Anda di halaman 1dari 10

MORFEA

Pendahuluan
Skleroderma lokalisata merupakan skleroderma yang lesinya hanya terbatas pada
kulit dan jaringan subkutan yang ditandai dengan gejala yang khas berupa bercak-bercak
putih kekuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu di sekitarnya, biasanya
tidak ada fenomena Raynaud, arthritis dan gejala sistemik. Beberapa bentuk klinis dari
skleroderma lokalisata dapat dikenali. Bentuk yang paling sering adalah morfea, dimana
lesi biasanya tunggal atau beberapa saja. Bentuk yang paling umum dari morfea hampir
semuanya simetris dan bilateral. (1,2,3)
Epidemiologi
Skleroderma lokalisata merupakan kelainan yang relatif jarang terjadi. Wanita
kira-kira tiga kali lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Dari laporan kasus,
penyakit ini biasanya lebih sering muncul pada ras kulit putih daripada kulit hitam.
Kurang lebih 75 % kasus morfea onsetnya antara dekade 20-40 tahun. Pada skeroderma
linear, biasanya pada usia yang lebih muda. Mayoritas terjadi sebelum usia 40 tahun dan
jumlah terbanyak pada dekade kedua pertama dalam kehidupan. (1)

Etiologi
Etiologi belum diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor genetik.(3,4) Selain itu,
diduga penyakit ini dapat pula dicetuskan oleh trauma, vaksinasi BCG, injeksi vitamin K
serta radioterapi pada penyakit keganasan payudara yang berjalan dalam jangka waktu 30
tahun. Faktor infeksi dianggap berpengaruh. (5) Faktor lingkungan juga dilaporkan
berperan yaitu berupa paparan bahan-bahan kimia.(4)
Patogenesis
Patogenesis dari skleroderma masih banyak yang belum diketahui. (4) Terdapat tiga
area yang telah dicurigai pada patogenesis skleroderma yaitu: kerusakan endotel
vaskuler, proses immunologis dan inflamasi, dan disregulasi dari metabolisme matriks
ekstraseluler. (4,6)
a. Kerusakan endotel vaskuler
Peran sel endotel masih sangat sedikit diketahui. Di satu sisi sel endotel merupakan
target dari aktivitas system imun. Sebaliknya sel endotel juga berperan sebagai
costimulator imun. Abnormalitas vaskuler dapat disebabkan oleh hipoksia, iskemik,
dan oklusi intravaskuler. (4)
1) Kebanyakan disfungsi vaskuler yang menonjol di klinik yaitu adanya disregulasi
dari tonus vaskuler yang menyebabkan spasme vaskuler, dan reduksi aliran darah
yang diilustrasikan melalui fenomena Raynaud. Pada sklerosis sistemik,
ketidakseimbangan endotel (peningkatan pelepasan endotelin vasokonstriktor),
menganggu mekanisme vasodilatasi. Hal ini meningkatkan agregasi platelet dan
berkurangnya kadar neuropeptid menyebabkan adanya kecenderungan
vasospastik pada penyakit ini. Peningkatan Pelepasan endotelin, tromboksan,

