Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PEMBELAJARAN MEMBACA

“Pengukuran Keterbacaan Wacana dengan Formula Keterbacaan”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
1. Novus Adelia Aurora (201230037)
2. Eva Ramadanti Putri (201230029)
3. Bima Junio Wijaya (201230046)
DOSEN PENGAMPU: Inda Puspita Sari, M.Pd.

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS PGRI SILAMPARI LUBUKLINGGAU
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana atas rahmat dan karunia-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini
adalah “Pengukuran Keterbacaan Wacana dengan Formula Keterbacaan.” pada kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT atas terselesaikannya makalah ini.
2. Ibu Inda Puspita Sari, M,Pd selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan dan
dukungan.
3. Dan semua pihak yang telah memberi bantuannya dalam penulisan makalah ini yang
tidak dapat disebutkkan satu-persatu.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik
dari segi penyusunan bahasa maupun dari segi lainnya. Oleh karna itu, dengan lapang dada kami
membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberikan saran dan keritik kepada kami
sehingga dapat memperbaiki laporan makalah ini.

LubukLinggau, Maret 2024

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................5
C. Tujuan..................................................................................................................................5
D. Manfaat................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Pengertian Keterbacaan.....................................................................................................6
B. Wacana................................................................................................................................6
C. Konsep Keterbacaan Wacana...........................................................................................7
D. Ragam Tingkat Keterbacaan Wacana..............................................................................8
BAB III PENUTUP......................................................................................................................10
A. Kesimpulan........................................................................................................................10
B. Saran..................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membaca adalah salah satu hal yang penting yang akan dilalui dalam proses belajar.
Membaca merupakan sebuah kegiatan interaksi yang dilakukan antara penulis dan pembaca.
Kegiatan berinteraksi yang bersifat komunikatif ini akan semakin baik jika si penulis mempunyai
kemampuan untuk menyampaikan gagasan dengan baik. Kemudian si pembaca juga memiliki
wawasan yang cukup mengenai tulisan yang dibacanya. Membaca bukan hanya mengerti akan
huruf yang tercetak dalam bentuk tulisan, namun juga dapat memahami, menerima, menolak,
atau membandingkan isi atau hal yang dibicarakan dalam tulisan tersebut. Membaca banyak
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman seseorang. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan atau pengalaman seseorang, ia akan mampu menguasai bacaan dengan lebih baik.
Membaca juga dapat membantu memecahkan masalah, memperkuat suatu keyakinan, sebagai
suatu pelatihan, memberi pengalaman estetis, meningkatkan prestasi, memperluas pengetahuan
dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, peran membaca amatlah penting dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahan bacaan bisa berupa karya ilmiah, majalah,
surat kabar, novel atau yang lainnya tergantung tingkat kemampuan seseorang. Kegiatan
membaca harus sesuai dengan tingkat kemampuan membaca karena keterbacaan seseorang
merupakan ukuran tentang sesuai atau tidaknya bacaan yang dibaca seorang pembaca.
Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kali-mat,
paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yak-ni halhal yang
berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-
aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan
dan informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian dengan
tatabahasa baku. Untuk menentukan keterbacaan suatu teks pelajaran seharusnya dikaji pada tiga
hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca.
Keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan
bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) 3 latar (Rusyana, 1984: 213). Ketiga
komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan wacana dalam buku teks pelajaran.
Penelitian tentang keterbacaan wacana ini memang diperlukan. Dasar pertimbangannya
karena antara lain karena ihwal keterbacaan wacana mempunyai peranan sangat penting dalam
proses komunikasi antara penulis dengan pembaca bukunya. Berkaitan dengan ini Hardjasujana
(1991: 3) menegaskan, jika penulis buku mengharapkan agar bukunya diminati dan dapat
dipahami dengan baik oleh pembacanya, maka dia harus berupaya agar keterbacaan wacana
dalam bukunya selalu tinggi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud keterbacaan?
2. Apa itu wacana?
3. Apa saja ragam tingkat formula keterbacaan wacana?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui pengertian dan konsep keterbacaan.
2. Untuk mengetahui dari wacana.
3. Untuk mengetahui ragam tingkat formula keterbacaan wacana.
D. Manfaat
1. Dapat menambah wawasan tentang pengertian dan konsep keterbacaan wacana.
2. Dapat menambah wawasan tentang pengukuran keterbacaan wacana.
3. Dapat menambah wawasan tentang ragam tingkat formula keterbacaan wacana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keterbacaan
Meskipun memiliki kata dasar yang sama, membaca dan keterbacaan memiliki arti yang
berbeda. Dalam bahasa Inggris, keterbacaan diterjemahkan menjadi readability yang merupakan
turunan dari readable yang berarti “dapat dibaca” atau “terbaca”. Dalam bahasa Indonesia,
konfiks ke-an pada “keterbacaan” menimbulkan arti “hal yang berkenaan dengan apa yang
tersebut dalam bentuk dasarnya”. Dengan demikian, keterbacaan dapat diartikan sebagai sebab
terbaca tidaknya suatu bacaan tertentu oleh pembacanya. Berkaitan dengan arti keterbacaan,
secara semantik, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan arti keterbacaan sebagai “perihal
dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah diingat”. Mc
Laughin (Suherli, 2009) menyatakan bahwa keterbacaan berkaitan erat dengan pemahaman
pembaca sebab bacaan yang memiliki keterbacaan yang baik akan memiliki daya tarik tersendiri
yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan. Suherli (2009) menyimpulkan
bahwa keterbacaan berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan
keterpahaman.

