Anda di halaman 1dari 9

Pemerolehan bahasa berdasarkan perspektif neurologi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang dipergunakan oleh kanak-
kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun
teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan
ucapan-ucapan orangtuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran
penilaian, tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.
Kanak-kanak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-kenyataan bahasa yang
dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orangtuanya, serta pembaruan-pembaruan yang
telah mereka perbuat, sebagai tata bahasa tunggal. Kemudian dia menyusun atau membangun
suatu tata bahsa yang baru serta disederhanakan dengan pembaruan-pembaruan yang
dibuatnya sendiri. Langacker dalam Tarigan (1983) memaparkan bahwa pemerolehan bahasa
sekaligus merupakan jenis yang seragam, dalam arti bahwa semua manusia mempelajari satu
dan juga merupakan jenis yang khusus, dalam arti bahwa hanya manusialah yang
mempelajari satu.
Berbicara mengenai pemerolehan bahasa, maka kita tidak dapat melepas diri dari
perlengkapan pemerolehan atau acquisition device yang nmerupakan suatu perlengkapan
hipotesis yang berdasarkan suatu input data linguistik primer dari suatu bahasa, menghasilkan
suatu ouput yang terdiri atas suatu tata bahasa adekuat secara deskriptif buat bahasa tersebut.
Peralatan atau perlengkapan pemerolehan bahasa haruslah merupakan keberdiakarian bahasa
atau language-independent, yaitu mampu mempelajari seteiap bahasa manusia yanag mana
sajapun, dan harus menyediakan serata menetapkan suatu batasa pengertian atau gagasan
bahasa manusia. Ada yang mengatakan bahwa perlengkapan pemerolehan bahasa adalah
otak dan ada pula yang mengatakan bahwasanya alat pemerolehan itu hanya panca indra. Di
sini penulis akan membahas pemerolehan bahasa berdasarkan aspek neurologi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah neurologi itu?
2. Bagaimana neurologi berperan dalam pemerolehan bahasa?
3. Masalah apa saja yang akan muncul ketika salah satu sistem neurologi mengalami
kerusakan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui apa itu neurologi.
2. Mengetahui peran neurologi dalam pemerolehan bahasa.
3. Mengetahui masalah apa saja yang akan muncul ketika salah satu sistem neurologi
mengalami kerusakan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Neurologi
Neurologia adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada dasar-dasar biologis bahasa
dan peralatan-peralatan otak yang mendasari perolehan dan penggunaan bahasa tersebut
(Umar, 2014:66). Para pakar neurology telah berhasil menganalisis struktur biologis otak
serta telah memberi nama pada bagian struktur otak itu. Selanjutnya, para pakar mencoba
mencari jawaban bagian otak manakah yang berperan dalam proses pemerolehan dan
pemroduksian bahasa.

2.2 Sruktur, Fungsi dan Pertumbuhan Otak


Otak (sebreblum dan serebelum) adalah salah satu komponen dalam sistem saraf
manusia. Komponen lainya adalah sumsum tulang belakang atau medula spinalis dan saraf
tepi.Yamg perama, otak, berada di dalam ruang tengkorak, medula spinalis berada di dala
ruang tulang belakang, sedangkan saraf tepi (saraf spinal dan saraf otak) sebagian berada di
luar kedua ruang tadi (Kusomo putro dalam Chaer, 2009: 116).
Menurut Menyuk (dalam Chaer, 2009: 116) otak seoranag bayi ketika baru dilahirkan
beratnya hanyalah kira-kira 40% dari berat otak orang dewasa, sedangkan makhluk primata
lain, seperti kera dan simpanse adalah 70% dari otak dewasanya. Dari perbandingan tersebut
tampak bahwa manusia kiranya telah dikondratkan secara biologis untuk mengembangkan
otak dan kemampunya secara cepat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama otak itu telah
berkembang menuju kesempurnaan. Sebaliknya, makhluk primata lain, seperti kera dan
simpanse, yang ketika lahir telah memiliki 70% dari otaknya itu dan yang tentunya telah
dapat berbuat banyak sejak lahir, hanya memerlukan tambahan sedikit saja, yaitu sekitar
30% . Menurut Silobin (dalam Chaer, 2009: 116) sewaktu dewasa manusia mempunyai otak
seberat 1350 gram, sedangkan sepanse 450 gram. Menurut Lenneberg (dalam Chaer, 2009:
116) memang ada manusia kerdil yang termasuk nanocephalic yang berat otaknya hanya
450 gram waktu dewasa, tetapi masih dapat berbicara seperti manusia lainya.

