Anda di halaman 1dari 29

PERUBAHAN FONOLOGIS DAN SISTEM SERAPAN

DALAM BAHASA INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fonologi

Dosen Pengampu: Dona Aji Karunia P., M.A.

Disusun Oleh:
Kelompok 3 kelas (2B)
1. Salma Zakiyah 11220130000013
2. Annisa Rahmah 11220130000016
3. Husna Afifah 11220130000028
4. Nabila Afrah 11220130000031
5. Malena Nurhayati 11220130000046
6. Emira Hayatina Ramadhan 11220130000053
7. Salma Jasmine Kamal 11220130000056

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan
nikmat serta karunia kepada para hamba-Nya. Serta memudahkan para hambanya
dalam proses menuntut ilmu, sehingga tidak merasa kesulitan. Selawat beserta
salam tidak lupa pula kami sanjungkan kepada nabi besar Muhammad saw. yang
telah membawa kita dari kegelapan menuju zaman yang terang benderang.
Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Fonologi yang berjudul
“Perubahan Fonologis dan Sistem Serapan dalam Bahasa Indonesia” dalam
bentuk makalah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun, untuk menyempurnakan makalah ini.
Dan kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dona Aji Karunia P.,
M.A. selaku dosen mata kuliah Fonologi, yang telah menjadi perantara untuk
memberikan ilmu kepada kami. Tanpa perantara Bapak kami tidak akan
mengetahui ilmu lebih dalam, dan kami tidak dapat memperbaiki kesalahan tanpa
ketegasan dan petunjuk Bapak.
Mohon maaf apabila makalah yang kami buat kurang baik, benar, dan
masih banyak kesalahan-kesalahan. Harapan kami, semoga pembaca dapat
mengambil manfaat dan hikmah dengan apa yang ada di dalam makalah ini.

Ciputat, 13 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................1
BAB II: LANDASAN TEORI...............................................................................3
A. Pengertian Bahasa..................................................................................................3
B. Perubahan Fonologis..............................................................................................4
C. Kata Serapan..........................................................................................................4
BAB III: PEMBAHASAN.....................................................................................9
A. Penyebab Perubahan Fonologis..............................................................................9
B. Jenis-Jenis Perubahan Bunyi................................................................................15
C. Cara dan Kaidah-Kaidah Penyerapan Kata-Kata Asing.......................................22
BAB IV: PENUTUP.............................................................................................25
A. Kesimpulan..........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Kridalakana, bahasa adalah tanda bunyi arbitrer yang digunakan
oleh anggota masyarakat untuk berfungsi, berinteraksi, dan berpersepsi.
Bahasa juga merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Untuk menjaga
komunikasi yang baik, kedua belah pihak membutuhkan bahasa. Unsur utama
bahasa adalah bunyi. Suara diciptakan oleh ucapan manusia. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa bunyi bahasa merupakan sarana pelaksanaan bahasa.
Bahasa memiliki makna yang terkandung di dalamnya, sehingga bukan
merupakan kalimat kosong. Melalui bahasa, manusia dapat
mengkomunikasikan gagasan, pesan, dan pemikiran kepada dirinya sendiri
dan orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut merupakan salah satu penunjang
terbentuknya interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Cara
bahasa diucapkan oleh manusia adalah salah satu yang kompleks. Manusia
menggunakan banyak urutan kata yang berbeda yang pada akhirnya
membentuk bentuk kalimat bermakna tertentu tergantung pada
penggunaannya. Keraf mengatakan bahwa bahasa terdiri dari dua bidang,
yaitu bunyi yang dihasilkan alat tutur berupa aliran bunyi, makna. Jelaskan
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat terdiri dari
dua bagian utama, yaitu bentuk (aliran tuturan) dan makna (isi).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja penyebab perubahan fonologis?
2. Apa saja jenis-jenis perubahan bunyi?
3. Bagaimana cara dan kaidah-kaidah penyerapan kata-kata asing?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penyebab-penyebab perubahan fonologis
2. Untuk mengetahui jenis-jenis perubahan bunyi