Keterbacaan juga membicarakan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu


bacaan tertentu bagi pembaca tertentu (Finn, 1993; Basuki serta Martutik, 2003).
Dalam hal ini keterbacaan adalah ukuran perihal sinkron tidaknya suatu bacaan bagi pembaca
tertentu ditinjau dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Chomsky (2000)
mengatakan bahwa keterbacaan mengandung pengertian sistem-sistem harus bisa
membaca ungkapan-ugkapan bahas serta menggunakannya sebagai instruksi-instruksi yang
berkaitan dengan bunyi, yaitu representasi-representasi fonetik yang dihasilkan bahasa.

B. Wacana
Menurut KBBI, wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam
bentuk karangan arau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato atau khotbah. Henry
Guntur Tarigan (1987) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling
lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dankoherensi yang baik,
mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan
atau tertulis.
Dalam bentuk penyampaian wacana bisa menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis.
Dalam bahasa lisan sangat dibutuhkan lawan bicara atau audiens yang nantinya akan menyimak
sesuatu yang telah disampaikan oleh seseorang. Sedangkan dalam bahsa tulis, seorang penulis
harus memperhatikan dengan sangat teliti dalam penggunaan bahasa, kata, maupun kalimat yang
baik untuk ditulis agar nantinya tidak ada kesulitan bagi para pembaca untuk memahami atau
membaca wacana tersebut. Wacana juga memiliki berbagai ciri dan sifat, Syamsudidin dkk
(1998) mengungkapkan sebagai berikut.
a) Wacana berupa rangkaian ujaran secara verbal atau rangkaian tindak tutur, dalam hal
tersebut menjelaskan bahwa wacana bisa berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis.
b) Wacana menyampaikan, dalam arti wacana merupakan hal yang bersifat untuk
menyampaikan sesuatu kepada audiens atau pembaca.
c) Penyampaian dalam wacana juga sangat teratur, sistematis, koheren, serta lengkap
dengan situasi pendukung lainnya,
d) Wacana memiliki satu kesatuan misi dalam sebuah rangkaian inti di dalamnya.
e) Wacana dibuat oleh unsur segmental dan non-segmental. Unsur segmental adalah
suatu unsur yang terdapat di dalam kalimat tertulis yaitu, penulisan tanda baca, huruf
kapital, dan sebagainya. Sedangkan non-segmental sebuah unsur wacana yang
berkaitan dengan konteks tertentu.

