Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

Kusta (Lepra)

Disusun Oleh:

R. Luthfi Nur Fajri

Pembimbing:

dr. Mamik Setyawati P.

Bagian Kedokteran Komunitas I


Puskesmas Langensari 1 Kota Banjar
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2019
Daftar Isi
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Definisi kusta.............................................................................................1
1.2 Epidemiologi.............................................................................................1
1.3 Etiologi......................................................................................................4
1.4 Patogenesis................................................................................................4
1.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinik............................................................7
1.6 Pemeriksaan Fisik....................................................................................16
1.7 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................19
BAB II....................................................................................................................21
2.1 Tatalaksana..............................................................................................21
BAB III..................................................................................................................24
3.1 Reaksi Kusta............................................................................................24
BAB IV..................................................................................................................29
4.1 Komplikasi..............................................................................................29
4.2 Prognosis.................................................................................................29
BAB V....................................................................................................................30
5.1 Kesimpulan..............................................................................................30
Daftar Pustaka........................................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Kusta

1.1 Definisi kusta

Penyakit kusta disebut juga sebagai lepra atau morbus Hansen. Istilah
kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus
Hansen (MH), sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu dr. Gerhard
Armauer Henrik Hansen.1

Kusta merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang menular dan


disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M.leprae) yang bersifat intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.8

1.2 Epidemiologi

Penyebaran kusta sangat luas, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,


daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya
tergolong rendah. Semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat
juga penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi sosial ekonominya akan sangat
membantu penyembuhan. Terdapat lima negara teratas dengan kasus kusta
baru yang telah terdeteksi lebih dari 80%, yaitu India, Brazil, Indonesia,
Bangladesh dan Ethiopia. Manusia dianggap sebagai sumber utama infeksi
penyakit kusta. Adanya kontak langsung dengan penderita kusta dianggap
sebagai faktor risiko utama, namun masih belum jelas bagaimana cara
penularan organisme tersebut dari satu orang ke orang lain, tapi kemungkinan
besar oleh infeksi droplet.4,8

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, belum diketahui pasti


bagaimana cara penularannya hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Terdapat pula anggapan kedua

1
ialah secara inhalasi, karena M.leprae dapat hidup dalam droplet selama
beberapa hari. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40
tahun, namun pada umumnya beberapa tahun, rata – rata 3 sampai 5 tahun.
Adanya perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit kusta dari satu tempat
ke tempat lain membuat penyebaran penyakit kusta menjadi luas sampai
tersebar di seluruh dunia.8

Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia,


diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap
negara maupun dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda. Masih belum
jelas bagaimana penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu
negara.

Kusta bukanlah penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit,


folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin.
Sputum yang berasal dari traktus respiratorius atas dapat banyak mengandung
M.leprae. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Kusta
dapat menyerang semua usia, namun pada anak – anak lebih rentan daripada
orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun
didapatkan ± 11,39%, tetapi jarang sekali ditemukan pada anak di bawah umur
1 tahun. Penting dilakukan usaha pencatatan penderita kusta dibawah usia 1
tahun untuk mencari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital.8

World Health Organization (WHO) Weekly Epidemiological Report


melaporkan bahwa selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia,
dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiller
(MB) yang merupakan tipe yang menular. Data kasus kusta baru tahun 2012
tersebut, 6.667 kasus diantaranya diderita oleh kaum perempuan, sedangkan
2.191 kasus diderita oleh anak-anak. Kusta lebih banyak terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan ratio 2:1. Adapula variasi reaksi terhadap infeksi
M.leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-lain)
di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik.3,4,8

2
Secara global terdeteksi kasus baru sebanyak 211.973 kasus pada tahun
2015, namun terjadinya peningkatan pada tahun 2016 menjadi 214.783 kasus
baru yang dilaporkan dari 143 negara. Dari data WHO pada Desember 2016 –
Maret 2017, di Indonesia dengan jumlah populasi 263.991.379 jiwa, prevalensi
yang terdaftar terdapat 18.248 kasus, dan kasus baru yang terdeteksi pada
tahun 2016 terdapat 16.826 kasus, jumlah kasus baru mengenai MB yang
merupakan tipe kusta yang menular terdapat 14.165 kasus, lalu jumlah
penderita wanita pada kasus baru terdapat 6.314 jiwa, sedangkan jumlah
penderita anak kecil pada kasus baru terdapat 1.923 jiwa, penyakit kusta yang
mengakibatkan kecacatan tingkat 2 pada kasus baru mencapai 1.363 jiwa yang
dialami oleh orang dewasa, pada kasus baru tercatat anak kecil yang
mengalami kecacatan tingkat 2 terdapat 62 jiwa, pada tahun 2016 angka
kejadian kusta yang mengalami kekambuhan terdapat 229 kasus dan kasus dari
perawatan/pengobatan yang berulang terdapat 784 kasus.2

Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang


eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan
menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk.
Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia, sebagian besar negara atau wilayah
endemis telah mengalami penurunan tajam selama 12 tahun terakhir ini. Kasus
yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 yang berasal dari 121 negara tercatat
213.036 penderita, sedangkan jumlah kasus baru tercatat 249.007 pada tahun
2008. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada permulaan tahun
2009 adalah 21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 tercatat 17.441 orang.
Dengan distribusi yang tidak merata, daerah dengan distribusi tertinggi antara
lain Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per
10.000 penduduk adalah 0,76.8

Distribusi penyakit kusta di Indonesia, Indonesia telah mencapai status


eleminasi kusta, yaitu prevalensi kusta < 1 per 10.000 penduduk (<10 per
100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah itu Indonesia masih bisa
menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka prevalensi

3
kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan
angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain
itu, ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000
penduduk. Angka prevalensi ini belum dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10
provinsi di Indonesia.1

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat


terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Akibat adanya kerusakan saraf besar
yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik, dan sensorik, serta dengan
adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis
dan atrofi otot. Sehingga penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya
saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.8

1.3 Etiologi

Kuman penyebab adalah M.leprae yang ditemukan oleh G.Armauer


Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai berkarang belum juga
dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.leprae berbentuk kuman dengan
ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta gram positif.biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi
sistemik pada binatang armadilo. 1

1.4 Patogenesis

Sampai saat ini manusia dianggap sebagai satu – satunya sumber


penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada amadilo, simpanse dan
telapak kaki tikus yang memiliki kelenjar thymus. Pada tahun 1960 Shepard
berhasil menginokulasikan M.leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak di
sekitar tempat suntikan. Tidak ada perbedaan spesies dari berbagai macam
spesimen, baik bentuk lesi maupun negara asal penderita. Agar dapat tumbuh
diperlukan jumlah minimum M.leprae yang disuntikan dan kalau melampaui
jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.1

4
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti radiasi
900 r, sehingga kehilangan respons imun selularnya, maka akan menghasilkan
granuloma yang penuh kuman terutama di bagian yang relatif dingin, yaitu
cuping telinga, hidung, kaki, dan ekor.

M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab


penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat terjadi sebaliknya. Ketidakseimbangan
antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, disebabkan oleh respons imun
yang berbeda – beda, yang membangkitkan timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

M.leprae berbentuk basil, sel basil terdiri dari kerangka peptidoglikan


yang berikatan dengan arabinogalaktan dan asam mikolid. Protein imunogenik
berhubungan dengan dinding sel, dan juga terdapat sitoplasma. Dinding sel
berhubungan dengan lipoprotein, ligan untuk Pattern Recogition Receptors
(PRRs) seperti TLR2 (Toll-like Receptor 2) dan NOD2 (Nucleotide-binding
oligomerization domain-containing protein 2) dari sistem imun bawaan,
dimungkinkan menginisiasi respon pertama inang terhadap M.leprae. Respon
ini mungkin penting untuk membagi hasil klinis akhir.

Target lipoprotein dari kedua antibodi dan respon imun selular,


lipoarabinomanan, menembus melalui membran terluar dan masuk melalui
membran sel. Phenolic glycolipid 1 merupakan yang lebih umum, spesies
spesifik dan unsur immunogenik dari lapisan luar yang sangat non polar dari
basilus. Masuk melalui persarafan yang diperantarai dengan pengikatan dari
spesies spesifik trisakarida pada phenolic glycolipid 1 terhadap laminin-2 di
lamina basalis dari sel Schwann-unit akson.1

Beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa cara masuk M.leprae ke


dalam tubuh yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Masuknya M.leprae kedalam
kulit dipengaruhi oleh faktor imunitas pasien, kemampuan hidup M.leprae

5
pada suhu tubuh yang rendah, dan waktu regenerasi basil lama. M.leprae
bersifat obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar
pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf.
Pada saat basil M.leprae masuk ke dalam tubuh , maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darag, sel mononuklear,
histiosit) untuk memfagositnya.2

Pada tipe kusta LL, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular sehingga
makrofag tidak mampu menghancurkan basil. Basil dapat bermultiplikasi
dengan bebas, dan selanjutnya terjadi kerusakan jaringan. Kondisi tersebut
berbeda dengan kusta tipe TT. Pada kasus tipe TT , pasien memiliki
kemampuan fungsi sistem imunitas selular yang tinggi sehingga makrofag
mampu menghancurkan basil tersebut. Setelah semua bakteri tahan asam
tersebut difagositosis, maka makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang
bersifat inaktif. Jika infeksi tersebut tidak segera diterapi yang tepat, maka
akan gterjadi reaksi berlebihan, dan selanjutnya massa epiteloid tersebut akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Sel target utama untuk
pertumbuhan M.leprae adalah sel Schwann. Sel Schwann ini berfungsi sebagai
demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jika terjadi
gangguan imunitas tubuh di dalam sel Schwann, maka basil dapat bermigrasi
dan beraktifasi, sehingga aktifitas regenerasi saraf berkurang dan selanjutnya
akan terjadi kerusakan saraf yang progresif. Kekebalan selular (cell mediated
immunity = CMI) seseorang menentukan, apakah ia akan menderita kusta (bila
ia mendapat infeksi M.leprae) dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam
spektrum penyakit kusta.2

