Anda di halaman 1dari 6

1.

Pedahuluan

2. Anatomi dan fisiologi nyeri

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses berikut yaitu nosisepsi,


sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.
Antara stimulus jaringan dengan subjektif nyeri terdapat empat proses yang
terdiri dari: (Butterworth, J.F., dkk, 2018)

a) Transduksi adalah suatu proses yang akhir dari saraf aferen akan
menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-
delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non
noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor.
Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses
transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap
stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
b) Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis
medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron
aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan
kimiawi. Kemudian aksonnya akan berakhir di kornu dorsalis medula spinalis
dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.
c) Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending yang berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan
area otak lainnya ke bagian otak tengah (midbrain) dan medula oblongata,
selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini
adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu
dorsalis.
d) Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri sebelumnya. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri
disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang
bermyelin dan ada juga yang tidak bermyelin dari syaraf aferen.

3. definisi nyeri

4. Klasifikasi

5. patofisiologi nyeri
Nyeri Kronis
Nyeri kronis dapat disebabkan oleh kombinasi antara mekanisme perifer, sentral,
dan psikologis. Sensitisasi nosiseptor memainkan peran utama dalam asal mula nyeri
yang terkait dengan mekanisme perifer, seperti gangguan muskuloskeletal dan viseral
yang kronis. Nyeri neuropatik melibatkan mekanisme saraf perifer-sentral dan sentral
yang kompleks dan umumnya terkait dengan lesi parsial atau komplit saraf perifer,
ganglia akar dorsal, akar saraf, atau lebih banyak struktur sentral.
Mekanisme periferal meliputi pelepasan spontan, sensitisasi reseptor (terhadap
rangsangan mekanik, termal, dan kimia), dan peningkatan pengaturan reseptor
adrenergik. Peradangan saraf juga dapat terjadi. Administrasi sistemik anestesi lokal
dan antikonvulsan telah terbukti menekan penembakan spontan neuron yang peka
atau trauma, dan pengamatan laboratorium ini diperkuat oleh efikasi klinis agen
seperti lidocaine, mexiletine, dan carbamazepine pada banyak pasien dengan nyeri
neuropatik. Mekanisme sentral termasuk hilangnya hambatan segmental, Wide
Dynamic Range (WDR) neuron, pelepasan spontan pada neuron yang mengalami
dekonsentrasi, dan reorganisasi koneksi saraf.
Peran utama dalam nyeri kronis adalah sistem saraf simpatik. Gangguan yang
dapat menyakitkan yang sering merespon terjadinya blok simpatis seperti CRPS,
sindrom deafferentasi atau dekonsentrasi karena avulsi atau amputasi saraf, dan
postherpetic neuralgia. Namun, teori sederhana dari aktivitas simpatis yang
meningkat yang mengakibatkan vasokonstriksi, edema, dan hiperalgesia gagal terjadi
pada fase inflamasi. Mekanisme psikologis atau faktor lingkungan dapat menjadi
salah satu mekanisme untuk nyeri kronis namun jarang. (Butterworth, J.F., dkk, 2018)

Respon Sistemik terhadap Nyeri


 Respon Sistemik terhadap Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya dikaitkan dengan respon stres neuroendokrin sistemik yang
sebanding dengan intensitas nyeri. Tungkai eferen dimediasi oleh sistem saraf dan
endokrin yang simpatik. Aktivasi simpatis meningkatkan tonus simpatis eferen ke
semua visera dan melepaskan katekolamin dari medula adrenal. Respons hormonal
dihasilkan dari peningkatan nada simpatik dan dari refleks yang dimediasi
hipotalamus. Nyeri akut sedang sampai berat, terlepas dari lokasi, dapat memengaruhi
morbiditas, mortalitas, dan masa pemulihan. (Butterworth, J.F., dkk, 2018)

