Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
(2)
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya . Nyeri
merupakan suatu perasaan atau pengalaman yang tidak nyaman baik secara
sensori maupun emosional yang dapat ditandai dengan kerusakan jaringan
ataupun tidak (International Association for Study of Pain, 1979). Perry dan
Potter menyatakan bahwa nyeri sering kali merupakan tanda yang
menyatakan ada sesuatu yang secara fisiologis terganggu yang menyebabkan
seseorang meminta pertolongan (13).
Nyeri juga merupakan masalah yang serius yang harus direspons dan di
intervensi dengan memberikan rasa nyaman, aman dan bahkan membebaskan
nyeri tersebut. Nyeri merupakan salah satu keluhan yang paling umum, serta
salah satu alasan paling umum bagi pasien untuk mencari bantuan medis.
Klasifikasi nyeri dapat dibagi sebagai berikut:
1. Berdasarkan Sumber Nyeri, yang terdiri dari:
a. Nyeri Nosiseptif, merupakan nyeri yang timbul akibat terangsangnya
nosiseptor oleh adanya kerusakan jaringan. Nyeri nosiseptif dibagi dua,
yaitu:
1) Nyeri somatik: nyeri yang berasal dari tulang, sendi, otot, kulit atau
jaringan penghubung. Biasanya kualitas nyeri ini ditunjukkan dari
nyeri yang dirasakan atau denyutan dan terlokalisasi dengan baik
2) Nyeri viseral: nyeri yang timbul dari organ dalam, seperti sistem
pencernaan dan pankreas.
b. Nyeri Neurogenik – Neuropatik, merupakan nyeri yang timbul akibat
gangguan pada jalur sensorik di semua tingkat mulai dari saraf tepi
sampai ke sistem saraf pusat.
c. Nyeri Psikogenik – Idiopatik, merupakan nyeri yang sumbernya tidak
terdeteksi. Nyeri ini timbul akibat pikiran si penderita sendiri. Nyeri ini
muncul karena faktor psikologis, bukan fisiologis.

2. Berdasarkan Kualitas, yang terdiri dari:


a. Nyeri ringan. Pada nyeri ringan, biasanya pasien secara obyektif dapat
berkomunikasi dengan baik.
b. Nyeri sedang. Pada nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikan
nyeri tersebut, dapat mengikuti perintah dengan baik.
c. Nyeri berat. Pada nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak
dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi nafas panjang.

3. Berdasarkan Lokasi atau letak, yang terdiri dari:


a. Radiating pain yaitu nyeri yang menyebar dari sumber nyeri ke
jaringan di dekatnya. Contohnya: cardiac pain.
b. Referred pain yaitu nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh tertentu
yang diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.
c. Intractable pain yaitu nyeri yang sangat susah dihilangkan. Contohnya:
nyeri kanker maligna.
d. Phantom pain yaitu sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang
hilang. Contohnya: bagian tubuh yang diamputasi.

4. Berdasarkan Gejala Klinik, yang terdiri dari:


a. Nyeri Akut
Nyeri akut dapat menjadi suatu proses fisiologis yang berguna sebagai
peringatan adanya kondisi penyakit individual dan situasi yang
berpotensi membahayakan. Nyeri akut akan ditangani dengan atau
tanpa pengobatan setelah jaringan yang rusak sembuh. Itu disebabkan
karena nyeri akut dapat diprediksi waktu penyembuhannya dan
penyebabnya dapat diidentifikasi (Potter dan Perry, 2010). Penyebab
umum dari nyeri akut seperti operasi, adanya penyakit akut, trauma,
persalinan dan tindakan medis.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas
bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini
bisa berlangsung terus sampai kematian. Sifat nyeri kronik yang tidak
dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali
mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri
kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah
tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Contoh dari nyeri
kronis adalah nyeri sekunder pada osteoarthritis.
Nyeri memiliki intensitas yang dinamakan intensitas nyeri. Intensitas nyeri
adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan
nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang
yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu
sendiri, namun pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan
gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (2).
(1)
Tipe Nyeri dan Skala Intensitas Nyeri, yaitu sebagai berikut :

Tabel II.1 Tipe Nyeri dan Skala Intensitas Nyeri

Skala Tipe Nyeri Keterangan Skala Intensitas Nyeri


10 Nyeri sangat berat Sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien
9
Sangat nyeri tapi masih dapat dikontrol oleh
8 Nyeri berat
klien dengan aktivitas yang bisa dilakukan
7
6 Nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
5 Nyeri sedang Nyeri seperti tertekan atau bergerak
4 Nyeri seperti kram atau kaku
3 Nyeri seperti perih atau mules
2 Nyeri ringan Nyeri seperti terpukul
1 Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan

B. Analgesik
Analgesik adalah obat yang selektif mengurangi rasa sakit dengan
bertindak dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri perifer, tanpa
(3)
secara signifikan mengubah kesadaran . Obat analgesik antipiretik serta
obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang
heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia, walaupun
demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi
maupun efek samping (15).
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgesik dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu kelompok non-narkotik yang bekerja pada saraf perifer dan
kelompok narkotik yang bekerja pada susunan saraf pusat.
1. Analgesik non-narkotik
Analgesik non-narkotik bersifat tidak adiktif dan kurang kuat
dibandingkan dengan analgesik narkotik. Obat-obat ini juga dinamakan
analgesik perifer, tidak menurunkan kesadaran dan tidak mengakibatkan
ketagihan secara kimiawi. Tujuan utama pengobatan dengan golongan ini
adalah meringankan rasa nyeri, yang seringkali merupakan gejala awal
yang terlihat dan keluhan utama yang terus-menerus dari pasien. Obat-
obatan ini digunakan untuk mengobati nyeri yang ringan sampai sedang
dan dapat dibeli bebas. Obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) merupakan
salah satu obat analgesik perifer yang banyak diresepkan dan juga
digunakan tanpa resep dokter. Secara umum AINS berpotensi
menyebabkan efek samping pada tiga sistem organ yaitu saluran cerna,
ginjal dan hati (16).
Beberapa contoh obat analgesik non-narkotik yang banyak dijumpai, yaitu:
a. Paracetamol
Paracetamol merupakan derivat para-aminofenol yang paling utama
digunakan. Paracetamol memiliki sifat analgesik dan antipiretik serta
aktivitas anti-inflamasi yang hampir tidak ada. Paracetamol digunakan
untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang dan kondisi demam
ringan. Paracetamol merupakan analgesik yang paling aman digunakan
pada wanita hamil, serta memiliki efek samping yang paling ringan.
Dosis lazim parasetamol untuk dewasa: 300 mg - 1 g per kali, dengan
maksimum 4 g per hari; untuk anak 6 - 12 tahun: 150 - 300 mg/kali,
dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1 - 6 tahun: 60 - 120 mg/kali
dan bayi di bawah 1 tahun: 60 mg/kali; pada keduanya diberikan
maksimum 6 kali sehari (16).
b. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik serta anti-inflamasi,
asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Asam
mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma sehingga interaksi
obat ini dengan antikoagulan harus diperhatikan. Dosis lazim asam
mefenamat adalah dengan dosis 2 - 3 kali 250 - 500 mg sehari (16).
c. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat. Obat ini bersifat
analgesik dengan efek anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama dengan aspirin. Ibuprofen terikat dengan protein
plasma. Obat ini tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui.
Dosis lazim ibuprofen adalah dengan dosis 4 kali 400 mg sehari (16).
d. Diklofenak
Diklofenak merupakan derivat dari asam fenilasetat. Diklofenak lebih
sering digunakan dalam bentuk garam natrium untuk menghilangkan
nyeri dan inflamasi pada berbagai kondisi. Obat ini tidak dianjurkan
pada wanita hamil. Dosis lazim diklofenak adalah dengan dosis orang
dewasa 100 - 150 mg sehari terbagi 2 atau 3 dosis (16).
e. Asam asetilsalisilat
Asam asetilsalisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin
adalah analgesik, antipiretik dan anti inflamasi yang luas digunakan dan
digolongkan dalam obat bebas. Aspirin digunakan untuk
menghilangkan rasa sakit ringan sampai sedang. Dosis lazim asam
asetilsalisilat adalah dengan dosis dewasa: 325 - 650 mg, diberikan
secara oral tiap 4 - jam (16).
f. Piroksikam
Piroksikam merupakan salah satu NSAID (Non Steroidal Anti
Inflamatory Drugs) dengan struktur baru yaitu oksikam. Piroksikam
telah digunakan dalam muskuloskeletal dan gangguan sendi dengan
kondisi yang menyakitkan dan peradangan kronis (Sweetman, 2009).
Obat ini tidak dianjurkan pada wanita hamil. Dosis lazim piroksikam
adalah dengan dosis 20 mg sehari (dosis tunggal). Dosis pemeliharaan:
10-20 mg sehari (16).

