Anda di halaman 1dari 11

MENGUKUR KETERBACAAN BUKU TEKS DENGAN FORMULA

FRY DAN RAYGOR

Mata Kuliah Keterampilan Berbahasa Reseptif


Dosen Pengampu : Dra. Rosmaini, M.Pd

Disusun Oleh:
Artha Uli Br Silalahi (2213311056)
Futi Hamdiyah Telaumbanua (2211111013)
Khanaya Shalsabilla (2212411011)

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PRODI S1 PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................3
1.3 Tujuan..............................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................4
2.1 Pengertian Keterbacaan...................................................................................................4
2.2 Faktor-Faktor Mempengaruhi Keterbacaan....................................................................5
2.3 Pengukuran Formula Keterbacaan..................................................................................9

BAB III PENUTUP..................................................................................................................15


3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................15
3.2 Saran...............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Adapun aspek terpenting dalam penyusunan teks anak ini diantaranya adalah bahasa
dan ruang lingkup daya tangkap anak-anak (Liotohe, 1991: 14). Salah satu teks anak yang
penting untuk diperhatikan dan ditinjau adalah teks pada buku paket sekolah atau buku teks
sekolah. Buku teks sekolah memiliki peran yang penting dalam kegiatan belajar –mengajar di
kelas. Buku teks berfungsi sebagai sumber informasi dan sarana peununjang kegiatan belajar-
mengajar (Indrawati, 2001: 134). Fungsi tersebut mengindikasikan bahwa teks dalam buku
pelajaran jangan sampai dianggap sulit oleh siswa karena akan membatasi informasi yang
didapat dan tujuan kegiatan belajar mengajar tidak akan tercapai. Bacon (dalam Indrawati,
2001:134) menyatakan selain harus dibuat oleh para pakar, buku teks juga harus disertai
dengan sarana belajar yang sesuai dan serasi. Memilih sebuah bacaan yang pantas untuk
dikonsumsi oleh anak merupakan tugas utama seorang guru. Untuk itu, kita harus mampu
memilah dan memilih bacaan yang sesuai. Bahan bacaan tidak hanya berasal dari buku paket
saja, melainkan dari koran, majalah, dan lain sebagainya.
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang
memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan
merupakan ukuran tentang sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu bagi
peringkat pembaca tertentu. Makalah ini akan membahas mengenai pengertian keterbacaan,
pentingnya keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan, dan perhitungan
keterbacaan dengan grafik fry dengan tepat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan keterbacaan?
2. Apa saja faktor keterbacaan?
3. Bagaimana pengukuran formula keterbacaan?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian keterbacaan
2. Mengetahui faktor dari keterbacaan
3. Mengetahui cara pengukuran formula keterbacaan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Keterbacaan


Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan
dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan
suatu teks untuk dibaca. Suatu teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila mudah dipahami.
Sebaliknya, teks dikatakan berketerbacaan  rendah apabila sulit dipahami.
Keterbacaan adalah hal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh
pembacanya. Keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tigkat kemudahan suatu
bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan merupakan ukuran
tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesulitan
atau kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan,
banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Tingkat keterbacaan biasanya
dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah
wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat
kelas tertentu.
Pengertian keterbacaan menurut para ahli yaitu sebagai berikut:
 Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:106)
Mengemukakan bahwa keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran
membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca
seseorang. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari redabality. Jadi, keterbacaan ini
mempersolakan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu
bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan (redability) merupakan ukuran sesuai
tidaknya suatu bahan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau
kemudahan wacananya.
 Klare (dalam Ginting, 1997:56)
Menyatakan terbacanya suatu  teks mengacu pada tiga hal: topografi, minat terhadap
nilai yang terkandung dalam tulisan, dan gaya tulisan. Hal tersebut sedikit berbeda
dengan pendapat Sakri yang menyatakan keterbacaan adalah menyangkut ketedasan
dan kejelahan. Ketedahan adalah sisi keterbacaan yang dilihat berdasarkan unsur-
unsur kebahasaan seperti diksi, bangun kalimat, atau susunan paragraph. Adapun
kejelahan merupakan sisi keterbacaan yang ditentukan berdasarkan tata huruf seperti
besar huruf, kerapatan baris, dan unsur tatarupa lainnya (Sakri, 1994: 165-166).
Dari uraian di atas dapat simpulkan bahwa t keterbacaan dapat diartikan sebagai
tingkat kesulitan atau kemudahan wacana atau buku teks.Tingkat keterbacaan biasanya
dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran
keterbacaan sebuah wacana atau buku teks, seorang guru akan dapat mengetahui kecocokan
materi bacaan tersebut yang dapat digunakan untuk peringkat kelas tertentu. Faktor yang
paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan
tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang membentuknya.
2.2 Faktor-Faktor Mempengaruhi Keterbacaan
Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya
Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan
wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan. Meskipun kajian tentang
keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah
statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk
mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula
yang dapat dipergunakan guna memperkirakan tingkat kesulitan wacana.
 Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya  keterkaitan
dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang
mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan. Untuk
mengenal sebagian dari faktor-faktor dimaksud, mari kita simak pandangan para
pakar tentang ini.
 Dupuis dan Askov (1982) mengedepankan empat faktor penentu tingkat keterbacaan
sebuah wacana. Keempat faktor tersebut adalah:
1.  faktor kebahasaan  dalam  teks,
2.  latar  belakang  pengetahuan  pembaca,
3.  minat pembaca,  dan
4.  motivasi pembaca. 
 Dalam hubungannya dengan faktor kebahasaan  seperti  yang diungkap Askov
tersebut,  Nuttal (1989) merincinya menjadi dua faktor utama, yakni:
1.  kekomplekan ide dan bahasa yang terdapat dalam wacana, dan
2.  jenis kata yang  digunakan dalam wacana tersebut.
 Baradja (1991:128) menjelaskan bahwa, faktor-faktor yang bertanggung jawab akan
adanya kesulitan dalam hal membaca suatu teks banyak sekali.  Faktor-faktor itu
beliau kelompokkan menjadi dua, yaitu kesulitan secara makro dan mikro. Pada
faktor makro, Baradja menyebutnya antara lain perbedaan latar belakang penulis
dengan pembaca, termasuk di dalamnya perbedaan pengetahuan, bahasa dan kode
bahasa yang digunakan, kebudayaan dan  perbedaan asumsi. Dari segi mikro,
ditulisnya antara lain  kesulitan dalam memahami ungkapan,  afiksasi,  kata 
sambung,  serta pola kalimat. Kesulitan-kesulitan dari segi mikro ini, menurut beliau
terutama dirasakan oleh orang asing yang membaca wacana berbahasa Indonesia atau
sebaliknya oleh orang Indonesia yang membaca wacana berbahasa asing.
 Harjasujana dan Mulyati  (1996/1997: 107)  menegaskan bahwa  penelitian yang
terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan,
yakni panjang pendek kalimat dan tingkat kesulitan kata.  Berikut ini adalah
uraiannya:
1. Panjang pendeknya kalimat
2. Tingkat kesulitan kata
Untuk meningkatkan keterbacaan, perhatikan hal-hal berikut ini:
1. Kejelasan
Tulisan akan lebih mudah dipahami jika menggunakan kata-kata yang sudah umum/
dikenal. Keterbacaan sebuah tulisan juga dipengaruhi oleh usia, pendidikan, dan pengalaman
pembaca. Misalnya, tulisan untuk kalangan mahasiswa akan terasa sulit dipahami oleh pelajar
sekolah menengah. Keterbacaan juga dipengaruhi oleh panjang pendek kalimat yang
ditulisnya, disesuaikan dengan calon pembacanya. Buku untuk siswa sekolah dasar pendek-
pendek kalimatnya. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin tinggi pula kemampuannya
untuk memahami tulisan dengan kalimat yang lebih panjang. Ukuran kejelasan atas panjang
pendek kalimat dalam bahasa Indonesia belum ada, tetapi kita dapat memakai ukuran yang
diberikan oleh Rudolf Flech dari Amerika Serikat. Flesch menyusun tabel rujukan sebagai
berikut.
Tabel Kejelasan Kalimat dalam Jumlah Kata
Kejelasan Kata per kalimat
Mudah sekali Kurang dari 8
Mudah 11
Agak mudah 14
Baku 17
Agak sulit 21
Sulit 25
Sangat sulit Lebih dari 29

