Kusta (Lepra)
Disusun Oleh:
Pembimbing:
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Kusta
Penyakit kusta disebut juga sebagai lepra atau morbus Hansen. Istilah
kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus
Hansen (MH), sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu dr. Gerhard
Armauer Henrik Hansen.1
1.2 Epidemiologi
1
ialah secara inhalasi, karena M.leprae dapat hidup dalam droplet selama
beberapa hari. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40
tahun, namun pada umumnya beberapa tahun, rata – rata 3 sampai 5 tahun.
Adanya perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit kusta dari satu tempat
ke tempat lain membuat penyebaran penyakit kusta menjadi luas sampai
tersebar di seluruh dunia.8
2
Secara global terdeteksi kasus baru sebanyak 211.973 kasus pada tahun
2015, namun terjadinya peningkatan pada tahun 2016 menjadi 214.783 kasus
baru yang dilaporkan dari 143 negara. Dari data WHO pada Desember 2016 –
Maret 2017, di Indonesia dengan jumlah populasi 263.991.379 jiwa, prevalensi
yang terdaftar terdapat 18.248 kasus, dan kasus baru yang terdeteksi pada
tahun 2016 terdapat 16.826 kasus, jumlah kasus baru mengenai MB yang
merupakan tipe kusta yang menular terdapat 14.165 kasus, lalu jumlah
penderita wanita pada kasus baru terdapat 6.314 jiwa, sedangkan jumlah
penderita anak kecil pada kasus baru terdapat 1.923 jiwa, penyakit kusta yang
mengakibatkan kecacatan tingkat 2 pada kasus baru mencapai 1.363 jiwa yang
dialami oleh orang dewasa, pada kasus baru tercatat anak kecil yang
mengalami kecacatan tingkat 2 terdapat 62 jiwa, pada tahun 2016 angka
kejadian kusta yang mengalami kekambuhan terdapat 229 kasus dan kasus dari
perawatan/pengobatan yang berulang terdapat 784 kasus.2
3
kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan
angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain
itu, ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000
penduduk. Angka prevalensi ini belum dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10
provinsi di Indonesia.1
1.3 Etiologi
1.4 Patogenesis
4
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti radiasi
900 r, sehingga kehilangan respons imun selularnya, maka akan menghasilkan
granuloma yang penuh kuman terutama di bagian yang relatif dingin, yaitu
cuping telinga, hidung, kaki, dan ekor.
5
pada suhu tubuh yang rendah, dan waktu regenerasi basil lama. M.leprae
bersifat obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar
pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf.
Pada saat basil M.leprae masuk ke dalam tubuh , maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darag, sel mononuklear,
histiosit) untuk memfagositnya.2
Pada tipe kusta LL, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular sehingga
makrofag tidak mampu menghancurkan basil. Basil dapat bermultiplikasi
dengan bebas, dan selanjutnya terjadi kerusakan jaringan. Kondisi tersebut
berbeda dengan kusta tipe TT. Pada kasus tipe TT , pasien memiliki
kemampuan fungsi sistem imunitas selular yang tinggi sehingga makrofag
mampu menghancurkan basil tersebut. Setelah semua bakteri tahan asam
tersebut difagositosis, maka makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang
bersifat inaktif. Jika infeksi tersebut tidak segera diterapi yang tepat, maka
akan gterjadi reaksi berlebihan, dan selanjutnya massa epiteloid tersebut akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Sel target utama untuk
pertumbuhan M.leprae adalah sel Schwann. Sel Schwann ini berfungsi sebagai
demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jika terjadi
gangguan imunitas tubuh di dalam sel Schwann, maka basil dapat bermigrasi
dan beraktifasi, sehingga aktifitas regenerasi saraf berkurang dan selanjutnya
akan terjadi kerusakan saraf yang progresif. Kekebalan selular (cell mediated
immunity = CMI) seseorang menentukan, apakah ia akan menderita kusta (bila
ia mendapat infeksi M.leprae) dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam
spektrum penyakit kusta.2
6
1.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinik
1) Madrid (1953):
Menurut Madrid klasifikasi dari lepra atau kusta berdasarkan lesi kulit
dan saraf secara klinis, bakteriologik (indeks bakteriologik [BI] – diukur
dari basil tahan asam pada dermis yang diekspresikan pada skala
logaritmik), imunologik (reaksi lepromin), dan histologik (infiltrat) terbagi
menjadi:1
a) Tuberkuloid (T)
b) Borderline (B)
c) Lepromatosa (L)
7
b) LL: Lepramatous polar, bentuk yang stabil
c) Ti: Tuberkuloid indefinite
d) BT: Borderline Tuberkuloid
e) BB: Mid Borderline Bentuk yang labil
3) WHO (1982)
Multibasilar (MB) dan Pausibasilar (PB) WHO didasarkan pada
klasifikasi Ridley dan Jopling (atau madrid) dan juga berdasarkan pada BI.
