Anda di halaman 1dari 11

Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”

2009

ANETODERMA DAN
KELAINAN ATROFI KULIT LAINNYA

ANETODERMA
Epidemiologi

Lesi anetoderma biasa terjadi pada dewasa muda antara 15-30 tahun dan lebih sering pada
wanita. Telah dilaporkan ratusan kasus tentang anetoderma sejak dilaporkan pertama kali.(1)

Patogenesis

Patogenesisnya belum diketahui pasti. Kelainan disebabkan terutama karena


kerusakan serat elastis pada lapisan dermas kulit. Anetoderma dapat dihubungkan dengan
skar, karena pada skar juga terjadi penurunan sintesis serat elastis.(1)

Gejala Klinis

Ciri-ciri lesi adalah terdapatnya daerah yang flaksid (kendur), lesi terbatas, dengan
cekungan akibat kehilangan substansi dermas sehingga terjadi depresi tekanan, kerutan atau
sac-like protrusion (gambar 1). Lesi atrofi dengan warna senada warna kulit atau biru
keputihan ini memiliki diameter 5 hingga 30 mm. Jumlahnya bisa sedikit hingga ratusan,
permukaan kulit dapat mengerut, menipis dan biasanya terdapat depigmentasi dan tengahnya
cekung.(1)

Gambar 1. Anetoderma primer. A. Multipel, batas tegas, lesi depresi (cekung) kelihatan seperti
punched out pada daerah supraklavikuler. B. Lembut, sac-like prutrutions pada punggung. Jika
ditekan, akan ada fenomena buttonhole. Pasien gambar A dengan B sama. (Fizpatrick’s
Dermatology in General Medicine 2008: 558)

Tempat predileksi untuk lesi asimptomatik adalah pada dada, punggung, leher dan
ekstremitas atas. Biasanya lesi ini didapatkan pada dewasa muda dan lesi baru akan berlanjut
menjadi lesi lama yang dapat mengalami perbaikan dalam beberapa tahun.(1)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 1
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Lebih dari setengah kasus disertai dengan kelainan lain seperti lupus, antibodi
antifosfolippid, Grave’s disease, scleroderma, hipokomplementemia,
hipergammaglobunemia, hemodialisis autoimun dan infeksi HIV. Sangat penting adanya
skirining untuk antibodi antifosfolipid, karena pada kelainan tersebut menghasilkan
protrombotik, dan pada beberapa pasien memnuhi criteria untuk sindrom antifosfolipid.
Antibodi tersebut dapat dideteksi sebagai antibodi antikardiolipin, anti-β2 glikoprotein-I
antibodi atau antikoagulan lupus.(2)

Anetoderma primer terjadi jika tidak ada penyakit kulit yang mendasarinya
(berkembang dari kulit yang normal). Anetoderma dibagi atas 2 tipe, yaitu :

1. Disertai lesi inflamasi terutama eritema (tipe Jadassadu Pelizzari)


2. Tanpa lesi inflamasi (tipe Schwaninger Buzzi)
Pembagian ini hanya berdasarkan sejarahnya, karena kedua lesi ini bisa terjadi bersamaan
pada satu pasien, prognosis dan histopatologisnya sama.(1)
Anetoderma sekunder memperlihatkan lesi atrofi pada tempat yang sama dengan
patologi yang spesifik, penyebab utama berkaitan dengan acne dan varicella. Beberapa
dermatitis lainnya juga dikaitkan dengan anetoderma sekunder, seperti sifilis, Lyme disease,
moluskum kontaginosum, pilomatriconas, juvenile xanthogranuloma, xanthoma, granuloma
anulare, lapia, lupus diskoid, sarkoidosis dan liken planus.(1)
Anetoderma juga ditemukan pada infant dengan lahir prematur, walaupun pada
kebanyakan kasus bersifat sporadik, namun akhir-akhir ini baru dilaporkan dan biasanya
dihubungkan dengan kelainan kulit yang mendasari sebelumnya.(1)

Patologi

Pada pewarnaan jaringan elastis terutama pada bagian yang rusak dapat dilihat adanya
kehilangan jaringan elastis yang parsial ataupun komplit pada papilla atau pertengahan
retikuler dermis. (Gambar 2)(1)