2. Analgesik narkotik
Analgesik narkotik atau analgesik opioid merupakan kelompok obat yang
memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Analgesik narkotik
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat
ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk
mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan
tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa
bahaya adiksi (16).
Beberapa contoh obat analgesik narkotik yang banyak dijumpai, yaitu:
a. Morfin
Morfin merupakan derivat dari fenantren. Efek analgesik morfin sangat
selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa
raba, rasa getar, penglihatan dan pendengaran. Morfin terutama
diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang
tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya
makin besar pula dosis yang diperlukan (16).
b. Kodein
Kodein merupakan derivat dari fenantren. Kodein adalah opioid yang
umum digunakan dalam pengobatan nyeri ringan sampai sedang.
Kodein sering dikombinasikan dengan produk analgesik lainnya
(misalnya asetaminofen) (16).
c. Tramadol
Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin untuk nyeri
ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri hebat atau kronik lebih lemah.
Ketergantungan fisik terhadap tramadol dan penyalahgunaan dilaporkan
dapat terjadi. Dosis maksimum per hari yang dianjurkan adalah 400 mg
(16)
.
d. Metadon
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi morfin. Metadon digunakan sebagai pengganti
morfin atau opioid lain (misalnya heroin) untuk mencegah atau
mengatasi gejala-gejala putus obat yang ditimbulkan oleh obat-obat
tersebut. Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat
dari yang ditimbulkan oleh morfin atau heroin, tetapi berlangsung lebih
lama dan timbulnya lebih lambat. Dosis analgesik metadon oral untuk
dewasa berkisar antara 2,5-15 mg, sedangkan dosis parenteral ialah 2,5-
10 mg (16).
e. Propoksifen
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi
propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi
kodein bersama asetosal. Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih
kecil kemungkinannya daripada terhadap kodein (16).

C. Pola Penggunaan Obat


Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia (10).
Penggunaan suatu obat dapat berpengaruh terhadap kualitas pengobatan,
pelayanan dan biaya pengobatan. Penggunaan obat merupakan tahap akhir
manajemen obat. Penggunaan obat atau pelayanan obat merupakan proses
kegiatan yang mencakup aspek teknis dan non teknis yang dikerjakan mulai
dari menerima resep dokter hingga penyerahan obat kepada pasien
(Widowati, 2014).
Dalam suatu unit pelayanan kesehatan, ketersediaan obat, mutu dan
ketepatan penggunaannya merupakan komponen utama yang menentukan
mutu pelayanan kesehatan. Hal tersebut juga memakan porsi biaya terbesar,
oleh karena itulah hasil guna dan daya guna pemakaian obat sudah
sepantasnya mendapat perhatian (Suryawati dkk., 1995).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan obat di pusat
pelayanan kesehatan cenderung berlebih. Terdapat dua penyebab utama
tingginya penggunaan obat di pelayanan kesehatan. Pertama, berkaitan
dengan keterbatasan pengetahuan petugas profesional kesehatan mengenai
bukti-bukti ilmiah terkini, sehingga tidak jarang tetap meresepkan obat yang
tidak diperlukan (misalnya antibiotika dan steroid untuk common cold).
Kedua, keyakinan dan perilaku pasien sangat berperan dalam penetapan jenis
obat yang diberikan.

D. Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan
kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada
masyarakat (WHO).
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
(9)
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat .
Berdasarkan Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
fungsi rumah sakit adalah (11):
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan
dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit Umum
dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan
jenis penyakit, sedangkan Rumah Sakit Khusus dimaksudkan untuk
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit
tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau
kekhususan lainnya.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri atas:
1. Rumah Sakit Umum kelas A
2. Rumah Sakit Umum kelas B
3. Rumah Sakit Umum kelas C
4. Rumah Sakit Umum kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D dapat dikalsifikasikan lagi menjadi:
a. Rumah Sakit Umum Kelas D
b. Rumah Sakit Umum Kelas D pratama
Klasifikasi Rumah Sakit Khusus terdiri atas:
1. Rumah Sakit Khusus kelas A
2. Rumah Sakit Khusus kelas B
3. Rumah Sakit Khusus kelas C.
Salah satu unit pelayanan yang mempunyai peranan yang sangat penting
didalamnya adalah unit pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian
adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit
(10)
. Seluruh kegiatan pelayanan rumah sakit ini dilakukan oleh Apoteker,
yang juga dibantu oleh beberapa Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian
(TTK) adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan
Analis Farmasi (10).