1
Antigen faktor VIII dan trombomodulin yang merupakan tanda adanya kerusakan
pada sel endotel, sebagian juga disebabkan oleh Antibodi anti sel endotel.
Peningkatan kadar endotelin juga menyebabkan peningkatan proliferasi fibroblast
dan sintesis kolagen.
2) Apoptosis sel endotel akibat infeksi virus seperti cytomegalovirus
3) Penurunan kadar Angiotensin Converting Enzym berhubungan terbalik dengan
penurunan vWF merupakan penanda adanya kerusakan sel endotel. Selanjutnya
tanda kerusakan pada sel endotel adanya peningkatan serotonin yang menginduksi
agregasi palatelet. Platelet mengeluarkan Platelet Derived Growth factor (PDGF)
dan Transforming Growth Factor (TGF). (4)
4) Peningkatan sel mast dapat menyebabkan peningkatan aktivitas biologis
fibroblast. (4)
b. Sistem imun
Dalam hal ini limfosit T sangat berperan dalam pathogenesis skleroderma, terutama
sel CD4. Limfosit sebagaimana monosit menghasilkan sitokin, terutama IL-2 yang
dapat menginduksi peningkatan sekresi TGF (Tumor Growth Factor) oleh monosit.
Autoantibodi meskipun tidak terlalu berhubungan dengan pathogenesis namun
kebanyakan autoantibodi didapatkan pada serum penderita SSc. Antibodi tersebut
antara lain antibodi antisentromer (ACA), antibodi anti topoisomerase, antibodi anti
RNA polymerase, antibody terhadap fibrilarin . Selain itu menurut Tan, terdapat pula
antibodi terhadap reseptor PDGF. (7) Sebagaimana diketahui PDGF merupakan
mitogen yang kuat untuk fibroblast. (4)
c. Disregulasi Matriks ektraseluler
Dalam hal ini aktivasi sinyal dari limfosit, dan monosit, sel endotel, secara lansung
atau tidak langsung (melalui pelepasan sitokin). Peningkatan aktivasi TGF dan PDGF
yang dilepaskan platelet. Semua hal itu menyebabkan proliferasi fibroblast.(4,8)

Gambaran Klinis

Klasifikasi Skleroderma lokalisata menurut gambaran klinis dari skleroderma


lokalisata (morfea) terbagi menjadi tiga bentuk yaitu :
a. Morfea
b. Skleroderma linear
c. Morfea generalisata. (1)

Skleroderma lokalisata (morfea) ditandai dengan plak sklerotik yang berbatas


tegas berwarna gading yang dikelilingi dengan halo ungu (violaceous). Lesi biasanya
dimulai dengan area eritem yang menunjukkan edema yang tidak menimbulkan bekas
saat ditekan (non-pitting edema), kemudian bagian tengah lesi secara bertahap menjadi
putih atau kekuningan. Plak yang terbentuk dapat meninggi atau berbentuk cekung,
bersifat keras dan berindurasi.(1) Gambaran klinis dapat merupakan sebuah bercak
sklerotik atau plak soliter (tersering) atau bercak-bercak multiple, sebagai morfea gutata
atau sebagai skleroderma linier. (3,9)
Pada tahap awal, daerah yang terserang terlihat eritematus dan bengkak, kemudian terjadi
sklerosis. (5) Berdasarkan morfoloogi dan distribusi lesi, morfea dibagi atas 6 tipe,
yaitu: (1)

2
Morfea gutata
Morphea gutata merupakan suatu jenis morphea lokal yang disebut juga sebagai
Lichen Sklerotik Atropi.(10) Morphea gutata ditandai dengan adanya lesi kecil yang
multiple dan berwarna putih secara primer melibatkan leher dan tubuh bagian atas. (8, 10)
Pada kelainan ini tidak ditemukan adanya hiperkeratosis dan folikulitis. (1)

Gambar 1. Lesi multiple dan berwarna putih1


Morfea plak
Morphea plak merupakan manifestasi morphea yang tersering, berbentuk bulat
ataupun oval bisa terdapat indurasi dengan permukaan yang lembut, mengkilap dan
berwarna gading dimana pada pewarnaan coalecence dapat pula ditemukan bentuk yang
irreguler. (10,11) Pada awalnya, lesi berwarna keunguan dan setelah beberapa minggu
berubah menjadi hipopigmentasi.(11) Selama masa aktif, lesi dapat tampak keunguan yang
disebut dengan halo lila. (10) Lokasi lesi biasanya terjadi pada tubuh, ekstremitas, wajah
dan genitalia, namun jarangpada aksilla, perineum, dan disekitar payudara.(11)

Gambar 2. Lesi yang mengalami indurasi dengan permukaan yang lembut,


mengkilap dan berwarna gading(6)

1 Dikutip dari kepustakaan 12

3
Morfea linear
Morphea linier merupakan suatu penyakit yang terjadi secara linier dengan satu
lesi yang unilateral pada wajah dan kepala. Berdasarkan frekuensi kejadiannya, morpea
ini paling sering terdapat di ekstremitas bagian bawah, kemudian diikuti ekstremitas
bagian atas.(11,15) Morfea ini jarang terjadi di badan dan area frontal kepala.(14) Lesi
simetris dapat ditemukan pada keadaan dimana morpea terjadi pada ekstremitas bagian
atas dan bawah secara bersamaan. Jarang ditemukan calcinosis dengan lesi linier Morpea
linier yang terjadi di frontal atau frontoparietal, disebut sebagai Coup de Sabre yang
merupakan suatu ciri dari atropi kulit. Lesi frontal linier dan plak morphea yang aktif
dapat terjadi sejajar dengan lesi pada sisi yang sama pada wajah. dapat menyebabkan
deformitas yang berat seperti hemiatropi pada ekstremitas atau pada satu sisi dari wajah
atau suatu kontraktur. (11,16)

Gambar 3. Lesi unilateral pada dahi (en coup de sabre)2


Morfea segmental
Terjadi pada salah sisi wajah dengan gejala hemiatropi. Umumnya morpea coup
de sabre dan hemiatropi fisial muncul bersamaan. (1)

4
Gambar 4. Lesi pada wajah yang mengalami hemiatropi3
Morfea subkutaneus
Morphea subkutaneus atau morphea profunda ditandai dengan dalamnya lesi, dan
plak sklerotik. Karena peradangan terjadi pada jaringan lemak dan fascia subkutan, maka
jarang terjadi.perubahan warna tertentu pada kulit. (8)

Gambar 5. Lesi yang dalam danterdapat plak sklerotik4

Morfea generalisata
Merupakan bentuk yang parah dari morfea yang ditandai dengan keterlibatan kulit
yang tersebar luas dengan plak yang berindurasi dan multiple, hiperpigmentasi dan sering
disertai atrofi otot. Lesi dapat berlokasi di badan bagian atas, abdomen, bokong dan
tungkai. Pada stadium awal, plak sering susah dibedakan dari morfea lokalisata meskipun
mungkin lebih besar. Morfea generalisata tidak berhubungan dengan penyakit sistemik.
Walaupun dapat ditemukan ANA positif pada beberapa kasus, tapi insidennya rendah.
Prognosisnya baik, tidak aktif kembali setelah 3-5 tahun kemudian. Pada beberapa kasus
dapat terjadi disabilitas yang disebabkan atrofi otot. (1,5,14)

3
4

5
Gambar 6. Plak yang mengalami indurasi dan penebalan5

DIAGNOSIS

· Diagnosis Laboratorium
Antibodi anti DNA dapat ditemukan pada beberapa penderita anak. Umumnya pada
skleroderma lokalisata didapatkan antibodi antihiston (AHAs). Keberadaan antibodi
antihiston (AHAs) berhubungan erat dengan jumlah lesi morfea tetapi tidak
berhubungan dengan lesi linear. Antibodi antihiston (AHAs) juga menentukan
seberapa luas daerah yang terkena penyakit. (10)

· Biopsi
Selama perjalanan penyakit, gambaran histopatologi yang ditemukan bermacam –
macam. Lesi aktif yang terlalu dini ditandai dengan adanya sel inflamasi pada dermis
dan jaringan subkutan. Inflamasi biasa ditemukan pada tepi yang violaceus.(10)
Kolagen menjadi eosinofilik dan terjadi peningkatan lemak subkutan yang berperan
akan terjadinya penebalan pada seluruh lapisan dermis.(15) Inflamasi dan sklerosis
akan berkurang dari waktu ke waktu. (10) Ditemukan banyak sel radang diantara
jaringan kolagen pada 2/3 bagian bawah dermis, bagian retikular, serabut trabekula
dari sub-kutis dan diantara sel – sel lemak yang didominasi oleh limfosit dan histiosit
tetapi mungkin juga bayak sel plasma dan kadang ada sel mast. (9)