1
3. Untuk mengetahui cara dan kaidah dari penyerapan kata-kata asing.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Bahasa
Dikutip dari junal tarbiyah, menurut Chaer bahasa merupakan alat berupa
lisan yang digunakan untuk berkomunikasi. Selain itu, Chaer juga berpendapat
bahwa bahasa sebagai suatu lambang bunyi yang arbitrer dan digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengenali diri.
Menurut Sapir dalam Alwasilah (1990:7) yang dikutip dari jurnal tarbiyah,
terdapat banyak batasan bahasa dan tidak ada satu pun yang memadai. Batasan
tersebut, yakni manusia (human), dipelajari (noninstinctive), sistem, arbitrer,
dan simbol.1 Bahasa digunakan untuk berkomunikasi, sehingga manusia
menggunakan bahasa untuk berinteraksi satu sama lain. Salah satu bahasa
yang digunakan adalah bahasa resmi yang digunakan oleh sebuah negara,
seperti bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia lahir pada 28 Oktober 1928 dan para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara memberikan ikrar tentang isi Sumpah Pemuda
dalam Kerapatan Pemuda. Menurut Arifin dan Tasai, terdapat dua macam
kedudukan bahasa Indonesia, yakni sebagai bahasa nasional yang berdasarkan
Sumpah Pemuda dan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang- Undang
Dasar 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang diserap dari bahasa
Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Tidak hanya itu,
bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di
Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan.
Selain bahasa Indonesia, jika dilihat dalam konteks pengajaran bahasa,
terdapat juga bahasa asing. Istilah "bahasa asing" mengacu pada bahasa yang
tidak umum digunakan di negara tempat mereka diajarkan. Bahasa-bahasa ini
biasanya disebut bahasa kedua. Bahasa kedua adalah bahasa yang bukan

1
Rina Devianty, “Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan”. Jurnal Tarbiyah, Vol. 24, No. 2
(Desember, 2017), h. 229-230.

3
bahasa utama tetapi merupakan salah satu bahasa yang paling banyak
digunakan di suatu negara.2

B. Perubahan Fonologis
Perubahan fonologis mengacu pada cara orang mengucapkan sesuatu.
Ternyata penutur dari generasi yang berbeda mengucapkan kata atau istilah
yang sama secara berbeda. Dalam sistem bahasa Indonesia, yang penulisan
dan pengucapannya biasanya sama, perubahan fonologis tidak cukup
produktif. Namun, gejala perubahan fonologis dalam bahasa Inggris cukup
mudah ditemukan. Menurut Hickey, kata “vision” dulu dibaca /vizjon/. Tapi
sekarang dilafalkan /vigqn/. Kata "pleasure" dulu dilafalkan plezjur/ dan kini
dilafalkan /pleger/. Sedangkan menurut Chaer, kata “night” mengalami
perubahan fonologis. Meskipun ejaan kata tersebut konsisten dari Abad
Pertengahan kuno hingga bahasa Inggris modern, pengucapannya berubah dari
/nixt/ menjadi /nite/. Kata "drought" yang dulu dilafalkan /druxt/, kini lebih
sering dilafalkan dengan bunyi bahasa Inggris /dro/.3
Mendokumentasikan pola perubahan dan memprediksi bentuk perubahan
fonologis yang akan dihadapi peneliti di masa depan merupakan tantangan
besar, sehingga ahli bahasa mulai mengembangkan sistem simulasi perubahan
fonologis komputasional. Menurut Al-Shalabi Kanann, sistem simulasi ini
dikembangkan dengan dua kemungkinan. Opsi pertama adalah
mengembangkan simulasi dan mencocokkannya dengan peristiwa perubahan
suara nyata. Pilihan lainnya adalah mengembangkan aplikasi dengan
mendokumentasikan perubahan sebelumnya. Setelah itu, pola yang didapat
dari kejadian nyata menjadi dasar simulator untuk memprediksi perubahan
selanjutnya.4

C. Kata Serapan
1. Pengertian Kata Serapan

2
Iriany Kesuma Wijaya, “Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar”. Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra, Vol. 14 No. 2 (Juli, 2015), h. 122.
3
Fathur Rokhmat dan Surahmat, Linguistik Disruptif Pendekatan Kekinian Memahami
Perkembangan Bahasa, (Jakarta: Bumi Aksara, 2019), h. 55.
4
Ibid., h. 56.