6
1.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinik

Terdapat beberapa klasifikasi dari kusta atau MH atau lepra :

Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA


Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar Multibasilar
(PB) (MB)
Puskesmas PB MB
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI

1) Madrid (1953):
Menurut Madrid klasifikasi dari lepra atau kusta berdasarkan lesi kulit
dan saraf secara klinis, bakteriologik (indeks bakteriologik [BI] – diukur
dari basil tahan asam pada dermis yang diekspresikan pada skala
logaritmik), imunologik (reaksi lepromin), dan histologik (infiltrat) terbagi
menjadi:1
a) Tuberkuloid (T)
b) Borderline (B)
c) Lepromatosa (L)

2) Ridley – Jopling (1966):


Ridley-Jopling membagi kriteria kusta atau lepra berdasarkan klinis,
bakteriologi, imunologis, dan histologis menjadi:
a) TT (Tuberkuloid Tuberkuloid)
b) BT (Borderline Tuberkuloid)
c) BB (Borderline Borderline)
d) BL (Borderline Lepramatous)
e) LL (Lepramatous Lepramatous)

Istilah spektrum determine diperkenalkan oleh Ridley-Jopling pada


penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

a) TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

7
b) LL: Lepramatous polar, bentuk yang stabil
c) Ti: Tuberkuloid indefinite
d) BT: Borderline Tuberkuloid
e) BB: Mid Borderline Bentuk yang labil

f) BL: Borderline Lepramatous


g) Li: Lepromatosa indefinite
h) Tipe I (indeterminate): tidak termasuk dalam spektrum

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100% merupakan


tipe yang stabil, jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah
tipe lepromatosa polar, yaitu lepromatosa 100%, LL juga merupakan tipe
yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan
Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas
50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-
tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe,
baik ke arah TT maupun ke arah LL.1

3) WHO (1982)
Multibasilar (MB) dan Pausibasilar (PB) WHO didasarkan pada
klasifikasi Ridley dan Jopling (atau madrid) dan juga berdasarkan pada BI.
a) PB = TT + BT (atau T) dan BI ≤ 1
b) MB = BB + BL + LL (atau B + L) atau BI ≥ 2

4) WHO (1988)
a) PB = TT + BT atau BI = 0
b) MB = BB + BL + LL atau BI ≥ 1

5) WHO (1996)
PB atau MB didasarkan pada jumlah dari lesi di kulit (≤ 5 atau > 5)

8
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe
LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri
(BI) lebih dari 2+. Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit
kuman yaitu tipe TT, BT, dan I dengan BI kurang dari 2+.

Pada tahun 1987 telah terjadi perubahan untuk kepentingan


pengobatan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan
BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai
BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta
MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen
MDT-MB.1

Adapun gambaran dari beberapa tipe kusta :

(a) (b)

Gambar. (a) dan (b) Kusta tipe borderline (BB)

9
(a) (b)

Gambar. Kusta tipe Lepromatosa (L). (a) beberapa infiltrat di pipi dan (b) nodula-
nodula di seluruh wajah

Gambar. Kusta tipe indeterminan (I)

(a) (b)

Gambar. Kusta tipe tuberkuloid (TT). (a) dan (b), tampak bagian tengah agak
tenang dan bagian tepi aktif

10
(a) (b)
Gambar. Kusta tipe tuberkuloid (TT). (a) dan (b) tampak pembesaran saraf

Manifestasi Klinik

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis


dan histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis yang
terpenting dan paling sederhana adalah secara klinis. Memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit untuk mendapatkan hasil bakterioskopis, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukannya tes
lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya dapat diketahui
setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan
terapi yang sesuai.

Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, gejala klinis akan
timbul sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila tampak gambaran klinis ke
arah tuberkuloid, menandakan SIS yang baik. Sebaliknya jika SIS rendah akan
memberikan gambaran lepramatosa.1

11
Tabel. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta MB

Sifat Lepromatosa Borderline Mid


(LL) Lepromatosa Borderline
(BL) (BB)
Lesi
1. Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shapped
Papul Papul (Kubah)
Nodus Punched-out

2. Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat


praktis tidak masih ada kulit dihitung, kulit
ada kulit sehat sehat sehat jelas ada
3. Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
4. Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,
agak berkilat
5. Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
6. Anastesia Tidak ada Tidak jelas Lebih jelas
sampai tidak
jelas
BTA
1. Lesi kulit Banyak Banyak Agak banyak
(ada globus)
2. Sekret Banyak Biasanya negatif Negatif
hidung (ada globus)
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya
negatif
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI

Tabel. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta PB

Sifat Tuberkuloid Borderline Indeterminate


(TT) Tuberkuloid (I)
(BT)
Lesi

12
1. Bentuk Makula saja; Makula Hanya
makula dibatasi dibatasi makula
infiltrat infiltrat;
infiltrat saja

2. Jumlah Satu, dapat Beberapa atau Satu atau


beberapa satu dengan beberapa
satelit
3. Distribusi Asimetris Masih Variasi
asimetris
4. Permukaan Kering bersisik Kering Halus, agak
bersisik berkilat
5. Batas Jelas Jelas Dapat jelas
atau tidak
6. Anastesia Jelas Jelas Tak ada
sampai
tidak jelas
BTA
1. Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau Biasanya
negatif hanya 1+ negatif
Tes lepromin Positif kuat Positif lemah Dapat
(3+) positif
lemah atau
negatif
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI

Akan dimasukkan dalam kusta MB, bila pada tipe-tipe tersebut disertai
BTA positif. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, B,
dan atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan
rejimen MDT-MB. Pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi
klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena, karena
pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan.1

Tabel. Diagnosis klinis menurut WHO (1995)

PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(makula datar, - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi
papul yang - Distribusi asimetris lebih simetris
meninggi, nodus) - Hilangnya sensasi yang - Hilangnya
jelas sensasi kurang
jelas
2. Kerusakan - Hanya satu cabang - Banyak
saraf saraf cabang saraf

13
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI

Gambar. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary


Sumber : Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta.
Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta.

Gambar. Kusta Tipe Multibacilary


Sumber:Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen
P2 dan PL. Jakarta.
Ada kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe, antara
diagnosis secara klinis dan histopatologik. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis
seseorang harus didasarkan pada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh
tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan
sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda
dengan tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan
kulit) pun dapat berbeda tipenya, sebagai contoh di sisi kiri berbeda dengan sisi
kanan. Begitu pula dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa
tempat dan dari tempat mana diambilnya biopsi tersebut. Sebagaimana pada

14
umumnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu
dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu: jarum, kapas,
tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta, dan
sebagainya.1

Kusta dikenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau
cacat tubuh. Dengan begitu orang awam pun dapat dengan mudah menduga ke
arah penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan
lainnya, bahkan para ahli kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta,
terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa makula hipopigmentasi,
hiperpigmentasi dan eritematosa. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa
komplikasi dapat berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Penyakit
kusta memiliki julukan The Greatest Imitator.

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom, perhatikan


terlebih dahulu daerah lesi tersebut. Karena dapat terlihat jelas adanya
dehidrasi pada daerah lesi tersebut atau dapat pula tidak terlihat adanya
dehidrasi, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda
Gunawan). Caranya dengan menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit
normal. Bila ada gangguan, akan tampak goresan yang lebih tebal pada kulit
normal bila dibangdingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi, yang terkadang dapat membantu dalam
pemeriksaan, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit akan
sangat sulit untuk menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan
Voluntary Muscle Test (VMT).1

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,


konsistensi, ada / tidaknya nyeri spontan dan / atau nyeri tekan. Hanya
beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.fasialis,
N.aurikularis magnus, N.radialis, N.ulnaris, N.medianus, N.poplitea lateralis,
dan N.tibialis posterior. Bagi tipe yang mengarah ke tipe lepromatosa, kelainan
saraf biasanya bilateral dan menyeluruh. Sedangkan bagi tipe tuberkuloid,
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Sesuai dengan patofisiologinya deformitas atau cacat kusta dapat dibagi


dalam deformitas primer dan sekunder.
1. Cacat primer

15
Sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
2. Cacat sekunder
Terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan
kaki

1.6 Pemeriksaan Fisik

Lakukanlah pemeriksaan di ruangan yang mendapat pencahayaan sinar


matahari tidak langsung yang cukup.Pemeriksaan harus dilakukan secara
sistematis di mana penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa. Mulailah
pemeriksaan dari kepala sampai kaki, kemudian bagian belakang tubuh mulai
dari leher, bahu, tubuh bagian belakang, lengan dan kaki.
Pemeriksaan mati rasa
Pemeriksaan anestesi (mati rasa) atau uji sensitivitas dengan menggunakan
:
 Kapas dan pasien diminta untuk menunjukkan arah gerakan kapas
tersebut.
 Tusukan ringan jarum steril untuk menentukan rasa sakit yang dialami
pasien.
 Tabung reaksi panas dan dingin untuk menentukan respon terhadap
suhu.
 Bandingkan antara satu lesi dengan lesi lainnya.
Uji sensitivitas dilakukan berganti-ganti pada daerah kulit yang normal
dan pada lesi kulit. Pastikan pasien tidak melihat daerah yang disentuh atau
ditusuk.
Uji sensitivitas digunakan untuk menilai seberapa besar kerusakan saraf
yang terjadi pada pasien. Sedangkan uji pembesaran saraf untuk menilai
berapa banyak serabut saraf perifer yang terlibat dan rusak pada penyakit
tersebut. Kedua uji ini sering dilakukan pada pasien tersangka penyakit kusta.

