Anda di halaman 1dari 5

MATERI KE-2 WACANA BAHASA INDONESIA

Wacana Tulis dan Wacana Lisan

Wacana adalah salah satu bagian dari strata kebahasaan yang menduduki posisi
tertinggi. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa wacana
merupakan satuan bahasa terlengkap, yang dalam hierarki grammatical merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.

Menurut Alwi, dkk (2003:42), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan
sehingga membentuk makna yang serasi antara kalimat-kalimat itu. Menurut
Kinneavy wacana pada umumnya adalah teks lengkap yang disampaikan baik
secara lisan maupun secara tulisan yang tersusun oleh kalimat yang berkaitan, tidak
harus selalu menampilkan isi yang koheren secara rasional. Wacana dapat
diarahkan ke satu tujuan bahasa atau ke satu tujuan bahasa atau mengacu pda sejenis
kenyataan.

Berdasarkan media komunikasi, wacana dibedakan menjadi wacana lisan dan


wacana tulisan:

Wacana Lisan

Menurut Henry Guntur Tarigan, wacana lisan adalah wacana yang


disampaikan secara lisan, melalui media lisan, sedangkan menurut Mulyana wacana
lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara langsung atau verbal. Jenis
wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (Speech). Pada
dasarnya Bahasa lahir melalui mulut atau lisan.Oleh karena itu, wacana yang paling
utama adalah wacana lisan, karena jauh sebelum orang mengenal huruf, Bahasa
telah digunakan oleh manusia. Bahasa lisan menjadi Bahasa yang utama karena
manusia lebih dahulu digunakan dan dikenal manusia daripada Bahasa tulis.

Jauh sebelum manusia mengenal huruf,bahasa telah digunakan oleh


manusia.manusia memakai bahasa lisan dalam berkomunikasi.bahasa lisan menjadi
bahasa yang utama dalam hidup manusia karena lebih dahulu dikenal dan
digunakan oleh manusia dari pada bahasa tulis.karena itu tidaklah mengherankan
bahwa sebagian besar manusia masih berada dalam budaya lisan.
Karena sering digunakan,bahasa lisan memiliki ciri – ciri yang berlainan
dengan bahasa tulis .Salah satunya yang menonjol adalah sering terjadi
penghilangan bagian – bagian tertentu,yang dapat menghilangkan pengertian
wacana ,jika salah satu partisipanya ( pembicara dan pendengar ) belum terbiasa
seperti pada contoh berikut :

wati : “Nunung, ke mana?”

Nunung : “Biasa”.

Pada wacana diatas wati dapat mengetahui bahwa nunung akan


pergi,misalnya kewarung untuk makan roti panggang ,karena pada saat seperti ini
kebiasaan nunung makan roti panggang diwarung x . Bagi orang lain yang belum
mengenal kebiasaan nunung,wacana diatas tidak dapat dimengerti . Ia tidak dapat
menarik kesimpulan yang tepat .Pertama,Karena ia mengetahui bahwa tidak ada
lokasi yang bernama “Biasa”tidak mengacu kepada suatu tempat yang pasti dan
kedua,ia belum mengenal kebiasaan atau memiliki “Pengetahuan yang telah
diketahui bersama “ ( Common ground ) dengan nunung.

Manusia lebih sering menggunakan wacana lisan yang pendek .Satuan –


satuan atau unit – unitnya pun pendek dan kadang tidak gramatikal[1], seperti
percakapan nunung dan wati diatas.Jarang ditemukan wacana lisan yang panjang
.Kalaupun ada,biasanya maknanya terus menerus diulang,seperti dalam
mengungkapkan kekesalan hati. Dalam mengutarakan maksud dengan wacana
lisan,tidak hanya unsur bahasa tetapi juga digunakan gerakan tubuh,pandangan
mata ,dan lain – lain,yang turut memberi makna wacana itu . Jika pengutaraan
maksud memakan waktu yang cukup lama,diperlukan adanya daya simak yang
tinggi dari partisipan lainya.

Contoh : perkuliahan memerlukan perhatian dan daya simak mahasiswa


untuk menangkap inti perkuliahan yang diujarkan dosen.Karena konsentrasi dan
daya simak seseorang tidak dapat bertahan terus menerus dalam waktu yang
lama,maka perkuliahan menggunakan juga alat untuk wacana tulis agar inti materi
perkuliahan dapat diingat oleh mahasiswa.
Kelemahan wacana lisan adalah kesulitan dalam mengulang kembali
wacana dengan sama tepat seperti yang pertama.Kelemahan wacana ini jga
menyebabkan wacana lisan,sebagai bahan bukti,dalam bidang hukum memiliki
kedudukan yang paling lemah disbanding wacana tulis.

Ciri-ciri Wacana Lisan

a. Wacana lisan memerlukan daya simak yang tinggi agar interaksi tidak terputus.
b. Wacana lisan sulit diulang, dalam arti mengulang hal yang sama dengan ujaran
pertama.
c. Wacana lisan dapat dilengkapi dengan gerakan anggota tubuh untuk
memperjelas makna yang dimaksud.
d. Wacana lisan biasanya lebih pendek daripada wacana tulis.
e. Wacana lisan juga melibatkan unsur kebiasaan atau pengetahuan yang telah
diketahui Bersama (common ground) ,yang ada pada satu keluarga atau
kelompok dan
f. Wacana lisan sering melibatkan partisipanya secara langsung.
g. Wacana lisan menyatukan partisipanya dalam satu situasi dan konteks yang
sama.

Wacana Tulisan

Menurut Henry Guntur Tarigan wacana tulis adalah wacana yang


disampaikan secara tertulis, melalui media tulis. Sedangkan menurut Mulyana,
wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai
bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui
tulisan. Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan
efisian untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau
apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia. Wacana dapat direalisasikan
dalam bentuk kata, kalimat, paragraf atau karangan yang utuh (buku, novel,
ensiklopedia, dan lain-lain) yang membawa amanat yang lengkap dan cukup jelas
berorientasi pada jenis wacana tulis.
Wacana tulis mulai dikenal setelah ditemukan huruf. Huruf dibuat untuk
mengganti peran bunyi bahasa sehingga biasanya orang mengatakan bahwa huruf
adalah lambang bunyi. Huruf – huruf itu dipelajari manusia dan kemudian
digunakan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain yang tinggal
berjauhan.

Meskipun banyak wacana tulis yang panjang,ada juga wacana tulis yang
pendek,wacana seperti ini banyak dijumpai di iklan ,distasiun kereta api
,diswalayan ,dan dijalan .

Contoh:

1. Pintu keluar
2. Semua kopi hitam sama,soal rasa ayam merak
3. Awas! tegangan tinggi !
4. Kocok dulu sebelum diminum

Wacana tulis yang pendek, seperti diatas sangat mirip dengan wacana
lisan,seperti penghilangan bagian tertentu dari wacana itu,penyatuan saat dan
tempat yang sama bagi penulis dan pembaca,dan penggunaan bentuk – bentuk
informal

Wacana tulis memiliki ciri –ciri sebagai berikut :

a. Wacana tulis biasanya panjang dan menggunakan bentuk bahasa yang baku
b. Wacana tulis dapat dilihat kembali tanpa ada perbedaan unit–unit
kebahasaannya
c. Wacana tulis biasanya mempunyai unsur kebahasan yang lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.indonesiana.id/read/139190/perbedaan-wacana-lisan-dan-wacana-
tulisan

https://diansyahrofiatin.wordpress.com/2015/05/23/wacana-tulis-dan-lisan/
MATERI KE-2 RETORIKA

Retorika dalam kehidupan sehari-hari dan retorika sebagai


konsep diri
Retorika dalam Keseharian

Berbicara atau bertutur merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan


orang dalam kehidupan bermasyarakat. Sebelum dikenal adanya tulisan, bertutur
sudah digunakan sebagai alat komunikasi. Seiring perkembangan zaman, kegiatan
bertutur memiliki peranan penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berbudaya.
Sering kita temui daerah dengan kebudayaan yang baik memiliki kebiasaan bertutur
yang baik pula, sesuai dengan ungkapan ”bahasa menggambarkan budaya
setempat”.
Berbicara menjadi suatu hal yang penting dalam keseharian. Berbicara
dipergunakan untuk berkomunikasi, menyampaikan informasi, menyampaikan
maksud, sampai digunakan untuk berdebat. Kecakapan dalam berbicara untuk
menyampaikan suatu ide merupakan kecerdasan linguistik, bagian dari delapan
kecerdasan yang disampaikan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 dalam
bukunya Frames of Mind. Kecerdasan ini pada dasarnya dimiliki oleh setiap
manusia dengan kadar kemampuannya yang berbeda-beda. Untuk memiliki
kemampuan ini ternyata bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang mampu
merumuskan sebuah gagasan dengan baik, namun kesulitan dalam hal
penyampaiannya. Dalam penyampaiannya pun harus jelas dan sistematis agar
mudah dipahami oleh pendengar.
Dahulu kemampuan berbicara yang baik hanya dimiliki oleh orang yang
mempunyai status atau fungsi tertentu seperti kepala suku saat upacara adat,
pemakaman, kelahiran, dan sebagainya. Penguasaan mantra, kata-kata bijak, dan
nasehat yang diberikan kepada masyarakat menjadi kelebihan yang mereka miliki
jika dibandingkan dengan orang lain. Kemampuan berbicara inilah yang membuat
para kepala suku dihormati dan disegani oleh masyarakatnya.
Kemampuan berbicara ini juga berkembang di Yunani dan Roma dengan
tokohnya seperti Socrates dan Aristoteles. Mereka menyebut kemampuan berbicara
ini dengan retorika yang berasal dari bahasa Latin rhetorica yang berarti ’ilmu
berbicara/bertutur’. Awalnya mereka menganggap ilmu ini untuk memenangkan
suatu kasus. Namun, penggunaan retorika kini sudah bergeser pada ilmu yang
mengajarkan tindak dan usaha bertutur untuk membina saling pengertian. Sesuai
yang dikatakan oleh I Gusti Ngurah Oka.: “Retorika adalah ilmu yang mengajarkan
tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan dan penampilan tutur
untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat.”

Anda mungkin juga menyukai