E. Pasien Rawat Jalan


Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis, menderita
penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter untuk memulihkannya
(Wikipedia, 2008). Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis, pasien adalah setiap
orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi (6).
Rawat Jalan menurut Feste (1989) yang dikutip oleh Azwar (1996),
pelayanan rawat jalan adalah salah satu bentuk dari pelayanan kedokteran.
Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat jalan adalah
pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat
inap (hospitalization). Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.560/MENKES/SK/IV/2003 tentang pola tarif perjan rumah sakit bahwa
rawat jalan adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan,
rehabilitasi medik dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa menginap di rumah
sakit (4).
Huffman (1994) menyatakan bahwa pelayanan rawat jalan adalah
pelayanan yang diberikan kepada pasien yang tidak mendapatkan pelayanan
rawat inap di rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan. Pelayanan rawat
jalan ini termasuk tidak hanya yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan
kesehatan yang telah lazim dikenal rumah sakit atau klinik, tetapi juga yang
diselenggarakan di rumah pasien (home care) serta di rumah perawatan
(nursing homes). Bentuk pertama dari pelayanan rawat jalan adalah yang
diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan rumah sakit (hospital
based ambulatory care). Jenis pelayanan rawat jalan di rumah sakit secara
umum dapat dibedakan atas empat macam, yaitu:
1. Pelayanan gawat darurat (emergency services) adalah untuk menangani
pasien yang butuh pertolongan segera dan mendadak.
2. Pelayanan rawat jalan paripurna (comprehensive hospital outpatient
services) adalah yang memberikan pelayanan kesehatan paripurna sesuai
dengan kebutuhan pasien.
3. Pelayanan rujukan (referral services) adalah hanya melayani pasien-pasien
rujukan oleh sarana kesehatan lain. Biasanya untuk diagnosis atau terapi,
sedangkan perawatan selanjutnya tetap ditangani oleh sarana kesehatan
yang merujuk.
4. Pelayanan bedah jalan (ambulatory surgery services) adalah memberikan
pelayanan bedah yang dipulangkan pada hari yang sama.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif Di
Rumah Sakit, bahwa pelayanan rawat jalan dibagi menjadi dua macam, yaitu
(7)
:
1. Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif adalah pemberian pelayanan kesehatan
rawat jalan non-reguler di rumah sakit yang diselenggarakan melalui
pelayanan dokter spesialis-subspesialis dalam satu fasilitas ruangan
terpadu secara khusus tanpa menginap di rumah sakit dengan sarana dan
prasarana di atas standar.
2. Pelayanan Rawat Jalan Reguler adalah pemberian pelayanan kesehatan
rawat jalan di rumah sakit yang diselenggarakan melalui pelayanan dokter
spesialis-subspesialis.

F. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak
(5)
yang memerlukan di rumah sakit .
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengolahan, penyajian, dan
pengawasan mutu data atau informasi obat dan keputusan profesional.
Penyediaan informasi obat meliputi tujuan, cara penyediaan, pengolahan, dan
pengawasan mutu data atau informasi obat (5).
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di apotek meliputi (5):
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan).
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi.
5. Melakukan penelitian penggunaan obat.
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
7. Melakukan program jaminan mutu.

Tujuan Pelayanan Informasi Obat ini adalah:


1. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi
kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
2. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga
kesehatan, dan pihak lain.
3. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat terutama bagi Panitia Farmasi dan
Terapi/Komite Farmasi dan Terapi (PFT/KFT).
Untuk dapat memberikan pelayanan informasi obat, Instalasi Farmasi
Rumah Sakit perlu mengakses lingkungan disekitarnya termasuk ketersediaan
berbagai sumber daya.
Sumber Daya, meliputi (5):
1. Tenaga kesehatan
Dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan lain di rumah
sakit.
2. Pustaka
Terdiri dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan Farmakope.
3. Sarana
Fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet dan perpustakaan.
4. Prasarana
Industri farmasi, Badan POM, Pusat Informasi Obat, Pendidikan tinggi
farmasi, Organisasi profesi (dokter, apoteker dan lain lain).

Metode untuk menentukan Pelayanan Informasi Obat, yaitu (5):


1. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on
call disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
2. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang di
luar jam kerja dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas
jaga.
3. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak
ada pelayanan informasi obat diluar jam kerja.
4. Tidak ada petugas khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua
apoteker instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja.
5. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua
apoteker instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi
obat di luar jam kerja.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan
formulir sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi Pelayanan Informasi
Obat:
1. Topik Pertanyaan
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon)
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium)
5. Uraian pertanyaan
6. Jawaban pertanyaan
7. Referensi
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data apoteker
yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.
Terdapat Three Prime Questions dalam Pelayanan Informasi Obat ini,
dimana Three Prime Questions merupakan salah satu cara pelayanan
informasi obat yang dilakukan oleh seorang apoteker maupun tenaga teknis
kefarmasian dibawah pemantauan oleh apoteker supervisi yang bertujuan
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, mencegah
terjadinya kesalahan penggunaan obat, serta membuat pengobatan menjadi
efektif. Tiga pertanyaan utama (Three Prime Questions) tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
2. Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat ini?
3. Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?

Anda mungkin juga menyukai