Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH ANALISIS SIARAN DAN TEKS MEDIA

WACANA, BAHASA DAN MAKNA

Disusun oleh

M. Rifky Zaelani (21521029)

Radiansayah (21521038)

Dosen Pengampu:

Femalia Valentine, M.A

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

TAHUN 1444 H/2023 M


KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami selaku penulis dapat
menyelesaikan tugas Makalah Analisis Siaran Dan Teks Berita dengan tema “Wacana, Bahasa
Dan Makna” ini dengan tepat waktu. Shalawat beriring salam tak lupa pula, kami kirimkan
kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW, yang mana telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang penuh kemulian seperti yang kita raskan saat ini.

Kemudian dari pada itu, kami mengucapkan terimaksih yang sedalam-dalamnya kepada
pihak-pihak yang telah membantu dami terselesaikannya makalah ini, di antaranya: dosen
pengampu Bunda Femalia Valentine, M.A dan rekan-rekan mahasiswa dan seluruh pihak yang
telah berpartispasi dalam penyelesaian makalah ini.

Kami selaku penulis menyadari bahwa masih perlu adanya penyempurnaan dalam
makalah ini, untuk itu kami mengharapkan saran, kritik, dan masukan yang bersifat konstruktif
dan membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca serta khususnya bagi penulis sebagai penerapan dalam kehidupan
seharihari serta penambah wawasan dan pengetahuan.

Curup, Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata wacana sudah tidak asing lagi bagi kita. Mungkin selama ini kita memaknai wacana
sebagai sebuah ide atau rencana. Maksudnya ialah sebuah ide atau rencana yang telah
dipersiapkan untuk melakukan sesuatu namun nyatanya tidak terlaksana atau tidak dilakukan.
Mungkin sebagian dari kita hanya memahami makna kata “wacana” seperti penjelasan
tersebut. Namun pada hakikatnya wacana memiliki arti yang sangat luas. Hal ini diakibatkan
kata wacana menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan. Seperti halnya kata pada
umumnya, semakin tinggi disebut dan dipakai kadang bukan makin jelas tetapi makin
membingungkan dan rancu. Kata wacana juga dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi
bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi dan sebagainya. Banyak para ahli
memberikan definisi dan batasan yang bebeda mengenai wacana tersebut.
Apakah bahasa itu? Banyak orang mengartikan bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Benarkah? Jika demikian, telpon dapat kita kategorikan sebagai bahasa, begitupun surat
dapat dikategorikan sebagai bahasa. dari contoh kecil ini ternyata bahasa tidak dapat
didefinisikan sebagai alat komunikasi, sebab pengertian ini lebih mengacu pada fungsi
bahasa itu sendiri. Lantas bahasa itu sendiri apa?
Bahasa yang kita gunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari
merupakan rentetan panjang kata-kata dan kalimat. Alasan apapun yang dikatakan ,
kenyataanya setiap kata yang diucapkan manusia memiliki makna atau mengakibatkan
muculnya makna. Persoalan makna adalah persoalan yang menarik dalam kehidupan sehari-
hari, lantas kemudian mucul pertanyaan apa yang dimaksud dengan makna itu? Oleh karena
itu, pada makalah ini, kami akan coba menjelaskan mengenai pengertian wacana, pengertian
bahasa, dan pengertian makna dan jenis-jenis makna, agar kiranya dapat memberikan
pemahaman bagi kita semua.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu wacana dan jenis-jenis wacana?
2. Apa itu bahasa?
3. Apa itu makna dan jenis-jenis makna?
C. Tujuan Pembelajaran
1. Untuk mengetahui pengertian wacana dan jenis-jenis wacana
2. Untuk mengetahui pengertian bahasa
3. Untuk mengetahui apa itu makna dan jenis-jenis makna

