Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ANALGESIK
dan
TATALAKSANA NYERI

Disusun oleh :
KARUNITA YUSUF
2004730038

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIA


RUMAH SAKIT ISLAM CEMPAKA PUTIH JAKARTA PUSAT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2009
Page 1 of 21

LE M B AR PE N G E S AH AN

REFERAT berjudul :

ANALGESIK
DAN
TATALAKSANA NYERI

Disetujui oleh Pembimbing Klinik


Tanggal

: .................................

Paraf

.................................

.................................

Pembimbing Klinik
Dr. Malayanti, Sp. An
Dr. Agus Jaya, Sp. An

Page 2 of 21

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim..
Puji dan syukur ke-hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah,
dan Karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Analgesik
dan Tatalaksana Nyeri.
Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti ujian di
kepaniteraan klinik bagian ilmu Anestesi tahun ajaran 2009, Rumah Sakit Islam Cempaka
Putih Jakarta Pusat.
Ucapan terima kasih kepada dr. Malayanti, Sp.An dan dr. Agus Jaya, Sp.An, selaku
koordinator dan para pembimbing klinik baik dari fakultas maupun dari Rumah Sakit Islam
beserta paramedis yang telah banyak membantu dan membimbing dalam aktivitas
kepaniteraan di bagian Anestesia.
Penulis berharap Referat ini dapat menjadi salah satu literatur yang bermanfaat untuk
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai ilmu kesehatan dan kedokteran.
Akhir kata, Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang konstruktif dapat
menjadi masukan untuk kesempurnaan Referat ini. Semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan Rahmat-Nya dalam bentuk ilmu yang bermanfaat untuk kemaslahatan.

Jakarta, Januari 2009

Penulis

Page 3 of 21

BAB I
TATALAKSANA NYERI
Pada umumnya penyakit pada tubuh menimbulkan rasa nyeri. Menurut The
International Association for the Study of Pain, nyeri merupakan pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara actual
dan potensial. Rasa nyeri terutama merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Rasa nyeri
timbul bila ada jaringan yang rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan
cara memindahkan stimulus nyeri. Bahkan aktivitas ringan saja, misalnya duduk dengan
bertopang dengan tilang iskhia dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan
jaringan, sebab aliran darah yang ke kulit berkurang akibat tertekannya kulit oleh berat
badan. Bila kulit menjadi nyeri akibat iskemia, maka secara tak sadar orang itu akan
mengubah posisinya. Tapi, penderita yang telah mengalami kecelakaan pada medulla
spinalis, tak akan merasakan nyeri, sehingga tidak akan mengubah posisinya. Akhirnya,
keadaan ini akan menimbulkan ulserasi pada daerah yang tertekan.
PEMBAGIAN NYERI
1. Nyeri akut
1.1 Nyeri somatic luar
Nyeri tajam di kulit, subcutis, dan mukosa
1.2 Nyeri somatic dalam
Nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, dan jaringan ikat
1.3 Nyeri visceral
Nyeri karena penyakit atau disfungsi penyakit dalam
2. Nyeri kronik
Sangat subyektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lainnya.
Menurut kualitasnya, rasa nyeri dapat di bagi menjadi dua :
a. Rasa nyeri cepat (fast pain)

Page 4 of 21

Nyeri ini singkat dan tempatnya sesuai dengan rangsang yang diberikan, misalnya nyeri
tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf kecil bermielin jenis Adelta dengan kecepatan konduksi 12-30 meter/detik.
b. Rasa nyeri lambat
Nyeri ini sulit dilokalisir dan tidak ada hubungan dengan rangsangan, misalnya rasa
terbakar, rasa berdenyut, atau rasa ngilu, linu. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf
primitive tak bermielin jenis C dengan kecepatan konduksi 0,5-2 meter/detik.
Bila diberikan stimulus nyeri, makan rasa nyeri cepat akan timbul dalam waktu kirakira 0,1 detik. Sedangkan rasa nyeri lambat timbul dalam waktu lebih dari satu detik atau
lebih dan kemudian secara perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadangkala
beberapa menit.
Rasa nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak nama pengganti, seperti rasa nyeri
tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, dan rasa nyeri elektrik. Jenis rasa nyeri seperti ini
akan terasa bila sebuah jarum ditusukkan ke dalam kulit, atau bila kulit terbakar secara
akut. Rasa nyeri ini juga akan terasa bila subjek mendapat syok elektrik.
Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan, seperti rasa nyeri
terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut-denyut, nyeri mual, dan nyeri kronik. Jenis
rasa nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri dapat berlangsung
lama, menyakitkan dan dapat menjadi penderitaan yang tak tertahankan.

