Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Refreshing dengan judul “Pemeriksaan Fungsi Luhur”
untuk memenuhi tugas laporan Refreshing yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
kepaniteraan klinik, khususnya dalam Departemen Neurologi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Irfan Taufik,
Sp.S, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga
tugas ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................4
2.1 Fungsi Luhur...............................................................................................................................4
2.2 Komponen Fungsi Luhur.............................................................................................................5
1. Fungsi Bahasa.........................................................................................................................5
2.      Fungsi Memori.....................................................................................................................7
3.      Fungsi Emosi........................................................................................................................8
4. Fungsi Kognitif..........................................................................................................................9
5. Fungsi Visuospasial.................................................................................................................10
2.3 Pemeriksaan Fungsi Luhur........................................................................................................10
1. Pemeriksaan Fungsi Bahasa.....................................................................................................10
2. Pemeriksaan Fungsi Memori...............................................................................................16
3. Pemeriksaan Fungsi Orientasi..............................................................................................17
4. Pemeriksaan Fungsi Kognitif...............................................................................................18
2.4 Pemeriksaan Sistem Sensorik....................................................................................................20
Pemeriksaan.................................................................................................................................20
a.Pemeriksaan sensibilitas...........................................................................................................21
b.Pemeriksaan rasa raba...............................................................................................................22
c. Pemeriksaan rasa nyeri........................................................................................................22
d. Pemeriksaan rasa suhu.........................................................................................................22
e. Rasa interoseptif..................................................................................................................23
BAB III................................................................................................................................................24
KESIMPULAN...................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................25

2
BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi luhur yang khas bagi manusia mencakup aktivitas yang memiliki
hubungan dengan kebudayaan, bahasa, ingatan, dan pengertian. Fungsi luhur
berkembang pada manusia melalui mekanisme neuronal yang memungkinkan
penyadaran dan pengenalan segala sesuatu yag berasal dari dunia luar dirinya,
sehingga menjadi pengalaman miliknya, yang dapat dimanfaatkan untuk
mengekspresikan dirinya kepada dunia luar.

Fungsi luhur merupakan sifat khas manusia. Penelitian mengenai


perbandingan otak dan berbagai binatang memperlihatkan perbedaan struktur yang
nyata. Yang membuat otak manusia jauh berbeda ialah korteks asosiatifnya, yang
menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer.

Dengan fungsi luhur memungkinkan seseorang untuk memberikan respon atau


tanggapan atas segala rangsang atau stimulus baik dari luar maupun dari dalam
tubuhnya sendiri sehingga dia mampu mengadakan hubungan intra maupun
interpersonal. Dengan adanya fungsi luhur menjadikan manusia dapat memenuhi
segala kebutuhan jasmani maupun rohani sesuai dengan moral yag berlaku.

Otak merupakan organ untuk berfikir yang dapat terganggu oleh berbagai
sebab. Bagian tertentu otak mernpunyai fungsi khusus, fungsi luhur dalam keadaan
normal merupakan fungsi integritas tertinggi otak yang dapat dinilai. Pada referat ini
akan dibahas mengenai fungsi luhur serta cara pemeriksaannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Luhur


Fungsi luhur ialah fungsi yang memungkinkan manusia dapat
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani sesuai dengan nilai moral yang
berlaku. Fungsi luhur adalah suatu fungsi pada manusia yang mengolah dan
mengintegrasi persepsi secara adekuat. Fungsi luhur merupakan hasil
pengolahan fungsi kortikal (korteks), dimana tiap bagian korteks berintegrasi
baik antar lobus dalam satu hemisfer maupun antar hemisfer. Yang dimaksud
dengan fungsi luhur yaitu:

1.      Fungsi bahasa

2.      Fungsi visuospasial

3.      Fungsi memori

4.      Fungsi emosi

5.      Fungsi kognitif

Fungsi luhur dipakai untuk menetapkan diagnosis dan rehabilitasi


pasien dengan penyakit otak pada kerusakan otak. Manusia normal dapat
melakukan gerakan dan tindakan tanpa diajarkan seperti duduk, jongkok,
berdiri yang juga dijumpai pada binatang, fungsi-fungsi ini disebut fungsi
dasar.

Fungsi motorik seperti bicara, menulis, membaca. Mengetik dan


mamainkan alat-alat musik atau alat lainnya termasuk fungsi luhur. Dengan
kata lain mengerti apa yang ditangkap panca indra, membuat simbol-simbol,
membuat dan manjalankan alat-alat terjadi melalui proses belajar. Fungsi-
fungsi ini dimungkinkan oleh adanya perkembangan korteks cerebri yang
lebih sempurna.