Perbedaan otak manusia dan otak makhluk lainya, seperti kera dan simpanse, bukan
hanya terletak pada beratnya saja, melainkan juga pada sruktur dan fungsinya.Pada otak
manusia ada bagian-bagian yang sifatnya dapat disebut manusiawi, seperti bagian-bagian
yang berkenaan dengan pendengaran, ujaran, pengotrolan alat ujaran, dan sebagainya. Pada
otak mahluk lainya, banyak bagian yang berhubungan dengan insting, sedangkan pada otak
manusi tidak banyak. Ini berarti, perbutan makhlik lain lebih banyak dikendalikan oleh
insting, dan perbutan manusia tidak hanya insting melainkan juga akal dan fikiran.
Selama beberapa dekade para pakar percaya bahwa seluruh sel otak telah terbentuk
sempurna ketika manusi lahir kedunia. Sel otak dianggap berbeda dengan sel-sel organ lainya
seperti, sel kulit, tulang, pembuluh darah, dan sel lainya. Jika sel-sel lain itu terus tumbuh
dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia manusia, tidak demikian halnya dengan
sel otak. Sampai saat ini dipercaya bahwa sel-sel otak tidak dapat memperbarui dirinya
sendiri.
Meskipun sel otak dapat tumbuh dengan cepat pada saat bayi dalam kandungan, dan
mampu juga memperbarui diri ketika mengalami luka, namun adanya pertumbuhan dianggap
tidak masuk akal. Yang dianggap masuk akal juga justru kemorosotan secara gradual ketika
seseorang bertambah tua. Hal ini terjadi karena ada beberapa sel otak yang mati dan tidak
dapat diperbarui lagi. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa sel otak manusia terus
berkembang sepanjang usia manusia sulit diterima oleh sejumlah pakar. Storoke (kerusakan
pada pembuluh darah otak) dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh kerusakan otak
menjadi bukti bahwa tidak ada lagi pertumbuhan sel otak pada manusia dewasa.
Namun hal itu terbantahkan ketika para ilmuan membuat penelitian pada tahun 1998
dengan menggunakan sebuah zat yang terintegrasi dalam DNA dari sel terpisah untuk
meneliti sel tumor pada pasie kanker. Setahun kemudian, zat ini ternyata ditemukan dalam
hippocampuslima orang pasien kanker yang dibedak setelah kematian mereka (Media
Indonesia, 13 Januari 2000 ). Penemuai ini dianggap penemuan yang luar biasa oleh Dr. Fred
H. Gage, ahli saraf di Salk Institute, La Jolo, California.Menurt beliau, temuan tersebut
membuktikan bahwa otak manusia mampu membuat sel baru dalam wilayah otak yang
berurusan dengan wilayan jangka pendek.
Kelahiran saraf-saraf baru bisa terjadi di wilayah otak lain dan urat saraf tulang
belakang. Ia seperti sel kulit, lahir untuk memperbarui sel-sel yang telah mati. Denhan
dengan demikian, kemungkinan besar sel otak juga dapat memperbarui dirinya sepanjang
waktu.
2.3. Fungsi Kebahasaan dan Hemisfer yang Dominan
Dalam buku Chaer (2009), (http://adisastrajaya.blogspot.com/2013/02/artikel-
pengaruh-aspek-neurologi-bahasa.html), otak terdiri dari dua hemisfer (belahan), yaitu
hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Kedua hemisfer otak mempunyai peranan yang berbeda
bagi fungsi kortikal.Fungsi kortikal ini terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori,
emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa). Fungsi bicara-
bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang yang tidak kidal (cekat tangan kanan,
righthanded). Hemisfer kiri ini disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa, dan korteksnya
dinamakan korteks bahasa. Hemisfer dominan atau superior secara morfologis memang agak
berbeda dari hemisfer yang tidak dominan atau inferior. Hemisfer dominan lebih berat, lebih
besar girusnya dan lebih panjang. Hemisfer kiri yang terutama mempunyai arti penting bagi
bicara-bahasa, juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal (verbalmemory).
Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik yang
emosional maupun verbal.