C. Konsep Keterbacaan Wacana


Konsep keterbacaan wacana ini menempatkan di responden pada tingkat baca frustasi serta
sulit di pahami oleh peserta didik. Perlu dikemukakan bahwa pengajar harus lebih kreatif dalam
mencari serta menentukan materi bacaan yang sesuai dengan taraf kemampuan belajar peserta
didik. sehingga seluruh pengajar tidak hanya terikat oleh buku paket yang ada saja. Sehubungan
dengan hal itu, pengajar tidak bisa terikat di satu buku teks tertentu saja, namun bisa
merekomendasikan koleksi-koleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping,
surat kabar, jurnal, pamflet). Pada hal ini, penggunaan rumus keterbacaan umumnya dilakukan
untuk memudahkan pengajar dalam mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan materi
pengajarannya (Harjasujana dan Mulyati,1997: 109).
Dalam mempersiapkan bahan-bahan bacaan, pengajar sebaiknya harus mempertimbangkan
terlebih dahulu taraf keterbacaan bahan yang akan ditulisnya dengan pihak lain sebagai target
pembacanya. Keterampilan untuk mengganti taraf keterbacaan wacana wajib dimiliki oleh setiap
pengajar agar bisa mempertimbangkan taraf keterbacaan tulisanya sebagai akibatnya bisa terbaca
dengan baik oleh siswa. Cara untuk mengubah tingkat keterbacaan dapat dilakukan dengan
meninggikan taraf kesulitan wacananya atau sebaliknya, menurunkan tingkat kesulitan wacana
tersebut (Harjasujana dan Mulyati, 1997: 109).

D. Ragam Tingkat Keterbacaan Wacana


Guna mengukur taraf keterbacaan sebuah wacana, terdapat sejumlah formula-formula yang
dapat dipergunakan. Penerapan formula keterbacaan ialah aktivitas belajar yang sangat krusial
serta harus dikuasai oleh pengajar juga peserta didik. Melalui hal tersebut seorang peserta didik
akan dibekali dengan kompetensi pada hal penerapan formula keterbacaan. Formula-formula tadi
umumnya dipergunakan untuk mengukur taraf keterbacaan wacana, di antaranya sebagai berikut:
1. Formula Keterbacaan Fry
Formula ini dibuat pada tahun 1968 dan dipulikasikan pada tahun 1977 dan dirumuskan oleh
Edward Fry. Tujuan formula ini salah satunya untuk menyederhanakan teknik penentu tingkat
keterbacaan wacana. Pada hal ini, faktor panjang dan pendek kalimat serta kata sulit masih tetap
dipergunakan. Tidak hanya mempunyai kelebihan, faktor ini juga memiliki kelemahan untuk
mengukur wacana karena di dalam wacana bahasa Indonesia serta bahasa Inggris sangat berbeda,
sehingga untuk diterapkan dalam wacana bahasa indonesia harus dilakukan beberapa
penyesuaian. Semakin panjang kalimat akan semakin sulit pemahamannya, begitu juga
sebaliknya. Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut:
1) Perempuan itu menyukai adikku.
2) Perempuan yang berbaju biru yang duduk di sebelah lelaki yang berkacamata itu
menyukai adikku yang memiliki banyak koleksi buku.
Kalimat nomor (2) adalah perluasan dari kalimat nomor (1). Karena memiliki banyak
perluasan, tentu saja kalimat nomor (1) lebih mudah dipahami dari pada kalimat nomor (2).
Faktor-faktor seperti tersebutlah yang menjadi tolak ukur beberapa formula keterbacaan, seperti
formula fry.
2. Formula Keterbacaan Raygor
Formula Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygor. Formula Raygor memiliki prinsip-
prinsip yang sama dengan formula keterbacaan Fry. Formula Raygor memakai alat ukur jumlah
kalimat dan jumlah kata sulit, kata yg terdiri atas enam kata atau lebih yang ada pada wacana.
Formula keterbacaan raygor memiliki banyak kesamaan dan sedikit perbedaan jika dibandingkan
dengan formula keterbacaan fry. Sama seperti pengambilan nama formula keterbacaan fry,
formula keterbacaan raygor juga diambil dari nama pembuatnya, yaitu Alton Raygor. Perbedaan
kedua formula ini terletak pada cara menguraikan tingkat kesulitan kata. Jika formula fry
menguraikan tingkat kesulitan kata dengan menghitung jumlah suku kata, formula raygor
menguraikan tingkat kesulitan kata dengan jumlah huruf. Pada formula fry, semakin banyak suku
kata akan diangkap semakin sulit keterbacaannya. Begitu juga dengan formula raygor, semakin
banyak jumlah huruf dalam sebuah kata akan dikategorikan sebagai kata sulit yang kemudian
akan memiliki tingkat kemungkinan keterbacaan sulit. Formula ini tampak mendekati kecocokan
untuk bahasa-bahasa yg memakai huruf latin.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghitung tingkat
keterbacaan dengan menggunakan formula raygor (Laksono, 2014:4.25―4.26).