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Wacana
1. Pengertian wacana
Ditinjau dari asal usul katanya, kata wacana berasal dari kata vacana 'bacaan' dalam
bahasa Sanskerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa
Jawa Baru menjadi wacana dan wacana 'bicara, kata, ucapan'. Kata wacana dalam bahasa
Jawa Baru kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana yang berarti
'ucapan, percakapan, kuliah'.1 Seiring dengan penggunaannya yang semakin meluas,
komponen arti kata wacana juga semakin bertambah banyak. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat dijelaskan bahwa wacana mengandung arti sebagai
berikut:2
Pertama: komunikasi verbal; percakapan; kedua: keseluruhan tutur yang merupakan satu
kesatuan; ketiga: satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau
laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah; keempat: kemampuan atau
prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan
berdasarkan akal budi; kelima: pertukaran ide.
Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai "kemampuan untuk maju (dalam
pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya", dan "komunikasi buah
pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur".3 Jika definisi ini kita pakai
sebagai pegangan, maka dengan sendirinya semua tulisan yang teratur, yang menurut urut-
urutan yang semestinya, atau logis, adalah wacana. Karena itu, sebuah wacana harus punya
dua unsur penting, yakni kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence).
Sedangkan menurut cook, ia mengartikan wacana sebagai suatu penggunaan bahasa
dalam komunikasi, baik secara lisan mau-pun tulisan.4 Ini sejalan dengan pendapat Henry
Guntur Tarigan bahwa "Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya

1
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1993), hlm.1144.
2
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.1552.
3
Alex sobur, Anlisis Teks Media Suatu Pengantar Unuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik Dan Analisis
Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2018). hlm. 10
4
Guy Cook, Discourse (Oxford: Oxford University Press, 1989), hlm. 6-7.

6
percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya
formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon".5
Sebagai contoh wacana lisan "tolong saya" dan wacana tulis "pintu keluar" Wacana,
seperti "Tolong saya" merupakan kalimat, sedangkan pada "Pintu Keluar" hanyalah sebuah
"kelompok kata" dari segi struktur bahasa. Akan tetapi bukan hal itu yang dimaksud.
Meskipun dari segi struktur bahasa, wacana dapat berbentuk seperti sebuah frase atau
kelompok kata, konteksnya telah memberikan makna yang lain daripada makna menurut
struktur bahasanya. Makna wacana sudah melebihi makna kalimat, sehingga beberapa ahli
linguistik yang menggeluti wacana telah memberikan pengertian tentang wacana dengan
makna melebihi kalimat. Mereka mengatakan bahwa wacana adalah suatu unit bahasa yang
lebih besar daripada kalimat atau suatu rangkaian, yang bersinambung dari bahasa, yang
lebih besar daripada kalimat.6
wacana berbicara tentang suatu topik sampai tuntas. Ketuntasannya dapat dilihat nyata
(tersurat), dalam bentuk rangkaian kalimat, dan dapat juga tersirat. "Pintu Keluar", misalnya,
merupakan suatu wacana yang secara tersirat menyatakan bahwa jika ingin meninggalkan
tempatini, anda harus berjalan mengikuti arah itu, karena kalau tidak. Anda tidak dapat
keluar dari gedung atau ruang ini.
2. Jenis-jenis wacana
wacana dibagi atas dua bagian, yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan
ditemukan dalam percakapan, pidato, lelucon, sementara wacana tulis terutama pada media
yang menggunakan bahasa tulis. Kedua jenis wacana itu akan diuraikan berikut ini.
a. Wacana lisan
Jauh sebelum manusia mengenal huruf, bahasa telah digunakan oleh manusia. Manusia
memakai bahasa lisan dalam berkomunikasi. Bahasa lisan menjadi bahasa yang utama dalam
hidup manusia karena lebih dahulu dikenal dan digunakan oleh manusia daripada bahasa
tulis. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa sebagian besar manusia masih berada dalam
budaya lisan.
Karena sering digunakan, bahasa lisan memiliki ciri-ciri yang berlainan dengan bahasa
tulis. Salah satunya yang menonjol adalah sering terjadi penghilangan bagian-bagian

5
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa, 1993), hlm.23.
6
Josep Hayon, Membaca Dan Menulis Wacana: Petunjuk Praktis Bagi Mahasiswa, (Jakarta: Grasindo,
2003), hlm 40.

7
tertentu, yang dapat menghilangkan pengertian wacana,jika salah satu partisipannya
(pembicara dan pendengar) belum terbiasa, seperti pada contoh berikut.7

Deri: "Ilham, ke mana?"

Ilham: "Biasa".

Pada wacana seperti di atas Deri dapat mengetahui bahwa Ilham akan pergi, misalnya,
ke warung untuk makan roti panggang, karena pada saat seperti ini kebiasaan Ilham makan
roti panggang di warung X. Bagi orang lain,yang belum mengenal kebiasaan Ilham, wacana
di atas tidak dapat dimengerti. Ia tidak dapat menarik simpulan yang tepat. Pertama, karena
ia mengetahui bahwa tidak ada lokasi yang bernama Biasa atau ujaran "biasa" tidak
mengacu kepada suatu tempat yang pasti dan kedua, ia belum mengenal kebiasaan atau
memiliki "pengetahuan yang telah diketahui bersama" (common ground) dengan Ilham.
Manusia lebih sering menggunakan wacana lisan yang pendek. Satuan-satuan atau unit-
unitnya pun pendek dan kadang-kadang tidak gramatikal, seperti percakapan Ilham dan Deri
di atas. Jarang ditemukan wacana lisan yang panjang. Kalaupun ada, biasanya maknanya
terus-menerus diulang, seperti dalam mengungkapkan kekesalan hati.
Dalam mengutarakan maksud dengan wacana lisan, tidak hanya unsur bahasa tetapi
juga digunakan gerakan anggota tubuh, pandangan mata, dan lain-lain, yang turut memberi
makna wacana itu. Seorang atasan yang sedang memarahi bawahannya, akan juga
memperlihatkan raut wajah dan gerakan tangannya yang memperkuat makna bahwa hal itu
tidak boleh dilakukan lagi oleh bawahannya.
Jika pengutaraan maksud memakan waktu yang cukup lama, diperlukan adanya daya
simak yang tinggi dari partisipan lainnya. Perkuliahan, misalnya, memerlukan perhatian dan
daya simak mahasiswa untuk menangkap inti perkuliahan yang diujarkan dosen. Karena
konsentrasi dan daya simak seseorang tidak dapat bertahan terus-menerus dalam waktu yang
lama, maka perkuliahan menggunakan juga alat untuk wacana tulis agar inti materi
perkuliahan dapat diingat oleh mahasiswa.
Salah satu kelemahan wacana lisan adalah kesulitan dalam mengulang kembali wacana
dengan sama tepat seperti yang pertama. Kelemahanini juga menyebabkan wacana lisan,

7
Ibid. hlm.41.

8
sebagai bahan bukti, dalam bidang hukum memiliki kedudukan yang paling lemah
dibanding wacana tulis. Untuk menjadi bahan bukti, semua perjanjian tidak hanya dilakukan
sebatas pembicaraan tetapi juga diikuti dengan menuangkannya dalam wacana tulis. Dengan
uraian di atas dapat dibuat ciri-ciri wacana lisan sebagai berikut:
1) wacana lisan memerlukandaya simak yang tinggi agar interaksitidak terputus;
2) wacana lisan sulit diulang, dalam arti, mengulang hal yang tepatsama dengan
ujaran pertama;
3) wacana lisan dapat dilengkapi dengan gerakan anggota tubuh untuk memperjelas
makna yang dimaksud;
4) wacana lisan menyatukan partisipannya dalam satu situasi dan konteks yang
sama;
5) wacana lisan biasanya lebih pendek daripada wacana tulis;
6) wacana lisan juga melibatkan unsur kebiasaan atau pengetahuan yang telah
diketahui bersama (common ground), yang ada pada satu keluarga atau
kelompok;
7) wacana lisan sering melibatkan partisipannya secara langsung.
b. Wacana Tulis
Wacana tulis tidak menghadirkan penulis dan pembaca pada satu saat dan tempat yang
sama, seperti halnya pada wacana lisan. Penulis dan pembaca pada wacana tulis tidak dapat
berkomunikasi secara langsung sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh penulis harus
dibahasakan dengan baik dan benar. Oleh sebab itu, sebuah tulisan selalu dibaca kembali
oleh penulisnya sebelum disebarkan kepada orang lain.8
Bila dibandingkan dengan wacana lisan, wacana tulis biasanya lebih panjang, unit-unit
kebahasaannya lengkap, dan mengikuti aturan bahasa. Kadang-kadang ia berisi keterangan-
keterangan untuk memperjelas pesan dan menghindari salah penafsiran makna oleh
pembaca. Bentuk-bentuk bahasa biasanya baku, kecuali disengaja oleh penulisnya untuk
mendapatkan efek-efek tertentu, seperti dalam drama, novel, dan lain-lain.
Meskipun banyak wacana tulis yang panjang, ada juga wacana tulis yang pendek.
Wacana tulis seperti ini banyak dijumpai di iklan, di stasiun kereta api, di swalayan, dan di
jalan. Berikut diberikan beberapa contoh:

8
Ibid. hlm.42.

9
Pintu Keluar

Semua kopi hitam sama, soal rasa ayam merak

Awas! Tegangan tinggi!