a) PB = TT + BT (atau T) dan BI ≤ 1
b) MB = BB + BL + LL (atau B + L) atau BI ≥ 2
4) WHO (1988)
a) PB = TT + BT atau BI = 0
b) MB = BB + BL + LL atau BI ≥ 1
5) WHO (1996)
PB atau MB didasarkan pada jumlah dari lesi di kulit (≤ 5 atau > 5)
8
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe
LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri
(BI) lebih dari 2+. Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit
kuman yaitu tipe TT, BT, dan I dengan BI kurang dari 2+.
(a) (b)
9
(a) (b)
Gambar. Kusta tipe Lepromatosa (L). (a) beberapa infiltrat di pipi dan (b) nodula-
nodula di seluruh wajah
(a) (b)
Gambar. Kusta tipe tuberkuloid (TT). (a) dan (b), tampak bagian tengah agak
tenang dan bagian tepi aktif
10
(a) (b)
Gambar. Kusta tipe tuberkuloid (TT). (a) dan (b) tampak pembesaran saraf
Manifestasi Klinik
Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, gejala klinis akan
timbul sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila tampak gambaran klinis ke
arah tuberkuloid, menandakan SIS yang baik. Sebaliknya jika SIS rendah akan
memberikan gambaran lepramatosa.1
11
Tabel. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta MB
12
1. Bentuk Makula saja; Makula Hanya
makula dibatasi dibatasi makula
infiltrat infiltrat;
infiltrat saja
Akan dimasukkan dalam kusta MB, bila pada tipe-tipe tersebut disertai
BTA positif. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, B,
dan atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan
rejimen MDT-MB. Pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi
klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena, karena
pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan.1
PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(makula datar, - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi
papul yang - Distribusi asimetris lebih simetris
meninggi, nodus) - Hilangnya sensasi yang - Hilangnya
jelas sensasi kurang
jelas
2. Kerusakan - Hanya satu cabang - Banyak
saraf saraf cabang saraf
13
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Sumber: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI
14
umumnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu
dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu: jarum, kapas,
tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta, dan
sebagainya.1
Kusta dikenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau
cacat tubuh. Dengan begitu orang awam pun dapat dengan mudah menduga ke
arah penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan
lainnya, bahkan para ahli kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta,
terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa makula hipopigmentasi,
hiperpigmentasi dan eritematosa. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa
komplikasi dapat berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Penyakit
kusta memiliki julukan The Greatest Imitator.
15
Sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
2. Cacat sekunder
Terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan
kaki
16
Pemeriksaan pembesaran saraf tepi
Pemeriksaan saraf tepi harus dilakukan sistematis dan dilakukan pada
ekstremitas kanan dan kiri. Meraba atau palpasi saraf harus dilakukan
sedemikian rupa, sehingga tidak menya-kiti pasien atau menimbulkan kesan
tidak baik pada pasien. Kuku jari pemeriksa sebaiknya tidak boleh panjang.
Pada pemeriksaan ini penderita harus dalam keadaan tenang dengan otot yang
dilemaskan.
N. medianus:
- anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah
- tidak mampu aduksi ibu jari
- clawing pada ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- adanya kontraktur pada ibu jari
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
N. radialis:
- anastesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
N. poplitea lateralis:
- anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus.
N. tibialis posterior:
- anastesia telapak kaki
17
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
N. fasialis:
- cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
N. trigeminus:
- anastesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
Dapat terjadi kerusakan mata primer dan sekunder pada penderita kusta.
Kerusakan primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, dapat
pula mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis sebagian atau seluruhnya
pada N.orbikularis palpebrarum, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
dapat menyebabkkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya yang akhirnya
dapat menyebabkan kebutaan.1
18
hasil bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti
menandakan orang tersebut tidak mengandung kuman M.leprae.1
2) Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu
tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Apabila SIS orang tersebut
dalam keadaan tinggi, makrofag mampu memfagosit kuman. Datangnya
histiosit ke tempat kuman disebabkan karena adanya faktor kemotaktik.
Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag
akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan
kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat karena adanya massa epiteloid berlebihan
dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Gambaran histopatologik tipe
tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada
atau hanya sedikit kuman dan non-solid.1
3) Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
19
o ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).
BAB II
2.1 Tatalaksana
20
merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk
tipe PB maupun MB.1
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS,
kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3
obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritromisin.1
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:
- Mencegah dan mengbati resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan.
Diberikan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Satu blister untuk
1 bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk
blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:
21
o Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
o Dapson: 1-2 mg/kgBB
o Lampren: 1 mg/kgBB
22
Jenis < 5 th 5-9 th 10-15 th > 15 th Keterangan
obat
Rifampi- 300 mg/ 450 mg/ 600 mg/ Minum
sin bln bln bln depan
petugas
Dapson 25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum
bln bln bln depan
Berdasar- petugas
kan BB 25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum di
bln bln bln rumah
Lampren 100 mg/ 150 mg/ 300 mg/ Minum
bln bln bln depan
petugas
50 mg 2x 50 mg 50 mg Minum di
seminggu setiap 2 per hari rumah
hari
Sumber: Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta, Kemenkes RI
23
2.2 Efek Samping Obat
a. Rifampisin
24
b. Dapson
25
Rifampisin 600 mg/bulan, klofazimin 50 mg/ hari, prothionamid 250
mg/hari selama 12 bulan
c. Lampren
Dosis yang dipakai pada regimen MDT sangat jarang meimbulkan efek
samping yang antara lain gangguan saluran cerna, hiperpigmentasi kulit dan
mukosa dan kulit dan mukosa kering. Efek samping yang paling terlihat adalah
perubahan warna kulit, mulai dari merah ke ungu-hitam, tingkat perubahan warna
tergantung pada dosis dan jumlah infiltrasi kusta. Pigmentasi biasanya memudar
dalam waktu 6-12 bulan berhenti clofazimine, meskipun jejak-jejak perubahan
warna mungkin tetap sampai 4 tahun.8Pada efek samping lampren biasanya dapat
ditolerir sehingga pengobatan tidak perlu dihentikan.
26
BAB III
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul,
terminologi dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai
patofisiologisnya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik.
Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat pula merugikan yang disebut
reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam
klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut
pada akhir-akhir ini, yaitu:1
Patogenitas
27
Meskipun teoritis reaksi tipe 1 dapat terjadi pada semua bentuk kusta
subpolar, jauh lebih sering terjadi pada bentuk BB, sehingga disebut reaksi
borderline. Reaksi ini ditandai dengan lesi yang bertambah aktif dan/ atau
timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi makula menjadi infiltrat dan lesi meluas.
Gejala Klinis
Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi kusta tipe 1
Pengobatan
Pasien kusta harus diedukasi mengenai risiko reaksi kusta tipe 1 saat
mendapatkan pengobatan MDT, sehingga dapat mencari pertolongan.
Pengobatan reaksi kusta tipe 1 bertujuan untuk mengatasi inflmasi akut,
rasa nyeri, dan kerusakan saraf. Pengobatan MDT seharusnya dimulai atau
dilanjutkan pada pasien dengan reaksi kusta tipe 1 tanpa mengurangi dosis.
Pasien reaksi kusta tipe 1 ringan diobati dengan analgetik dan sedatif bila
perlu, reaksi kusta tipe 1 berat diobati dengan kortikosteroid oral 30-40 mg
setiap hari selama satu bulan dan diturunkan 5 mg tiap bulan.
28
b. Reaksi Kusta Tipe 2 (ENL)
Patogenesis
29
yang tinggi terjadi pada reaksi tipe 2, diduga akibat sel mononuklear pada
darah tepi yang dapat meningkatkan jumlah TNF.2
Pengobatan
Kortikosteroid
Thalidomide
30
Sangat efektif untuk reaksi kusta tipe 2 berat. Thalidomide
mempunyai onset kerja cepat. Thalidomide bekerja melalui TNF dan
juga beberapa mekanisme lain. Penggunaan thalidomide dapat
mengurangi dosis kortikosteroid pada pasien reaksi kusta tipe 2 yang
berat. Dosis awal thalidomide 400 mg, dikurangi menjadi 300 mg secepat
mungkin, dosis dapat dikurangi 100 mg per bulan. Pemberian
thalidomide pada wanita hamil harus hati-hati karena mempunyai efek
teratogenik. Di Indonesia obat ini sudah tidak ada.10
Klofazimin
31
BAB IV
4.1 Komplikasi
4.2 Prognosis
Pada umumnya baik apabila dilakukan pengobatan yang tepat. Akan tetapi
perlu dilakukan upaya pencegahan serta deteksi dini agar tidak mengalami
komplikasi yang mungkin terjadi.
32
BAB V
5.1 Kesimpulan
33
Daftar Pustaka
1. Menaldi, Sri Linuwih. et al. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015. 87-102 p.
2. Prakoeswa FRS, Hermawan B, Prakoeswa CRS. Buku Ajar Kusta.
34