4
2.2 Komponen Fungsi Luhur
Fungsi luhur terdiri dari:

1. Fungsi Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi. Bahasa terdiri dari bahasa
verbal (ucapan), bahasa visual (tulisan). Untuk sebagian besar orang,
pusat bahasa terletak dibagian hemisfer otak kiri, yang disebut juga
sebagai hemisfer dominan.

Hemisfer kiri merupakan hemisfer dominan untuk orang


tangan kanan (right handed). Sebagian besar orang kidal hemisfer
dominan tetap dikiri. Kerusakan hemisfer kiri akan memberi gejala
gangguan bahasa / aphasia, sedang hemisfer kanan terutama
visuospatial. Hemisfer kiri dan kanan lobus temporalis kiri dan
kanan adalah pusat untuk memori.

Tangan kanan : 95 % pusat bahasa dihemisfer kiri


5 % dihemisfer kanan.
Tangan kiri : 70 % pusat bahasa di hemisfer kiri
15 % di hemisfer kanan
15 % di hemisfer bilateral (kanan kiri).

5
Secara anatomis ada daerah utama otak untuk fungsi bahasa, diantaranya adalah :

a. Dua daerah reseptif, yaitu:

1) Area wernicke merupakan daerah reseptif untuk bahasa yang


didengar.
2) Area garis anggularis merupakan daerah reseptif untuk bahasa yang
dilihat. Seseorang dapat terganggu wicaranya saja atau terganggu
bahasa saja. Perbedaannya yaitu gangguan wicara bersifat perifer,
disebabkan kelainan saraf perifer, otot, dan struktur yang dipakai
bicara. Sedangkan gangguan bahasa sifatnya sentral, disebabkan oleh
kelainan korteks cerebri (fungsi luhur).

b. Suatu daerah yang berfungsi ekspresif, area brocca untuk bicara.


Hubungan antara area wernicke dan area brocca melalui serabut
fasikulus arkuatus. Aspek afektif bahasa meliputi yaitu: inotasi bicara
dan emosi ekspresi, pusat bahasa efektif terdapat pada hemisfer
dominan (homologi dengan area wernike dan area brocca, dihemisfer
dominan).
Kerusakan pada daerah temporal non dominan yang homolog
dengan area wernicke akan terjadi gangguan dalam lagu kalimat.
Kerusakan pada daerah brocca akan menjadi dominan yang homolog
dengan area brocca akan menjadi gangguan emosi ekspresi dalam
bicara. Bila ada kerusakan hemisfer dominan tidak ada kesulitan dalam

6
bahasa non verbal, seperti menggunakan isyarat muka, dan tangan
sewaktu bicara.
Bila ada gangguan hemisfer non dominan masih dapat berbahasa
dengan tata bahasa yang benar, tapi tampak berbahasa tanpa lagu
kalimat, monoton tanpa penekanan dan tidak mampu menggunakan
isyarat muka, dan tangan sewaktu bicara.
Bila ada gangguan pada hemisfer dominan akan terjadi afasia, yaitu:
a. Ketidakmampuan untuk mengerti bahasa (afasia wernicke-
afasia sensorik) seperti berikut ini:
1) Tidak mengerti bahasa ucapan maupun bahasa lisan.
2) Tidak dapat mengulang kata-kata
3) Tidak dapat memberi nama benda
4) Tidak bisa membaca dan menulis
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan bahasa (afasia
brocca-afasia motorik), seperti:
1) Berbicara tidak lancar
2) Kesulitan mengeluarkan kata-kata
3) Tidak dapat mengulang kata-kata yang didengar
4) Tidak dapat memberi nama benda walaupun masih
mengenal benda tersebut.

2.      Fungsi Memori
Memori yaitu kemampuan seseorang untuk menyimpan
informasi/pengenalan untuk di kemukakan suatu saat. Mekanisme
memori terjadi melalui tiga tahap yaitu :

a.    Resepsi

Informasi diterima dan dicatat oleh pusat otak primer, seperti


penglihatan atau perabaan. Penyimpanan sangat singkat dan bersifat
temporer.

b.    Retensi

Informasi lebih lama dan lebih permanen. Ini disebabkan oleh


informasi dan pengalaman terjadi berulang-ulang.

7
c.    Recall

Proses mengingat kembali informasi yang disimpan.

