Anda di halaman 1dari 9

MATERI PKRS

MANAJEMEN NYERI AKUT PASCA OPERASI

DEFINISI

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan
suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif
(aspek emosional dan psikologis). Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious
akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri
tipe ini berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut
akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju
proses penyembuhan (Wardani, 2014) .

Nyeri pasca operasi didefinisikan sebagai nyeri yang dialami setelah intervensi bedah.
Kedua faktor pra operasi, perioperatif, dan paska operasi mempengaruhi pengalaman nyeri.
Nyeri ini masuk dalam klasifikasi nyeri akut nosisepetif. Nyeri akut yaitu nyeri yang terjadi
dalam periode waktu yang singkat, biasanya 3 bulan atau kurang, dan biasanya bersifat
intermitten (sesekali) tidak konsisten. Nyeri akut berasal dari cara normal sistem saraf
memproses trauma pada kulit, otot, dan organ viseral. Istilah lain untuk nyeri akut adalah nyeri
nosiseptif. Nyeri akut dapat mengancam proses pemulihan seseorang yang berakibat pada
bertambahnya waktu rawat, peningkatan resiko komplikasi karena imobilisasi, dan tertundanya
proses rehabilitasi (Hidayatulloh, Limbong, & Ibrahim, 2020).

KLASIFIKASI NYERI

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Nyeri akut.
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan
adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan
midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat
berupa:
1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
b. Nyeri kronik.
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas otonom kecuali
serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah 5
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:

a. Nyeri ringan ( skala 0-3 )adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari
dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang ( skala 4-6 ) nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila
penderita tidur.
c. Nyeri berat ( skala 7-10 ) adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.

PATOFISIOLOGI

Tindakan operasi, seperti pemotongan atau peregangan jaringan mengakibatkan trauma


dan inflamasi pada jaringan sekitar, sehingga menimbulkan stimulus nosiseptif yang merangsang
reseptor nosiseptif. Pada reseptor nosiseptif, stimulus tersebut ditransduksi menjadi impuls
melalui serat aferen primer c-fiber dan aδ-fiber, kemudian diteruskan ke medula spinalis. Neuron
aferen primer bersinaps dengan neuron aferen sekunder di kornu dorsalis medula spinalis dan
diteruskan ke pusat, yaitu korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi lainnya, melalui jalur
spinotalamikus kontralateral dan spinoretikularis. Impuls tersebut diproses oleh pusat dengan
mekanisme yang kompleks menjadi pengalaman nyeri.

Pada saat terjadi respons inflamasi, mediator inflamasi, seperti sitokin, bradikinin, dan
prostaglandin, dilepaskan pada jaringan yang mengalami kerusakan, akibatnya nyeri nosiseptif
dirasakan. Selain itu, respons inflamasi menyebabkan terjadinya perubahan plastisitas reversibel
pada reseptor nosiseptor yang membuat ambang rangsang reseptor nosiseptor menurun. Hal
tersebut menyebabkan sensitivitas terhadap nyeri meningkat pada daerah yang mengalami
kerusakan jaringan, sehingga rangsangan ringan saja dapat menimbulkan rasa sakit. Proses
tersebut dikenal sebagai sensitisasi perifer dengan tujuan membantu proses penyembuhan dengan
cara melindungi daerah yang mengalami kerusakan jaringan, sehingga terjadinya perbaikan.
Sensitisasi tersebut akan hilang saat mediator-mediator inflamasi berhenti diproduksi, yaitu pada
saat jaringan rusak mengalami penyembuhan.