Gambar 2. Anetoderma. Pada pemeriksaan patologi dapat ditemukan penurunan serat elastis pada
papilla dan retikuler dermis (Pewarnaan Weigert’s) (Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine
2008: 558)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 2
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Kelemahan jaringan elastis dapat megakibatkan flaksiditas dan herniasi. Pada


pemeriksaan imunofloresensi langsung memperlihatkan adanya deposit granular
immunoglobulin dan komplemen pada sepanjang tautan dermis-epidermis ataupun sekitar
pembuluh darah dermis kulit yang terkena. Pada mikroskop elektron memperlihatkan adanya
jaringan elastis terfragmentasi atau terpecah-pecah dan tidak teratur serta terfagosit oleh
makrofag.(1)

Diagnosis Banding

1. Nodul Keloid. Pada lesi ini lebih terasa tegas pada palpasi. Biasanya terdapat adanya
riwayat trauma. Perlu adanya pemeriksaan patologi untuk membedakan.(1)
2. Atrofi akibat glukokortikoid. Atrofi ini biasa terjadi pada trisep atau bokong dimana
injeksi biasa diberikan. Secara klinis, disebut sebagai atrofoderma. Diperlukan anamnesa
lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Dapat dilihat adanya kristal steroid pada dermis
jika dilihat polarisasinya.(1)
3. Nevus lipomatosus superfisial dari Hoffman dan Zurhelle. Pada nevus ini
memperlihatkan adanya nodul dengan warna senada warna kulit hingga kekuningan,
biasanya pada badan bagian bawah dan bokong sejak lahir. Secara histologis, dapat
ditemukan adanya liposit matur yang ektopik pada dermis.(1)
4. Papular elastorrhexis. Kelainan ini adalah didapat, dengan ciri papul nonfolikular
berwarna putih, tegas dengan ukuran 1 hingga 3 mm, biasa terdapat pada dada, abdomen
dan punggung. Secara patologis, terlihat degenerasi fokal dari serat elastis dan kolagen
normal. Tidak terdapat adanya kelainan di luar lesi kulit. Lesi ini oleh beberapa penulis
dipercaya merupakan varian dari nevi jaringan ikat atau bagian dari Sindrom Buschke-
ollendorff, sedangkan lainnya mengatakan bagian dari skar acne. Lesi ini dibedakan dari
anetoderma dengan lesi tegas tanpa adanya cekungan.(1)
5. Mid Dermal Elastolisis (MDE). MDE ini biasanya terkena pada area luas dengan
kerutan yang difus tanpa ada herniasi dan elastosis terbatas pada mid dermis (Tabel 1)

Tabel 1 Diagnosis banding Anetoderma primer ((Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine


2008: 558)

Terapi

Tidak ada terapi regular yang efektif. Pada anetoderma sekunder, terapi yang tepat pada
penyakit inflamasi yang mendasarinya dapat mencegah timbulnya lesi baru. Pada pasien
dengan lesi yang terbatas, dapat dilakukan eksisi bedah untuk kepentingan kosmetiknya.
Modalitas terapi lain telah dicoba namun tidak ada perubahan pada lesi atrofi, termasuk
injeksi intralesi triamsinolon dan pemberian aspirin, dapson, fenitoin, penisilin G (benzyl
Triani Hastuti Hatta
C20810705 Page 3
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

penicillin) dan vitamin E. Ada laporan perkembangan lesi membaik dengan hidroksi
kloroquin.(1)

KELAINAN ATROFI KULIT LAINNYA

MID DERMAL ELASTOLISIS


Mid dermal elastolisis (MDE) adalah kelainan jaringan ekastis yang diperoleh, dengan ciri
adanya patch dan plak yang difus, halus, kerutan dan banyak terjadi pada badan, leher dan
lengan. Kebanyakan yang menderita MDE adalah wanita Kaukasian dengan usia berkisar
antara 30 hingga 50 tahun.(1,3)

Patogenesis

Patogenesis penyakit ini tidak jelas. Paparan ultraviolet memiliki kontribusi yang banyak
dalam degenerasi serat elastis ini. Kemungkinan lain adalah autoimun melawan serat elastis
dan kerusakan serat elastis akibat pengeluaran elastase oleh sel inflamasi atau fibroblast. Data
terbaru bahwa proses inflamasi dan perubahan keseimbangan antara matriks
metalloproitenase dan inhibitor matalloproitenase dapat dijadikan pathogenesis MDE.(1,4)