Ada tiga bentuk memori sebagai berikut ini:

a.    Immediate memory (segera)

Rentang waktu antara stimulus dengan recall hanya


beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian
untuk mengingat (atensi). Memori yang berlangsung sangat
singkat dan hanya beberapa detik saja, misalnya mengulang
kata-kata.

b.    Recent memory (Jangka pendek)

Yaitu memori yang disimpan dalam waktu yang


beberapa menit, jam atau hari.  Mudah dilupakan dan kadang-
kadang sukar diingat kembali misalnya mengingat nama orang
tua atau nomor telepon.

c.     Remote memory (jangka panjang)

Yaitu memori yang tidak berakar, sukar dilupakan


seperti nama sendiri, nama orang tua, tanggal lahir dan
sebagainya. Rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seusia
hidup

Struktur anatomi dalam penyimpanan memori adalah:

a.    Pusat otak primer dan asosiasi ialah korteks serebri, berperan


dalam penyimpanan remot memori.

b.    Sub korteks

1)   Hipokampus, bagian lobus temporalis

2)   Sistem limbik

Berperan dalam penyimpanan recent memory

8
3.      Fungsi Emosi

Yang termasuk emosi yaitu rasa senang, marah, sedih, takut,


kasih sayang, dan lain-lain. Emosi merupakan perasaan kompleks
(menyenangkan atau tidak menyenangkan) pada organisme yang
melibatkan perubahan aktivitas organ tubuh terutama organ visceral.
Emosi berada di bawah kontrol sistem saraf otonom yang dapat
mendorong munculnya respon atau perilaku tertentu. Komponen emosi
terdiri dari: stimulus (nyata atau khayalan), afek atau perasaan,
perubahan aktivitas otonom organ visceral, dan dorongan aktivitas atau
perilaku tertentu. Emosi marah dan takut perlu untuk mempertahankan
diri.

Bagian otak yang berkaitan dengan emosi adalah sistem limbik.


Sistem limbik merupakan batas antara diensefalon (batang otak)
dengan cerebrum. Bangunan utama sistem limbik adalah amigdala,
septum (dinding), hipokampus, girus singulatus, thalamus anterior,
dan hipotalamus Menurut papez (1958, yang dikenal sebagai sirkuit
papez), bagian otak yang mengurus emosi adalah hipokampus,
amigdala, corpus mamillare, nuclei anterior thalamus, dan girus
singulatus.

4. Fungsi Kognitif

Kognitif adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan


sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif,

9
persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor. Fungsi eksekutif melibatkan
penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir. Aspek kognitif
bahasa adalah mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata,
kefasihan dan pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah
berhubungan dengan pemrograman dan eksekusi motorik. Semua
fungsi kognitif dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suasana hati
(sedih atau gembira), tingkat kewaspadaan dan tenaga, kesejahteraan
fisik dan juga motivasi. Semua proses mental yang digunakan oleh
organisme untuk mengatur informasi seperti memperoleh input dari
lingkungan (persepsi), memilih (perhatian), mewakili (pemahaman)
dan menyimpan (memori) informasi dan akhirnya menggunakan
pengetahuan ini untuk menuntun perilaku (penalaran dan koordinasi
output motorik).

5. Fungsi Visuospasial

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan


konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam
gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua
lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal
terutama hemisfer kanan berperan paling dominan. Menggambar jam
sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi
eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan
parietal.

Gangguan visuospasial sering timbul dini pada demensia.


Pasien banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan malam, lupa
wajah teman dan sering tidak tahu tempat sehingga sering tersesat
(disorientasi waktu, tempat dan orang). Secara obyektif gangguan
visuospasial ini dapat ditentukan dengan meminta pasien mengkopi
gambar atau menyusun balok-balok sesuai bentuk.

10
2.3 Pemeriksaan Fungsi Luhur

1. Pemeriksaan Fungsi Bahasa


Gangguan fungsi bahasa disebut afasia atau disfasia
yaitu kelainan berbahasa akibat kerusakan di otak, tetapi bukan
kerusakan/gangguan persarafan perifer otot-otot bicara,
artikulasi maupun gangguan penurunan inteligensia.

Ada 2 jenis afasia:


a. Afasia motorik
Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak
mampu mengeluarkan isi pikirannya.
 Afasia motorik kortikalis apabila penderita tidak dapat
mengeluarkan isi pikirannya baik secara verbal, tulisan,
maupun isyarat. Letak lesi di cortex cerebri dominan.
 Afasia motorik subkortikalis (afasia motorik murni)
apabila penderita tidak dapat mengeluarkan isi
pikirannya secara verbal namun masih dapat dengan
tulisan maupun isyarat. Letak lesi di subcortex
hemispher dominan.
 Afasia motorik transkortikalis apabila penderita tidak
dapat mengeluarkan isi pikirannya tetapi masih dapat
membeo. Letak lesi ditranskortikalis kartek Broca dan
Wernicke.
Cara pemeriksaan:
Mengajak penderita berbicara mulai dari hal yang
sederhana sampai hal-hal yang sukar yang pernah diketahui
penderita sebelumnya. Bila tidak bisa disuruh menuliskan
jawaban atau dengan isyarat.
Syarat pemeriksaan:
Penderita dalam keadaan sadar penuh dan bahasa yang
dipakai saling dimengerti.

b. Afasia sensorik

11
Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak
dapat mengerti isi pikiran orang lain walaupun alat bicara
dan pendengarannya baik.
 Afasia sensorik kortikalis apabila penderita tidak dapat
mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan balk
secara verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di area
cortex Wernicke (sensorik).
 Afasia sensorik subkortikalis apabila penderita tidak
dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan
secara verbal, sedangkan tulisan dan isyarat dapat
dimengerti. Letak lesi di subcortex Wernicke.
 "Buta kata-kata" (word Blindness)
 Penderita masih mengerti bahasa verbal namun tidak
lagi bahasa visual. Hal ini jarang terjadi.
Cara pemeriksaan:
Penderita diberi perintah untuk melakukan sesuatu tanpa
contoh. Bila tidak bisa baru diberikan secara tulisan atau isyarat. Syarat
pemeriksaan sama dengan afasia motorik.
c. Gangguan bahasa lainnya
 Apraksia
Penderita tidak bisa melaksanakan fungsi
psikomotor. Cara: beri perintah untuk melakukan
gerakan yang bertujuan misalnya membuka kancing
baju, dan lain-lain.
 Agrafia
Penderita tidak bisa menulis lagi (tadinya bisa).
Cara: beri perintah untuk menuliskan kata-kata yang
didiktekan.
 Alexia
Penderita tidak bisa lagi mengenali tulisan yang
pernah dikenalnya. Cara: beri perintah untuk
membaca tulisan atau kata-kata yang pernah
dikenalnya.

12
 Astereognosia
Penderita tidak bisa mengenali bentuk benda dengan
cara meraba. Cara: dengan mata tertutup penderita
disuruh menyebutkan benda dengan cara
merabanya.
 Abarognosia
Penderita tidak mampu menaksir berat benda yang
berada di tangannya (perabaan). Cara: penderita
disuruh menaksir berat benda yang berada di
tangannya.
 Agramesthesia
Penderita tidak bisa rnengenal tulisan yang
dituliskan di badannya. Cara: penderita disuruh
menyebutkan kata-kata yang dituliskan di badannya
dengan mata tertutup.
 Asomatognosia
Penderita tidak mampu menunjukkan bagian-bagian
tubuhnya kiri atau kanan.

Dalam berbahasa tercakup berbagai kemapuan yaitu: bicara spontan,


komprehensi, menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.

a. Pemeriksaan kelancaran bicara


Seseorang disebut berbicara lancar bila bicara spontanya lancar,
tanpa tertegun-tegun untuk mencari kata yang diinginkan. Kelancaran
bicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila
kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah
berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan atau pada demensia dini.
Defek yag ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata
yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi dalam jangka waktu yang
terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan
selama jangka waktu satu menit, atau menyebutkan kata-kata yang
dimulai dari huruf tertentu. Misalnya huruf S atau B dalam satu menit.

13
Menyebutkan nama hewan: pasien disuruh menyebutkan sebayak
mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlanya serta
kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Skor: orang normal umumnya
mampu menyebutkan 18-20 nama hewan selama 60 detik dengan variasi
5-7. Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tes
ini.

b. Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan


Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit
dinilai. Langkah berikut dapat digunakan untuk mengevaluasi
pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi,
suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat
dinilai kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan
oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana sampai
yang sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien memahami.
Mula-mula suruh pasien tepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya,
misalnya: mengambil pensil, letakkan kotak diatas kursi dan sebagainya.
Suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan
motorik, walaupun pemahamannya baik.
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya
kunci, arloji, pulpen, geretan. Suruh pasien menunjuk salah satu benda
tersebut. Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk 1 sampai
2 objek saja.
Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan
yang dijawab denga “ya” atau “ tidak”. Mengingat kemungkinan salah
ialah 50%, jumlah pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan.
Misalnya :
 Andakah yang bernama Santoso?
 Apakah AC dalam ruangan ini mati ?
 Apakah ruangan ini kamar di hotel ?
 Apakah diluar sedang hujan ?

