Anda di halaman 1dari 31

RESUME BAHASA INDONESIA

RESUME

Diajukan untuk memenuhi Mata Kuliah

Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu :

DR. Ely Masnawati S.Pd, M.Pd

Disusun oleh:

Adrian Arthur Normandy (22450003)

UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA

FAKULTAS HUKUM DAN SOSIAL

PRODI ADMINISTRASI PUBLIK 2022


BAB I

JATI DIRI BAHASA

1.1 Arti Bahasa

Bahasa,masyarakat, dan budaya adalah tiga etnis yang erat berpadu. Sosok bahasa sering
disebut penanda (prevoir) eksistensi budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat
yang maju budayanya pasti juga berkembang baik entitas bahasanya. Bahasa yang baik juga
dapat menunjukkan keberadaan masyarakat. Maka, bahasa sering pula disebut cermin
masyarakatnya.

Entitas bahasa bersifat unik, khas, dan tidak dimiliki bahasa-bahasa lainnya. Anderson
(1972) menyebutkan delapan prinsip dasar yang merupakan hakekat bahasa, yaitu :

a) Merupakan alat komunikasi

b) Bersifat kesemestaan

c) Bersifat kemanusiaan

d) Berkaitan dengan masyarakat dan budaya

e) Memiliki makna konvensional

f) Bersifat vocal

g) Merupakan symbol arbitrer

h) Merupakan system

1.2 Fungsi bahasa

Bahasa memiliki fungsi beragam, yaitu :

Ø Fungsi instrumental adalah bahasa dapat digunakan untuk melayani lingkungannya.

Ø Fungsi regulasi adalah bahasa digunakan untuk mengatur serta mengendalikan orang-
orang sebagai warga masyarakat

Ø Fungsi representasional adalah menggambar atau mempresentasikan sesuatu.

Ø Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menjamin terjadinya
interaksi, memantapkan komunikasi, dan mengukuhkan komunikasi dan interaksi antar
warga masyarakat itu sendiri.
Ø Fungsi personal adalah bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan maksud-
maksud pribadi atau personal

Ø Fungfi heuristic adalah bahasa digunakan untuk mempelajari pengetahuan, mencari


ilmu, mengembangkan tekhnologi, dan menyampaikan rumusan-rumusan yang bersifat
pertanyaan.

Ø Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang berkenaan dengan penciptaan imajinasi.

Dari beberapa fungsi diatas, yang paling utama adalah fungsi interaksional, karena bahasa
menjadi piranti utama dalam berkomunikasi dan interaksi antar sesama.

1.3 Ragam bahasa

Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya.

1. Ragam bahasa berdasarkan waktunya

Dalam konteks waktu, bahasa dapat diperinci menjadi :

1. Bahasa ragam lama atau kuno

2. Bahasa ragam baru atau modern

3. Bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa yang banyak mencuat akhir-akhir
ini.

2. Ragam bahasa berdasarkan medianya

Jika dilihat dari dimensi medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a) Bahasa ragam lisan

b) Bahasan ragam tulis

3. Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya

Apabila didasarkan pada kandungan pesan komunikasinya, bahasa dapat dibedakan


menjadi :

a) Bahasa ragam ilmiah


b) Bahasa ragam sastra

c) Bahasa ragam pidato

d) Bahasa ragam berita


BAB II

IHWAL DIKSI

2.1 Peranti-peranti diksi

1. Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi

 Kata berdenotasi

Dalam studi linguistic ditegaskan bahwa kata yangtidak mengandung makna tambahan
atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi. Jadi makna denotasi dapat disebut
makna yang sebenarnya, seperti peranti duduk yang namanya “kursi”, maka peranti , untuk
duduk itu disebut sebagai “kursi”. Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna apa adanya.

 Kata berkonotasi

Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna konotasi memiliki
nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam situasi tidak formal, seperti “dengan
memanjatkat puji syukur kepada…..”, pemakaian kata “memanjatkan” dalam kalimat tersebut
jelas sekali menggunakan makna konotasi bukan denotasi.