BAB II
Page 5 of 21

ANALGESIK NON OPIOID

Cyclooxygenase COX-1 dan COX-2


Cyclooxygenase adalah hemeprotein yang terikat membran, fungsi ganda dan
intraselular yang mengadakan katalisir bi-oksigenasi asam arakidonat menjadi prostaglandin
G2 dan direduksi jadi prostaglandin H2, jadi memacu jalur prostanoid dari kaskade asam
arakidonat. Transformasi prostaglandin H2 akan membentuk banyak macam prostaglandin
dan tromboksan termasuk prostaglandin yang diperlukan untuk menimbulkan fungsi yang
benar dari beberapa sistem dan organ, misalnya: proteksi mukosa lambung, fungsi renal,
homeostasis vaskular (prostaglandin J2 atau prostacyclin), kontraksi otot polos, kelahiran dan
agregasi

platelet.

Penemuan dua bentuk enzim constitutive cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible


cyclooxygenase-2 (COX-2) dapat menimbulkan berbagai faktor seperti endotoksin bakterial
(lipopoly saccharide), interleukin-1, phorbol esters dan mitogen lain yang hanya terdapat
dalam sel inflamasi yang dirangsang. NSAID dapat digolongkan pada non-selective inhibitor
COX-1 dan COX-2 dan inhibitor selektif COX-2 dengan potensi rasio COX-2/COX-1, yang
menunjukkan selektif inhibitor COX-2 dengan potensi rasio lebih besar dari 10 didapat pada:
nimesulide, flufenasin, asam nifumik, asam mefenamat. NSAID dengan COX-1 selektif
dengan potensi rasio sampai 100 ialah indometasin, tolmetin, piroksikam.
COX-1 bertanggung jawab terhadap produksi prostaglandin yang diperlukan untuk
hemostasis normal, fungsi lambung dan ginjal. COX-2 akan menghindari terjadinya efek
toksik terhadap sintesa prostaglandin di lambung, sintesa prostasiklin endotelial (resiko
pendarahan).
Sebaliknya inhibitor spesifik COX-2 seperti rofecoxib yang berkerjanya terlalu
berlebihan(power full) ke COX-2, perlu waspada penggunaannya pada penderita hipertensi
dan kegagalan jantung kongestif (congestive heart failure) karena hambatan yang kuat
terhadap PGI2 (prostasiklin) menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan tromboksanA pada COX-1 tidak dihambat sama sekali, sehingga tidak punya daya anti trombotik yang
diperlukan pada penderita dengan venous trombosis jantung. Resiko lebih banyak pada