14
 Apakah saat ini malamm hari?
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah dipahami dan
kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: “tunjukkan lampu”,
kemudian “tunjukkan gelas yang ada di samping televisi”

c. Pemeriksaan repetisi
Kemampuan mengulag dinilai dengan menyuruh pasien
mengulang mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian
ditingkatkan menjadi kalimat.
Cara pemeriksaan:
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan pemeriksa. Mula-
mula sederhana kemudian lebih sulit, contoh:
d. Map
e. Bola
f. Kereta
g. Rumah sakit
h. Sungai barito
i. Lapangan latihan
j. Kereta api malam
k. Besok aku pergi dinas
l. Rumah ini selalu rapi
m. Sukur anak itu naik kelas
n. Seandainya si Amat tidak kena influenza
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini
didapatkan parafasia, salah tata bahasa, kelupaan, dan penambahan. Orang
normal umumnya mampu mengulang kalimat yag mengandung 19 suku-
kata.

d. Pemeriksaan menamai dan menemukan kata


Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi
berbahasa. Hal ini sedikit banyak terganggu pada semua penderita afasia.

15
Dengan demikian, semua tes yang digunakan untuk menilai afasia
mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata
erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini
disebut anomia.
Cara pemeriksaan: terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek
tersebut. Bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu
tindakan. Perlu digunakan benda yang sering digunakan misalnya arloji,
sisir dan yang jarang digunakan misalnya pedang. Apabila pasien tidak
mampu atau sulit dapat dibantu dengan kalimat penuntun atau suku kata.
Misalnya : “kita memotong dengan pi... “
Yang penting kita nilai adalah sampainya pasien pada kata
yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama objek).
Cara pemeriksaan : kita dapat menilai dengan memperlihatkan
misalnya arloji dan bagian dari arloji, bolpoin, kacamata. Objek yang ada
di ruangan misalnya meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh
misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna, dan bagian dari objek
(jarum, lensa, dll).

e. Pemeriksan sistem bahasa


Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu
diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi,
dan menamai.
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa
lisan. Selain itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan,
dengan melihat penggunaan tangan dominan.

f. Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)


Penggunaan tangan dan sisi otak yag dominan mempunyai kaitan
yang erat. Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang
dominan, dengan melihat penggunaan tangan.

2. Pemeriksaan Fungsi Memori


Secara klinis gangguan memori (daya mengingat) ada 3 yaitu: 

16
1. Immediate memory (segera) 
2. Short term memory/recent memory (jangka pendek) 
3. Long term memory/remote memory (jangka panjang) 

Cara pemeriksaan :
a. Immediate memory 
Yaitu daya mengingat kembali suatu stimulus yang diterima
beberapa detik lalu. Cara: penderita disuruh mengulang deret nomor
yang kita ucapkan. Seperti di bawah ini: (disebut digit span)
4-9 
2-5-3 
4-7-2-8 
6-2-7-5-3 
4-9-1-5-8-2 
5-3-9-4-1-8-6
dikatakan masih normal jika seseorang dapat mengulang sebanyak 7
digit. 
b. Recent memory
Yaitu daya mengingat kembali stimulus yang diterima beberapa
menit, jam, hari yang lalu.  Cara: penderita disuruh menceritakan
pekerjaan/peristiwa yang dikerjakan/dialami beberapa  menit/jam/hari
yang lalu.
c. Remote memory

Tes memori ini dapat mengenai informasi pribadi, pengetahuan


umum dan sejarah. Data pribadi membutuhkan verfikasi dari orang lain
yang mengetahui, pengetahuan umum dan sejarah dipengaruhi oleh
tingkat edukasi, pengalaman sosial dan intelegensi premorbid.

Informasi pribadi : dulu dilahirkan dimana? Riwayat sekolah,


pekerjaan dan tentang keluarga (siapa nama istri? Usia nya berapa?)
untuk memeriksa pengetahuan umum pasien dapat disuruh

17
menyebutkan empat wakil presiden Indonesia atau kerusuhan terakhir
yang beritanya menyebar cukup luas.

sedangkan memori yang dilihat (visual memory) dapat


diperiksa sebagai berikut: 

 penderita disuruh mengingat nama-nama benda yang


diperlihatkan kepadanya kemudian benda - benda tersebut
disembunyikan. Beberapa waktu kemudian penderita disuruh
mengulang nama-nama benda tersebut.  Pemeriksaan memori
visual lebih berguna bagi pasien dengan kemampuan verbal
kurang atau dengan pendidikan yang kurang.

3. Pemeriksaan Fungsi Orientasi


Orientasi terhadap orang (individu). Waktu, dan tempat perlu dinilai.
Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar dengan
pengalaman lampau. Orientasi terhadap waktu dan tempat dapat dianggap sebagai
ukuran memori jangka pendek, yaitu kemampuan pasien memantau perubahan
sekitar yang kontinyu. Bila orientasi pasien terganggu, hal ini dapat merupakan
petunjuk bahwa memori jangka pendeknya mungkin terganggu. Secara klinis
pemeriksaan orientasi ada 3 yaitu:
a. Orientasi terhadap orang
Siapa nama anda?, berapa usia anda?, apa tugas anda?, apa tugas
anda?, kapan anda dilahirkan?, apakah mengenal orang lain di sekitar
anda, serta pemeriksa sebagai dokter.
b. Orientasi terhadap tempat
Dimana anda sekarang berada?, apa nama tempat ini?, di kota mana
kita sekarang berada?
c. Orientasi terhadap waktu
Hari apa sekarang? Hari ini tanggal berapa? Bulan apa? Tahun berapa/
kira-kira jam berapa sekarang?
Catatan: 
Semua pemeriksaan fungsi luhur ini baru dapat diperiksa pada penderita
yang mempunyai kesadaran penuh atau baik dan tidak mengalami
gangguan mental, kemunduran inteligen maupun kerusakan organ-organ

18
atau persarafan perifer yang terkait. Harus diingat bahwa pemeriksaan
fungsi luhur adalah pemeriksan fungsi-fungsi cortex cerebri yang terkait.

4. Pemeriksaan Fungsi Kognitif


Perangkat terstandarisasi, sederhana dan praktis untuk menilai ada
tidaknya gangguan FKL dan kognitif adalah Mini Mental State Examination
(MMSE). Komponen yang dapat dinilai melalui MMSE antara lain: orientasi,
registrasi, atensi dan kalkulasi, memory recall, dan fungsi bahasa. MMSE
merupakan perangkat yang praktis dan efektif yang digunakan sebagai skrining
untuk mengetahui adanya gangguan kognitif, baik di masyarakat, komunitas usia
lanjut, pasien rumah sakit, maupun institusi lainnya. Namun demikian, MMSE
tidak dapat digunakan untuk menggantikan perangkat penilaian status mental dan
kognitif secara lengkap. MMSE diperkenalkan oleh Folstein dkk sejak tahun
1975, telah divalidasi, dan secara luas digunakan untuk skrining fungsi kognitif.
MMSE terdiri dari 11 pertanyaan yang dapat diselesaikan dalam waktu 5 – 10
menit, sehingga praktis digunakan secara rutin.

Instrumen ini disebut “mini” karena hanya fokus pada aspek kognitif dari
fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental

19
abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State Examination (MMSE) menilai
sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working and immediate
memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan kalimat,
pelaksanaan perintah, pemahaman dan pelaksanaan perintah menulis, pemahaman
dan pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan praksis. Instrumen ini
direkomendasikan sebagai screening untuk penilaian kognitif global oleh
American Academy of Neurology (AAN).
Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) dijadikan metode
skrining untuk memantau perkembangan demensia. Secara umum MMSE
berkorelasi baik dengan berbagai pemeriksaan fungsi kognitif lainnya. Nilai cut-
off yang bervariasi menyokong nilai sensitifitas dan spesifisitas yang maksimal
pada populasi yang berbeda. Skor nya dapat mengalami bias oleh karena dasar
tingkat pendidikan, bahasa dan kultur, yang mana pasien dengan tingkat
pendidikan yang rendah dapat diklasifikasikan sebagai demensia dan pasien
lainnya dengan tingkat pendidikan yang tinggi dapat terlupakan. Skor ≤ 23
dengan tingkat pendidikan sampai high school, dan skor ke ≤ 25 dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi sering kali digunakan sebagai indikasi terdapat
gangguan fungsi kognitif secara signifikan. Nilai MMSE secara umum menurun
seiring dengan pertambahan usia. Meskipun skor rata – rata yang rendah pada
orang usia lanjut dapat mengakibatkan prevalensi demensia yang semakin
meningkat pada kelompok usia lanjut. Skor 30 tidak selalu berarti fungsi
kognitifnya normal dan skor 0 tidak berarti secara mutlak bahwa fungsi
kognitifnya tidak ada.
Berikut adalah interpretasi MMSE berdasarkan usia dan pendidikan:

20
2.4 Pemeriksaan Sistem Sensorik

Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika ia tidak tahu adanya


bahaya yang mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui
dengan jalan melihat, mendengar, mencium, dan merasakan rasa-nyeri, rasa-raba, rasa
panas, rasa-dingin dan sebagainya. Inilah yang disebut sistem sensorik. Sistem
sensorik menempatkan manusia berhubungan dengan sekitarnya. Sensasi dapat dibagi
4 jenis, yaitu: superfisial, dalam, viseral dan khusus.