2. Peranti kata bersinonim dan berantonim

Kata “bersinonim” berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti sama.
Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim sesungguhnya ada persamaan makna kata.
Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih yang berbeda bentuknya, ejaannya,
pengucapan atau lafaldnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir sama, contoh: hamil dan
mengandung, kedua bentuk tersebut dapat dikatakan bersinonim karena bentuknya berbeda tetapi
maknanya sama.

Kata “berantonim” berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan tertentu akan
dapat dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang tidak sama atau berlawanan.
Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata tersebut mempunyai makna yang
berlawanan.

3. Peranti kata bernilai Rasa

Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan kata-kata yang
bernilai rasa dengan cermat, guna untuk mengindahkan kata-kata. Bahasa juga perlu dalam
pemakaiannya lebih di perhatikan dan di pertimbangkan, agar dapat menyangkut dengan
konteksnya.
4. Peranti kata konkret dan abstrak

Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada objek yang dapat dipilih,
didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah dipahami daripada kata-
kata abstrak

Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering dipakai
untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kata abstrak digunakan untuk membuat
deskripsi,beberapa juga untuk narasi.

5. Peranti keumuman dan kekhususan kata

Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang sifatnya khusus
untuk mendapatkan perincian lebih baik. Kata umum lebih tepat digunakan untuk argumentasi
atau persuasi, karena dalam pemakaian yang disebutkan terakhin itu akan dibuka kemungkinan-
kemungkinan penafsiran yang lebih luas, yang lebih umum, yang lebih komprehensif sebagai
imbangan kata-kata umum adalah kata-kata khusus.

Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang merupakan kebalikan kata-kata umum. Kata-
kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, maka lazim pula dipahami bahwa
kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks
pemakaiannya.

6. Peranti kelugasan kata

Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya. Kata-kata lugas adalah kata-
kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa panjang, tidak mendayu-dayu, dan sama
sekali tidak berbelit-belit. Ketika konteks pemakaian kebahasaan itu adalah untuk menyatakan
kebasi-basian dan kesantunan, sudah barang tentu pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan yang
lugas itu tidak tepat.

7. Peranti penyempitan dan perluasan makna kata

Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila didalam kurun waktu
tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke makna yang sempit atau sangat terbatas.

Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna kata. Sebuah makna
kebebasan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu ternentu maknanya akan bergeser dari
yang semula sempit ke makna yang lebih luas.

8. Peranti keaktifan dan kepasifan kata

Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata yang dimaksud dengan kata-kata aktif adalah kata-
kata yanga banyak digunakan oleh tokoh masyarakat.
Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti sekaligus
saksi akan banyak dilahirkannya kata-kata yang baru, kata-kata yang semula tidak pernah
digunakan itu.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata yang semula tidak pernah digunakan akan
menjadi aktif jika digunakan.

9. Peranti ameliorasi dan peyorasi

Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru ketika bentuk yang
baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta konotasinya
dibandingkan dengan yang lama.

Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah peyorasi. Maksudnya adalah perubahan makna dari
yang baru ke yang lama ketika yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan lebih tetap nilai
rasa serta konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru.

10. Peranti kesenyawaan kata

Bentuk idiomatis atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan namanya, tidak dapat dipisahkan
begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai bentuk senyawa karena bentuk demikian itu sudah
sangat erat hubungan antara satu dengan dengan yang lainnya. Jadi didalam konstruksi idiomatis
kata yang satu dengan kata yang lainnya itu berhubungan erat, lekat, dan tidak dapat dipisahkan
oleh alasan apapun juga.

11. Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata

Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan. Pembakuan bahasa
demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bangsa Indonesia semakin bermartabat.

Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional, maka jadilah bahasa
itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.

2.2 Ihwal peristilahan

Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan cermat
mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dibidang kehidupan dan
cabang ilmu pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu istilah
yang sifatnya khusus dan istilah yang sifatnya umum.

Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya lazim digunakan dalam bidang tertentu dapat
dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan dari kata-kata yang
sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-kata yang memiliki kandungan
makna yang banyak dan bermacam-macam
BAB III

IHWAL KALIMAT

3.1 Kelas kata

Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil dapat
dipelajari dengan mudah kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih dahulu. Nah, hasil dari
pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata itulah yang kemudian lazim disebut dengan kelas
kata. Verba atau kata kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga macam cara.

a) Dengan mencermati bentuk morfologisnya

b) Dengan mencermati perilaku sintaksisnya

c) Dengan mencermati perilaku semantisnya

Berdasarkan ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi :

a) Verba dasar atau verba yang tidak berafiks

b) Verba berafiks

c) Verba yang merupakan perulangan atau reduplikasi

d) Verba yang merupakan bentuk majemuk

Berdasarkan fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba dapat dibedakan
menjadi :

a) Verba yang menduduki fungsi subjek

b) Verba yang menduduki posisi keterangan

c) Verba yang menduduki posisi objek

Dari sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau kata kerja
yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya dan
mencangkul” yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain itu ada juga verba
adjektifa, contoh mengakhiri dan mengawali.
1. Adjektiva

Adjektiva lazim disebut juga kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya dapat dikenali
adjektifa dasar, seperti cantik, adil. Adjektiva dari dimensi bentuknya merupakan gabungan atau
perpaduan dua adjektiva, misalnya cantik jelita dan aman sentausa.

Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata berikut, sangat, agak, lebih, paling.

2. Nomina

Nomina disebut juga kata benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat dibedakan
menjadi dua, yakni nomina dasar dan nomina bentukan atau turunan. Nomina dasar ialah nomina
yang belum mendapatkan imbuhan apapun, contoh : buku, meja, rumah. Nomina turunan ialah
nomina yang sudah mendapatkan imbuhan.

3. Pronominal

Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti karena
sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi antesedennya.Dari
sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :

a) Nomina persona

b) Nomina penunjuk

c) Nomina penanya

Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun banyak.
Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.

Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk, seperti : itu, ini,
sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal penanya, misalnya : mengapa,
lenapa, bagaimana.

4. Numeralia

Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk menghitung
jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.

Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia pokok dan
numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab pertanyaan “berapa”, sedangkan
numeralia tingkat digunakan untuk menjawab pertanyaan “kebrapa”.
5. Adverbial

Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan karena kata-
kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau pada kata kalimat
secara keseluruhan.

Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa Indonesia, yakni :

· Adverbia monomorfemis

· Adverbia polimorfemis

Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri dari satu
bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia polimorfemis karena
bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-jangan, lebih-lebih, mula-mula.

Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang mendahului kata
yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah adverbia dan tugasnya
adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.

3.2 Frasa

Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan
hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan frasa
ialah hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.

Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris tidak memiliki perilaku sintaksis yang sama
dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada hari. Frasa
endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan
perilaku salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan menjadi dua, yakni
frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa endosentris tunggal ialah
fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu senang membuat puisi. Contoh frasa endosentris
jamak ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun miskin.

Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :

1. Frasa nominal

Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure lain yang yang
berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi rotan, kawan seperjuangan,
sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
2. Frasa verba

Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan adverbia atau
yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan nyenyak.

3. Frasa adjektiva

Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa dengan komponen
yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai penjelas. Contoh : panas terik,
agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.

4. Frasa numeralia

Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dengan unsur-
unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang menjadi induk atau frasanya.
Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.

5. Frasa preposisional

Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari, oleh, dan
untuk.

3.3 Klausa

1. Pengertian klausa

Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok kata yang
setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat predikatif dan berpotensi untuk
dijadikan kalimat.

2. Klausa pada kalimat majemuk setara

Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai
kalimat.

Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan menjadi tiga, yakni :

· hubungan koordinatif yang sifatnya aditif

· hubungan koordinatif yang sifatnya adversative

· hubungan koordinatif yang sifatnya alternative


3. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat

Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat subordinatif ,
maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi klausa yang lainnya. Klausa yang
satu menjadi atasan, dan klausa yang lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang satu menjadi
induk, sedangkan klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa demikianlah yang
disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau subordinatif.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk bertingkat yang
diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak kalimatnya, bukan induk kalimatnya.
Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang bermacam-macam. Ada konjungsi yang
menyatakan sebab, seperti karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya, karena itu,
oleh karena itu, jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam bahasa Indonesia.

3.4 Kalimat

1. Pengertian kalimat

Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat digunakan untuk
menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan bahwa kalimat adalah satuan bahasa
yang secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi akhir, dan secara actual dan potensial
terdiri atas klausa.

Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.

2. Unsur-unsur kalimat

A. Subjek

Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam
kalimat, subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang predikat, teruama
kalimat yang berdiatesis pasif.

B. Predikat

Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki karakter yang
tidak sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah subjek menjadi jelas juga karena ada
subjek kalimatnya.

C. Objek

Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan dengan subjek
kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat tersebut merupakan
verba atau kata kerja yang sifatnya transitif.
D. Pelengkap

Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada posisi yang
sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah sesungguhnya perbedaan mendasar antara objek
dan pelengkap.

Contoh : ~ Ibu member saya baju baru

~ Fendi berjualan buku cerita.

E. Keterangan

Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda dengan
subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib hadir. Adapun fungsinya adalah
untuk menambahkan informasi pada kalimat itu.

3. Sruktur kalimat

a. Struktur kalimat dasar

Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang hanya
memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga macam, yaitu kalimat
tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat dasar dapat juga berupa kalimat yang
diperluas dengan keterangan tertentu, misalnya adik menangis di belakan kebun. Sekalipun
bentuk bahasanya panjang, karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu subjek dan predikat.

b. Stuktur kalimat majemuk

Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi kalimat
majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa kalimat dasar atau
kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi atau kata penghubung.

Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh: adik
sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.

4. Kalimat efektif

a. Definisi kalimat efektif

Kalimat efktif adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya sebagai satuan
kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk mengungkapkan ide atau gagasan yang utuh.

b. Prinsip-prinip efektifitas kalimat


BAB IV

IHWAL PARAGRAF

4.1 Pengertian paragraf

Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau tulisan, sesuai
dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis terdapat pula dalam paragraf.

4.2 Ide utama dan kalimat utama dalam paragraf

Perlu digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok, ide pokok
itulah pengendali dari bangunan paragraf itu.

Jadi, kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama dari
paragraph yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang berbunyi ”lambatnya
penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas menjadi sebuah kalimat utama yang
berbunyi “ lalmbatnya penelitian di Indonesia disebabkan oleh rendahnya insentif bagi para
peneliti.

1. Kalimat utama diawal paragraph

Kalimat utama diawal paragraf yaitu perincian dan jabaran bagi kalimat utama tersebut
akan menyertainya pada kalimat yang berikutnya. Alur pikiran yang diterapkan dalam paragraph
dengan kalimat utama yang berada diawal paragraph yang demikian ini adalah alur piker
deduktif.

2. Kalimat utama di akhir paragraph

Kalimat pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali dengan
kalimat-kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah disajikan di dalam bagian
awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian disimpulkan di akhir paragraph.

3. Kalimaat utama di dalam paragraph

Paragraph jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph ineratif. Jadi,
didalam paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah paragraph ini diibaratkan
sebagai puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal paragraph itu dapat dikatakan sebagai
awal-awal menuju puncak, menuju klimaks paragraph, sedangkan kalimat-kalimat yang berada
setelah kalimat-kalimat itu, sekalipun merupakan kalimat penjelas, derajatnya semakin lemah.
4. Kalimat utama di awal dan di akhir paragraph

Paragraph yang kalimat utamanya di awal dan di akhir paragraph demikian ini disebut
sebagai paragraph yang beralur pikir abduktif.

a. Kalimat penjelas

Dapat dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu memang
menjelaskan dan menjadi lebih lanjut ide pokok dan kalimat utama yang terdapat dalam
paragraph tersebut. Jadi kalimat penjelas yang baik sesungguhnya akan menjadi penentu pokok
dari benar-benar baik dan tuntasnya paragraph tersebut.