2.  Bangun Kalimat
Ukuran kejelasan kalimat bukan hanya ditentukan oleh penggunaan kata dan panjang
pendek kalimat, tetapi juga oleh bangun kalimat. Bangun kalimat yang dapat memberikan
nilai tambah bagi kejelasan kalimat adalah:
b.  Informasi lama mendahului informasi baru
c. Informasi pendek mendahului informasi panjang
d.     Ketaksaan ialah adanya makna ganda dalam kalimat. Perhatikan contoh berikut ini.
Untuk menghilangkan ketaksaan dapat dilakukan dengan
1)        Memberikan tanda hubung untuk memperjelas tali perhubungan,
2)        Dengan mengubah bangun kalimat,
3)        Mengganti istilah menjadi lebih jelas maknanya.
2.3 Pengukuran Formula Keterbacaan
Formula yang digunakan untuk mengukur tingkat kesulitan suatu bacaan. Dalam
menentukan tingkat kesulitan suatu bacaan, dapat menggunakan grafik fry dan grafik raygor.
Berikut penjelasan pengukuran formula keterbacaan:
a. Grafik Fry
Grafik fry adalah formula keterbacaan yang diperkenalkan oleh Edward Fry (Nurlaili,
2011:171). Ada dua faktor dalam perhitungan menggunakan formula ini, yaitu
sebagai berikut (Laksono, 2008:4.11):
 Panjang pendek kata
 Tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku
kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut.
Petunjuk perhitungan grafik fry:
 Mencari penggalan dalam bacaan yang representatif
 Menghitung jumlah kalimat yang terdapt pada 1000 kata dalam teks
 Jika kalimat terakhir tidak berhenti di titik, cara menghitungnya adalah
jumlah kata yang tidak terpotong pada kalimat terakhir
jumlah keseluruhan kata pada kalimat terakhir sebelum terpotomg
 Menghitung jumlah suku kata yang terdapat pada 100 kata dalam teks
 Mengalikan jumlah kata suku kata dengan 0,6
 Mengkorversikan jumlah kalimat dan jumlah suka kata pada grafik fry.
 Grafik vertikal pada grafik menunjukkan jumlah kalimat per 100 kata, per 100
kata yang sudah dikali 0,6. Titik pertemuan garis vertikal dengan horizontal
menunjukkan tingkatan kelas pembaca.

Gambar Grafik Fry

Keterangan:
 Angka-angka yang tertera dalam grafik fry
Angka di samping kiri grafik, seperti 25,0;  20,0; 16,7 dan seterusnya hingga
angka 3,6 menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat perseratus perkataan.
Selanjutnya angka yang tertera di bagian  atas grafik seperti angka 108, 112,
116 dan seterusnya sampai dengan angka 172, menunjukkan data jumlah suku 
kata perseratus perkataan. Angka-angka ini  mencerminkan  panjang
pendeknya kata yang dapat diketahui dari jumlah perkataan  yang terdapat
dalam wacana sampel.
 Badan grafik fry
Angka itu menunjukkan  perkiraan  tingkat keterbacaan wacana yang diukur.
Angka satu menunjukkan bahwa wacana yang diteliti cocok untuk pembaca
level satu (kelas satu), angka dua menunjukkan bahwa  wacana itu cocok
untuk pembaca level dua,  dan begitulah seterusnya, angka 12 menunjukkan
bahwa wacana tersebut cocok untuk pembaca level 12 atau kelas 12.
 Daerah yang diarsir sudut kanan atas dan sudut kiri bawah grafik fry
Pada bagian ini merupakan wilayah invalid. Artinya,  jika titik  pengukuran
jatuh di daerah itu, berarti wacana yang diteliti dinyatakan invalid  (baca: tidak
cocok dengan  pembaca tingkat mana pun,  karena wacana tersebut  tergolong
wacana yang gagal atau tidak baik digunakan sebagai bahan ajar). Wacana
seperti itu harus diganti dengan wacana lain yang lebih baik atau diselaraskan
terlebih dahulu oleh guru yang akan memakai wacana itu.
b. Grafik Raygor
Grafik raygor adalah formula keterbacaan yang diperkenalkan oleh Alton Raygor.
Menurut Harjasujana (1998: 4.27), grafik raygor merupakan alat ukur tingkat
keterbacaan wacana yang hampir sama dengan grafik fry. Karena grafik raygor
menggunakan kriteria yang lebih umum sifatnya, maka kemungkinan penggunaannya
untuk wacana atau buku teks berbahasa Indonesia lebih besar.