4
Menurut Soedjito (1993:37), kata serapan adalah kata-kata dari suatu
bahasa yang telah diserap oleh bahasa lain. Indonesia banyak menyerap
bahasa lain baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing seperti bahasa
Sansekerta, Jawa, Belanda, Indonesia, dan lain-lain.5 Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata serapan adalah kata yang telah
diserap oleh bahasa lain berdasarkan kaidah bahasa penerimaannya.
Konsisten dengan pendapat serapan adalah bentuk adopsi kosakata
dari bahasa asing Eropa (Inggris, Belanda, dll) dan bahasa Asia (Arab,
Sansekerta, Cina, dll). Termasuk bahasa Indonesia (Sunda, Jawa, Minang,
Bali, dll). Oleh karena itu, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kata
pinjaman adalah bahasa itu sendiri atau bahasa lain yang dipinjam dan
disesuaikan dengan kaidah penerimanya.
Kata serapan yaitu kata yang berasal dari bahasa asing lalu di
integrasikan ke suatu bahasa dan diterima oleh pemakaiannya secara
umum. Masyarakat Indonesia sangat banyak memakai kata-kata serapan,
karena pengucapan kata serapan lebih singkat dibandingkan dengan kata-
kata bahasa Indonesia yang baku. Menurut masyarakat juga menggunakan
kata serapan lebih keren, lebih gaul, bahkan lebih modern, menurut
mereka. Padahal, penggunaan kata serapan tidak hanya menimbulkan
dampak positif, tetapi juga menimbulkan dampak negatif. Nah, dampak
negatifnya yakni identitas bahasa Indonesia akan tersamarkan dengan
bunyi Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu Bahasa pemersatu adalah Bahasa
Indonesia. Nah, dampak negatif lainnya yaitu jika terlalu sering
menggunakan kata serapan maka akan dianggap lazim oleh masyarakat
Indonesia terlebih lagi oleh anak-cucu yang akan menjadi penerus negeri
Indonesia.6

2. Bentuk-Bentuk Kata Serapan dalam Bahasa Asing

5
Shanti Safitri, “Kata Serapan Bahasa Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Cyber
Adventure dan Magic Cookies Terbitan Mizan Tahun 2017”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra, Vol. 5 No. 2 (April, 2019), h. 6
6
Ari Gunardi, “Bahasa Serapan Terhadap Bahasa Indonesia”. Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Sastra Vol. 1 No 1 (Tahun 2020), h. 35.

5
Haugen (dalam Saadie 1997:40-41) mengkategorikan hasil penyerapan
sebagai berikut:
1. Loanwords (kata serapan) adalah hasil importasi morfemis tanpa
substitusi morfemis, namun dengan atau tanpa substitusi fonemis,
contoh: oksigen <oxygen (indonesia).
2. Loan blends (campuran serapan) adalah gabungan hasil substitusi dan
importasi morfemis, namun strukturnya sesuai dengan bentuk
modelnya (kata asing yang diserap), contoh: nonbaku, <non standard
(Indonesia)
3. Hybrids (hibrida-hibrids) adalah campuran yang strukturnya tidak
sesuai dengan bentuk modelnya; contoh: berambisi, ambitious
(indonesia)
4. Loan shifts (geseran serapan) adalah hasil substitusi morfemis tanpa
importas dan mencakup loan translations (terjemahan serapan);
contoh: umpan balik < feedback (Indonesia)
5. Semanticloans (serapan semantik); contoh: penyerapan < borrowing
(Indonesia).
Menurut Abdul Chaer, pembagian kata serapan adalah sebagai berikut:
a) Kata-kata lama yang masuk ke dalam bahasa Indonesia.
b) Kata asing masih digunakan dalam konteks bahasa Indonesia.
c) Kata asing secara terminologi, lafal dan ejaan disesuaikan dengan
kaidah bahasa Indonesia.

3. Penulisan Unsur Serapan


Bahasa Indonesia menyerap berbagai unsur bahasa lain atau bahasa
asing, yaitu seperti Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Bahasa
Cina dan Bahasa Asing lainnya. Menurut Suparno, menulis merupakan
kegiatan menyampaikan suatu pesan dengan media alat yang ingin di tulis.
Pada makalah ini terdapat tiga jenis penulisan unsur serapan, yakni:
a. Kata yang sudah seluruhnya di serap kedalam bahasa Indonesia. Kata-
kata ini sudah biasa dieja kedalam bahasa Indonesia, sehingga sudah

6
tidak dirasakan lagi kehadirannya. Misalnya seperti iklan, botol,
sekolah, ember, waktu, badan, dan sebagainya
b. Kata yang masih asing digunakan dalam konteks bahasa Indonesia.
Ejaan ini masih mengikuti cara kata-kata asing, seperti cheeck in, time
out, dan knock out.
c. Kata asing untuk kepentingan peristilahan dan ejaan yang sesuai
kaidah bahasa Indonesia. Perubahan ejaan ini dibuat seperlunya saja
sehingga membentuk bahasa Indoensia tetapi masih bisa dibandingkan
dengan bentuk bahasa aslinya. Contohnya seperto: komisi
(comission), psikologi (psychology), dan sebagainya.7

4. Proses Penyerapan
Chaer (2014:169) menyatakan bahwa, bentuk dasar atau kosakata
dalam bahasa fleksi dan aglutunasi (bahasa asing) harus dibentuk sebelum
kata gramatikal baik dengan proses afiksasi, reduplikasi, maupun
komposisi.8
1. Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan imbuhan berdasarkan bentuk
dasarnya. Proses ini melibatkan (1) unsur dasar atau bentuk dasar, (2)
imbuhan, (3) makna gramatikal. Proses ini bersifat inflektif dan derivatif.
Namun proses ini tidak berlaku untuk semua bahasa, ada beberapa bahasa
yang tidak mengenal proses afiksasi ini.
2. Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses morfemik yang mengulang suatu bentuk dasar
baik secara keseluruhan, sebagian atau sebagai perubahan bunyi. Oleh
karena itu, biasanya dibedakan antara reduplikasi penuh, seperti meja-meja
(dari kata dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari kata dasar
laki), dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari
kata dasar balik).
3. Komposisi

7
Rosmina Simatupang, “Analisis Serapan dalam Bahasa Indonesia pada Artikel”. Jurnal
Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1 No 2 (Januari 2022), h. 97.
8
Shanti Safitri, Loc.cit., h. 8-9.

7
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan
morfem dasar bebas dan terikat sehingga konstruksinya memiliki identitas
leksikal yang berbeda atau baru. Dalam bahasa Indonesia, proses
komposisi ini sangat produktif.9

9
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), h. 177-185.

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. Penyebab Perubahan Fonologis


Dalam implementasi berbicara, fonem atau bunyi bahasa tidak berdiri
sendiri, tetapi saling terkait dalam urutan bunyi. Oleh karena itu, bunyi-bunyi
bisa berubah akibat dari keterkaitan pengaruh fonetis maupun fonemis.
Adapun penyebab perubahan bunyi dapat disebabkan oleh akibat adanya
koartikulasi, akibat pengaruh bunyi yang mendahului atau yang
membelakangi, akibat distribusi, dan lain-lain.10
1. Akibat adanya koartikulasi
Koartikulasi dapat disebut juga dengan artikulasi sertaan atau artikulasi
kedua. Koartikulasi adalah proses artikulasi lain yang menyertai
terjadinya artikulasi utama, artikulasi primer, atau artikulasi pertama.
Proses ini mengakibatkan bunyi pertama yang dihasilkan sedikit berubah
mengikuti ciri-ciri bunyi kedua yang akan dihasilkan. Peristiwa ini
menghasilkan adanya proses-proses seperti labialisasi, rerofleksi,
palatalisasi, velarisasi, faringalisasi, dan glotalisasi.11
a. Labialisasi
Labialisasi dapat diartikan sebagai proses pelabelan atau pembulatan
bentuk bibir ketika artikulasi primer terjadi, sehingga terdengar
sertaan (w) pada bunyi utama. Selain itu, bunyi [t] disebut juga
dengan bunyi apikoalveolar. Dalam hal ini dapat dilihat contoh pada
kata < tujuan >, sehingga bunyi [t] terdengar sebagai bunyi [tʷ] jadi
kata < tujuan > dilafalkan menjadi [tʷujuʷan]12
b. Retrofleksi

10
Abdul Chaer, Fonologi Bahasa Indonesiai, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), h. 96.
11
Ibid., h. 96-97.
12
Ibid.

9
Retrofleksi adalah proses penarikan ujung lidah melengkung ke arah
palatum sewaktu artikulasi primer berlangsung sehingga terdengar
bunyi [r]. Misal bunyi [k] yaitu disebut juga bunyi dorsopalatal pada
kata < kertas > dilafalkan sebagai bunyi [kʳ] karena bunyi ini
diretrofleksikan terlebih dahulu. Contohnya pada kata < kertas >
dilafalkan menjadi [kʳetas]
c. Palatalisasi
Palatalisasi adalah proses pengangkatan daun lidah ke arah langit-
langit keras (palatum) sewaktu artikulator primer berlangsung.
Misalnya, bunyi [p] saat dipalatalisasikan sehingga terdengar bunyi
menjadi [pʸ]. Contoh pada kata < piara > dilafalkan menjadi [pʸara].
d. Velarisasi
Velarisasi adalah proses pengangkatan pangkal lidah (dorsum) ke
arah langit-langit lunak (velum) ketika artikulasi primer berlangsung.
Misalnya, bunyi [m] ketika divelarisasikan maka menjadi [mˣ].
Contohnya pada kata < makhluk > maka dilafalkan menjadi
[mˣakhluk]
e. Faringalisasi
Faringalisasi adalah proses penyempitan rongga faring ketika
artikulasi sedang berlangsung dengan cara menaikkan laring.
f. Glotalisasi
Glotalisasi adalah proses penyertaan bunyi hambat pada glotis (glotis
tertutup rapat sewaktu artikulasi primer berlangsung. Misal bunyi [a]
dan [o] < taat > dan < obat > maka dilafalkan menjadi [ta?at] dan [o?
bat]
2. Akibat Pengaruh Bunyi Lingkungan
Akibat pengaruh bunyi lingkungan (bunyi yang berada sebelum atau
sesudah bunyi utama) dapat menghasilkan dua peristiwa perubahan yang
disebut asimilasi dan disimilasi.13
a. Asimilasi

13
Ibid., h. 98-99.

10
Asimilasi adalah perubahan bunyi yang dilakukan secara fonetis
akibat pengaruh yang berada pada sebelum dan sesudah. Asimilasi
Progresif (pengaruh ke depan) misalnya bunyi [t] yaitu bunyi
apikoalveolar dan apikodental. Namun, pada contoh kata < stasiun >
bunyi [t] dilafalkan menjadi laminoalveolar. Dalam hal ini, terjadi
perubahan yang disebabkan oleh pengaruh secara progresif dari bunyi
geseran laminopalatal [s]. Asimilasi Regresif, misalnya pada bunyi
huruf [p] yaitu bunyi hambat bilabial. Akan tetapi, pada contoh kata
< pantun > dilafalkan secara apikoalveolar, sehingga terjadi
perubahan karena pengaruh nasal apikoalveolar [n]. Asimilasi
progresif maupun asimilasi regresif boleh diartikan sebagai
penyamaan dua buah bunyi yang berbeda menjadi dua buah bunyi
yang sama.
b. Disimilasi
Disimilasi merupakan dua buah bunyi yang sama, kemudian diubah
menjadi dua buah bunyi yang berbeda atau tidak sama. Misalnya
bunyi [r] disimilasikan dengan bunyi [l] maka contoh dalam bahasa
Indonesia yaitu [belajar], yang berasal dari pembentukan kata yang
sebenarnya yaitu ber + ajar, maka saat disimilasikan menjadi belajar
bukan berajar.
3. Akibat Distribusi
Distribusi adalah letak atau tempat suatu bunyi dalam satu satuan ujaran.
Distribusi mengakibatkan terjadinya perubahan bunyi yang disebut
aspirasi, pelepasan (release), pemaduan dan netralisasi.14
a. Aspirasi
Aspirasi adalah pengucapan suatu bunyi yang disertai dengan
hembusan keluarnya udara dengan keras, sehingga terdengar bunyi
[h]. Misalnya, bunyi [p] dalam bahasa inggris diucapkan dengan
aspirasi, sehingga terdengar menjadi bunyi [pʰ]. Contohnya kata <
peace > diucapkan menjadi [pʰeis].
b. Pelepasan (release)