16
Pemeriksaan pembesaran saraf tepi
Pemeriksaan saraf tepi harus dilakukan sistematis dan dilakukan pada
ekstremitas kanan dan kiri. Meraba atau palpasi saraf harus dilakukan
sedemikian rupa, sehingga tidak menya-kiti pasien atau menimbulkan kesan
tidak baik pada pasien. Kuku jari pemeriksa sebaiknya tidak boleh panjang.
Pada pemeriksaan ini penderita harus dalam keadaan tenang dengan otot yang
dilemaskan.

Gejala – gejala kerusakan saraf:


N. ulnaris:
- anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- clawing pada kelingking dan jari manis
- atrofi otot hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.

N. medianus:
- anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah
- tidak mampu aduksi ibu jari
- clawing pada ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- adanya kontraktur pada ibu jari
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

N. radialis:
- anastesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.

N. poplitea lateralis:
- anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus.

N. tibialis posterior:
- anastesia telapak kaki

17
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.

N. fasialis:
- cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.

N. trigeminus:
- anastesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

Dapat terjadi kerusakan mata primer dan sekunder pada penderita kusta.
Kerusakan primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, dapat
pula mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis sebagian atau seluruhnya
pada N.orbikularis palpebrarum, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
dapat menyebabkkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya yang akhirnya
dapat menyebabkan kebutaan.1

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar


keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering
dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis.1

1.7 Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis terdapat beberapa pemeriksaan penunjang


yang dapat dilakukan:

1) Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)


Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), seperti ZIEHL-NEELSEN. Bila

18
hasil bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti
menandakan orang tersebut tidak mengandung kuman M.leprae.1

2) Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu
tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Apabila SIS orang tersebut
dalam keadaan tinggi, makrofag mampu memfagosit kuman. Datangnya
histiosit ke tempat kuman disebabkan karena adanya faktor kemotaktik.
Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag
akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan
kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat karena adanya massa epiteloid berlebihan
dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Gambaran histopatologik tipe
tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada
atau hanya sedikit kuman dan non-solid.1

3) Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis


kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta ialah:1
o Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
o Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
o ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)

19
o ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).

BAB II

2.1 Tatalaksana

Pengobatan kusta dimulai tahun 1949 dengan DDS (diaminodefil sulfon)


sebagai obat tunggal (monoterapi DDS). DDS untuk PB harus diminum selama
3-5 tahun, sedangkan untuk MB diminum selama 5-10 tahun, bahkan seumur
hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya
kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan
resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO

20
merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk
tipe PB maupun MB.1

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS,
kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3
obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritromisin.1
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:
- Mencegah dan mengbati resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan.

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang


direkomendasikan oleh WHO (Kemenkes RI Direktorat Jenderal PP & PL,
2012). Regimen tersebut adalah sebagai berikut:

a) Pada pasien kusta dewasa tipe PB


Diberikan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Satu blister untuk
1 bulan.
1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
2) Pengobatan harian: hari ke 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

b) Pada pasien kusta anak tipe PB (umur 10-15 tahun)


1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
2) Pengobatan harian: hari ke 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Diberikan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Satu blister untuk
1 bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk
blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:

21
o Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
o Dapson: 1-2 mg/kgBB
o Lampren: 1 mg/kgBB

Tabel. Pengobatan pasien kusta anak tipe PB

Jenis obat < 5 th 5.9 Th 10.15 > 15 th Keterangan


Th
Rifampi- 300 mg/ 450 mg/ 600 mg/ Minum
sin bln bln bln depan
Berdasar- petugas
DDS kan BB 25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum
bln bln bln depan
petugas
25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum di
hari hari hari rumah
Sumber: Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta, Kemenkes RI

c) Pada pasien kusta dewasa tipe MB


Diberikan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Satu blister
untuk 1 bulan.
1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
- 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

d) Pada pasien kusta anak tipe MB


1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
2) Pengobatan harian: hari ke 2-28
- 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Tabel. Pengobatan pasien kusta anak tipe MB

22
Jenis < 5 th 5-9 th 10-15 th > 15 th Keterangan
obat
Rifampi- 300 mg/ 450 mg/ 600 mg/ Minum
sin bln bln bln depan
petugas
Dapson 25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum
bln bln bln depan
Berdasar- petugas
kan BB 25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum di
bln bln bln rumah
Lampren 100 mg/ 150 mg/ 300 mg/ Minum
bln bln bln depan
petugas
50 mg 2x 50 mg 50 mg Minum di
seminggu setiap 2 per hari rumah
hari
Sumber: Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta, Kemenkes RI

Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment / RFT atau


Completion of Treatment / COT), penderita akan masuk dalam masa pengamatan
(kontrol / surveilance), yaitu penderita akan dikontrol secara klinik dan juga
bakterioskopik yang dilakukan minimal sekali dalam 1 tahun selama 5 tahun
untuk penderita kusta tipe MB. Sedangkan untuk penderita kusta tipe PB akan
dikontrol secara klinik sekali dalam 1 tahun selama 2 tahun. Bila pada masa
tersebut tidak ditemukan adanya kuman yang aktif, maka penderita dinyatakan
bebas dari pengamatan (Release from Control / RFC).1

23
2.2 Efek Samping Obat

Secara lengkap efek samping obat MDT dan penanganannya di uraikan


sebagai berikut:

a. Rifampisin

Jarang menimbulkan efek samping karena hanya diberikan sekali sebulan.

 Gangguan fungsi hati dan ginjal. Pada umumnya dengan pemberian


rifampisis 600 mg/ bulan aman bagi hati atau ginjal ( kecuali ada tanda-
tanda penyakit sebelumnya). Apabila timbul gejala gangguan fungsi hati
dan atau ginjal pengobatan MDT dihentikan sementara, dan dapat
dilanjutkan kembali bila fungsi hati dan atau ginjal sudah normal. Rujuk
pasien bila gangguan fungsi hati dan atau ginjal menetap/berat.
 Timbul kelainan/erupsi kuli
 Gangguan pencernaan misalnya rasa nyeri, mual, muntah dan diare
 Gejala seperti flu
 Perubahan warna urin

24
b. Dapson

Sindrom dapson adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang berbeda dengan


efek samping maupun efek toksik dari dapson. Kriteria diagnosis SD pada pasien
kusta adalah gejala timbul dalam 8 minggu setelah pemberian dapson, dan
menghilang dengan penghentian dapson. Sindrom dapson biasanya terjadi dalam
3-6 minggu setelah pemberian dapson. Dapat timbul dalam 2-6 jam pemberian
dapson jika telah ada pajanan terhadap dapson sebelumnya. Dapat pula terjadi
setelah 6 bulan pasien diterapi dapson dan mendapat kortikosteroid atau obat
imunosupresif lainnya. Sindrom dapson juga dapat terjadi 1-2 minggu setelah
dapson dihentikan. Hal tersebut disebabkan karena retensi dapson di jaringan dan
sirkulasi enterohepatik.1Gambaran klinis berupa gejala awal yang mendadak
berupa lesi kulit makulopapular generalisata dan diikuti gejala sistemis, seperti
demam tinggi, icterus, malaise, abnormalitas hematologis pada pasien setelah
terapi dimulai. Pada keadaan yang parah, lesi mukopapular dapat disertai dengan
peradangan, papul eritematosa, plak, vesikel, pustule, edema, kemudian kulit
bersisik. Selain itu dapat juga menyerang organ dalam ( hepar, kelenjar limfe, sel
darah merah, sumsum tulang, ginjal, jantung, paru, limpa, usus dan pancreas).
Tidak semua gejala harus ada dan tanda di atas harus ada untuk mendiagnosis SD.
Yang terpenting adalah harus ada lesi/dermatitis yang didahului oleh pengunaan
dapson. Jika timbul DS maka harus segera dilakukan dan dapat juga dilakukan
pengobatan suportif (keseimbangan cairan dan elektrolit, suhu, nutrisi, perawatan
lesi kulit, serta penanganan sepsis penting dalam tatalaksana SD.

Pemberian kortikosteroid sistemik dianjurkan bila ada keterlibatan organ


dalam atau terjadi lesi di mukosa walaupun tanpa keterlibatan organ dalam.
Tapering off kortikosteroid sistemik dilakukan selama lebih dari 1 bulan karena
dapson bertahan di jaringan sampai 35 hari, akibat adanya sirkulasi enterohepatik
dan ikatan protein. Prednison diberikan 60 mg/hari. Terapi alternatif yang dapat
diberikan berupa :

 Rimfapisin 600 mg/ bulan, ofloksasin 400 mg/bulan, minosiklin 100


mg/bulan selama 24 bulan
 Klofazimin 50 mg/hari, ofloksasin 400 mg/ hari dan minosiklin 100
mg/hari selama 6 bulan dilanjutkan klofazimin 50 mg/hari, minosiklin 100
mg/hari selama 18 bulan
 Rifampisin 600 mg/bulan, klofazimin 50 mg/hari, minosiklin 100 mg.hari
selama 18 bulan
 Rifampisin 600 mg/bulan, klofazimin 50 mg/hari, minosiklin 100 mg/hari
selama 12 bulan

25
 Rifampisin 600 mg/bulan, klofazimin 50 mg/ hari, prothionamid 250
mg/hari selama 12 bulan
c. Lampren

Dosis yang dipakai pada regimen MDT sangat jarang meimbulkan efek
samping yang antara lain gangguan saluran cerna, hiperpigmentasi kulit dan
mukosa dan kulit dan mukosa kering. Efek samping yang paling terlihat adalah
perubahan warna kulit, mulai dari merah ke ungu-hitam, tingkat perubahan warna
tergantung pada dosis dan jumlah infiltrasi kusta. Pigmentasi biasanya memudar
dalam waktu 6-12 bulan berhenti clofazimine, meskipun jejak-jejak perubahan
warna mungkin tetap sampai 4 tahun.8Pada efek samping lampren biasanya dapat
ditolerir sehingga pengobatan tidak perlu dihentikan.

26
BAB III

3.1 Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul,
terminologi dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai
patofisiologisnya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik.
Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat pula merugikan yang disebut
reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam
klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut
pada akhir-akhir ini, yaitu:1

a. ENL (eritema nodusum lepramatosum) dan

b. Reaksi reversal atau reaksi upgrading

a. Reaksi Kusta Tipe 1 (Reversal atau Upgrading)

Reaksi tipe 1 mempunyai ciri khas, yaitu timbulnya inflamasi akut


dari lesi kulit atau saraf ataupun keduanya. Kusta bentuk borderline (BT,
BB, BL) merupakan risiko kuat terjadinya reaksi tipe 1, namun dapat
terjadi pada kusta bentuk polar. Reaksi kusta tipe 1 mempunyai onset
cepat, sering berulang, dan dapat merusak saraf.1

Patogenitas

Reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction


seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi Mycobacterium
leprae (M. Leprae) dapat memicu ekspresi MHC kelas II pada permukaan
sel. Hal ini akan memicu limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi dengan
mediasi sitokin, seperti TNF. Pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat
perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Hasilnya dapat terjadi
upgrading/reversal karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-
kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction
lebih jarang ditemui karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai
pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.2

27
Meskipun teoritis reaksi tipe 1 dapat terjadi pada semua bentuk kusta
subpolar, jauh lebih sering terjadi pada bentuk BB, sehingga disebut reaksi
borderline. Reaksi ini ditandai dengan lesi yang bertambah aktif dan/ atau
timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi makula menjadi infiltrat dan lesi meluas.

Gejala Klinis

Gejala berupa perubahan lesi kulit ataupun saraf akibat peradangan


karena antigen M.leprae terdapat pada saraf dan kulit, khususnya sel
Schwan dan makrofag. Manifestasi lesi kulit berupa kemerahan, bengkak,
nyeri, dan panas. Pada saraf dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi
saraf. Gejala konstitusi umumnya lebih ringan dibanding reaksi tipe 2.2

Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi kusta tipe 1

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat


Lesi Kulit Tambah aktif, menebal, Lesi bengkak sampai
merah, panas, nyeri, pecah, merah, panas,
makula membentuk nyeri, kaki dan tangan
plaque bengkak, ada kelainan
kulit baru, sendi nyeri
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan dan/atau
dan gangguan fungsi gangguan fungsi

Pengobatan

Pasien kusta harus diedukasi mengenai risiko reaksi kusta tipe 1 saat
mendapatkan pengobatan MDT, sehingga dapat mencari pertolongan.
Pengobatan reaksi kusta tipe 1 bertujuan untuk mengatasi inflmasi akut,
rasa nyeri, dan kerusakan saraf. Pengobatan MDT seharusnya dimulai atau
dilanjutkan pada pasien dengan reaksi kusta tipe 1 tanpa mengurangi dosis.
Pasien reaksi kusta tipe 1 ringan diobati dengan analgetik dan sedatif bila
perlu, reaksi kusta tipe 1 berat diobati dengan kortikosteroid oral 30-40 mg
setiap hari selama satu bulan dan diturunkan 5 mg tiap bulan.

28
b. Reaksi Kusta Tipe 2 (ENL)

ENL atau reaksi kusta tipe 2 merupakan komplikasi imunologi BL


dan LL yang sulit diatasi. Sebagian besar pasien dengan reaksi tipe 2
mengalami beberapa episode dalam beberapa tahun, baik sebagai episode
akut yang multipel maupun ENL kronis.

Manifestasi kulit reaksi tipe 2 berupa lesi eritema luas, nodul


inflamasi, dan papul superfisial atau dalam. Ulkus, nekrosis, pustul, dan
bulae juga ditemukan. Neuritis dapat terjadi sebagai bagian dari reaksi tipe
2, namun neuritis pada reaksi tipe 2 tidak seberat pada reaksi tipe 1. Reaksi
tipe 2 dapat diikuti gejala sistemik seperti demam tinggi, edema perifer,
dan proteinuria transien.2