Hemisfer kiri memang dominan untuk fungsi bicara bahasa, tetapi tanpa aktifitas hemisfer
kanan, maka pembicaraan seseorang akan menjadi monoton, tak ada prosodi, tak ada lagu
kalimat; tanpa menampakkan adanya emosi; dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa.
Penentuan dan pembuktian daerah-daerah tertentu dalam otak dalam kaitannya dengan fungsi
bicara-bahasa dan fungsi-fungsi lain pada awalnya dilakukan dengan penelitian terhadap
orang-orang yang mengalami kerusakan otak atau kecelakaan yang mengenai
kepala.Kemudian dilakukan juga dengan berbagai eksperimen terhadap orang sehat.
2.4 Broka dan Wernick
Pada tahun 1861, seorang ahli bedah Perancis, Paul Broca menemukan seorang pasien
yang tidak dapat berbicara, hanya dapat mengucapkan tan-tan.Kemudian setelah pasien itu
meninggal dan dibedah ditemukan kerusakan otak di daerah frontal, yang kemudian daerah
itu disebut daerah Broca; sesuai dengan namanya sebagai penemu.Jadi, kerusakan pada
daerah Broca itu menyebabkan seseorang mendapatkan kesulitan dalam menghasilkan ujaran.
Broca yang melaporkan bahwa kerusakan pada daerah yang sama pada hemisfer
kanan tidak menimbulkan pengaruh yang sama. Artinya, pasien yang mendapat kerusakan
yang sama pada hemisfer kanan tetap dapat menghasilkan ujaran secara normal. Penemuan
ini menjadi dasar teori bahwa kemampuan bahasa terletak di belahan atau hemisfer kiri otak;
dan daerah Broca berperanan penting dalam proses atau perwujudan bahasa.
Pada tahun 1873, seorang dokter Jerman, Carl Wernicke menemukan kasus pasien
yang mempunyai kelainan wicara, yakni tidak mengerti maksud pembicaraan orang lain,
tetapi masih dapat berbicara sekadarnya. Penyebabnya, menurut Wernicke, setelah dibedah,
terdapat kerusakan otak pada bagian belakang (temporalis), yang kemudian disebut daerah
Wernicke, sesuai dengan namanya sebagai penemu. Berdasarkan penemuan itu diakui bahwa
daerah Wernicke berperan penting dalam pemahaman ujaran. Penemuan ini memperkuat teori
bahwa letak kemampuan bahasa di sebelah kiri otak.
Satu daerah lagi yang terlibat dalam proses ujaran adalah daerah korteks ujaran
superior atau daerah motor suplementer. Bukti bahwa daerah itu dilibatkan dalam artikulasi
ujaran fisik berasal dari ahli bedah saraf, Penfield dan Robert, yang melakukan penelitian
dengan teknik ESB (ElectricalStimulationofBrain) (Yale 1985 : 126, Simanjuntak, 1990 : 29).
Dengan bantuan arus listrik keduanya dapat mengidentifikasikan daerah-daerah otak yang
dipengaruhi rangsangan listrik.Daerah-daerah yang terkena rangsangan listrik itu
mempengaruhi hasil ujaran secara normal. Karena motor suplementer itu berdekatan dengan
celah yang digunakan untuk mengendalikan gerak fisik, yakni menggerakkan tangan, kaki,
lengan, dan lain-lain, daerah itu juga mengendalikan penghasilan ujaran.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa ujaran didengar dan