Gejala Klinis

MDE bersifat asimptomatik, batas tegas, atau daerah dengan kerutan halus yang difus (gbr
3A). Dapat juga ditemukan patch yang eritem, teleangiektasis, walaupun jarang. Dapat juga
berupa papul perifolikular yang terpisah-pisah, terlepas dari folikel rambut dengan sendirinya
terlihat indentasi pada bagian tengah. Lesi ini bersifat kronik dan dapat memperlihatkan
adanya penuaan dini. Tidak ada riwayat dermatitis inflamasi tetapi ada kasus yang
melaporkan tentang eritema ringan hingga moderat. Kelainan ini tidak berhubungan dengan
penyakit sistemik.(1,3)

Gambar 3. Mid-dermal elastolisis. A. Kerutan halus yang berbatas tegas pada daerah leher pada
wanita usia pertengahan. B. Histologis dari mid-dermal elastolisis. Perhatikan kehilangan serat
elastis yang selektif pada daerah pertengahan dermis. Dapat dilihat jaringan elastis yang normal
pada papilla dermis superficial dan pada pars retikuler dermis. (Pewarnaan Weigert) (Fizpatrick’s
Dermatology in General Medicine 2008: 559)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 4
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Histopatologi

Secara patologi memperlihatkan epidermis yang normal dan infiltrat perivaskuler pada
dermis. Dapat ditemukan kehilangan serat elastis seperti bentuk pita pada mid dermis
(gambar 3B). Pada mikroskopik elektron dapat terlihat adanya fagositosis yang normal
seperti halnya degenerasi serat elastis oleh makrofag. (1)

Diagnosis Banding

1. Solar Elastosis. Kelainan ini dapat dibedakan dengan MDE dari segi onset, yaitu pada
orang yang lebih tua, berlokasi pada daerah yang terpapar matahari, berwarna kekuningan
dan terdapat kerutan yang kasar akibat hiperplasi dan abnormalitas dari serat elastis dan
degenerasi basofilik pada kolagen papilla dermis.(1,3)
2. Anetoderma. Pada lesi ini terdapat makula dan papul halus yang lebih kecil dengan
kerutan yang difus dan secara histologis terjadi elastolisis pada tiap lapisan dermis. (1,3)
3. Perifolikular elastolisis. Lesi ini dibedakan dengan MDE oleh karena kehilangan serat
elastis sebagian atau seluruhnya di sekitar folikel rambut. Dapat ditemukan adanya
stafilokokkus epidermidis pada folikel rambut dan stafilokokkus epidermidis adalah
etiologi dari lesi ini.(1,3)
4. Post inflammatory elastolysis dan Cutis laxa. Pada fase inflamasi, plak indurasi,
urtikaria, malaise dan demam, dengan kerutan difus, atrofi dan mengalami perubahan
bentuk yang lebih berat. Gigitan serangga dapat dikatakan sebagai pemicu lesi inflamasi
ini.(1,3)

Terapi

Tidak ada terapi yang efektif untuk MDE. Telah dicobakan penggunaan tabir surya, kolkisin
dan retinoid topikal tanpa ada hasil yang memuaskan.(1,3)

STRIAE
Striae biasa terdapat pada usia 5-50 tahun. Striae ini terjadi 2 kali lebih sering pada wanita
dibandingkan laki-laki. Umumnya berkembang sejak puberitas (25-35%) dan kehamilan
(77%).(1)

Faktor penyebab belum sepenuhnya diketahui, dapat karena kerusakan jaringan ikat
hingga terjadi atrofi dermis, hormon (khususnya kortikosteroid), stress dan genetik. Sindrom
Cushing, baik dari dalam maupun diinduksi oleh terapi sistemik steroid, merupakan penyebab
sering dari striae, dan hal ini terjadi setelah pemberian preparat kortikosteroid topikal,
terutama jika diberikan secara oklusi. Striae sering terjadi pada pasien dengan sindrom
Marfan.(1,2)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 5
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Pada wanita remaja, striae sering terjadi pada payudara, paha, punggung dan bokong
sedangkan pada pria remaja dapat ditemukan pada bahu, daerah lumbosakral dan paha.(1)