Contoh (1) ditemukan di stasiun kereta api, di swalayan, dan di gedung perkantoran.
Tulisan itu menyatakan bahwa jika Anda ingin keluar dari ruang ini atau gedung ini, ikutilah
jalan ini. Yang dimaksud dengan Anda adalah siapa saja yang berada dalam ruang atau
gedung itu.
Contoh (2) adalah iklan kopi Ayam Merak. Pada contoh ini ada bagian yang dihilangkan.
Penghilangan kata kopi pada baris kedua membuat orangdapat menafsirkan makna yang lain
jika tidak mengetahui bahwa rasa Kopi Ayam Merak. Pada contoh (2) ini pembuat iklan ini
menonjolkan bahwa rasa Kopi Ayam Merak berlainan dan mempunyai kelebihan dibanding
dengan merk kopi lainnya. Contoh (3) terdapat di jalan. Peringatan ini ditujukan kepada
orang untuk tidak mendekati atau menyentuh tempat itu karena memiliki listrik
yangbertegangan tinggi.
Wacana tulis yang pendek, seperti di atas, sangat mirip dengan wacana lisan, seperti
penghilangan bagian tertentu dari wacana itu, penyatuan saat dan tempat yang sama bagi
penulis dan pembaca, dan penggunaan bentuk-bentuk informal. Ada kemungkinan wacana
tulis seperti ini dialihkan dari wacana lisan. Orang yang membuatnya tentu berpikir lebih
baik ditulis daripada terus-menerus diucapkan.
B. Pengertian bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengertian bahasa itu meliputi dua bidang. Pertama, bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi itu sendiri.
Bunyi itu merupakan getaran yang merangsang alat pendengaran kita. Kedua, arti atau
makna, yaitu isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi
terhadap hal yang kita dengar. Untuk selanjutnya, arus bunyi itu disebut dengan arus ujaran.
Setiap bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia belum bisa dikatakan bahasa bila tidak
terkandung makna di dalamnya. Apakah setiap arus ujaran mengandung makna atau tidak,
haruslah dilihat dari konvensi suatu kelompok masyarakat tertentu. Setiap kelompok
masyarakat bahasa, baik kecil maupun besar, secara konvensional telah sepakat bahwa setiap

10
sruktur bunyi ujaran tertentu akan mempunyai arti tertentu pula. Dengan demikian,
terhimpunlah bermacam-macam susunan bunyi yang satu berbeda dengan yang lain, yang
masing-masing mengandung suatu maksud tertentu di dalam suatu masyarakat bahasa.
Kesatuan-kesatuan arus ujaran tadi, yang mengandung suatu makna. Terdapat banyak sekali
definisi bahasa dari para ahli diantaranya:9
a. Mario Pei; bahasa adalah sebuah sistem dari komunikasi dengan bunyi yang
dioperasikan melalui organ bicara dan pendengaran diantara anggota komunitas dan
menggunakan lambang bunyi yang bersifat arbiter, serta mempunyai kesepakatan
makna.
b. Bloomfield; bahasa adalah sistem arbitrari dari lambang bunyi yang memungkinkan
semua manusia membangun budaya atau mempelajari sistem dari budaya untuk
berkomunikasi atau berinteraksi.
c. Webster; bahasa adalah alat sistematis untuk menyampaikan sebuah gagasan atau
perasaan dengan memakai tanda-tanda, bunyi, gesture, atau tanda yang dispakati yang
mengandung makna yang dapat dipahami.
Merujuk pada pendapat para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa bahasa mempunyai
peranan penting dalam berinteraksi. Selain berfungsi sebagai salah satu alat dalam
berkomunikasi utama, bahasa juga merupakan salah satu keahlian yang dimiliki oleh
manusia, hal inilah yang membedakan interaksi manusia dengan mahkluk lain di bumi.
Bahasa memiliki sifat yang hampir universal, yakni sifat-sifat suatu bahasa yang dimiliki
pula oleh bahasa lain sehingga sifat itu dikatakan hampir universal. Sebagai contoh, dalam
bahasa indonesia, setiap kata sifat (ajektif) pada umumnya mengikuti nomina, seperti baju
bagus, rumah mewah, jalan besar. Sifat-sifat itu ternyata tidak hanya dimiliki oleh bahasa
indonesia, tetapi dimiliki pula oleh beberapa bahasa lain. Selain sifat atau hakikat tersebut,
masih ada beberapa sifat/hakikat bahasa yang lain, yakni sebagai berikut.10
1) Bunyi, pada hakikatnya bahasa adalah ujaran yang dihasilkan alat ucap manusia yang
bermakna.
2) Lambang, artinya bahasa dapat dilambangkan ke dalam tulisan melalui huruf-huruf
yang beragam sesuai dengan kesepakatan para penggunanya.

9
Yendra, Mengenal Ilmu Bahasa, (Yogyakarta: Deepublish, 2018). hlm. 3.
10
Yunus Abidin, Konsep Dasar Bahasa Indonesia, (Jakarta Timur: Bumi Aksara, 2019). hlm. 15-16.

11
3) Bermakna, artinya bahasa memiliki arti sehingga dapat digunakan sebagai alat
komunikasi.
4) Konvensional, hal ini berarti bahasa dihasilkan atas dasar kesepakatan para
penuturnya.
5) Sistemis dan sistematis, artinya bahasa memiliki aturan tertentu yang tidak boleh
dilanggar.
6) Manusiawi, artinya hanya manusialah yang dapat berbahasa.
7) Dinamis, artinya bahasa dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia sebagai
penggunanya.
8) Dualisme, artinya bahasa dibangun oleh dua unsur utama, yakni bunyi dan makna.
9) Bervariasi, artinya bahasa memiliki beberapa variasi berupa idiolek, dialek, kronolek,
register, dan ragam lainnya.
C. Makna
1. Pengertian makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa
yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia makna adalah (1) arti, (2) maksud pembicara atau penulis; pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan
bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan.11 Makna
tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. broto (2011: 23) menyatakan
bahwa makna adalah arti yang dimiliki oleh sebuah kata karena hubungannya dengan makna
leksem lain dalam sebuah tuturan. Apabila apa yang dituturkan tersebut tidak dipahami
ataupun dimengerti oleh pendengar atau pembaca, maka tuturan tersebut tidak mempunyai
makna. Jadi kita harus berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu, karena setiap kata yang kita
ucapkan pasti mempunyai makna atau arti tersendiri.12
Kalau kita ditanya mengenai makna sebuah kata biasanya kita jawab dengan kata pula.
Misalnya, kalau ditanya apa makna kata tirta maka akan dijawab makna kata tirta adalah air.
Kalau kebetulan kita sudah mengerti kata air maka persoalan sudah selesai, dan kita sudah
mengerti apa makna kata tirta. Sering juga kalau makna kata yang ditanyakan tidakbisa

11
Mansoer Pateda, Sematik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996). hlm.79.
12
Edi Subroto, Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. (Surakarta: Cakrawala Media, 2011). hlm.23.

12
dijelaskan dengan sebuah kata, akan dijelaskan dengan sebuah definisi yang sederhana.
Misalnya, pertanyaan, apa makna kata ekonom akan dijawab dengan definisi ekonom adalah
ahli ekonomi. Di sini kalau kita sudah mengerti makna kata ahli dan makna kata ekonomi
maka persoalannya juga sudahselesai. Namun, apabila belum tahu makna kata ahli dan
makna kata ekonomi, persoalan menjadi belum selesai, sebab kita terlebih dahulu harus
memahami dulu makna kata ahli dan makna kata ekonomi. Kalau tidak, makna kata ekonom
di atas tetap tidak bisa dipahami.
Dari uraian di atas tampak jelas kalau kita menerangkan makna kata dengan
menggunakan kata lain belum tentu makna kata yang ditanyakan menjadi jelas. Begitu pula
apabila dijelaskan dengan memberikan definisinya, sebab tidak mustahil kata-kata yang
digunakan dalam definisi itu juga belum dipahami. Selain itu, ada masalah lain bahwa sebuah
kata yang digunakan dalam konteks kalimat yang berbeda mempunyai makna yang tidak
sama. Perhatikan makna kata mengambil pada kalimat-kalimat berikut.