Page 6 of 21

penderita yang mendapat rofecoxib dibanding dengan pemberian naproksen. (Rafael, R.,
Castilla, 2001)
Nimesulide merupakan inhibitor selektif COX-2, dimana penghambatan pada COX-2
tidak power full sehingga tidak mengganggu fungsi fisiologis pada prostasilin (PGI2) pada
COX-2 yang berfungsi sebagai vasodilator dan antiagregasi. Dan Aulin masih sedikit
menghambat tromboxan (TXA2) pada COX-1 sehingga tidak menyebabkan terjadinya
aggregasi trombosit.(Shah, 1999)
Nimesulide, telah dilakukan penelitian, ternyata tidak mempengaruhi haemostasis
system cardiovascular seperti waktu perdarahan, factor koagulasi darah, factor von
Willebrand dan factor agregasi platelet (GA Marbet, 1998).
Menurut penelitian Cohort, terbukti bahwa insiden terjadinya risiko hepatotoksik dan
kelainan hepar pada obat-obatan NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs) termasuk
Nimesulide adalah tidak ada perbedaan dan insidennya sangat kecil, (British Medical
Journal, 2003).
NSAID suatu bahan aktif secara farmakologi tidak homogen terutama bekerja
menghambat produksi prostaglandin dan digunakan untuk perawatan nyeri akut dan kronik.
Obat-obat tersebut ditandai dengan sifatnya mampu mengurangi nyeri, panas dan inflamasi
dan disertai gangguan inflamasi nyeri dan lainnya. Obat-obat tersebut meliputi salisilat
(acetyl salicylic acid, diflunisal, benoxylate) derivat antharanilic acid (mefenamic acid,
meclofenamic acid, flufenamic acid, niflumic acid), derivat phenylpropionac acid
(fenoprofen, ibuprofen, naproxen, ketoprofen, flurbiprofen, finbufen, tiaprofenic acid),
indoles (indomethacin, ketorolac, sulindac, tolometin, etodolac), oxicams (piroxicam,
tenoxicam meloxicam) da derivat acetic acid (diclofenac, alclofenac). NSAID ini termasuk
non selektif menghambat enzim cyclooxygenase COX-1 dan COX-2 yang memicu asam
arakidonat untuk mensintesis proinflamatori prostaglandin E2 (PGE2), namun mempunyai
efek samping akibat kurangnya prostaglandin di lambung menimbulkan iritasi dan ulserasi.
NSAID dengan selektif inhibitor COX-2 menghambat cyclooxygenase yang terdapat
pada sel inflamasi juga bahan-bahan yang menimbulkan inflamasi. NSAID tersebut antara
lain diaryl substituted furanones (rofecoxib), diaryl substituted pyrazoles (celecoxib), indole
acetic acids (etodolac) dan sulfonanilides (nimesulide), lihat tabel (Goodman and Gillman,
Page 7 of 21

2001).

A. INFLAMASI
Inflamasi merupakan proses yang sangat kompleks yang meliputi ikut sertanya
aktifitas banyak tipe sel dan mediator. Secara normal cidera jaringan atau adanya bahan
asing menjadi pemicu kejadian yang mengikut sertakan partisipasi dari enzim, mediator,
cairan ekstravasasi, migrasi sel, kerusakan jaringan dan mekanisme penyembuhan. Hal
tersebut menimbulkan tanda inflamasi berupa: kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri
dan hilangnya fungsi. Rangsangan yang menimbulkan inflamasi sangat berbeda-beda
tetapi prosesnya diperantarai oleh sejumlah mediator, termasuk: prostaglandin,
leukotrien, interleukin, oksigen radikal bebas dan oksidan lain (nitric oxide, kloramin,
asam hipoklorus) yang secara langsung dapat menimbulkan kerusakan jaringan, inaktifasi
dari inhibitor protease, misalnya: a1-antitrypsin, inhibitor spesifik dari elastase neutrofil,
dapat merusak matriks jaringan ikat. Bahan-bahan tersebut dihasilkan oleh sel inflamasi
yang meliputi polymorphonuclear leucocytes (neutrofils, easinofils, basofils), sel endotel,
sel mast, makrofag (monosit dan limfosit). Rangsangan lain untuk terjadinya inflamasi
termasuk histamin, kejadian imunologik, faktor kemotaktik, dan lain-lain.