Striae akibat distensi pada wanita hamil terutama trimester akhir sering ditemukan
pada abdomen, jarang pada payudara dan paha. Biasanya lebih sering pada primigravid yang
berusia muda dibanding pada wanita yang berusia lebih tua. Striae gravidarum memiliki
resiko tinggi terjadi laserasi saat proses melahirkan. (1)

Gejala Klinis

Striae biasanya multipel, simetris, lesi atrofi yang linear. Awalnya, striae nampak sebagai
garis menonjol berwarna merah keunguan (striae rubra) (Gambar 4). Seiring waktu, terjadi
perubahan warna dan lesi menjadi atrofi, dengan garis putih dan kerutan (striae alba).
Ukurannya dari beberapa mm hingga beberapa cm. Dihubungkan dengan kortikosteroid
sistemik dan sindrom Cushing, yang dapat membuatnya lebih besar dan lebih lebar.(1,2)

Gambar 4. Striae rubra atau striae distensi (Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine 2008:
957)

Histopatologi

Secara umum, dapat terlihat penipisan dermis dan kolagen pada dermis atas. Kumpulan
kolagen menipis dan memanjang paralel pada epidermis, tetapi dapat juga tersusun
transversal searah striae. (1)

Histopatologi dari striae ini bervariasi dan tergantung dari tahap-tahap perkembangan, pada
lesi awal, terjadi infiltrasi pada perivaskuler dan interstisiel dan kadang terdapat eosinofil.
Pada lesi yang lebih tua, terjadi perubahan primer pada jaringan ikat penyambung. Kolagen
pada dermis atas berkurang dan kelompokam kolagen yang tipis memanjang parallel pada
epidermis seperti pada skar. Serat elastis bertambah, tapi hal ini dikarenakan oleh
berkurangnya kolagen. Ditemukan dilatasi pembuluh darah pada dermis.(2)

Diagnosis banding

Linear focal elastis. Lesi ini berbentuk pita seperti striae yang dapat teraba,
berwarna kuning pada punggung bawah ini meninggi dan berwarna kuning. Sering
terjadi pada laki-laki tua. (1)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 6
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Terapi

Strech mark dapat mengalami regresi spontan seiring waktu. Terapi topikal memperlihatkan
perbaikan pada striae tahap awal yaitu tretinoin 0,1% krim, kombinasi 0,05% tretinoin/20%
glycolic acid atau 10% L-ascorbid acid/20% glycolic acid. Dapat juga dilakukan 585 nm
pulsed dye laser tetapi hanya pada striae rubra. (1)

IDIOPHATIC ATROPHODERMA OF PASINI & PIERINI


Epidemiologi dan Patogenesis

Lesi ini merupakan bentuk atrofi dermis yang memperlihatkan depresi, biasanya pada
punggung dewasa muda. Hubungannya dengan morfea karena adanya kemiripan gejala klinis
dan histologis dengan atrofi yang terlihat pada plak morfea yang mengalami regresi.
Dilaporkan adanya antibodi Borrellia burgdorferi. Terdapat laporan kasus dimana terjadi
secara simultan adanya morfea, liken sklerosus dan atrofoderma pada pasien yang sama tetapi
pada daerah yang berbeda dan 22% memiliki plak superfisial morfea di luar fokus atrofinya.
(1,3)

Etiologi dari masih tidak diketahui. Pada beberapa kasus, faktor genetik dipikirkan
berperan seperti defisiensi C2 dan beberapa kasus familial/turunan. Distribusi zosterifiorm
ditemukan pada beberapa kasus yang dihubungkan dengan kemungkinan adanya penyebab
neurologik. Pada suatu penelitian ditemukan glikosaminoglikan dan dermatan sulfat pada
kulit yang terinfeksi. Pada penelitian lain, penelitian tentang imunofloresensi langsung
memperlihatkan adanya IgM dan deposisi C3 pada pembuluh darah kecil di papilla dermis
dan fibrinogen fokal pada mid dermis. (5)

Penyakit ini lebih sering pada wanita daripada laki-laki dengan rasio 6:1. Sering
dimulai pada usia 10-70 tahun. Lesi umumnya terjadi pada badan, terutama pada punggung,
daerah lumbosakral. Selain itu, juga dapat ditemukan pada dada, lengan dan abdomen.
Distribusinya simetris dan bilateral. (1)