(1) Memilih penggalan teks representatif yang panjangnya lebih kurang 100 perkataan

(2) Menghitung jumlah kalimat dari seratus perkataan yang terdapat dalam wacana sampel

(3) Menghitung jumlah suku kata dalam seratus kata

(4) Menerapkan hasil perhitungan dalam grafik raygor

3. Formula Keterbacaan Fog Index


Fog index pertama kali ditemukan oleh pratisi media dari Amerika Serikat, Robert Gunning
(1952). Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia Fog berarti kabut dan index berarti angka atau
jumlah. Pengertian tersebut digambarkan kabut sebagai penghalang mata pembaca untuk melihat
atau memahami suatu wacana dan jumlah yang berarti semakin banyaknya kabut akan semakin
sulit memahami wacana. Contohnya, jika terdapat sebuah teks yang dibaca oleh seseorang
dengan tingkat pendidikan yang berbeda akan menimbulkan pemahaman yang berbeda pula.
Pembaca yang berpendidikan SD akan mempunyai pemahan yang berbeda dengan pembaca
yang berpendidikan SMA.
Awal ditemukannya formula fog index adalah pada saat Gunning mengamati banyak
siswa sekolah menengah yang tidak terampil dan tidak mahir membaca yang disebabkan oleh
wacana sebuah teks yang ditulis sangat baik tetapi tidak mempertimbangkan tingkat keterbacaan
target pembaca. Setelah itu, pada 1944, Gunning mendirikan lembaga untuk mengukur dan
menemukan formula keterbacaan suatu wacana. Ia melakukan studi dan membantu lebih dari 60
surat kabar ternama dan majalah di Amerika, juga membantu jurnalis, editor, dan para penulis
agar tulisan mereka dipahami pembaca.