A. Efek Kardiovaskular
Efek kardiovaskular dari nyeri akut seperti hipertensi, takikardia, peningkatan
iritabilitas miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik. Output
jantung meningkat pada sebagian besar pasien normal tetapi dapat menurun pada
pasien dengan fungsi ventrikel terganggu. Karena peningkatan miokard kebutuhan
oksigen, nyeri dapat memperburuk atau memicu iskemia miokard.
B. Efek Respirasi
Peningkatan konsumsi oksigen total tubuh dan produksi karbon dioksida
mengharuskan peningkatan ventilasi menit yang bersamaan. Yang terakhir
meningkatkan kerja pernapasan, terutama pada pasien dengan penyakit paru yang
mendasarinya. Nyeri karena untuk insisi abdomen atau toraks lebih lanjut
mengganggu fungsi paru karena menjaga (splinting). Gerakan dinding dada yang
berkurang, berkurangnya volume tidal dan kapasitas residual fungsional,
mempromosikan atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan, lebih jarang
pada hipoventilasi. Pengurangan kapasitas vital mengganggu batuk dan pembersihan
sekresi.
C. Efek Gastrointestinal dan Urinary
Peran simpatik yang ditingkatkan meningkatkan fungsi sfingter dan mengurangi
motalitas usus dan motilitas kandung kemih, mempromosikan ileus dan retensi urin.
Hipersekresi asam lambung dapat meningkatkan ulserasi stres. Mual, muntah, dan
sembelit itu biasa. Selain itu, opioid sistemik digunakan untuk mengobati nyeri pasca
operasi (dan juga diberikan sebagai komponen anestesi operatif) adalah penyebab
umum dari ileus pasca operasi dan retensi urin.
D. Efek Endokrin
Stres meningkatkan pelepasan hormon katabolik (katekolamin, kortisol, dan
glukagon) dan menghambat pelepasan hormon anabolik (insulin dan testosteron).
Pasien mengembangkan keseimbangan nitrogen negatif, intoleransi karbohidrat, dan
peningkatan lipolisis. Peningkatan kortisol, renin, angiotensin, aldosteron, dan
Hormon antidiuretik menghasilkan retensi natrium, retensi air, dan sekunder perluasan
ruang ekstraseluler.
E. Efek Hematologi
Respon stres neuroendokrin terhadap nyeri akut dapat meningkatkan trombosit
daya rekat, mengurangi fibrinolisis, dan meningkatkan keadaan hiperkoagulabilitas.
F. Efek Imunitas
Respon stres neuroendokrin menghasilkan leukositosis dan dapat menjadi
predisposisi pasien untuk infeksi. Memburuk intoleransi karbohidrat dengan
berkelanjutan hiperglikemia juga meningkatkan risiko infeksi. Terkait dengan stres
imunodepresi dapat meningkatkan pertumbuhan tumor dan metastasis.
G. Efek Psikologi
Kecemasan dan gangguan tidur adalah reaksi umum terhadap nyeri akut. Dengan
durasi rasa sakit yang berkepanjangan, sering juga mengalami depresi. Beberapa
pasien bereaksi dengan frustrasi dan kemarahan yang mungkin diarahkan pada
keluarga, teman, dan para staf medis.

 Respon Sistemik terhadap Nyeri Kronis


Respon stres neuroendokrin dalam pengaturan nyeri kronis umumnya hanya
diamati pada pasien dengan nyeri berulang yang parah karena mekanisme perifer
(nosiseptif) dan pada pasien dengan mekanisme sentral yang menonjol seperti nyeri
yang berhubungan dengan paraplegia. Ini dilemahkan atau tidak ada pada sebagian
besar pasien dengan nyeri kronis. Gangguan tidur dan afektif, khususnya depresi,
seringkali menonjol. Banyak pasien juga mengalami penurunan atau peningkatan
nafsu makan dan tekanan psikologis yang signifikan terkait dengan hubungan sosial.
(Butterworth, J.F., dkk, 2018)

6. clinical assesment

7. penatalaksanaan nyeri :
Analgesik
a. NSAID
b. Acetaminofen/paracetamol
c. Opioid

Co-Analgesik
a. anti konvulsan
Gabapentin berikatan dengan subunit saluran kalsium yang bergantung pada
tegangan presinaptik. Reaksi pengikatan mengurangi pelepasan pemancar pra-
sinaptik. Sebagai akibatnya, efek analgesik terjadi. Pregabalin memberikan efek
analgesik dengan berinteraksi dengan saluran kalsium tipe-N khusus dan mengatur
pelepasan neurotransmitter. Sehubungan dengan terapi nyeri, indikasi utama
antikonvulsan adalah menembak nyeri neuropatik (misalnya Trigeminal neuralgia,
postherpetic, dan neuralgia lainnya). (Argoff, C.E., dkk, 2018)
Carbamazepine (Tegretol) sangat efektif tetapi harus dimulai dengan dosis rendah
100 mg pada waktu tidur dan kemudian secara bertahap meningkat menjadi 100-400
mg tiga kali per hari tergantung pada respon klinis dan kadar darah. Phenytoin sodium
(Dilantin), 100 mg dua kali per hari hingga empat kali per hari, atau divalproex
sodium (Depakote), 250-500 mg dua kali per hari hingga empat kali per hari.
Tergantung pada pengurangan gejala atau tingkat darah dalam tubuh, dapat digunakan
sebagai pengganti carbamazepine. Clonazepam (Klonopin), dimulai dengan setengah
tablet 0,5 mg pada waktu tidur dan meningkat menjadi 1-2 mg dan kadang-kadang
hingga 5-10 mg per hari juga efektif. Gabapentin (Neurontin) adalah antikonvulsan
baru yang juga menjanjikan dalam pengobatan nyeri neuropatik. (Ballantyne, J.C.,
dkk, 2019)
b.
b.anti depresan
c. muscle relaxant
d. steroid
e. anestesi local

8. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai