PENDAHULUAN
Sistem muskuloskeletal manusia merupakan jalinan berbagai jaringan, baik
itu jaringan pengikat, tulang maupun otot yang saling berhubungan, sangat khusus,
dan kompleks. Fungsi utama sistem ini adalah sebagai penyusun bentuk tubuh dan
alat gerak, sehingga jika sampai terdapat kelainan pada sistem ini maka kedua fungsi
tersebut juga akan terganggu. Infeksi muskuloskeletal merupakan penyakit yang
umum terjadi; dapat melibatkan seluruh struktur dari sistem muskuloskeletal dan
dapat
berkembang
menjadi
penyakit
yang
berbahaya
dan
bahkan
dapat
membahayakan jiwa.
Osteomielitis sendiri merupakan suatu bentuk proses inflamasi yang terjadi
pada tulang dan struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman-kuman
piogenik. Haemophilus influenzae dan salmonella dapat menyebabkan osteomyelitis,
namun Staphylococcus adalah organisme yang bertanggung jawab untuk 90% kasus
osteomyelitis akut. Sedangkan pada anak-anak penyebab osteomyelitis yang paling
sering adalah akibat dari Streptococcus.
Diagnosis infeksi tulang dan sendi dapat ditegakkan dari tanda-tanda yang
tampak pada pemeriksaan fisik. Pada lokasi perifer, gejala seperti efusi sendi dan
nyeri pada metafisis yang terlokalisir, dengan atau tanpa pembengkakan, dapat
dengan mudah membantu kita menetapkan diagnosis. Namun pada panggul, pinggul,
tulang belakang, tulang belikat dan bahu, penegakan diagnosis terjadinya infeksi sulit
untuk ditentukan, sehingga pemeriksaan penunjang, seperti pencitraan dengan foto
polos, Computed Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
radionuklir dapat memudahkan dan menegakkan diagnosis dari osteomielitis.
BAB II
I. Definisi
Osteomielitis (osteo-berasal dari kata Yunani yaitu osteon yang berarti
tulang, myelo yang artinya adalah sumsum, disertai itis yang berarti peradangan)
sehingga secara sederhana artinya adalah infeksi pada tulang atau sumsum tulang. 1
Berdasarkan kamus kedokteran Dorland, osteomielitis ialah radang tulang yang
disebabkan oleh organisme piogenik, walaupun berbagai agen infeksi lain juga dapat
menyebabkannya. Ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui tulang,
melibatkan sum-sum, korteks, dan periosteum.
II. Epidemiology
Osteomielitis masih merupakan permasalahan di Indonesia mengingat
rendahnya tingkat hiegenis, pemahaman mengenai penatalaksaan yang belum baik,
diagnosis yang sering terlambat sehingga biasanya berakhir dengan osteomielitis
kronis dan fasilitas diagnostik yang belum memadai, khususnya di pusat-pusat
kesehatan perifer. Pengobatan osteomielitis memerlukan waktu yang cukup lama dan
biaya yang tinggi sehingga tidak sedikit penderitanya yang tidak mampu
mendapatkan diagnosa dan pengobatan yang memadahi. Banyak pasien dengan
fraktur terbuka yang datang terlambat atau setelah mendapatkan penanganan yang
salah sehingga sudah muncul
III. Patogenesis
Pada dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus, parasit, jamur, dan
bakteri, dapat menyebabkan osteomielitis, tetapi yang paling sering menyebabkan
OM adalah bakteri piogenik dan mikobakteri. Penyebab osteomielitis pyogenik
adalah kuman Staphylococcus aureus (89-90%), Escherichia coli, Pseudomonas, dan
Klebsiella.
Pada
periode neonatal,
Haemophilus
15,16
Gambar 1. Perbandingan antara tulang yang normal dan tulang dengan Osteomielitis
Patogenesis dari osteomielitis telah dieksplorasi pada berbagai hewan percobaan; dan
pada studi-studi tersebut ditemukan bahwa tulang yang normal sangat tahan terhadap
infeksi, yang hanya bisa terjadi sebagian besar diakibatkan oleh inokulum, trauma,
atau adanya benda asing.16 Kuman dapat masuk tulang dengan berbagai cara, yaitu:
a. Hematogen
Osteomielitis hematogen adalah penyakit yang lebih sering terjadi pada kanakkanak antara usia 5 dan 15 tahun. Ujung metafisis tulang panjang merupakan tempat
predileksi untuk osteomielitis hematogen.16 Diperkirakan bahwa end-artery dari
pembuluh darah yang menutrisinya, bermuara pada vena-vena sinusoidal yang
berukuran jauh lebih besar, sehingga menyebabkan terjadinya aliran darah yang
lambat dan berturbulensi pada tempat ini. Kondisi ini mempredisposisikan bakteri
untuk bermigrasi melalu celah pada endotel dan melekat pada matriks tulang. Selain
itu, rendahnya tekanan oksigen pada daerah ini juga akan menurunkan aktivitas
fagositik dari sel darah putih. Dengan berkembangnya proses maturasi, ada osifikasi
total dari lempeng fiseal dan aliran darah yang lamban mulai berubah, sehingga
osteomielitis hematogen pada orang dewasa merupakan suatu kejadian yang jarang
terjadi.1
0
Infeksi hematogen ini akan menyebabkan terjadinya trombosis pembuluh
darah lokal yang pada akhirnya menciptakan suatu area nekrosis avaskular yang
kemudian berkembang menjadi abses. Akumulasi pus dan peningkatan tekanan lokal
akan menyebarkan pus hingga ke korteks melalui sistem Havers dan kanal Volkmann
hingga terkumpul dibawah periosteum yang akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri
lokalisata di atas daerah infeksi.16 Abses subperiosteal kemudian akan menstimulasi
pembentukan involukrum periosteal (fase kronis). Apabila pus keluar dari korteks,
maka pus tersebut akan dapat menembus soft tissues disekitarnya hingga ke
permukaan kulit, membentuk suatu sinus drainase.14
Faktor-faktor
sistemik
yang
dapat
mempengaruhi
perjalanan
klinis
utama infeksi,
seperti
S.Aureus,
menempel
pada
rawan. Fibronektin-binding
adhesin
dari
S.Aureus berperan
dalam penempelan bakteri untuk perangkat operasi yang akan dimasukan dalam
tulang.5
S. Aureus yang telah dimasukan ke dalam kultur osteoblas dapat bertahan
hidup secara intraseluler. Bakteri yang dapat bertahan hidup secara intraseluler
!
dan
fungsinya
sebagai terapi
menyerang
proses
remodeling
masih
belum
jelas. Selama
sel
yang
mengandung
pembentukan
prostaglandin
E,
yang
merupakan
agonis
osteoklas
kuat yang
dihasilkan sebagai respon terhadap patah tulang, akan menurunkan jumlah dari
inokulasi bakterial yang dibutuhkan untuk menghasilkan infeksi.12
Nanah kemudian menyebar ke dalam pembuluh darah, meningkatkan
tekanan intraosseus dan mengganggu aliran darah.
semakin jelas terlihat. Pecahan-pecahan tulang mati kemudian akan terpisah menjadi
sekuestra dengan berbagai ukuran. Setelah ity, makrofag dan limfosit akan datang
dalam jumlah yang besar dan memngangkut debris tulang itu dengan proses
fagositosis disertai resorpsi osteoclastic.5
IV.4 Pembentukan tulang baru
Tulang yang baru akan terbentuk dari lapisan dalam periosteum yang terkelupas. Ini
merupakan gejala tipikal dati infeksi piogenik dan bisanya nampak dengan jelas pada
akhir minggu ke dua. Dengan berjalannya waktu, tulang baru akan menebal untuk
membentuk involucrum yang melapisi sekuestra dan jaringan yang terinfeksi. Jika
infeksi berlanjut, pus dapat terus keluar melalui perforasi di involucrum dan
membentuk sinus ke permukaan kulit, kondisi inilah yang disebut sebagai
osteomielitis kronik.5,16
IV.5 Resolusi
Pada awalnya, tulang disekitar tempat infeksi akan mengalami pengkeroposan, namun
dalam masa penyembuhannya, fibrosis dan pembentukan tulang appositional yang
baru akan terjadi disertai dengan reaksi periosteal sehingga menyebabkan skeloris dan
penebalan tulang. Kadang remodeling dapat berjalan dengan baik, namun pada
beberapa kasus dapat berakhir dengan deformitas.5,6
V. Klasifikasi Osteomielitis
Beberapa
sistem
klasifikasi
telah
digunakan
untuk
mendeskripsikan
ostemielitis. Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari timbulnya
gejala : akut, subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya
onset penyakit dalam 7- 14 hari. Infeksi akut umumnya berhubungan dengan proses
hematogen pada anak. Namun, pada dewasa juga dapat berkembang infeksi
hematogen akut khususnya setelah pemasangan prosthesa dan sebagainya.2
Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan.
Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya
terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang
pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus involukrum.3
yang hidup dan disebut sebagai sekuester. Sekuester meninggalkan rongga yang
secara perlahan membentuk dinding tulang baru yang terus menguat untuk
mempertahankan biomekanika tulang. Rongga ditengah tulang ini disebut
involukrum.12
Penderita kebanyakan adalah anak laki-laki. Lokasi infeksi tersering adalah
pada daerah metafisis tulang panjang femur, tibia, humerus, radius, ulna dan fibula.
Daerah metafisis menjadi daerah sasaran infeksi diperkirakan karena:
1) Daerah metafisis merupakan daerah pertumbuhan sehingga sel-sel mudanya
rawan terjangkit infeksi;
2) Metafisis kaya akan rongga darah sehingga risiko penyebaran infeksi secara
hematogen juga meningkat;
3) Pembuluh darah di metafisis memiliki struktur yang unik dan aliran darah
di daerah ini melambat sehingga kuman akan berhenti di sini dan berproliferasi.
Secara klinis, penderita memiliki gejala dan tanda dari inflamasi akut. Nyeri
biasanya terlokalisasi meskipun bisa juga menjalar ke bagian tubuh lain di dekatnya.
Sebagai contoh, apabila penderita mengeluhkan nyeri lutut, maka sendi panggul juga
harus dievaluasi akan adanya arthritis. Penderita biasanya akan menghindari
menggunakan bagian tubuh yang terkena infeksi.Etiologi tersering adalah kuman
gram positif yaitu Staphylococcus aureus.
16
Gejala klinis osteomielitis akut sangat cepat, diawali dengan nyeri lokal hebat
yang terasa berdenyut. Pada anamnesis sering dikaitkan dengan riwayat jatuh
sebelumnya disertai gangguan gerak yang disebut pseudoparalisis. Dalam 24 jam
akan muncul gejala sistemik berupa seperti demam, malaise, cengeng, dan anoreksia.
Nyeri terus menghebat dan disertai pembengkakan. Setelah beberapa hari, infeksi
yang keluar dari tulang dan mencapai subkutan akan menimbulkan selulitis sehingga
kulit akan menjadi kemerahan. Oleh karenanya, setiap selulitis pada bayi sebaiknya
dicurigai dan diterapi sebagai osteomielitis sampai terbukti sebaliknya.7
Pada pemeriksaan laboratorium darah, dijumpai leukositosis dengan
predominasi sel-sel PMN, peningkatan LED dan protein reaktif-C (CRP).14 Aspirasi
dengan jarum khusus untuk membor dilakukan untuk memperoleh pus dari subkutan,
subperiosteum, atau fokus infeksi di metafisis. Kelainan tulang baru tampak pada foto
rongent akan tampak 2-3 minggu. Pada awalnya tampak reaksi periosteum yang
diikuti dengan gambaran radiolusen ini baru akan tampak setelah tulang kehilangan
!
40-50% masa tulang. MRI cukup efektif dalam mendeteksi osteomielitis dini,
sensitivitasnya 90-100%. Skintigrafi tulang tiga fase dengan teknisium dapat
menemukan kelainan tulang pada osteomielitis akut, skintigrafi tulang khusus juga
dapat dibuat dengan menggunakan leukosit yang di beri label galium dan indium.
13
10
membahayakan, dan untuk manifestasi sistemik pada umumnya ringan atau tidak ada.
Abses biasanya terlokalisasi di metaphysis dari tibia atau tulang paha, dan dikelilingi
oleh sclerosis reaktif. Sesuai teori, tidak terdapatnya sekuester, namun gambaran
radiolusen mungkin akan terlihat dari lesi ke lempeng epifisis. Abses tulang mungkin
menyebrang ke lempeng epifisis namun jarang terlokalisir.
Tipe I
: Lesi di metafisis
o IA
Gambar 2. Tipe IA
o IB
Tipe II
: Lesi di diafisis
o IIA
Tipe III
o IIIA
Tipe IV
sebagai bagian dari tulang datar ataupun irreguler yang membatasi cartilage
( apophyseal growth plates, articular cartilage atau fibrocartilage) seperti pada
vertebra, pelvis dan tulang-tulang kecil ( contoh: tulang tasrsal dan clavicula)
o IVA
destruksi.
Gambar 7. Tipe IV B
o IVC
C. Osteomielitis Kronik.
Osteomielitis kronik merupakan hasil dari osteomielitis akut dan subakut yang
tidak diobati. Kondisi ini dapat terjadi secara hematogen, iatrogenik, atau akibat dari
trauma tembus. Infeksi kronis seringkali berhubungan dengan implan logam ortopedi
yang digunakan untuk mereposisi tulang.10 Inokulasi langsung intraoperatif atau
perkembangan hematogenik dari logam atau permukaan tulang mati merupakan
tempat perkembangan bakteri yang baik karena dapat melindunginya dari leukosit dan
antibiotik. Pada hal ini, pengangkatan implan dan tulang mati tersebut harus
dilakukan untuk mencegah infeksi lebih jauh lagi. Gejala klinisnya dapat berupa ulkus
yang tidak kunjung sembuh, adanya drainase pus atau fistel, malaise, dan fatigue.
Penderita osteomielitis kronik mengeluhkan nyeri lokal yang hilang timbul disertai
demam dan adanya cairan yang keluar dari suatu luka pascaoperasi atau bekas patah
tulang. Pemeriksaan rongent memperlihatkan gambaran sekuester dan penulangan
baru.7
Penangan osteomielitis kronik yaitu debridement untuk mengeluarkan jaringan
nekrotik dalam ruang sekuester, dan penyaluran nanah. Pasien juga diberikan
antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur. Involukrum belum cukup kuat untuk
menggantikan tulang asli yang telah hancur menjadi sekuester sehingga ekstrimitas
yang sakit harus dilindungi oleh gips untuk mencegah patah tulang patologik, dan
debridement serta sekuesterektomi ditunda sampai involukrum menjadi kuat.5
Sistem
klasifikasi
lainnya
dikembangkan
oleh
Waldvogel
yang
ini secara
klinis
tidak
spesifik.
CRP
dan
LED memiliki
memiliki penggunaan
yang
terbatas. Darah hasil kultur, positif pada sekitar 50% pasien dengan osteomielitis
!
14
hematogen. Kultur tulang dari biopsy atau aspirasi memiliki hasil diagnostik sebesar
77% pada semua studi.
C. Studi pencitraan
Radiografi
setelah
kali
diusulkan
terinfeksi.
oleh
Perubahan
adanya
tulang tidak
terlihat untuk 14-21 hari dan pada awalnya bermanifestasi sebagai elevasi periosteal
diikuti
oleh
hari,
90%
pasien
MRI
MRI efektif dalam deteksi dini dan lokalisasi operasi osteomyelitis. Penelitian telah
menunjukkan keunggulannya dibandingkan
dengan
radiografi
polos, CT,
Terdiri dari tiga fase yaitu scan tulang, scan gallium dan scan sel darah putih menjadi
pertimbangan pada
pasien yang
tidak
mampu melakukan
pencitraan
MRI.
Sebuah fase tiga scan tulang memiliki sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas pada
orang dewasa dengan temuan normal pada radiograf. Spesifisitas secara dramatis
menurun dalam pengaturan operasi sebelumnya atau trauma tulang. Dalam keadaan
khusus,
informasi
tambahan dapat
diperoleh
dari
pemindaian lebih
lanjut
CT
CT scan
scan
dapat
menggambarkan
klasifikasi
abnormal,
pengerasan,
dan
kelainan intracortical. Hal ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk
mendiagnosis osteomyelitis tetapi sering menjadi pilihan pencitraan ketika MRI tidak
tersedia.7,13
Teknik
Ultrasonografi
sederhana dan
murah telah
menjanjikan,
terutama pada
anak
setelah timbulnya
kumpulan cairan
gejala.
Kelainan
lunak atau
Ultrasonografi memungkinkan
untuk
13
14
VII. Tatalaksana
Pada tahun 1983, Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan
osteomyelitis hematogenous akut yang masih dapat diterapkan hingga saat ini9:
(1) Pemberian antibiotik yang tepat akan efektif sebelum pembentukan pus;
(2) antibiotik tidak dapat mensterilkan jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau
abses dan daerah tersebut membutuhkan penanganan operatif;
(3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik sebaiknya diberikan untuk mencegah
pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman;
(4) operasi sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik;
(5) antibiotik sebaiknya tetap diberikan setelah infeksi.
18
ALTERNATIVE ANTIBIOTICS
Staphylococcus aureus or
First-generation cephalosporin or
coagulasenegative
vancomycin (Vancocin)
(methicillin-sensitive)
Staphylococci
every 8 hours
S. aureus or coagulase-
negative (methicillin-resistant)
staphylococci
Clindamycin, erythromycin,
A and B -hemolytic
6 hours
Intermediate penicillin-
Erythromycin or clindamycin
resistant S. pneumoniae
daily
Penicillin-resistant S.
Levofloxacin (Levaquin)
Ampicillin-sulbactam (Unasyn)
pneumoniae
Enterococcus species
Third-generation cephalosporin
Pseudomonas aeruginosa
Anaerobes
aminoglycoside)
every 6 hours
amoxicillin-clavulanate (Augmentin) or
metronidazole (Flagyl)
Imipenem
Organisms
eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.
c. Implantasi Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik
kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik
minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik
lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian
antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh
antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam
serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka
hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media transport.
Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka
primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat
ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan
terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua
benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik
dapat berkurang.7,9
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama
PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik pada
PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti
fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada
pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat
dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari
pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80
hari. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor.
Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah
impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap
benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk
glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan
mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik.9
Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti
dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap
ditutup.
VIII. Komplikasi12
Dini :
Abses
Atritis septik
Lanjut :
Fraktur patologis
Kontraktur sendi
Gangguan pertumbuhan
Bakteremia
IX. Pencegahan
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan
bakteri pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan
diagnosis yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.
Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik,
pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna,
dan pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya
cedera.11
X. PROGNOSIS
Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti
virulensi bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. 6
Diagnosis yang dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan
prognosis yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada
infeksi yang berat sekalipun. Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat
berkembang menjadi infeksi yang berat dan meluas jika telat dideteksi dan antibiotik
yang diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan menjaga imunitas host. Pada
keadaan tersebut maka prognosis osteomyelitis menjadi buruk.11
!
!
!
REFEREN
SI'
!
1. Dorland, Newman WA. Kamus Kedokteran, Edisi 29. Alih bahasa : Andy Setiawan,
et al. Jakarta : EGC, 2002.
2. Khan AN, McDonald S. Osteomyelitis: Acute Pyogenic [online] emedicine
radiology
2009
[cited
November
20
th
2009].
Available
from
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/393120-print.
3. Khoshhal K, Letts RM. Subacute Osteomyelitis (Brodie Abcess) [online] eMedicine
th
http://emedicine.medscape.com/article/1248682-print.
4. Kalyoussef S, Tolan RW. Osteomyelitis [online] eMedicine General Medicine 2008
[cited
November
20
th
2009].
Available
from
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/967095-print
5. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robins and Cotran Pathologic Basis of Disease,
7th Edition. Philadelphia: W. B. Saunders Company, 2004.
6. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Cetakan I . Jakarta: EGC,
1997.
7. Waldvogel FA, Medoff G, Swartz MN. Osteomyelitis: a review of clinical features,
therapeutic considerations and unusual aspects (first of three parts). N Engl J Med
1970;282:198206.
8. Setiawan, Irawati. Mikrobiologi Kedokteran, Jakarta: EGC, 1996.
9. Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. N Engl J Med 1997;336:9991007, and
Mader JT, Shirtliff ME, Bergquist SC, Calhoun J. Antimicrobial treatment of chronic
osteomyelitis. Clin Orthop 1999;(360):4665.
10. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar: Bintang
Lamumpatue, 2003.
11. Mansjoer, Arief. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
12. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. PATOFISIOLOGI : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, et al. Jakarta : EGC, pp :
1358-1359, 1367-1368, 1371. 2005.
2009
[cited
November
20th
2009].
Available
from
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/393120-print.
16. Salter RB. Textbook of Disorder and Injuries of the Muskuloskeletal System. Third
Edition. Baltimore : Lippincott Williams and Wilkins, 1999.