Prostanoid termasuk prostaglandin, thromboxanes dan leukotriens merupakan


mediator lipid yang disalurkan lewat membran fosfolipid oleh kerja beberapa enzim
antara lain fosfolipase A2, cyclooxygenase, lipoxygenase dan enzim spesifik untuk
sintesis prostanoid tertentu. Prostaglandin hasil dari jalur cyclooxygenase merubah asam
arakidonat menjadi autocoid melibatkan fase proses inflamasi, reaksi panas dan nyeri dan
fungsi fisiologis termasuk mobilitas intestinal, agregasi platelet, tonus vaskular, fungsi
renal, sekresi lambung, integritas mukosa lambung.
Respon inflamasi terjadi dalam 3 fase yang berbeda sesuai mekanisme yang berbeda:
1. Fase akut transien: vasodilatasi lokal dan meningkatnya permeabilitas kapiler.
2. Fase sub-akut lambat: infiltrasi lekosit dan sel fagosit
Page 8 of 21

3. Fase kronik proliferatif: degenerasi jaringan dan fibrosis


B. NYERI
Pertimbangan dari macam nyeri dan intensitas nyeri merupakan penilaian efikasi
analgesik. Untuk beberapa nyeri pasca operasi, NSAID lebih superior daripada analgesik
opioid. Nyeri disertai inflamasi dan kerusakan jaringan mungkin disebabkan stimuli
lokal dari serat nyeri dan meningkatkan sensitifitas nyeri (hiperalgesi). Sebagian sebagai
akibat dari peningkatan excitablitas dari neuron sentral dalam korda spinal (central
sensitization).
Prostaglandin dapat meningkatkan kepekaan reseptor nyeri akibat rangsangan
mekanik atau kimia dengan menurunkan nilai ambang polimodal nosiseptor dari serat
syaraf C. Efek analgesik NSAID dengan menghambat sintesa prostaglandin.

C. PANAS/DEMAM
Regulasi suhu tubuh memerlukan keseimbangan antara produksi dan keluarnya
panas. Hipotalamus mengatur set point sehingga suhu tubuh dipertahankan. Pada
keadaan demam set point-nya meningkat, NSAID menurunkan demam kembali ke
normal. Obat-obat ini tidak mempengaruhi suhu tubuh apabila panas badan disebabkan
oleh faktor-faktor seperti latihan atau oleh faktor yang tidak jelas sebabnya.
Demam dapat diakibatkan infeksi atau akibat kerusakan jaringan, penolakan
graft, keganasan atau keadaan penyakit. Biasanya hal ini disebabkan oleh peningkatan
pembentukan sitokin seperti: IL-1, IL-6, interferon alfa dan beta dan TNF-a. Sitokin
meningkatkan sintesis PGE2 di organ sekitar dan di dekat area hipotalamus preoptik dan
PGE2 meningkatkan cyclic AMP yang merangsang hipotalamus meningkatkan suhu
tubuh dengan peningkatan generasi panas dan menurunkan kehilangan panas.
NSAID tidak menghambat demam yang disebabkan prostaglandin bila prostaglandin
diberikan langsung, tetapi menghambat demam yang disebabkan oleh bahan yang
meningkatkan sintesis IL-1 dan sitokin lain yang ditimbulkan demam, yang
menimbulkan sintesis prostaglandin endogen.

Page 9 of 21

Studi Pada Manusia


Studi pengurangan nyeri pada penderita pada berbagai gangguan nyeri oleh
karena inflamasi untuk evaluasi studi banding digunakan parameter efikasi: intensitas
nyeri dari bagian tubuh yang dinilai oleh penderita dengan menggunakan skala nyeri
analog visual (visual analogue pain scale - VAPS) dan penilaian global dari efikasi
oleh peneliti dengan penderita menggunakan 4 titik skala verbal (4-point verbal rating
scale) sangat baik, baik, sedang, nol. Cara lain untuk menilai efikasi klinik termasuk
pengukuran mobilitas, udema, hiperemi dari daerah yang terlibat.
Efikasi terapetik dapat dilakukan dengan cara studi non komparatif dan studi
komparatif. Studi non komparatif menggunakan efikasi terapetik dengan dibanding
dasar dari berbagai parameter efikasi, antara lain: nyeri spontan, morning stiffness
dan efikasi global yang dinilai peneliti. Studi non komparatif dapat dilakukan pada
studi klinik multi senter mengenai nyeri odontologik selama 6 hari. Studi komparatif
secara buta ganda (double blind comparative study) untuk dua atau lebih obat
termasuk plasebo untuk mengetahui aktifitas analgesik dan periode waktu yang
ditentukan, misalnya: studi komparatif buta ganda dari nimesulide dibandingkan
dengan diklofenak, asam mefenamat, flurbiprofen, piroksikain untuk kasus inflamasi
meliputi mula kerja obat dan hilangnya nyeri secara simtomatik untuk obat dengan
pemberian per oral atau per reletal.
Penelitian pada manusia dipersyaratkan adanya persetujuan dari penderita
(informed conscent) dan persetujuan protokol penelitian oleh panitia kelaikan etik
(ethical clearance, WHO).

Pemilihan Analgesik Antiinflamasi Non Steroid (NSAID) untuk


BERBAGAI SITUASI KLINIK

Page 10 of 21

Respon individu terhadap NSAID sangat besar, walaupun dari NSAID dengan
struktur kimia yang serupa, misalnya respon individu terhadap ibuprofen lebih baik daripada
obat dari kelompok asam propionat lainnya.

Dosis yang rendah sebagai dosis inisial diberikan untuk mengetahui efektifitas obat
dan dapatnya obat tersebut ditolerir oleh individu. Apabila penderita kesulitan tidur akibat
nyeri atau kaku kuduk pagi hari, maka dosis tunggal besar diberikan di malam hari. Namun
pemberian NSAID selama satu minggu dapat menentukan efektifitas obat. Obat dapat
diteruskan atau dihentikan dengan sebelumnya penurunan dosis. Efek samping obat dapat
timbul pada minggu pertama pemberian obat, walau ulserasi lambung dapat terjadi lebih
lama. Apabila penderita tidak mendapat manfaat dari satu NSAID, dapat diganti NSAID
lainnya. Hindari terapi dengan kombinasi lebih dari satu NSAID, manfaatnya tidak
meningkat bahkan efek sampingnya bertambah. Penggunaan Nimesulide, menghindari
penggunaan kombinasi obat, karena efektif untuk anti-inflamsi, nyeri sekaligus demam.
Badan POM Eropa yaitu CPMP (Committee for Proprietary Medicinal Product) atau EMEA
(Eroupean Medicines Evaluation Agency) yang mengevaluasi obat-obat yang beredar di
pasar, pada bulan Juli 2003 memutuskan bahwa Nimesulide adalah produk NSAID yang
aman dan efektif untuk digunakan pada pasien yang menderita berbagai kondisi nyeri dan
inflamasi.

NYERI, PANAS, INFLAMASI dengan berbagai penyebab

Page 11 of 21

Aspirin dan NSAID lainnya efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas ringan
sampai sedang, misalnya nyeri dental. Untuk nyeri yang lebih berat diperlukan analgesik
opioid yang kurang/tidak menimbulkan ketergantungan, misalnya: tramadol. Nyeri yang
dikurangi oleh NSAID ialah nyeri asal integumen bukan asal viscera, misalnya sakit kepala,
myalgia, abralgia.

Studi banding buta ganda dengan waktu 5-10 hari menunjukkan pengurangan nyeri, panas,
inflamasi pada pemberian nimesulide 200 mg/hari per oral atau 400 mg/hari per rektal yang
sama atau lebih baik dibanding seaperase (15 mg) s, flurbiprofen (300 mg), deklofenak (150
mg), naproxen (1000 mg), fiprazon, piroksikam, asam mefenamat pada penderita dengan
inflamasi telinga, hidung, tenggorok, gangguan ginekologik, nyeri kanker, kelainan
urogenital, cidera muskuloskeletal akut, tromboflebitis, nyeri punggung belakang,
bursitis/tendonitis dan penyakit odonstomatologi serta pasca tindakan gigi.

a. Penggunaan pada Anak


Pemilihan obat pada anak terbatas pada NSAID yang sudah diuji penggunaannya
pada anak, yaitu: aspirin, naproksen atau tolmetin, kecuali pemberian aspirin pada
kemungkinan terjadinya Reye's Syndrome, aspirin untuk menurunkan panas dapat
diganti dengan asetaminofen. Nimesulide, seperti halnya NSAID lain, tidak
dianjurkan untuk anak dibawah 12 tahun.

b. Penggunaan pada Wanita Hamil


Penggunaan obat NSAID untuk wanita hamil tidak dianjurkan. Apabila sangat
diperlukan dapat diberikan aspirin dosis rendah, karena pada manusia aspirin pada
dosis biasa tidak menimbulkan teratogenik. Pemberian NSAID sebelum melahirkan
harus dihentikan untuk menghindari waktu melahirkan yang lebih lama, perdarahan
postpartum.

Page 12 of 21

Nama obat, dosis, jadwal analgesik yang sering digunakan


dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2: Analgesik yang sering digunakan
Nama Obat

Dosis

Jadwal

Aspirin

325-1000 mg

4-6 jam sekali

Kalium Diklofenak

50-200 mg

8 jam sekali

Natrium Diklofenak

50 mg

8 jam sekali

Ibuprofen

200-800 mg

4-8 jam sekali

Indometasin

25-50 mg

8-12 jam sekali

Ketoprofen

25-75 mg

6-12 jam sekali

Asam Mefenamat

250 mg

6 jam sekali

Naproxen

250-500 mg

12 jam sekali

Piroksikam

10-20 mg

12-24 jam sekali

Tenoksikam

20-40 mg

24 jam sekali

Meloksikam

75 mg

24 jam sekali

Celecoxib

100 mg

12 jam sekali

Nimesulide

100 mg

12 jam sekali

Ketorolak

10-30 mg

4-6 jam sekali

Asetaminofen

500 mg

6-8 jam sekali

Tramadol*

50-100 mg

8 jam sekali

Dikutip dari: Lucas Meliana 2003

Keterangan: Tramadol termasuk analgesik opioid dengan kerja selektif pada reseptor MU,
kurang/tidak menimbulkan adiksi asetaminofen, daya anti inflamasi lemah. Waspada
hepatotoksik.

BAB III
ANALGESIK OPIOID
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
Page 13 of 21

diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverrin. Analgesic opioid terutama digunakan
untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai
efek farmako dinamik yang lain. Istilah analgesic narkotik dahulu sering kali di gunakan
untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan
analgesia tanpa menyebabkan tidur atau penurunannya kesadaran maka istilah analgesic
narkotik menjadi kurang tepat.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate semisintetik alkaloid
opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Aobat yang
mengatagonis efek opioid disebut antagonis opioid.
RESEPTOR OPIOID
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (), delta ()dan kappa (). ketiga jenis
reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki
sub tipe:MU1, Mu2, delta 1,delta2, kappa1, kappa2 dan kappa3. Karena suatu opioid dapat
berfungsi suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau
subtype reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik
yang beragam.
Reseptor memperantai efek analgesitik mirip morfin, euphoria, depresi napas,
miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor k di duga memperantai analgesia
seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak
sekuat agonis , selain itu disusunan saraf pusat juga didaptkan reseptor & yang selektif
terhadap enkalin dan reseptor & memegang bukti yang menunjukan bahwa reseptor &
memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari
penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor & dihubungkan dengan berkurangnya
frekuensi napas, sedangkan reseptor dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume.
Reseptor ada 2 jenis yaitu reseptor 1, yang hanya didaptkan di SSP dan dihubungkan
dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan
volume dan bradikardia. Analgesic yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan
reseptor & dan k.
Page 14 of 21

KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID.


Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi :
1. Agonis penuh (kuat)
2. Agonis Parsial ( lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis dan antagonis
4. Antagonis
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis
parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis
kuat dari ikatannya pada reseptor opioid yang memiliki effek agonis apda suatu subtype
reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi
menjadi derivate fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzo morfan.

KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID


Stuktur Dasar

Agonis lemah

Campuran

sampai sedang

Agonis

Morfin

Kodein

Antagonis
Nalbufin

Nalorfin

Hidromorfon

Oksikodon

Burprenorfin

Nalokson

Oksimorfon

Hidrokodon

Fenilheptilamin

Metadon

Propoksifen

Fenilpiperidin

Meperidin

Fenantren

Agonis Kuat

Antagonis
-

Naltrekson

Fentanil
Morfinan
Benzomorfan

Levorpanol

Butorfanol
Pentazosin
Page 15 of 21

MORFIN DAN ALKALOID OPIUM


A. FARMAKODINAMIK
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama dapat ditimbulkan karena
morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor . Selain itu morfin juga mempunyai afinitas
yang lebih lemah terhadap reseptor dan .
B. SUSUNAN SARAF PUSAT.
Narkosis. Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh
morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi
sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil
(5-10mg) menimbulkan euforia

pada pasien yang sedangmenderita nyeri, sedih dan

gelisah. Sebaliknya dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia
berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa
kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar mebrpikir, apatis, aktifitas motorik berkurang,
ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas ,
muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis rasa nyeri berkurang, rasa
lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkungan
yang tenang orang yang berikan dosis terapi (15-20mg) morfin akan tertidur cepat dan
nyenyak disertai mimpi, napas lambat dan miosis.
Analgesia. Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai
akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam
menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor
dan , namun belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini
dalam menimbulkan analgesia. Pentazosin terutama bekerja pada reseptor , tetapi juga
mempunyai afinitas pada reseptor .
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berkaitan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSp dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan
modulasi nyeri. Ketiga jenis repesptor utama yaitu reseptor , dan pada ujung prasinaps
Page 16 of 21

aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter dan selanjutnya menghambat


saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian opioid
memiliki efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Selain itu
agonis juga menimbulkan efek inbisi pascasinaps melalui reseptor di otak.
Pemberian agonis opioid ke medulla spinalis akan menimbulkan analgesia setempat,
sedangkan efek samping sistematik karena pengaruh supraspinal minimal. Opioid yang
diberikan secara sistemik umumnya bekerja baik pada tingkat spinal maupun supraspinal
sehingga meningkatkan khasiat analgesiknya.
Pengelepasan opioid endogen ikut berperan dalam menimbulkan analgesia oleh
pemberian opioid : meskipun agonis terutama bekerja pada reseptor , akan tetapi
selanjutnya hal ini menyebabkan terjadinya pengelepasan opioid endogen yang bekerja
pada reseptor dan .
Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh
hilangnya fungsi penglihatan dan pendengaran: bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak
selalu tidak selalu hilang setelah pemberianpemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi
adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu: pasien sering mengatakan bahwa
nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi:
Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan
berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri tajam
dan intermiten. Dengan dosis terapi, morfin dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik
empedu. Nyeri mendadak yang menyertai tabes dorsalis (tabetic crise), tidak dapat
dihilangkan dengan sempurna oleh morfin. Berbeda dengan salisilat morfin dapat
mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari integument, otot dan
sendi.
C. FARMAKOKINETIK

Page 17 of 21

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorsi melalui kulit luka,
morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini diabsopsi morfin
kecil sekali. Morfin dapat diabsorspi usus, tetapi efek anelgetik setelah pemberian oral jauh
legih rendah dari pada efek analgetik yang timbul setelah pemberia parenteral dengan dosis
yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntika IV sama cepat, sedangkan
setelah suntikan subkuntan, absorspi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah
pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukornat di
hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin
dapat melintasi sawar uri melalui ginjal. Sebagian kecil morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu. Sebagian sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein megalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan oleh
paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-denetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan
bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan morfin.
D. INDIKASI

TERHADAP NYERI. Morfin dan oipoid lain terutama diindikasikan untuk


meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.
Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab nyeri
merupakan antidotum fisiologik bagi efek depresi napas morfin.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :
1) infark mikrokard
2) neoplasma
3) kolik renal atau kolik empedu
4) oklusio akut pembuluh darah perifer : pulmonal atau koroner
5) perikarditis, pleuritis dan pneumotoraks spontan
6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah.
Sebagai medikasi praanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada pasien
yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat praanetetik hanya
Page 18 of 21

dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik dugunakan


pentobartial atau diazepam.