1. Kalimat penjelas mayor

Kalimat penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat penjelas yang
utama itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok dan kalimat utama yang terdapat
didalam paragraph itu.

2. Kalimat penjelas minor

Dikatakan sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu tidak secara
langsung menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph. Jadi seuah kalimat penjelas minor
yang telah menjelaskan secara lansung kalimat penjelas utama tertentu tidak serta merta dapat
digunakan untuk menjelaskan kalimat penjelas utama yang lain.

3. Kalimat penegas

Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran sebuah kalimat penegas didalam


paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan oleh penulis. Satu hal yang juga yang juga harus
dicatat oleh para penyusun paragraph, dan para penulis pada umumnya kalimat penegas
demikian itu bukanlah ide pokok dan kalimat pokok baru.
BAB V

IHWAL KARYA ILMIAH AKADEMIK

5.1 Ihwal karangan ilmiah

Menulis bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang yang lain
lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan sangat menyenangkan.
Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca memiliki peran dan pengaruh
yang sangat besar dalam menjadikan orang merasakan mudah ataukah sulit di dalam aktifitas
menulis itu.

5.2 Lebih mengenali karangan ilmiah

Bisa dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi keilmuan
menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa
yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan dimensi-dimensi berikuti ini.

1. Fakta/data sebagai dasar

Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena dapat dasar
pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu bahan pokoknya adalah data atau
fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus berkualifikasi sempurna.

2. Pemikiran analisis dan konklusi logis.

Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di dalam tiga hal,
yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan penarikan
kesimpulan.Nah, apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka jadilah
karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula dikatakan sempurna.

3. Objektif dan tidak berpihak

Salah satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam sebuah
karangan ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang dilakukan harus benar-benar
objektif.Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang harus
dilakukan tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif.

4. Akurat dan sistematis

Semua yang disajikan dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik.
Adapun yang dimaksud dengan sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah harus sepenuhnya
mengacu kepada system atau tata cara ilmiah tertentu yang sifatnya konvensional dan sekaligus
universal.Selanjutnya dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya runtut
sesuai dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.

5. Tidak emosional

Karya ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan juga tidak
boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan dan syarat dengan
permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu disajikan dengan nuansa kata yang
berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan atau sasarannya.

5.3 Asas-asas menulis karangan ilmiah

1. Kejelasan (clarity)

2.Ketepatan (accuracy)

3.Keringkasan (brevity)

5.4 Kerangka karangan

Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan yang
baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau tulisan yang baik
pula.Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.

I. Pendahuluan

1. Latar belakang membahas…….

2. Masalah merumuskan…….

3. Tujuan berisi upaya……

II. Masalah remaja

1. Pergaulan bebas

2. Ketergantungan obat

3. ….
III. Penutup

1. Kesimpulan

2. Saran.
BAB VI

IHWAL RESENSI

6.1 Resensi

1. Pengertian resensi

Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah karya. Karya
tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya seni, atau mungkin pela
produk teknologi.

Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian, pengalaman dan
cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian materinya, analisis kebahasaannya,
ketajaman dan kekuatan topic serta pembahasannya, kekuatan ekspresinya, kekuatan
intelektualnya.

2. Pertimbangan

Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya menyampaikan
kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus menunjukkan dimensi-dimensi
positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.

Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang


harus dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan pengarangnya, kepentingan dari
pembaca, dan materi atau esensi dari karya yang sedang diresensi tersebut.

3. Prinsip resensi

Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam membuat resensi :

Ø Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat

Ø Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif

Ø Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan motifasi
pembaca.

Ø Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap buku


atau hasil karya.
4. Unsur-unsur reseni

Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan dalam resensi :

Ø Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi

Ø Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis

Ø Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya

Ø Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi

Ø Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi

Ø Jenis buku atau karya yang sedang diresensi

Ø Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi

Ø Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi

6.2 Kajian pustaka dan landasan teori

Sebagai kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya linguirelevan, yakni :

1. Kajian lapoliwa (1988)

2. Kajian rahardi (2006)

Hal perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi : Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan, tawaran, persilan, harapan,
kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan performatif.

Temuan rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna sosiopragmatik


imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan sebelumnya.

6.3 Metodologi

Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data,
sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik analisis data. Data
penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi penelitian, bukan bahan mentah
penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis, data yang telah disediakan dengan sungguh
baik kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data dilakukan untuk mendapatkan
tipe-tipe data, yang selanjutnya mempermudah proses analisis data pada tahapan berikutnya.

Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode cakap,
dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi. Metode
cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing metode penyediaan
data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam tekni-teknik penyediaan data yang
menjadi bawahannya.

6.4 Pembahasan

Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini membahas
hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu penelitian harus berdasarkan
fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari penelitian itu butuh bukti fakta.

6.5 Simpulan

Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,
dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan. Simpulan
disini hanya mengambil garis besarnya saja.
BAB VII

IHWAL TEKNIS EJAAN

7.1 Pedoman teknis ejaan

1. Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya.

Agaknya, Paling tidak,

Akan tetapi, Sebaliknya,

Akhirnya, Sesudahnya,

Akibatnya, Sementara itu,

Artinya, Adapun,

Biarpun begitu, Sungguhpun begitu,

Biarpun demikian, Tambahan lagi,

Oleh sebab itu, Sungguhpun demikian,

Sebagai kesimpulan, Maka dari itu,

2. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya dalam
kalimat.

…, padahal

…, sedangkan

…, seperti

…, misalnya

…, contohnya
…, antara lain

…, di antaranya

…, yaitu

…, yakni

…, ialah

…, adalah

…, pasalnya

3. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk
kebahasaan itu diikuti anak kalimat.

…bahwa…

…maka…

…sehingga…

…sebab…

…jika…

…kalau…

…apabila…

4. Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk


kebahasaan itu diikuti induk kalimat.

…, bahwa…

…, maka…

…, karena…

…, sehingga…
…, sebab…

…, jika…

…, kalau…

…, apabila…

…, bilamana…

5. Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan konjungsi
korelatif.

Baik…maupun

Bukan…melainkan

Tidak…tetapi

Antara…dan

Tidak hanya…tetapi juga

6. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan idiom atau
bentuk senyawa.

Sesuai dengan

Terkait dengan

Seirama dengan

Berkaitan dengan

Bertalian dengan

Dbandingkan dengan

7. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan dimensi
kedaerahan dan kellisahan.
Gimana mangkanya

Gitu Karenanya

Slama Haturkan

Nggak Menghaturkan

Peduli amat Wilayah pemukiman

Ini kali Penduluan

Ini hari Pembaharuan

Ketawa Nampak

8. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi bentuk-bentuk
kebahasaan yang salah.

Lelenisasi Neonisasi

Listrikisasi Konblokisasi

Selokanisasi Teleponisasi

Sengonisasi Jatinisasi

Turinisasi Abatisasi

Kuningisasi Semprotisasi

Hitamisasi Wesenisasi

Lampunisasi Pompanisasi

9. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba yang
tidak benar.

Koordinir Mengorganisir

Mengkoordinir Terorganisir
Dikoordinir Dramatisir

Terkoordinir Mendramatisir

Legalisir Didramatisir

Dilegalisir Realisirs

Proklamir dipolitisir

10. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam penulisan.