Pemeriksaan

Pemeriksaan sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah. Kita


bergantung kepada perasaan penderita, jadi bersifat subjektif. Selain itu, reaksi
seseorang terhadap rangsangan dapat berbeda-beda, malah pada satu orangpun reaksi
tersebut dapat berbeda, tergantung pada keadaannya, apakah ia sedang lelah, atuau
pikirannya terpusat pada hal yang lain. Faktor sugesti juga dapat berpengaruh. Tidak
jarang pasien meng-ia-kan saja apa yang disugestikan oleh dokter. Misalnya, bila
seorang dokter mengajukan pertanyaan yang bernada sugesti seperti: “Kan disini
terasa sakit bila saya tusuk, dan ditempat ini agak kurang sakitnya, bukan!?”
pertanyaan demikian mungkin di “iya” kan saja oleh pasien. Jadi, sugesti harus
dihindarkan pada pemeriksaan sensibilitas.

Agar didapat hasil pemeriksaan yang baik perlu diperhatikan hal berikut:
selama permeriksaan diupayakan agar pasien berada dalam keadaan tenang dan

21
perhatiannnya dapat dipusatkan pada pemeriksaan. Untuk maksud ini sebagiknya
penderita memejamkan mata. Bila pasien merasa lelah sebaiknya pemeriksaan
ditangguhkan. Namun demikian, kadan-gkadang kita terpaksa melakukan
pemeriksaan dalam keadaan pasien yang tidak tenang: pemeriksaan yang dilakukan
secara kasar ini nilainya kurang telitit.

a. Pemeriksaan sensibilitas

Sebelum kita melakukan pemeriksaan kita tanyakan dulu


apakah ada keluhan mengenai sensibilitas. Bila ada suruh ia
menunjukkan tempatnya. Dari bentuk daerah yang terganggu dapat
diduga apakah gangguan bersifat sentral, perifer atau berbentuk
dermatom. Daerah kulit yang disarafi oleh akar posterior dan
ganglionnya disebut dermatom. Pada pasien histeri daerah yang
terganggu tidak sesuai dengan pola anatomik, umumnya batas
gangguan amat tegas, sering berbentuk kaus dan melibatkan seluruh
jenis sensibilitas.

Perlu ditanyakan jenis gangguan, intensitasnya, apakah hanya


timbul pada waktu-waktu tertentu, misalnya nyeri kalau dingin: dan
juga faktor-faktor yang dapat mencetuskan kelainan ini. Waktu
melakukan pemeriksaan perhatikan daerah-daerah kulit yang kurang
merasa sama sekali tidak merasa atau daerah yang bertambah
perasannya. Bertambahnya perasaan dapat disebabkan oleh iritasi pada
reseptor atau serabut saraf atau karena fenomena pelepasan. Kada
disestesia digunakan untuk menyeatakan adanya perasaan yang
berlainan dari rangsang yang diberikan, misalnya bila pasien diraba ia
merasa seolah-olah dibakar atau semutan. Kata parestesia merupakan
perasaan abnormal yang timbul spontan, biasanya ini berbentuk rasa-
dingin, panas, semutan, ditusuk-tusuk, rasa-berat, rasa ditekan atau
rasa gatal. Pada pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif, perlu diepriksa
rasa raba, rasa nyeri, dan rasa suhu

22
b.Pemeriksaan rasa raba.

Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas


atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan
adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh
dan bandingkan bagian-bagian yang simetris. Thigmestesia berarti rasa
raba halus. Bila rasa raba ini hilnag disebut thigmanesthesia.

c. Pemeriksaan rasa nyeri

Rasa nyeri dapat dibagi atas rasa-nyer-tusuk dan rasa-nyeri-


tumpul; atau rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lamban. Bila kulit ditusuk
dengan jarum kita rasakan nyeri yang mempunyai sifat tajam, cepat
timbulnya dan cepat hilangnya. Nyeri serupa ini disebut nyeri-tusuk.
Rasa nyeri yang timbul bila testis dipijit. Ini disebut nyeri-lamban.

d. Pemeriksaan rasa suhu

Ada dua macam rasa-suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin.
Rangangan rasa-suhu yang berlebihan akan mengakitbatkan rasa nyeri.
Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang disi
dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas.
Penderita disuruh mengatakan “dingin” atau “panas” bila dirangsang
dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas.