Lesi biasanya tunggal atau multipel dengan bentuk bulat atau ovoid, ukuran bervariasi
dari beberapa cm hingga bentuk patches yang terdapat pada area yang luas pada badan.
(Gambar 4) (1,3)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 7
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Gambar 5. Atrofoderma dari Pasini dan Pierini. Terdapat lesi depresi (cekungan) berwarna
kecoklatan pada punggung (Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine 2008:560)

Lesi pada Idiopathic Atrophoderma of Pasini dan Pierini (IAPP) bervariasi, dengan
diameter antara 1-20 cm dan mengalami pembesarab secara perlahan dalam waktu 10 tahun
atau lebih, tetapi ada juga yang tidak mengalami perubahan berarti. Dapat terjadi indurasi
hingga sklerosis. (5)

Biasanya bersifat asimptomatik dan inflamasi lemah. Jika lesinya, mereka dapat
membesar dengan irregular dan patches kecoklatan. Permukaan kelihatan normal dan tidak
ada kulit yang mengalami indurasi atau sklerosis. (1)

Pinggir lesi biasanya tegas, pinggir cliff drop dari kedalaman 1-8 mm. Pada lesi
multipel, dapat terlihat seperti swiss cheese, sering terlihat pada bagian punggung karena
daerah punggung memiliki kulit yang tebal. Kulit disekelilingnya normal, tidak terdapat
eritem atau lilac ring seperti morfea. Hubungan antara IAPP dengan morfea masih
kontroversial. Beberapa pengarang mengemukakan bahwa IAPP dapat dibedakan dengan
morfea dari onset pada usia muda, dengan histologis tanpa sklerosis. Yang lainnya
mengemukakan bahwa IAPP adalah varian dari morfea yang terjadi akibat perkembangan
sklerosis sistemik pada beberapa pasien. (5)

Histopatologi

Epidermis biasanya normal atau sedikit atrofi. Kumpulan kolagen pada mid retikuler
dermis memperlihatkan derajat homogenisasi yang berbeda. Ketebalan dermis biasanya
berkurang dibandingkan dengan kulit normal. Pada awal kasus, terlihat clumping yang tidak
teratur dan kehilangan serat elastis, namun kemudian tidak ada lagi diperoleh keabnormalitas
tersebut.

Diagnosis banding

Lesi aktif morfea. Lesi ini mengalai indurasi, plak hiperpigmentasi dengan ciri khas
lilac ring pada perifer. (1)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 8
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Terapi

Tidak ada terapi yang terbukti efektif. (F) Walaupun demikian, psoralen dan UVA (PUVA),
potassium benzoic acid dan antibiotik oral dapat membantu beberapa pasien jika terjadi
peningkatan antibodi Borrelia burgdorferi. (5)

FOLLICULAR ATROPHODERMA
Kelainan ini dapat terjadi sebagai defek yang terisolasi, tidak berkembang, berkaitan dengan
berbagai kelainan dimana folikel rambut yang terhambat oleh keratin, atau genodermatosis
yang jarang. (1)

Dapat ditemukan adanya depresi ice pink di sekitar folikel rambut terutama pada
punggung tangan atau kaki dan leher. Skar ini dapat ditemukan pada awal kelahiran. Riwayat
keluarga dapat ditemukan kelainan seperti ini. (1)

Folikular atrophoderma ini sangat jarang dilaporkan, dan selalu dihubungkan dengan
kelainan congenital lainnya.(6)

Follicular atrophoderma dapat dibagi atas atrofoderma vermikulum, Bazex syndrome


dan Conrad Hnermann Syndrome (X-linked dominant chondrodysplasia punctata) (1)