Patogenesis

Reaksi tipe 2 berhubungan dengan bakteri yang hancur, antigen serta


intensitas produksi antibodi. Patogenesis reaksi tipe 2 belum jelas.
Konsentrasi antigen bakteri yang tinggi dalam jaringan akan meningkatkan
kadar antibodi IgM dan IgG penderita tipe lepramatosa. Mekanisme
imunopatologi penting pada reaksi tipe 2 berupa formasi dan berkurangnya
kompleks imun serta aktivasi sistem komplemen dengan meningkatnya
mediator inflmasi. Pada kusta tipe lepramatosa aktivasi limfosit Th2
mempengaruhi produksi interleukin (IL) -4 dan IL-10, yang akan
menstimulasi respons imun humoral dan intensitas produksi antibodi
limfosit B. Sebanyak 15%-50% kusta tipe lepramatosa berkembang
menjadi reaksi tipe 2.2

Beratnya reaksi tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya produksi


sitokin oleh limfosit Th 2 sebagai respons imun tubuh untuk mengatasi
peradangan. Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interferon gamma
(IFN-γ) merupakan komponen sitokin spesifik pada ENL. Sirkulasi TNF

29
yang tinggi terjadi pada reaksi tipe 2, diduga akibat sel mononuklear pada
darah tepi yang dapat meningkatkan jumlah TNF.2

Tabel Perbedaan reaksi berat dan ringan kusta tipe 2

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat


Lesi Kulit Nodul nyeri tekan, Nodul nyeri tekan,
jumlah sedikit, hilang 2- pecah, jumlah banyak,
3 hari berlangsung lama
Keadaan Umum Tidak demam atau Demam ringan sampai
demam ringan berat
Saraf Tepi Tidak ada nyeri saraf Ada nyeri saraf dan
dan gangguan fungsi gangguan fungsi
Organ Tubuh Tidak ada gangguan Peradangan pada mata,
testis, limpa, gangguan
pada tulang hidung, dan
tenggorokan

Pengobatan

Tujuan pengobatan ENL adalah mengendalikan inflamasi, rasa nyeri,


dan pencegahan kecacatan. Kasus ringan dapat diobati tanpa
kortikosteroid.10

 Kortikosteroid

Prednison sering dipakai untuk pengobatan reaksi kusta tipe 2


berat, namun WHO tidak menetapkan dosis. Pada umumnya dosis awal
prednison 15-30 mg per hari, dikurangi bertahap berdasarkan respons
pasien.10

 Thalidomide

30
Sangat efektif untuk reaksi kusta tipe 2 berat. Thalidomide
mempunyai onset kerja cepat. Thalidomide bekerja melalui TNF dan
juga beberapa mekanisme lain. Penggunaan thalidomide dapat
mengurangi dosis kortikosteroid pada pasien reaksi kusta tipe 2 yang
berat. Dosis awal thalidomide 400 mg, dikurangi menjadi 300 mg secepat
mungkin, dosis dapat dikurangi 100 mg per bulan. Pemberian
thalidomide pada wanita hamil harus hati-hati karena mempunyai efek
teratogenik. Di Indonesia obat ini sudah tidak ada.10

 Klofazimin

Merupakan anti-inflamasi yang dapat digunakan untuk reaksi kusta


tipe 2 berat. Klofazimin mempunyai onset kerja lambat. Dosis 300 mg
per hari dapat mengontrol reaksi kusta tipe 2, dosis ini tidak boleh
diberikan lebih dari 12 bulan.

31
BAB IV

4.1 Komplikasi

a) Neuropati, mencakup penurunan fungsi sensorik, motorik, otonom saraf


perifer.
b) Ulkus atau fisura yang dapat mengakibatkan osteomielitis hingga amputasi
c) Pembentukan kalus, akibat penurunan aktivitas kelenjar keringat.
d) Kontraktur sendi, akibat paralisis otot. Untuk mencegah ini diperlukan
latihan fisik secara aktif maupun pasif.
e) Kelainan oftamologis, yaitu penurunan sensoris kornea (neurophati
trigeminal), lagofthalmus (neurophati facialis).
f) Pada reaksi ENL dapat ditemukan uveitis, daktilis, artritis, limfadenitis,
neuritis, miositis, maupun orchitis.

4.2 Prognosis

Pada umumnya baik apabila dilakukan pengobatan yang tepat. Akan tetapi
perlu dilakukan upaya pencegahan serta deteksi dini agar tidak mengalami
komplikasi yang mungkin terjadi.

32
BAB V

5.1 Kesimpulan

1. Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman


M.Leprae yang bersifat obligat intraselular, patofisiologi kusta masih belum jelas
betul.

2. Pengobatan kusta tipe manapun dapat menggunakan dengan Multi Drug


Therapy (MDT) untuk mencegahnya resistensi.

2. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan


penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terbagi menjadi 2, yaitu
reaksi tipe 1 (Reversal) dan reaksi tipe 2 (ENL).

33
Daftar Pustaka

1. Menaldi, Sri Linuwih. et al. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015. 87-102 p.
2. Prakoeswa FRS, Hermawan B, Prakoeswa CRS. Buku Ajar Kusta.

34

Anda mungkin juga menyukai