Anda di halaman 1dari 9

BAHASA DAN KEBUDAYAAN FENOMENA SOPAN SANTUN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

“ ILMU AL-LUGHAH AL- IJTIMA’I ”

Dosen Pengampu:

YUFRIDAL FITRI NURSALAM, S.Pd.I., M.Pd

Disusun Oleh:

EFFA AZIZAH (210517024)


MAKRUF MAHMUDIN (210517084)
NURUL ALFIA HANAFIAH (210517104)
NURUL KHAMSIYAH (210517103)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PONOROGO

2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.Yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dalam keadaan sehat. Dan
khususnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “BAHASA DAN
KEBUDAYAAN FENOMENA SOPAN SANTUN”. Makalah ini kami buat untuk
dikumpulkan dan dipresentasikan serta guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah ILMU AL-
LUGHAH AL- IJTIMA’I.
Yang kedua, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
“ILMU AL-LUGHAH AL- IJTIMA’I” yang telah memberikan arahan dan bimbingannya serta
materi dalam penyusunan makalah ini.
Dan yang terakhir, saya menyadari bahwasannya makalah ini masih banyak kekurangan
dimana-mana. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan mendatang.

Penyusun

Kelompok 1 / PBA. C
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan berbahasa dalam bermasyarakat merupakan satu kunci untuk memperbaiki
dan meluruskan tata cara berkomunikasi. Dewasa ini, tidak sedikit orang menggunakan bahasa
secara bebas tanpa didasari oleh pertimbangan- pertimbangan moral, nilai, maupun agama.
Akibat kebebasan tanpa nilai itu, lahir berbagai pertentangan dan perselisihan di kalangan
masyarakat. Salah satu contoh, demo mahasiswa sebagai komunitas intelektual, kini seringkali
diiringi oleh kata- kata hujatan yang jauh dari etika kesantunan.
Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di
dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain bisa
dikatakan tidak santun.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan bahasa?
2. Apakah yang dimaksud dengan kebudayaan?
3. Bagaimanakah fenomena sopan santun yang terjadi pada bahasa dan kebudayaan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahasa
Di dalam masyarakat, kata bahasa sering digunakan dalam berbagai konteks dengan
berbagai macam makna. Ada orang yang berbicara tentang “bahasa warna”, tentang “bahasa
bunga”, tentang “bahasa diplomasi”, tentang “bahasa militer”, dan sebagainya. Di samping itu
dalam kalangan terbatas, terutama di dalam kalangan orang yang membahas soal-soal bahasa,
ada yang berbicara tentang “bahasa tulisan”, “bahasa lisan”, “bahasa tutur”, dan sebagainya.
Untuk pemakaian pertama tersebut tidak akan ada komentar apa-apa disini. Maklumlah,
sudah lazim kata-kata yang sebenarnya mempunyai makna tertentu dalam sutua nidang dipakai
secara luas oleh masyarakat umum, sehingga maknanya menjadi kabur. Pemakaian kedua akan
disinggung dalam bab tentang bahasa dalam kebudayaan dan masyarakat, karena walaupun ada
kebenaran di belakangnya, namun dilihat dari sudut sistematika linguistik kata atau istilah bahasa
disitu tidak dipergunakan dengan pengertian yang cukup tajam.
Bagi linguistik- ilmu yang khusus mempelajari bahasa- yang dimaksudkan dengan bahasa
ialah sistem tanda bunyi yang dipakai untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok
masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Definisi
tersebut perlu dijelaskan dan diuraikan sebagai berikut.
Pertama, bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang
terkumpul secara tak beraturan. Seperti hanya sistem-sistem lain, unsur-unsur bahasa “diatur”
seperti pola-pola yang berulang sehingga kalau hanya salah satu bagian saja tidak tampak,
dapatlah “diramalkan” atau “ dibayangkan” keseluruhan ujarannya. Misalnya, bila kita
menemukan bentuk seperti.
Berangkat..... kantor
Ibu tinggal.... rumah
Dengar segera dapat kita duga bagiaman bunyi kalimat itu secra keseluruhan. Sifat itu
dapat dijabarkan lebih jauh dengan mengatakan bahwa bahasa itu sistematis, srtinya bahasa itu
dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang terkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat
diramalkan, di samping itu, bahasa juga sistemis, srtinya bahasa itu bukanlah sistem yang
tunggal, melainkan terdiri dari beberapa subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem
gramatika, dan subsistem leksikon-konsep—konsep ini akan dijelaskan di bawah ini.
Kedua, bahasa adalah sebuah sistem tanda. Tanda adalah ‘hal atau benda yang mewakili
sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang menanggapi (melihat,
mendengar, dan sebagainya) apa yang diwakilinya itu’. Setiap bagian dari sistem itu atau setiap
bagian dari bahasa tentulah mewakili sesuatu. Tegasnya, bahasa itu bermakna, artinya bahasa itu
berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar masyarakat yang memakainya.
Ketiga, bahasa adalah sistem bunyi. Pada dasarnya bahasa itu berupa numyi. Apa yang
kita kenal sebagai tulisan sifatnya sekunder, karena menunda dapat berbahasa tanpa mengenal
tulisan. Beberapa jenis huruf bahkan tidak lain daripada turunan belaka dari bunyi.
Keempat, supaya orang dapat bekerja sama dan berkomunikasi, bahasa digunakan
berdasarkan kesepakatan. Artinya, sesuatu diberi makna di dalam bahasa tertentu karena
demikianlah kesepakatan pemakai bahasa itu. Para pengguna baru tinggal memperlajarinya.
Kelima, bahasa bersifat produktif. Artinya, sebagai sistem dari unsur-unsur yang
jumlahnya terbatas bahasa dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainnya. Bahasa
Indonesia, misalnya, mempunyai fenom kurang dari 30, tetapi mempunyai kata lebih dari 80.000
yang mengandung fenom-fenom itu.
Keenam, bahasa bersifat unik. Artinya, tiap bahasa mempunyai sistem yang khas yang
tidak harus ada dalam bahasa lain. Bahasa jawa mempunyai sekitar 100 kata menyebutkan anak
berbagai binatang.
Ketujuh, kebalikan dari hal yang diungkapkan sebelumnya, ada pula sifat- sifat bahasa
yang dipunyai oleh bahasa lain, sehingga ada sifat universal, ada pula yang hampir universal.
Kedelapan, bahasa mempunyai variasi- variasi karena bahasa itu dipakai oleh kelompok
manusia untuk bekerja sama dan berkomunikasi, dan karena kelompok manusia itu banyak
ragamnya terdiri dari laki- laki, perempuan, tua, muda, dan lain sebagainya.1