Atrofoderma vermiculatum
Biasanya ditemukan pada pipi, terjadi secara sporadik, diturunkan sebagai kelainan
autosomal dominan, merupakan bagian dari kelompok keratosis pilaris atropicans dan
dikaitkan dengan sindrom lainnya. (1)
Papul inflamasi multipel yang simetris pada pipi, di sekeliling folikel rambut, dengan lesi
atrofi. Papul ini kemudian berkembang menjadi bintik-bintik, atau pola Honey comb
(sarang tawon) (Gambar 6) (1)
Lesi ini dapat menyebar ke daerah preaurikuler dan dahi. Onset lesi ini pada masa kanak-
kanak atau paling lambat sekitar pubertas. (1)
Histopatologi : Epidermis terdapat atrofi dengan ukuran interpapillaris yang makin
berkurang. Pada dermis terdapat dilatasi kapiler dan pembuluh darah terdapat infiltrasi
limfosit perivaskuler. Folikel dapat membesar, melengkung, berdilatasi dan
hiperkeratotik. (2)
Terapi : Kelainan ini hanya menimbulkan masalah kosmetik. Berbagai terapi topikal,
termasuk emolien, kortikosteroid, tretinoin dan keratolitik tidak memberikan perbaikan.
Isotretinoin sistemik menghentikan progresivitas lesi ini dan untuk induksi terjadinya
remisi. Pilihan lain untuk memperbaiki skar atrofi yaitu dengan menggunakan dermabrasi
dengan CO2 dan 585 nm pulsed-dye lasers. (1)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 9
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

Gambar 6. Atrofoderma vermikulatum. Multipe, kecil, skar bentuk bintik-bintik pada pipi wanita
muda (Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine 2008:561)


Bazex syndrome
Sindrom ini memiliki ciri sebagai follicular atrophoderma, multipel karsinoma sel basal,
hipotrikosis dan hipohidrosis local, digambarkan sebagai multipel ice-pink mark atau
patulous folikel dapat ditemukan terutama pada dorsal tangan. Sindrom ini merupakan
kelainan turunan dengan x-linked dominan dan gen yang terkait adalah Xq24-q27. Dapat
juga ditemukan hiperpigmentasi facial, milia, distrofi batang rambut dan trikoepitelioma
genital yang multipel. (1)


Conradi Hunermann Syndrom (X-linked dominant chondrodysplasia
punctata)
Sindrom ini merupaka kelainan x-linked dominan yang terjadi hanya pada wanita remaja
karena biasanya bersifat letal pada pria hemizigot. (F+FA) Defek molekuler yang terjadi
adalah mutasi pada gen emopamil binding protein, pada Xp11.23-p11.22. Manifestasi
klinis termasuk adanya eritroderma dengan skuama iktiosiform di sepanjang garis
Blaschko, yang biasanya mengalami resolusi pada tahun pertama kehidupan dan
digantikan oleh follicular atrophoderma. Dapat ditemukan hiperpigmentasi, katarak, skar,
alopesia, deformitas saddle-nose, defek asimetris pada otot dan kalsifikasi pada epifisis.
Pada histopatologis, terdapat iktiosis dengan sumbatan folikular keratotik yang
mengandung kalsifikasi distrofi. (1)

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 10
Kuliah Dermatologi Umum 3 “Anetoderma dan kelainan atrofi lainnya”
2009

DAFTAR PUSTAKA

1. Catherine Maari M, Julie Powell M. Anetoderma and other atrophic disorders of the
skin. In: Klaus Wolff M, FRCP, Lowell A.Goldsmith M, Stephen I.Katz M, Ph.D, al.
e, editors. Fizpatrick's Dermatology in General Medicine. seventh ed. New York: Mc
Graw Hill Companies; 2008. p. 557-61.
2. Abnormalities of dermal fibrous and elastic tissue. In: Wiiliam D James M, Timothy
G Berger M, Dirk M Elston M, editors. Andrews' disease of tke skin clinical
dermatology. tenth ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. p. 516-7.
3. Catherine Maari M, Julie Powell M. Atrophies of Connective Tissue. In: Jean L
Bolognia M, Joseph L Jorizzo M, Ronald P Rapini M, editors. Dermatology. London:
Mosby; 2003. p. 1539-47.
4. Ivonne Patroi M, Giorgio Annessi M, Giampiero Girolomoni M. Mid dermal
elastolysis : a clinical, histologic, and immunohistochemical study of 11 patients. J
Am ACAD 2003;48(6):846-51.
5. Calka O, Metin A, Kosem M. Idiophatic Atrophoderma of Pasini and Pierini. E J
Med. 2001;6(2):55-7.
6. W Perkins MBM, DW Webb M, JE White MF. Follicular atrophoderma in
association with congenital pseudoarthrosis of the tibia. J R Soc Med 1995;88:291-2.

Triani Hastuti Hatta


C20810705 Page 11

Anda mungkin juga menyukai