6
Gambar 7. Histopatologi dari skleroderma matur, tampak penebalan dermis

DIAGNOSIS BANDING
1. Eosinophilic Fasciitis
Eosinophilic Fasciitis ditandai dengan nyeri dan penebalan kulit anggota gerak
yang berlangsung perlahan – lahan ataupun mendadak, biasanya bersifat simetris.
Indurasi dan penebalan kulit biasanya terdapat pada tangan dan kaki, serta kadang dapat
pula mengenai tubuh. Sering terjadi kontraktur fleksi dan Fenomena Raynaud’s ataupun
perubahan organ dalam tidak terdapat pada penyakit ini.
Berbeda dengan bentuk kulit pada penderita skleroderma yang irreguler, berkerut
dan dapat menggumpal, pada Eosinophilic Fasciitis kulit jari yang terkena tetap baik dan
jarang melibatkan kulit pada tubuh. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
peningkatan sel mononuklear, sel plasma, dan terjadi eosinofilik perifer, serta elevasi
tingkat sedimen,dan hipergammaglobulinemia. Diagnosis penyakit ini dapat dibuat
melalui biopsi pada kulit yang menebal, jaringan subkutan, fasia, dan otot. Perubahan
histologik menunjukkan adanya inflamasi dan fibrosis pada semua lapisan kulit, dan
penebalan yang paling mencolok terjadi di fasia.
2. Sklerosis nodular akibat Pentasocine
Penggunaan Pentasocine intramuskular menyebabkan sklerosis nodular yang
hanya terdapat pada daerah injeksi. Pada pemeriksaan histologik didapatkan gambaran
fibrosis berat pada jaringan yang terkena, sel PMN, dan granuloma pada lapisan dermis,
jaringan subkutan, dan otot. (19)

PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada skleroderma lokal (morfea) masih belum memuaskan tetapi
karena penyakit ini merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya, maka
kebanyakan kasus hanya membutuhkan beberapa terapi atau tidak sama sekali. Adapun
pengobatan tersebut yaitu: (8)
* Topikal
Sebagai terapi topikal dapat digunakan glukokortikoid bentuk oinment yang berpotensi
kuat hingga sangat kuat.(8) Direkomendasikan pula penggunaan oinment yang
mengandung heparin dan heparinoid. Selain itu dapat pula digunakan suspensi
triamsinolon asetonid yang dicairkan 1:3, 1:5 yang diberikan secara injeksi intralesi.(6)
* Sistemik
Pada keadaan dimana gejala dan aktifitas penyakit sedang berkembang yang
ditandai oleh lila ring, terjadi pertambahan ukuran lesi, maka direkomendasikan
penggunaan penisilin injeksi 10 – 20 x 106 IU selama 2 – 4 minggu atau penisilin oral 1

7
– 2 x 106 IU. (5) Penisilin digunakan karena merupakan agen yang dapat digunakan
untuk membantu mengurangi pembentukan kolagen.(7) Pada skleroderma linear
direkomendasikan penggunaan fenitoin, dosis awal 100 mg 2 – 3 kali tiap hari dan
dilanjutkan 100 mg selama 1 – 3 tahun dengan tetap memantau efek samping yang
mungkin ditimbulkan pada penggunaan obat ini. (5) Antimalaria, Phenitoin, Colchisine,
methotrexate, dan glukokortikoid sistemik merupakan pengobatan skleroderma
lokalisata. Adapun preparat D-penicillamine dengan dosis harian 5 mg/kg/hari terbukti
berhasil mencegah timbulnya lesi baru pada skleroderma lokal yang berat, menjadikan
kulit tampak lebih lembut dan memicu pertumbuhan sel pada ektremitas yang terkena.
Dapat pula digunakan vitamin E 400 mg/hari yang merupakan antioksidan dan
mencegah aktifitas radikal bebas, selain itu vitamin E bekerja dengan cara mencegah
pelepasan enzim hidrolitik sehingga dapat menjaga stabilisasi membran liposom (8, 20)
* Fisioterapi
Pada bentuk linear yang melibatkan ekstremitas, sebaiknya dilakukan fisioterapi
untuk memelihara pergerakan sendi, dalam hal ini dilakukan pijatan dan pengobatan
menggunakan panas. (4)
* Fototerapi
Iradiasi kulit dengan menggunakan sinar ultraviolet A1 (UVA-1) 340 – 400 nm
dapat mengurangi penumpukan kolagen pada lesi skleroderma. (20)
* Diet
Pasien dianjurkan untuk menghindari penggunaan vitamin C dosis tinggi (> 1000
mg/dL) karena dapat menstimulasi pembentukan kolagen dan dapat terjadi peningkatan
deposit kolagen(7)

KESIMPULAN
Skleroderma lokalisata ditandai dengan adanya penebalan atau sklerosis setempat
dan fibrosis pada kulit yang didahului dengan eritem dan bengkak pada daerah yang
terserang. Walaupun etiologinya belum jelas, namun terdapat 3 patologi yang digunakan
untuk mengidentifikasi skleroderma yaitu kerusakan endotel, agen immunologi, dan
aktivasi fibroblast. Pemberian glukokortikoid topikal, preparat penisilin sistemik, dan
fisioterapi dilakukan untuk memberikan terapi pada penyakit ini, walaupun belum
menunjukkan hasil yang memuaskan dan pada beberapa kasus ditemukan keadaan yang
sembuh dengan sendirinya.

8
1. Fitspatrick
2. Takchara K, Sato S. Localized Skleroderma is An Autoimmune Disorder.
Rheumatology. 2004. November. 44(3): 274-9
3. Djuanda S. Penyakit Jaringan Konektif. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Eds.
3rd Ed. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1999. P. 250-2
4. Haustein UF. Systemic sclerosis-Skleroderma. DOJ. 2003. [serial online]. [cited
2007 Juli 3]. 8(1):3-35. Available from
URL:http://dermatology.cdlib.org/94/NYU/Aug 2003/8.html
5. Rowell NR, Goodfield MJD. The “ Conective Tissue Disease”. In: Champion RH,
Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, editors. 6 th ed.Textbook Of
Dermatology.USA. Blackwell Science. 1998. p. 2501-44

6. Paul. Skleroderma. DOJ. 2001. July. [cited 2007 July 3];8(1):3-35.Available


from URL:http://dermatology.cdlib.org/94/NYU/Jul 2001/7.html
7. Tan FK. Autoantibodies against PDGF Receptor in Skleroderma. N ENG J MED.
2006.[serial online]. [Cited 2007 July 6]. 354 (25): 2709-11. Available from URL:
http://search.nejm.org/search?w=SKLERODERMA
8. Zhou X, et al. Systemic Sclerosis (Skleroderma) : Spesific Autoantigen Genes
Are Selectively Overexpressed in Skleroderma Fibroblasts. J of Immunology.
2001. 167: 7126-33.
9. Bergstrom Kg, Girardi M, Schaffer JV. Morphea. 2006. [online].[cited, 2007 Juli
3]. [3screens]. Available from URL :
http://www.emedicine.com/med/topic2926.htm
10. Schwartz RA, Bartkowiak BD, Jedrezejowska AS. Systemic Sclerosis. 2006.
[serial nline].[cited 2007 Juli 3]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/med/topic2925.htm

9
11. Sharma VK, Trilokraj T, Khaitan BK, Khrisna SM. Profile of systemic Sclerosis
in a tertiaru care center in North India. Indian J Dermatol Venereal Lepro.
2006November.[serial online]. [cited, 2007 Juli 2]. 72(6): 416-20. Available from
URL:http://www.ijdvl.com/article.asp?issn=0378
6323;year=2006;volume=72;issue=6;spage=416;epage=420;aulast=Sharma
12.

13.
14.

10

Anda mungkin juga menyukai