TERHADAP BATUK. Penghambatan refleks batuk dapat dipertanggungjawabkan


pada batuk yang tidak produktif dn hanya iritatif. Batuk demikian mengganggu
tidur dan menyebabkan pasien tidak dapat beriistirahat dan mungkin sekali disertai
nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgesik opioid untuk mengatasi batuk
telah banyak ditinggalkan karena telah banyak oabt-obat sintetik lain yang efektif
dan tidak menimbulkan adiksi.

EDEMA

PARU

AKUT.

Morfin

entervena

dapat

dengan

jelas

mengurangi./menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai


gagal jantung kiri. Mekanismenya tidak jelas mungkin dengan mengurangi persepsi
pendeknya napas dan mengurangi kecemasan pasien, serta mengurangi beban hulu
dan beban hilir jantung.

EFEK ANTIDIARE. Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare


berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diae yang
disebabkan oleh ontoksokasi makanan atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin
harus didahului oleh pemberian garam katarik untuk mengeluarkan penyebab. Dosis
alkaloid morfin yang menyebabkan sembelit dan menghambat refleks batuk kirakira sama. Akan tetapi dewasa ini telah tersedia senyawa-senyawa sintetik yang
bekerka lebih selektif pada saluran cerna misalnya difenoksilat dan loperamid.

E. EFEK SAMPING

IDIOSINKRASI DAN ALERGI. Morfin dapat menyebabkan mual dan

muntah

Page 19 of 21

terutama pada wanita berdasarkan idiosinkrsasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah


timbulnya eksitasi dengan tremor dan jarang-jarang delirium; lebih jarang lagi
konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti
urtikaria, eksantem dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap opium, asal saja dosis
diperhitungka berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan pasien penyakit
berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan opioid lain juga harus
digunakan dengan hati-hati bila daya cadangan napas (respitory reserve) telah
berkurang, misalnya pada emfisem, kifpskoliosis, korpulmonale kronik dan obesitas
yang ekstrim. Meskipun pasien dengan keadaan seperti ini tampaknya dapat bernapas
normal, sebenarnya mereka telah menggunakan mekanisme kompensas, misalnya
berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. pada pasien tersebut kadar CO2 plasma
tinggi secara kronik dan kepekaan pusat napas terhadap CO2 telah berkurang.
Pembebanan lebih lanjut dalam bentuk depresi oleh morfin dapat membahayakan.

INTOKSIKASI AKUT. Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biaasanya


terjadi akibat percobaan bunuhdiri atau pada talak lajak. Pasien akan tidur, sopor
atau koma jika intoksikasi cukup berat . frekuensi napas lambat 2-4 kali/menit,
dan pernapasan mungkin berupa cheyne stokes. Pasien sianotik, kulit muka
merah tidak merata agak kebiruan tekanan darah yang mula-mula baik akan
menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki
dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupils), kemudian
midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena
terjadi pengelepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit
terasa dingin tous otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi da
lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul konvulsi.
Kematian biasanya di sebabkan oleh depresi napas.

F. SEDIAAN DAN POSOLOGI


Page 20 of 21

Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar beraneka


ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10% morfin dan kurang
dari 0,5 kodein. Pulvus Doverin mengandung 10% pulvus opii, maka 150 mg pulvus
Doveri mengandung 1,5 mg morfin.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian oral
maupun parenteral. Yang biasa digunakan ialah garam HCL garam sulfat atau fosfat
alkaloid morfin, dengan kadar 10 mg/mL. Pemberian 10 mg/70 kgBB morfin subkuntan
dapat menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang bersifat sedang hingga
berat, misalnya nyeri pasca bedah.

Page 21 of 21

Anda mungkin juga menyukai