Salah satu indeks keterbacaan teks yang paling penting adalah tingkat ketidakjelasan (Fog
index). Hal ini signifikan karena beberapa alasan yaitu, fog index adalah indeks komprehensif,
yaitu mencakup keduanya leksikal (kesulitan kosakata) dan fitur sintaksis (kesulitan kalimat).
Kedua, Fog index dapat memprediksi keterampilan membaca dari seorang pembaca berdasarkan
tingkat pendidikan (Bailin, 2010). Berdasarkan pendapat Gunning, Hal-hal yang mempengaruhi
kejelasan dalam keterbacaan adalah:
1. Hubungan tingkat pendidikan dan kosakata yang dikuasainya.
2. Wawasan seorang pembaca,
3. Tempat tinggal dan pergaulan pembaca,
4. Kemampuan seseorang memahami sebuah teks dan mengingatnya,
5. Diksi, atau pilihan kata asing oleh penulis yang melampaui batas standar kemampuan
pembaca,
6. Suku kata yang lebih dari tiga atau lebih. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata benda
atau kata sifat sering menggunakan prefiks, misalnya: kenyamanan, ketergantungan,
keputusasaan, ketidaksadaran, dan lainlain. Oleh mesin penghitung otomatis, katakata
yang demikian dimasukkan ke dalam katagori “big words” atau sukar sebab terdiri atas
lebih dari tiga suku kata. Selain itu, jumlah kata-kata sukar (big words) yang digunakan
penting diperhatikan, yakni kata asing –selain Indonesia—atau kata yang untuk mema-
haminya harus membuka kamus terlebih dahulu atau bertanya pada pakarnya,
7. Kalimat dalam sebuah wacana yang panjang (lebih dari 7 kata per kalimat). Kalimat yang
panjang akan menyulitkan pembaca untuk menghubungkan antara subjek, predikat,
objek, dan keterangan. Dengan demikian, otomatis menyulitkan pemahaman sebab pemb-
aca tidak dapat segera menangkap gagasan intinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keterbacaan dapat didefinisikan sebagai hal terbacanya atau tidaknya suatu bahan bacaan
tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan juga membicarakan tingkat kesulitan atau tingkat
kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu (Finn, 1993; Basuki dan
Martutik, 2003). Dalam hal ini, keterbacaan (readability)merupakan ukuran tentang sesuai atau
tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan
wacananya. Dan seorang pendidik atau guru harus mempunyai kemampuan dalam menentukan
tingkat keterbacaan sebuah wacana yang akan dijadikan sebagai bahan ajar. Keterampilan untuk
mengubah tingkat keterbacaan wacana harus dimiliki oleh setiap guru agar mampu
mempertimbangkan tingkat keterbacaan tulisanya sehingga dapat terbaca dengan baik oleh
siswa. Untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik dalam keterbacaan wacana ini dapat
diketahui dengan cara mengetahui beberapa formula, yaitu formula keterbacaan Spache, formula
Dale dan Chall, grafik Fry, formula keterbacaan Raygor, formula SMOG, dan teknik uji
rumpang.

B. Saran
Hendaknya semua guru wajib memiliki kemampuan dalam memahami keterbacaan guna
mengukur sebuah teks bacaan yang dapat disajikan tepat pada kemampuan perseta didik. Agar
nantinya perseta didik dapat memahami materi yang telah disampaikan oleh guru sesuai dengan
tingkat keterbacaannya. Guru bahasa Indonesia sangat penting sekali untuk meningkatkan
kemampuan membaca perseta didik. Dalam hal tersebut, hendaknya guru mengetahui atau
mengusai benar teori-teori membaca. Para siswa hendaknya banyak-banyak membaca buku
sebagai sumber belajar untuk meningkatkan prestasi belajar mereka. Penulis atau penyusun buku
diharapkan lebih cermat dan lebih memperhatikan struktur kata dalam setiap kalimat sehingga
memenuhi kritria keterbacaan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yunus. (2012). Pembelajaran Membaca Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: PT
Refika Adimata.
Bailin A., A. Grafstein., The linguistic assumptions underlying readability formulae: a critique,
“Language and Communication”, 21, 2001, pp. 285–301.
Gunning, Robert. 1952. The Technique of Clear Writing. New York: McGraw-Hill.
Harjasujana, Akhmad & Yetty Mulyati . 1997. Membaca 2. DEPDIKBUD.
Laksono, Kisyani, dkk. 2014. Membaca 2. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Suherli, dkk. 2016. Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Edisi Revisi 2016. Pusat
Kutikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Tarigan, Henry Guntur 2009. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai