
bupivacaine yang dikombinasikan dengan morphine 50 g atau diamorphine 80 g atau fentanyl
10 g atau sufentanyl 1 g yang diberikan melaui kateter epidural pada segmen thorak telah
efektif untuk terbebas dari rasa nyeri. Kemudian dengan adanya obat anestesi lokal yang terbaru
seperti levobupivacaine dan ropivacaine akan lebih sering dipakai karena batas keamanan obat
yang lebih baik. Obat ropivacaine memiliki keuntungan potensial berupa efek blok pada saraf
motorik yang lebih sedikit.

BABIII

KESIMPULAN
Nyeri merupakan bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan, derajat disabilitas dalam hubungannya dengan
pengalaman nyeri dapat bervariasi,. Pemahaman tentang mekanisme dan fisiologi nyeri sangatlah
penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh pasien, bila pengelolaan nyeri
akut tidak dilaksanakan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri
kronik.Pengobatan yang direncanakan untuk menanggulangi nyeri haruslah diarahkan pada
proses penyakit yang mendasari guna pengendalian respon nyeri tersebut Obat-obat analgesia
dapat digunakan untuk menangani atau mencegah nyeri. Sehingga dapat memberikan rasa
nyaman dan mengurangi pengalaman tidak menyenangkan Pemberian obat nyeri diharapkan
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien salah satunya pemberian pengobatan epidural analgesia
. Analgesia epidural adalah suatu teknik memasukkan obat anastesi lokal ke ruang epidural di
daerah lumbal tulang belakang dengan menempatkan selang kateter untuk memasukkan obat
anestesi secara berkala sesuai kebutuhan pasien Pengguanaan

patient controlled epidural

analgesia sering kali menggunakan obat-obatan opioid , umumnya morfin dan bipivucain , cara
kerja mesin PCEA tersebut biasanya diatur dengan penekanan.Begitu ditekan obat akan masuk
sebanyak 2 mg obat tersebut terdiri dari campuran bupivicain dan morfin Peggunaan PCEA
umunya digunakan pada saat APS (Acute Pain Service) , Penaganan nyeri yang baik diharapkan
dapat meningkatkan kualitas dari hidup pasien itu sendiri .

DAFTAR PUSTAKA

Mangku G,Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. IndeksJakarta :
2010.
Yvonne Cheng, et al. Normal Labor and Delivery. 2012. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/260036-overview#aw2aab6b4. Access: 8 September
2014.
Victor M, Ropper AH. Pain. In Principle of Neurology. 7th ed. Mcgraw-Hill. 2000;44:70517.)
13.

Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif FK UI. Jakarta. 2001


6.

Gambling DR, Yu P, Cole C, McMorland GH, Palmer L. A comparative study of

patient controlled epidural analgesia (PCEA) and continuous infusion epidural analgesia
(CIEA) during labour. Can J Anaesth. 1988;35:249254. [PubMed]
7.

Olofsson C, Ekblom A, Ekman-Ordeberg G, Hjelm A, Irestedt L. Lack of analgesic

effect of systemically administered morphine or pethidine on labour pain. Br J Obstet


Gynaecol. 1996;103:968972. [PubMed]
8.

Leighton BL, Halpern SH. The effects of epidural analgesia on labor, maternal, and

neonatal outcomes: A systematic review. Am J Obstet Gynecol. 2002;186:S69S77.


[PubMed]
18.

Norris MC, Fogel ST, Conway-Long C. Combined spinal-epidural versus epidural

labor analgesia. Anesthesiology. 2001;95:913920. [PubMed]

Anda mungkin juga menyukai