Semester ini saya belum mengambil mata kuliah Sintaksis.

Tahun ini kami akan mengambil sepuluh orang pegawai baru.

Dia bermaksud mengambil gadis itu menjadi istrinya.

Sedikit pun saya tidak mengambil untung.

Kita bisa mengambil hikmahdari kejadian itu.

Saya akan mengambil gambar peristiwa bersejarah itu.

Diam-diam dia mengambil buku itu dari tasmu.

Anda tentu memahami bahwa kata mengambil pada ketujuh kalimat itu memiliki makna
yang tidak sama. Pada kalimat (1) kata mengambil bermakna "mengikuti",pada kalimat (2)
bermakna "menerima", pada kalimat (3) bermakna menjadikan", pada kalimat (4) bermakna
"memperoleh", pada kalimat (5) bermakna memanfaatkan", pada kalimat (6) bermakna
"membuat/memotret", dan pada kalimat (7) bermakna "mencuri"..
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna
sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang

13
yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.Karena kata yang sama atau kalimat
yang sama bila digunakan pada situasi atau konteks yang berbeda akan memiliki makna yang
berbeda.
2. Jenis-jenis makna
Ragam makna, jenis makna ataua tipe makna adalah istilah-istilah yang digunakan
untuk menyebut suatu macam makna tertenu yang dilihat dari sudut pandang kriteria
tertentu. Oleh karena kriterianya atau sudut pandangnya bisa bermacam-macam maka dalam
berbagai sumber kita dapati berbagai istilah untuk menyebut ragam makna itu. Pada
makalah ini penulis akan menjabarkan jenis-jenis makna sebagai berikut:
a. Makna Leksikal
Makna Leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa
dan lain-lain. Makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari
konteks.13 Sedangkan ada yang berpendapat bahwa makna lekslikal adalah makna yang
dimiliki atau ada pada kata/laksem meski tanpa konteks apapun.14 Misalnya, kata tikus
makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya
penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat :

Tikus itu mati diterkam kucing

Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.

Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang tikus bukan kepada
orang lain. Tetapi dalam kalimat Yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala
hitam bukanlah makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan
kepada seorang manusia, yang perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus.
b. Makna Gramatikal

Makna Gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna
yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat.15 Setiap bahasa
mempunyai sarana dan alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau
nuansa-nuansa makna gramatikal itu. Untuk menggunakan makna 'jamak' bahasa Indonesia

13
Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999). hlm.13.
14
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993). hlm.289
15
Fatimah Djajasudarma., Op.Cit. hlm. 13

14
menggunakan proses reduplikasi seperti kata buku yang bermakna 'sebuah buku' menjadi
buku-buku yang bermakna 'banyak buku'.

Contoh : Makna gramatikal dalam tataran morfologi

Morfem ter- + tabrak -> tertabrak 'tak sengaja'.

Morfem (R)-an + daun -> daun-daunan 'imitatif'.

Contoh : Makna gramatikal dalam tataran sintaksis;

kata akan + pergi -> akan pergi 'aspek futuratif'

Unsur klausa dia akan pergi ke sekolah menunjukkan berbagai makna/peran seperti: dia
'pelaku' akan pergi 'tindakan' ke sekolah "lokatif' Klausa ketika saya sedang makan dalam
kalimat: Ketika saya sedang makan, dia pergi ke sekolah bermakna 'temporal'.

c. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial

Makna referensial atau makna kognitif atau makna deskriptif adalah makna yang
berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), makna referensial disebut
juga makna kognitif, karena memiliki.16 Makna referensial adalah makna yang ditunjukkan
oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar
bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya.
Katakata seperti kuda, merah dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna
referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata sepeeti dan, atau
dan karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu
tidak mempunyai referensi.

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya
referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa
yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-
kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata

16
Fitri Amilia Dan Astri Widyaruli Anggrreni, Semantik Konsep Dan Contoh Analisis,(Lombok: Madani,
2017). hlm. 69.

15
meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai
referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut "meja" dan "kursi".

Sementara itu, kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, juga kata tugas lainnya,
tidak mempunyai refren, maka banyak orang menyatakan kata-kata tersebut tidak
mempunyai makna. Lalu karea hanya memiliki fungsi dan tugas, maka kata-kata tersebut
dinamai dengan kata fungsi atau kata tuga. Sebenarnya kata-kata ini juga memmpunyai
makna, hanya tidak memiliki refren.contoh lain misalnya pada kata karena dan tetapi yang
keduanya tidak mempunyai referen. Jadi kedua kata tersebut dikategorikan sebagai kata
nonrefrensial.

d. Makna Denotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki
oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal.17
Sedangkan Pateda menjelaskan yang dimaksud dengan makna denotatif adalah makna kata
atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di
luar bahasa yang duterapi satuan bahasa itu secara tepat. Makna denotatif adalah makna
polos, makna apa adanya. Sifatnya objektif. Makna denotatife didasarkan atas penunjukan
yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan pada konvesi tertentu.18

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata
yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran Makna denotatif menunjuk
pada acuan tanpa embel-embel. Makna denotatif adalah makna polos, makna apa adanya.
Sifatnya objektif. Contoh:

Kata babi bermakna denotatif 'sejenis binatang yang biasa diternakan untuk
dimanfaatkan dagingnya'.

Kata kurus bermakna denotatif 'keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran
yang normal'.

17
Abdul Chaer., Op.Cit. hlm. 292
18
Mansyoer Pateda, Semantik Lesklikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 98.

16
Kata rombongan bermakna denotatif 'sekumpulan orang yang mengelompok menjadi
kesatuan'.

e. Makna Konotatif

Makna konotatif adalah makna lain yang "ditambahkan" pada makna denotatif tadi yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata
tersebut.19 Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa
terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca, contoh:

1) Kata bunga , selain bermakna denotatif ' bagian tumbuhan bakal buah' juga berakibat
asosiasi terhadap barang lain memiliki makna sampingan (konotatif) seperti tampak
pada contoh berikut: Dialah bunga idamanku seorang. (= kekasih)
Makna kata bunga di atas berubah karena digunakan dalam kontekss kalimat. Oleh
karena itu, makna sebuah kata sering tergantung pada konteks kalimat atau wacana.
2) Kata kurus, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki rasa yang mengenakan. Tetapi
kata ramping, yang sebenarya bersinonim kata kurus memiliki konotasi positif, nilai
rasa yang mengenakkan; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata
krempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping,
mempunyai konotasi yang negatif, nilaki rasa yang tidak mengenakkan; orang akan
merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya krempeng.

Dari contoh kurus, ramping, dan krempeng itu dapat kita simpulkan, bahwa ketiga kata
itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memilki
konotasi yang tidak sama; kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan
krempeng berkonotasi negatif. Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada
ada tidak adanya "nilai rasa" pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata
penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai "nilai rasa",
baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memilki
konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral.

19
Abdul Chaer., Op.Cit. hlm. 293.

17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
18
Amilia, Fitri dan Astri Widyaruli Anggrreni. (2017). Semantik Konsep Dan Contoh Analisis.
Lombok: Madani.

Abidin, Y. (2019). Konsep Dasar Bahasa Indonesia. Jakarta Timur: Bumi Aksara.

Chaer, A. (1993). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Cook, G. (1989). Discourse . Oxford: Oxford University Press.

Djajasudarma, F. (1999). Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.

Hayon, J. (2003). Membaca Dan Menulis Wacana: Petunjuk Praktis Bagi Mahasiswa. (Jakarta:
Grasindo.

Pateda, M. (1996). Sematik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

(2001). Semantik Lesklikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Poerwadarminta, W. (1993). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

sobur, A. ( 2018). Anlisis Teks Media Suatu Pengantar Unuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik
Dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Subroto, E. ( 2011). Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media.

Sugono, D. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Vol. 4). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Tarigan, H. G. (1993). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Yendra. (2018). Mengenal Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Deepublish.

19

Anda mungkin juga menyukai