Pungkir kusus

Dipungkiri Ihlas

Mempungkiri Akhli

Jadual Husus

Gladi Apotik

Gladi resik Apotiker

Panutan Fikiran

Antri Difikirkan

Mengantri Faham

Prosen Difahami

Diprosenkan Kwitansi

Prosentase dikwitansikan

11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal penulisan
gabungan kata.

Beritahu tanggungjawab

Lipatganda Terimakasih
Kerjasama Keretaapi

Garisbawah Rumahsakit

Sebarluas Suratkabar

Tandatangan

12. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.

Memberitahu Sebarluaskan

Beritahukan Bertandatangani

Berlipatganda Tandatangani

Bekerjasama tandatangankan

Digarisbawah Berterimakasih

Tersebarluas Terimakasihi

13. Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.

Memproduksi Memerhatiakn

Memromosikan Mempesona

Memproses Mengkomunikasikan

Memraktikkan Mengkoordinir

Memrakarsai Memunyai

14. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya kesalahkaprahan.

Berkesinambungan Menyuci

Disini Menyoblos

Disana Maka itu


Diketemukan Merubah

Sampai ketemu kembali Tersebut diatas

Seperti misalnya Nampak

Seperti contohnya Silahkan

15. Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan konjungsi kalimat.

Jika…maka Manakala…maka

Karena…maka Meskipun…tetapi

Kalau…maka Meskipun…namun

Sehingga…maka Walaupun…tetapi

Bila..maka Kendatipun…namun

16. Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata
kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu
merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena yang
satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.

Dipukul Di meja

Ditendang Di kursi

Dipikir Di halaman

Dibangun Di kelas

Dipasang Di gedung

Dikawal Di kolam

Dipakai Di luar
17. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan atau
numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’ kalau merupakan kebalikan
dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai dengan bentuk itu
merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.

Kedua

Ketiga

Keempat

Keluar

Kekasih

Ketua

Kemari

18. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya.
Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’ berfungsi
‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau
‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna yang terakhir ini
harus ditulis tidak serangkai.

19. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata harus
dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya. Misal: intrakurikuler,
ekstrakurikuler, perikemanusiaan.

20. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya. Sehingga tidak
dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama, daya guna.

21. Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri dengan tanda
titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau klausa.

22. Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.

Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal,
maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:). Misal:

a. Tiga persoalan yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit
dicari, (c) sulit ditemukan.
b. Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni:

 Sulit dijangkau
 Sulit dicari
 Sulit ditemukan.

Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk ‘adalah’


digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang
mengikutinya.

23. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)

Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang diulang
tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’ atau ‘sampai
dengan’.

24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Diantara
bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’ atau
‘setiap’.

25. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.

Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar kalimat .konjungsi
antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma yang menyertainya. Bentuk
‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antar kalimat. Contoh-contoh berikut ini salah
dan harus dihindari pemakaiannya.

a. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.

b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.

c. Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.

Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:

a. Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.

b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.

c. Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.

26. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’

Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah memerinci
sekaligus pembatas. Contoh: Lambatnya mengatasi masalah itu dipengaruhi oleh banyak hal,
misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber daya manusia.
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa resume ini terdiri dari tujuh bab.

a. Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang arti bahasa, fungsi bahasa, dan
ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui apa arti bahasa yang sebenarnya.

b. Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti diksi, ihwal peristilahan,
aneka kasus diksi.

c. Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan mempelajari
bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat kalimat yang efektif.

d. Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide utama dan
kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur pengait paragraf, prinsip
kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara pengembangan paragraf.

e. Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah, asas-asas
karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis, kerangka karangan, model-model
berpikir, ihwal latar belakang masalah dan rumusan masalah, ihwal tujuan penulisan, ihwal
hipotesis, ihwal abstrak, cara kerja penyusunan karangan ilmiah, empat langkah penyediaan data,
aspek-aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan ilmiah.

f. Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam meresensi,


prinsip resensi, unsur-unsur resensi.

g. Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang benar dan
sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan.

Anda mungkin juga menyukai