Rasa-gerak dan rasa-sikap. Rasa-gerak juga disebut sebagai


rasa-kinetik. Rasa-gerak dirasakan saat tubuh atau bagian tubuh
digerakkan secara aktif atau pasif: jadi, rasa gerak merupakan rasa
bahwa seseorang tahu bagian dari tubuhnya digerakkan. Pada rasa-
sikap atau rasa-posisi, seseorang tahu bagaimana sikap tubuh atau
bagian dari tubuh.

e. Rasa interoseptif

Rasa-interoseptif ialah perasaan dari visera (organ dalam


tubuh), yaitu rasa yang timbul dari organ-organ internal. Seseorang

23
pasien mungkin mengemukakan gangguan perasaan berupa rasa nyeri,
mules atau kembung. Misalnya mules, perut kembung, kandung
kencing serasa penuh. Nyeri viseral ini biasanya difus, tidak tegas
lokalisasinya. Pada pemeriksaan neurologi rasa interoseptif ini sukar
dievaluasi dan sukar diperiksa. Selain lokalisasinya yang difus, kita
tidak dapat melakukan tes pada organ yang letaknya di dalam tubuh.

Nyeri Rujukan

Nyeri rujukan (referrred pain) perlu diketahui.


Bersamaan dengan nyeri interoseptif yang diderita seorang
pasien, ia mungkin pula mengalami nyeri somatik, yang
mempunyai asal yang reflektoris. Nyeri somatik ini disebut
reffered pain dan biasanya berbentuk hiperalgesia.

Nyeri rujukan ini biasanya didapatkan pada dermatom


yang sama atau yang berdekatan dengan organ internal, sebagai
akibat persarafan segmental yang sama, namun mungkin juga
pada tempat yang lebih jauh. Sebagai contoh kami kemukakan
hal berikut: Nervus frenikus mensarafi diafragma dan jaringan
di sekitarnya, yaitu jaringan pleura dan jaringan
ekstraperitoneal yang berada di dekat kandung empedu dan
hepar. Serabut saraf frenikus ini berasal dari saraf spinal
servikal 3, 4, dan 5. Iritasi kandung empedu, hepar atau bagian
tengah diafragma dapat mengakibatkan rasa nyeri dan
hiperestesia di daerah organ tersebut, tetapi di samping itu kita
dapatkan pula rasa nyeri di kuduk dan bahu, yaitu daerah kutan
(kulit_ dari nervus spinal servikal 3, 4 dan 5 tersebut. Nyeri
rujukan ini mungkin disebabkan oleh refleks visero-kutan.

24
BAB III

KESIMPULAN

Fungsi luhur merupakan sifat khas manusia. Fungsi ini mencakup aktivitas
yang memiliki hubugan dengan kebudayaan, bahasa, ingatan, dan pengertian. Fungsi
luhur berkembang pada manusia melalui mekanisme neuronal yang memungkinkan
penyadaran dan pengenalan segala sesuatu yang berasal dari dunia luar dirinya,
sehingga menjadi pengalaman dan miliknya, yang dapat dimanfaatkan untuk
mengekspresikan dirinya kepada dunia luar secara adekuat.
Evaluasi status mental atau fungsi luhur merupakan penilaian fungsi kognitif
dan emosi yang sistematis. Pada pemeriksaan ini, dibutuhkan pemeriksan yang
berurutan, karena untuk memeriksa suatu keadaan (misalnya memori), terlebih dahulu
perlu diperiksa keadaan lainnya (misalnya atensi).
Infark kecil di otak, hematoma subdural kronis, atau tumor di otak, mungkin
pada pemeriksaan fisik neurologis tidak menunjukkan kelainan, sedangkan pada
pemeriksaan fungsi luhur terlihat adanya defisit. Kadang pemeriksaan ini dapat
mempertajam pendeteksian kelainan di otak.
Pemeriksaan fungsi luhur perlu dilakukan dengan urutan yang baik, mulai
dengan fungsi dasar tingkat-kesadaran, kemudian dilanjutkan dengan fungsi kognitif-
dasar seperti berbahasa, dan meningkat kepada pemeriksaan yang lebih kompleks
seperti berhitung, pertimbangan, dan sebagainya.

25
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Azizah, Lilik Ma’arifatul. Penatalaksanaan Lanjut Usia. Graha Ilmu. Yogjakarta;
2011.
2. Mardjono, Mahar. 1971. Neurologi Dasar edisi kedua. Jakarta: PT. Dian Rakyat
3. Iswari, Mega. 2010. Anatomi Fisiologi dan Neorologi Dasar. Padang: UNP Press
4. Tim Dosen Mata Kuliah Neurologi. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis edisi pertama.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
5. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai
Penerbitan FKUI; 2007
6. Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Prof. dr. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat; 2008
7. Buku Ajar Neurologi FK UI, Jakarta : 2017

27

Anda mungkin juga menyukai