Petunjuk perhitungan grafik raygor:


 Memilih penggalan yang representatif (paragraf yang dapat mewakili) dari
wacana yang hendak ditentukan tingkat keterbacannya.
 Menghitung 100 buah kata dari wacana atau buku teks tersebut. Angka dan
deretan angka tidak dianggap kata.
 Menghitung jumlah kalimat sampai pada persepuluhan terdekat (prosedurnya
sama dengan perhitungan kalimat pada grafik fry).
 Menghitung jumlah kata-kata yang sulit. Kata yang sulit dianggap adalah kata
yang dibentuk 6 huruf atau lebih.
Gambar grafik raygor
Boldwin dan Koupman dalam Hardjasujana dan Mulyani (1996:129)
mengemukakan bahwa terdapat kolerasi yang cukup tinggi antara tingkat keterbacaan
grafik Fry dan grafik Raygor. Kelebihan yang dimiliki oleh grafik Raygor adalah
efisiensi waktu. Pengukuran keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh
lebih cepat dari pada menggunakan grafik Fry.
Pada grafik Raygor cara yang digunakan untuk menurunkan tingkat kesulitan
wacana adalah dengan cara memperpendek kalimat-kalimatnya dan mengganti kata-
kata sulit dengan kata-kata yang lebih mudah. Berikut adalah petunjuk untuk
menurunkan  tingkat keterbacaan sebuah wacana:
1.  Cari kata-kata yang sukar yang  terdapat dalam sebuah wacana.
2.  Ganti kata-kata yang sukar dengan kata-kata yang lebih mudah.
3.  Bacalah wacana tersebut untuk mengetahui kemungkinan memendekkan
kalimatnya menjadi dua atau tiga kalimat.
4. Tulis kembali waacana tersebut dengan menggunakan kata-kata yang lebih mudah
dan kalimat-kalimatnya yang lebih pendek.
5.  Ukurlah tingkat keterbacaan wacana yang baru itu untuk mengetahui
penurunannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan
dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan
suatu buku teks untuk dibaca. Suatu buku teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila
mudah dipahami. Sebaliknya, buku teks dikatakan berketerbacaan  rendah apabila sulit
dipahami, tingkat keterbacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan
wacana. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Faktor yang
paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan
tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang membentuknya.
Formula Fry merupakan satu metode pengukuran yang cocok digunakan untuk
menentukan tingkat keterbacaan wacana tanpa melibatkan pembacanya. Sedangkan raygor
merupakan tampak terbalik jika dibandingkan dengan grafik Fry. Namun, kedua formula
keterbacaan tersebut sesungguhnya memiliki prinsip yang mirip.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulisan bahwa pengukuran keterbacaan pada suatu
teks dapat dilakukan menggunakan grafik fry dan grafik raygor. Hal ini dapat berguna untuk
generasi muda dalam melakukan penelitian mengenai pengukuran keterbacaan suatu buku
teks atau wacana.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. 2010.


Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran. Bandung: Rizqy Press.
Andriana, Winda. 2012.
Analisis Keterbacaan Teks Buku Pelajaran Kelas III SD: Studi Kasus Untuk
Teks Bahasa Indonesia, IPA dan IPS. [online]. Tersedia:
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20323993-S43507- Analisis
%20keterbacaan.pdf. [16 Oktober 2021].
Dwipratama, F. A. 2013.
Keterbacaan Makalah. [online]. Tersedia:
https://www.academia.edu/5355254/KETERBACAAN_MAKALAH.
[18Oktober 2016].
Harras, K. A. 2012.
Bahan Ajar dan Keterbacaan. [online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_IND
ONESIA/196401221989031-
KHOLID_ABDULLAH_HARRAS/Bahan2_Kuliah/Presentasi/BAHAN_AJA
R_DAN_KETERBACAAN.pdf. [18 Oktober 2021].
Rahayu, Minto. 2007.
Bahasa Indonesia Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. Grasindo.
Sitepu, B. P. 2010.
Keterbacaan. [online]. Tersedia:
https://bintangsitepu.wordpress.com/2010/09/11/keterbacaan/. [16 Oktober
2021].
Sulastri, Isna. 2010.
Keterbacaan Wacana dan Teknik Pengukurannya. [online]. Tersedia:
https://uniisna.wordpress.com/2010/12/31/keterbacaan-wacana-dan-teknik-
pengukurannya-2/. [16 Oktober 2021].
Syarofah, Binti. 2012.
Perbandingan Tingkat Keterbacaan BSE dan Non BSE Bahasa Indonesia
untuk Kelas X SMA Negeri di Kota Yogyakarta. [online]. Tersedia:
http://eprints.uny.ac.id/25264/1/Binti%20Syarofah%2008201241014.pdf. [25
Oktober 2021].

Anda mungkin juga menyukai