1
Kushartanti, Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007
B. Kebudayaan
Kebudayan, seperti yang secara umum dikatakan oleh banyak ahli- Raymond Williams
misalnya merupakan terminologi yang paling “rumit” dalam sebuah bahasa. rumitnya menafsir
dan memahami kata tersebut disebabkan adanya keterlibatan prasangka (apriori) yang kuat
sebagai paradigma kebudayaan (cultural paradigm). Rene Char, penyair dan penulis kenamaan
dari Perancis, bahkan menyatakan bahwa kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa
surat wasiat. Dengan mengutip Rene Char, Ignas Kleden menjelaskan setiap pembaruan suatu
budaya. Bahwa pada mulanya kebudayaan adalah nasib, dan baru kemudian kita
menanggungnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati
tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan tersebut sebelum kita bangkit
dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya.2

C. Bahasa dan Kebudayaan Fenomena Sopan Santun

Kesantunan berbahasa sangat penting dalam menjalin komunikasi. Richards, dkk


menjelaskan bahwa kesantunan dalam studi bahasa bermakna:

1. Mengekspresikan jarak sosial antara para penuturnya dan hubungan peran mereka
berbeda beda
2. Peran muka (face) dalam upaya mewujudkan, mempertahankan dan menjaga martabat
(save face) selama percakapan didalam suatu masyarakat tutur.

Face diartikan sebagai kesan/ impresi terhadap seseorang atau yang ditunjukkan oleh orang
kepada partisipan lain.

Persoalan kesantunan, seorang antropolog Brown dan Levinson, memilah menjadi dua
yaitu strategi kesantunan positif dan kesantunan negative. Strategi kesantunan positif adalah
strategi yang menunjukkan kedekatan, keakraban dan penghargaan antara penutur dan
pendengar, sedangkan kesantunan negative adalah strategi yang menunjukkan jarak sosial antara
penutur dan pendengar.

2
Ignas Kleden, Pembaruan Kebudayaan: Mengatasi Transisi, dalam prisma 8, 1985
Agar dapat santun dalam berbahasa kita tidak hanya sekedar memahami bagaimana
mengucapkan “silahkan” dan “terima kasih” secara tepat, tetapi perlu juga memahami nilai nilai
sosial dan kultur dari suatu masyarakat tutur. Menurut Chaer, ia menyatakan bahwa etika
berbahasa erat kaitannya dengan pemilihan kode bahasa, norma norma sosial dan system budaya
yang berlaku dalam suatu masyarakat.3

Selain itu, kesantunan berbahasa merupakam salah satu aspek kebahasaan yang dapat
meningkatkan kecerdasan emodional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan
petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk
menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga
apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan
lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.
Kesantunan, kesopansantunan atau etiket adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda
verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma- norma budaya,
tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita fikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai
dengan unsur- unsur budaya yang ada dalam masyararakat tempat hidup dan dipergunakannya
suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan
norma- norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang
yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator


dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini
harus mendapatkan perhatian, terutama dalam pendidikan dengan mengetahui tatacara berbahasa
diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena
tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut:

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu


2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu
3. Dengan siapa kita berbicara4

3
Warsiman, Sosiolinguistik: Teori dan Aplikasi dalam Pembelajaran, (Malang: UB Press), 2014. Hal: 19
4
Shilphy, Sikap dan Kinerja Guru Profesional, (Yogyakarta, CV. Budi Utama), 2019. Hal: 106
BAB III
KESIMPULAN

Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang dipakai untuk dipergunakan oleh para anggota
kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.
Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat.

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau
tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma- norma budaya, tidak hanya
sekedar menyampaikan ide yang kita fikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-
unsur budaya yang ada dalam masyararakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa
dalam berkomunikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Kushartanti, Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta, PT Gramedia


Pustaka Utama, 2007
Ignas Kleden, Pembaruan Kebudayaan: Mengatasi Transisi, dalam prisma 8, 1985
Warsiman, Sosiolinguistik: Teori dan Aplikasi dalam Pembelajaran, (Malang: UB Press), 2014.
Hal: 19
Shilphy, Sikap dan Kinerja Guru Profesional, (Yogyakarta, CV. Budi Utama), 2019. Hal: 106

Anda mungkin juga menyukai