Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

DEFINISI DAN PENATALAKSANAAN NYERI

Nyeri merupakam gabungan interaksi dari beberapa aspek yang terjadi pada
makhluk hidup. Aspek yang mencangkup yakni aspek sensoris, perilaku, serta
emosi. The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.
a. Nyeri akut merupakan nyeri dengan onset segera dan durasi yang
terbatas,memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera
atau penyakit.
b. Nyeri kronis merupakan nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang
lama. Nyeri kronis merupakan nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi
proses penyembuhan dan sering kali tidak diketahui penyebab yang pasti.

A. Klasifikasi Nyeri
a. Klasifikasi nyeri yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada 5 aksis,
yakni
 Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
 Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
 Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
 Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
 Aksis V : etiologi nyeri
b. Nyeri berdasarkan dari jenisnya dapat didefinisikan sebagai berikut
 Nyeri Nosiseptif  disebabkan oleh kerusakan jaringan baik somatik
maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak
langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari
jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
 Nyeri Neurogenik merupakan Nyeri yang didahului atau disebabkan
oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal ini
disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker
pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri
neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin
terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin
yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).
SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
 Nyeri Psikogenik merupakan rasa Nyeri yang berhubungan dengan
adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang
apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

B. Fisiologi Nyeri
Proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:
a. Tranduksi
Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi
aktifitas listrik pada ujungujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti
prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium,
histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan
anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C.
Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di
dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A
delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi
meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf
pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan
terbentuknya impuls nyeri.
b. Transmisi
Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C
serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta
dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke
sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang
berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran
diameter. Serat Adelta mempunyai diameter lebih besar dibanding
dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-
30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron
di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi
nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian
dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan
langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan
sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla
spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan
segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel
neuron di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan
peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala
akibatnya.
c. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA,
5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri
yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron
nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan
terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik
sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung
mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan,
maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan
sensibel nyeri.
d. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses
yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang
akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

C. Assesmen Nyeri
a. Numeric Rating Scale
 Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia 8 9 tahun
yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri
yang dirasakannya.
 Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang
dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0-10.
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4-6 : Nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-
hari)
7-10 : Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari

b. Wong Baker FACES Pain Scale


 Indikasi : Pada pasien (dewasa dan anak 8 3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen.
 Intruksi : pasien diminta untuk menunjuk atau memilih gambar mana
yang paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan
durasi nyeri.
0-1 : sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2-3 : sedikit nyeri
4-5 : cukup nyeri
6-7 : lumayan nyeri
8-9 : sangat nyeri
10 : amat sangat nyeri (tak tertahankan)

c. COMFORT scale
 Indikasi : pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang intensif/ kamar
operasi/ ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai menggunakan
numeric rating scale, wong baker FACES pain scale.
 Intruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1-5,
dengan skor total antara 9-45
 Mencangkup: kewaspadaan, ketenangan, distress pernafasan, menangis,
pergerakan, tonus otot, tegangan wajah, tekanan darah basal, dan
denyut jantung basal.

D. Farmakologi Nyeri
Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum
dalam pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan
pertimbangkan berikut:
- Bisakan pasien minum analgesik oral?
- Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik
cepat?
- Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan
dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
- Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri,
misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi


mengikuti ”WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu :
1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat
seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka
diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara
intermiten.
3. .Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah
opiat yang lebih kuat.

Daftar indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri berdasarkan derajat nyeri

E. Kelompok Obat Anestesi Lokal


Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase
depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada
daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom
sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang epidural
atau interatekal. Dosis maksimum aman dari penggunaan obat anestesi
lokal yakni:
Obat Maksimum untuk Maksimum untuk
infiltrasi lokal anestesi pleksus
Lidocain (ignocain) 3 mg/kg 4 mg/kg
Lidocain (ignocain) 5 mg/kg 7 mg/kg
dengan adrenalin
(epinefrin)
Bupivacaine 1,5 mg/kg 2 mg/kg
Bupivacaine dengan 2 mg/kg 3,5 mg/kg
adrenalin (epinefrin)
Prilocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
Prilocaine dengan 5 mg/kg 8 mb/kg
adrenalin (epinefrin)

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek
sinergistik. Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih
panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah obat yang
direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia lokal
tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan
analgesia tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan
analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti
infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan
analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Blok
saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa
jam atau hari jika digunakan teknik kateter.

Komplikasi yang bisa terjadi:


- Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal
hipotensi pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan
kelemahan otot yang menyertai blok saraf besar
- Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau
pemberian aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini
bermanifestasi mulai dari kebingungan ringan, sampai hilang
kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung.
- Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan
mediko-legal. Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.
Aikenhead AR, Moppett LK, Thompson JP. 2013. Smith & Aitkenhead’s
Textbook Of Anaesthesia. Sixth Edition. Churchill Livingstone Elsevier

Felicia Cox. 2009. Perioperative Pain Management. 1st Edition. Wiley-Blackwell


A John Wiley and Sons, Ltd, Publication

Schmidt RF, Wilis, WD. 2007. Encyclopedia Of Pain. Springer Reference.


Springer Berlin Heidelberg. New York

Anda mungkin juga menyukai