dipahami melalui daerah Wernicke pada hemisfer kiri; lalu isyarat ujaran itu dipindahkan ke
daerah Broca untuk menghasilkan balasan ujaran itu. Kemudian sebuah isyarat tanggapan
ujaran itu dikirimkan ke dalam motor suplementer untuk menghasilkan ujaran secara fisik.
Hasil penelitian tentang kerusakan otak oleh Broca dan Wernicke serta penelitian
Penfield dan Robert mengarah pada kesimpulan bahwa hemisfer kiri dilibatkan dalam
hubungannya dengan fungsi bahasa.
Dari teori Broca dan Wernicke ditarik kesimpulan adanya spesialisasi atau semacam
pembagian pada korteks. Belahan korteks dominan atau hemisfer kiri bertanggungjawab
mengatur penyimpanan pemahaman dan produksi bahasa alamiah, yang dalam studi
neurolinguistik disebut lateralisasi (lateralization). Pakar psikologi berpendapat seluruh otak
bertanggungjawab dan terlibat dalam pemahaman dan produksi bahasa.Dalam psikologi
disebut holisme (Simanjuntak dalam Chaer, 1990).
Selanjutnya, dalam teori lokalisasi atau disebut pandangan lokalisasi
(localizationview) pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca dan Wernicke. Dalam
kasus ini menunjukkan teori lokalisasi terletak pada pusat bahasa di hemisfer kiri yang sama
halnya dengan teori sebelumnya yaitu teori lateralisasi.
Dengan demikian kedua teori baik dari teori lateralisasi dan lokalisasi pusat bahasa
tidak selalu berada pada hemisfer kiri, namun dapat terjadi pada hemisfer yang dominan yaitu
hemisfer kiri dan kanan.
2.5 Pengaruh Aspek Neorologi Bahasa terhadap Produksi, Presepsi, dan Pemahaman
Ujaran Berdasarkan Teori-teori Pemerolehan Bahasa pada Anak Usia 2-5 Tahun
Dalam perkembangan kemampuan linguistik terjadi di dalam konteks umum
perkembangan konseptual dan intelektual anak-anak. Memahami proses pemerolehan bahasa
sehingga akan memberi pandangan lebih jelas mengenai perkembangan kognitif anak-anak
secara menyeluruh, sebaliknya pemahaman yang mantap terhadap pemerolehan bahasa
menunggu pengertian mengenai perkembangan kognitif umum.
Sejak permulaan tahun 1960-an sejumlah karaya teoritis dan empiris bermunculan
dalam lapangan pemerolehan bahasa. Kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistik
dalam pengertian akan mengembangkan gambaran intern tata bahasa dari bahasanya yang
akhirnya mengizinkannya untuk membuat jenis-jenis pertimbangan atau keputusan yang
dapat dibuat oleh orang dewasa, yaitu keputusan yang mengenai ke tata bahasaan,
kedwimaknaan, parafase dan sebagainya. Sebenarnya, linguistik bukan ilmu yang
menggambarkan ujaran ini, tetapi yang menerangkan mengapa ujaran itu seperti adanya.
Dengan kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistik, maka dia akan
mengembangkan kemampuan-kemampuan performansi linguistik yang mengizinkannya
menjadikan pikiran-pikiran sendiri dan ucapan yang dapat dipahami dan mengalihsandikan
ujaran orang lain. Dalam pandangan nativistik dilandaskan pada kenyataan pula seorang anak
dapat memperoleh bahasa mana pun, kalau si anak diberi peluang, sehingga kemampuan ini
tidak mungkin ada kalau si anak tidak punya bekal sejak lahir untuk memberikan beberapa
tingkat pemahaman. Sudah menjadi kodrat bagi insan atau setiap manusia untuk selalu
berpikir dan mengembangkan kemampuannya yang sudah diberikan melalui otak sehingga
dapat menuturkan ujaran atau bahasa yang dilaksanakan oleh alat ucap kita di dalam rongga
mulut dan akhirnya dapat berbahasa dengan baik yang sama halnya dengan anak.
Masalah komprehensi kanak-kanak memang rumit, sebab seseorang harus berusaha
menyelesaikan kekusutan faktor-faktor yang bermula pada linguistik. Ada beberapa kalimat
seperti:
1. Kucing itu digigit anjing
2. Tiga adalah akar dari dua puluh sembilan
3. Kicik adalah nama anjing itu
Kanak-kanak yang berusia tiga tahun tidak akan mengerti baik pada kalimat 1 dan 2,
tetapi dengan alasan yang berbeda. Kanak-kanak belum dapat memahami kalimat-kalimat
tertentu dalam bentuk pasif, namun mereka dapat memahami kalimat dalam bentuk aktif
seperti anjing menggigit kucing sebaliknya mereka tidak memahami kalimat dalam bentuk
pasif sebagai akibat dari faktor linguistik murni, ketidakmampuan mengalihsandikan kalimat
yang telah mengalami transformasi pasif. Dengan alasan yang berbeda dan juga terbatas pada
bilangan sederhana saja. Mereka tidak hanya mengerti tentang makna akar dua tetapi juga
belum mampu mencerna suatu batasan.Kalimat 2 tidak dapat dipahami karena konseptual,
sedangkan kanak-kanak juga dapat mengembangkan siasat preseptual dan komprehensi yang
memiliki sedit hubungan dengan struktur linguistik formal.
Kanak-kanak dapat menafsirkan dengan tepat kalimat serupa meskipun terdapat
kekuranglengkapan kompetensi pada sintaksis, sebab kanak-kanak usia tiga tahun
mengetahui bahwa biji salak tidak dimakan kanak-kanak. Kanak-kanak menggunakan
pengetahuan mereka mengenai dunia (keteraturan bahasa mereka), untuk mengetahui macam
kalimat tersebut sebelum ia kembangkan dan menetapkan analisis struktural yang lengkap
menurutnya.
Dengan demikian, kanak-kanak mengembangkan keterampilan-keterampilan
performasi seperti pengetahuan ketatabahasaan formal. Tidak hanya itu, peran keuniversalan
bahasa yang juga tidak dapat dipisahkan dari pemerolehan bahasa. Kaitannya dengan kanak-
kanak, mereka dapat memperoleh bahasa pula dikarenakan adanya sifat universal pada
bahasa tersebut dan konsep keuniversalan bahasa perlu dimengerti dengan baik agar dapat
memahami bagaimana anak dapat memperoleh bahasanya yang didengar dari siapapun yang
mengujarkannya dan akhirnya ia dapat mengelolah bahasa tersebut melalui pemahaman yang
berbeda-beda.

2.6 Penyakit Afasia


Setelah mengetahui peran otak dalam pemerolehan dan pemahaman bahasa, maka
diketahui bahwa otak bagian kiri lah yang berperan penting dalam proses tersebut. Oleh
karena itu, jika terjadi kerusakan pada hemisfer kiri timbullah gangguan wicara yang
dinamakan afasia. Penderita afasia dibedakan menjadi beberapa kategori sebagai berikut:
a. afasia broca yaitu gangguan pada daerah medan broca yang mengakibatkan seseorang tidak
dapat berujar.
b. afasia Wernicke yaitu gangguan pada daerah medan wernicke yang mengakibatkan
seseorang tidak dapat memahami lawan bicaranya berbahasa.
c. afasia konduksi, meupakan gabungan dari kerusakan bagian broka dan wernick, yaitu
kerusakan pada fasikulus busur yang membuat pasien tidak dapat mengulangi ujaran-ujaran
yang didengarnya.

BAB III
KESIMPULAN
Permukaan otak (korteks serebri) memiliki peranan yang sangat penting, salah
satunya adalah fungsi kortikal yang terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori,
emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan fungsi bicara atau bahasa. Hemisfer kiri
disebut hemisfer yang dominan bagi bahasa, hemisfer kiri juga dilibatkan dalam
hubungannya dengan fungsi bahasa. Seseorang akan memunculkan ujaran apabila orang
tersebut telah menyimpan kata-kata dalam otak atau memori. Apabila hemisfer kiri
mengalami kerusakan maka kemampuan berbahasa akan hilang, dan apabila hemisfer atau
memori otak tidak mengalami kerusakan, maka seorang anak akan dapat memproduksi kata,
dan memberikan persepsinya yaitu mampu untuk menganalisis bunyi ujaran atau
mengidentifikasi dan memastikannya sebagai sebuah kata atau kalimat serta menangkap
gagasan yang terkandung dalam kata.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rhineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. ECHA (Kisah Pemerlehan Bahasa Anak Indonesia). Jakarta:
Grasindo.
Daulay, Syahnan. 2011. Pemerolehan DAN Pembelajaran Bahasa. Bandung: Ciptapustaka Media
Perintis
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Umar, Azhar dan M. Yusuf Rawakil. 2014. Psikolinguistik. Medan: Universitas Negeri Medan.
Haraz, Kholid A dan Andika Dhuta Bahari. Dasar-dasar Psikolinguistik. UPI PRESS.
Harianja Nurilam. Hubungan Bahasa dengan Otak. Universitas Negeri Medan.
http://adisastrajaya.blogspot.com/2013/02/artikel-pengaruh-aspek-neurologi-bahasa.html
diunduh pada tanggal 14 Maret 2014 pukul 07:50 WIB

Anda mungkin juga menyukai