Sistem saraf pusat juga mengalami plastisitas sebagai respons terhadap nyeri yang
membuat transmisi sinyal nyeri di medula spinalis mengalami peningkatan. Plastisitas tersebut
meningkatkan eksitabilitas neuron pada sistem saraf pusat. Mekanisme tersebut dikenal sebagai
sensitisasi pusat. Secara klinis, hal ini menyebabkan peningkatan respons nyeri pada stimulus
nosiseptif (hiperalgesia) dan nyeri yang timbul dengan rangsangan non-nosiseptif (alodinia).
Selain itu, juga terjadi wind-up, potensiasi jangka panjang, dan hiperalgesia sekunder yang
berhubungan dengan sensitisasi sentral. Wind-up terjadi akibat dari pengaktifan c-fiber berulang
dari aktivasi reseptor NMDA. Reseptor NMDA menjadi aktif disebabkan oleh adanya
rangsangan nosiseptif yang membuat reseptor tersebut tidak dihambat oleh ion magnesium. Hal
tersebut mengakibatkan respons pada neuron aferen sekunder terhadap nyeri mengalami
amplifikasi dan respons dari neuron aferen sekunder bertahan lebih lama yang disebut potensiasi
jangka panjang. Potensiasi jangka panjang memiliki peranan dalam timbulnya hiperalgesia di
luar daerah inflamasi, yang disebut juga sebagai hiperalges ia sekunder. Kerusakan saraf juga
memiliki peranan dalam terjadinya nyeri kronis pasca operasi. Plastisitas dari kerusakan saraf
memicu timbulnya ectopic discharge, yang dapat memicu terjadinya nyeri spontan pada area
yang dipersarafi oleh saraf yang mengalami kerusakan maupun saraf yang berada di sekitar saraf
yang mengalami kerusakan tersebut. Dengan demikian, terjadi peningkatan input nosiseptif ke
kornu dorsalis medula spinalis yang berdampak timbulnya sensitisasi pusat.

Dari pembahasan tersebut diketahui bahwa sensitisasi pusat memiliki peran penting untuk
menimbulkan nyeri kronis, sehingga diperlukan pencegahan dari nyeri kronis berupa intervensi
non farmakologi dan farmakologi (Suseno, 2017).
PENGUKURAN INTENSITAS NYERI

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang
relatif sulit. Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri,
antara lain (Vadivelu, Urman, & Hines, 2011) :

1. Verbal Rating Scale (VRSs)

Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan
karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat
digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai
tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:

- tidak nyeri (none)

- nyeri ringan (mild)

- nyeri sedang (moderate)

- nyeri berat (severe)

- nyeri sangat berat (very severe)

Singkatan Pertanyaan

P : provokes, Apa yang menyebabkan rasa sakit/nyeri; apakah ada hal yang
palliative menyebabkan kondisi memburuk/membaik; apa yang dilakukan jika
(penyebab) sakit/nyeri timbul; apakah nyeri ini sampai mengganggu tidur.

Q : quality Bisakah anda menjelaskan rasa sakit/nyeri; apakah rasanya tajam, nyeri
(kualitas) seperti diremas, menekan, membakar, nyeri berat, kolik, kaku atau seperti
ditusuk (biarkan pasien menjelaskan kondisi ini dengan kata-katanya).

R : Radiates Apakah rasa sakitnya menyebar atau berfokus pada satu titik.
(penyebaran)

S : severety Seperti apa rasa sakit yang dirasakan; nilai nyeri dalam skala 1-10 dengan
(keparahan) 0 berarti tidak sakit dan 10 yang paling sakit. Cara lain adalah
menggunakan skala FACES untuk pasien anak-anak lebih dari 3 tahun
atau pasien dengan kesulitan bicara
Singkatan Pertanyaan

T : time (waktu) Kapan sakit mulai muncul; apakah munculnya perlahan atau tiba-tiba;
apakah nyeri muncul secara terus-menerus atau kadang-kadang; apakah
pasien pernah mengalami nyeri seperti ini sebelumnya. apabila "iya"
apakah nyeri yang muncul merupakan nyeri yang sama atau berbeda.

2. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas


nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari
angka 0-10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan
nyeri yang hebat.

Gambar 2.7. Numeric pain intensity scale719

Keterangan :

0 : tidak nyeri

1-3 : nyeri ringan ( secara objektif pasien mampu berkomunikasi dengan baik)

4-6 :nyeri sedang secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat


menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti
perintah dengan baik

7-9 : nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapinmasih respon terhadap tindakan dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat
mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan posisi alih napas panjang
dan distrkasi.

10 Pasien sudah tidak mampu berkomunikasi, memukul

3. The Faces Pain Scale

Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 2.9. Faces Pain Scale7

PENATALAKSANAAN NYERI SECARA NON FARMAKOLOGI

a. Stimulasi dan masase kutaneus.

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada
punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik repository.unimus.ac.id menstimulasi
reseptor tidak nyeri pada bagian yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat
mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden. Masase dapat membuat pasien
lebih nyaman karena menyebabkan relaksasi otot (Smeltzer dan Bare, 2010).

b. Terapi es dan panas

Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri


dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan
kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Baik
terapi es maupun terapi panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan
cermat untuk menghindari cedera kulit (Smeltzer dan Bare, 2010).
c. Trancutaneus electric nerve stimulation

Trancutaneus electric nerve stimulation (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh
baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi
kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. TENS dapat digunakan baik
untuk nyeri akut maupun nyeri kronis (Smeltzer dan Bare, 2010).

d. Distraksi

Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri
dapat menjadi strategi yang berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap repository.unimus.ac.id teknik kognitif efektif lainnya.
Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada
nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi
diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak (Smeltzer
dan Bare, 2002). Pada saat dirawat di rumah sakit, pasien akan mengalami berbagai
perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan
nyeri. Untuk itu, dengan melakukan tehnik distraksi dengan melakukan permainan pada
pasien anak (bemain puzzle) maka akan terlepas dari ketegangan dan stress yang
dialaminya. Karena dengan melakukan permainan, pasien akan dapat mengalihkan rasa
sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan
permainan. Dengan demikian, permainan adalah media komunikasi antar anak dengan
orang lain, termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan dirumah sakit. Perawat
dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi nonverbal yang ditunjukkan
selama melakukan permainan atau melalui interaksi yang ditunjukkan anak dengan
orang tua dan teman kelompok bermainnya (Smeltzer dan Bare, 2010).

e. Teknik relaksasi

Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan


ketegangan otot yang menunjang nyeri. Hampir semua orang dengan nyeri kronis
mendapatkan manfaat dari metode relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat
membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri
kronis dan yang meningkatkan nyeri (Smeltzer dan Bare, 2010).
f. Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah mengggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi
terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan
napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan
(Smeltzer dan Bare, 2010).

g. Hipnosis

Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang
dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Keefektifan hipnosis tergantung pada
kemudahan hipnotik individu (Smeltzer dan Bare, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Hidayatulloh, A. I., Limbong, E. O., & Ibrahim, K. I. (2020). PENGALAMAN DAN


MANAJEMEN NYERI PASIEN PASCA OPERASI DI RUANG KEMUNING V RSUP
Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG : STUDI KASUS. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan
Kebidanan, 11(2), 187. https://doi.org/10.26751/jikk.v11i2.795

Suseno, E. (2017). Pencegahan nyeri kronis pasca operasi. Majalah Kedokteran Andalas, 40(1),
40. https://doi.org/10.22338/mka.v40.i1.p40-51.2017

Smeltzer, S.C, &Bare Brenda, B.G. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol 3
(8thed.).Jakarta : EGC

Vadivelu, N., Urman, R. D., & Hines, R. L. (2011). Anatomic and physiologic principles of pain.
In Essentials of Pain Management. https://doi.org/10.1007/978-0-387-87579-8_3

Wardani, N. P. (2014). Manajemen Nyeri Akut. Manajemen Nyeri Akut, 57–69. Retrieved from
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7a7e6ab189e88b456637b8a831bdec
07.pdf

Anda mungkin juga menyukai