14
Ibid., h. 99-101.

11
Pelepasan (release) adalah hambatan atau letupan yang dilepaskan
atau dibebaskan. Contohnya, bunyi [p] bunyi hambat letup bersuara;
tetapi bunyi [p] pada kata <tatap muka> dilafalkan tanpa hambat
letup.
c. Pemaduan (pengafrikatan)
Pemaduan atau pengafrikatan adalah penghilangan letupan pada
bunyi hambat letup. Misal pada bunyi [t] pada kata < hebat >
dilafalkan menjadi [hɛbatˢ].
d. Harmonisasi Vokal
Harmonisasi vokal adalah proses penyamaan vokal pada silabel
pertama terbuka dengan vokal pada silabel kedua yang tertutup.
Misalnya pada kata < sate > vokal [e] dilafalkan sebagai bunyi [e];
tetapi pada kata < karet > dilafalkan sebagai bunyi [ɛ]. Namun, pada
kata < bebek > dilafalkan sebagai [bɛbɛk]. Jadi, meskipun pada
silabel terbuka bunyi [e] dilafalkan juga sebagai [ɛ].
e. Netralisasi
Netralisasi adalah hilangnya kontras antara dua buah fonem
yang berbeda. Misalnya pada kata < jawab > bisa dilafalkan sebagai
bunyi [p] dan bunyi [b]. Maka bisa dilafalkan sebagai [jawab] dan
[jawap].
4. Akibat Proses Morfologi
Perubahan suatu bunyi dapat diakibatkan dengan adanya proses
morfologi yang disebut dengan morfofonemik atau morfofologi. Dalam
proses ini dapat terjadi peristiwa (a) pemunculan fonem, (b) pelesapan
fonem, (c) peluluhan fonem, (d) pergeseran fonem, dan (e)
perubahan fonem.15
a. Pemunculan Fonem
Kemunculan suatu fonem yang tadinya tidak ada menjadi ada karena
terjadi akibat adanya proses morfologi. Misalnya, dalam prefiks me-
dan pe- kan muncul bunyi nasal yang homorgan. Contohnya:
[me-] + [baca] = membaca

15
Ibid., h. 101-103.

12
[pe-] + [bicara] = pembicara
b. Pelesapan Fonem
Peristiwa hilangnya fonem akibat proses morfologis. Misalnya
hilangnya bunyi [h] pada proses pengimbuhan dengan akhiran (wan)
pada kata < sejarah > maka menjadi [sejarawan]. Dalam
perkembangan bahasa Indonesia terakhir ada juga proses pelesapan
bunyi yang sama dalam proses komposisi. Contoh dalam kata (pasar)
dan (raya) maka akan menjadi [pasaraya] -> bunyi [r] menghilang.
Contohnya:
[ber] + [renang] = berenang
[ko] + [operasi] = koperasi
c. Peluluhan Fonem
Proses luluhnya sebuah fonem, lalu menyatu pada fonem berikutnya.
Terjadi pada prefiks [me] atau [pe] pada kata yang dimulai dengan
konsonan tak bersuara, huruf-hurufnya yaitu [s, k, p, dan t].
Contohnya:
[me] + [sikat] = meñikat
[pe] + [pilih] = pemilih
d. Pergeseran Fonem
Berubahnya posisi sebuah fonem dari satu silabel ke dalam
silabel berikutnya. Misalnya pada fonem /t/ pada kata < lompat >
akan pindak ke silabel berikutnya apabila diberikan sufiks [-an].
Maka :
[lom.pat] + [-an] = lёm.pa.tan
e. Perubahan Fonem
Proses berubahnya sebuah fonem menjadi fonem yang lain karena
menghindari adanya dua bunyi sama. Misalnya, dalam proses prefiks
[ber-] pada kata < ajar >. Maka bunyi [r] pada prefiks [ber-] akan
berubah menjadi bunyi [l]. Maka :
[ber-] + [ajar] = belajar

5. Akibat dari Perkembangan Sejarah

13
Perkembangan sejarah tidak berkaitan dengan kajian fonologi, melainkan
berkenaan dengan pemakaian sejumlah unsur leksikal di dalam
masyarakat dan budaya. Perkembangan sejarah perkembangan ada proses
kontraksi (penyingkatan), metatesis, diftongisasi,
monoftongisasi, dan anaptiksis.16
a. Kontraksi (penyingkatan)
Proses menghilangkan sebuah bunyi atau lebih pada sebuah
unsur leksikal. Kontraksi dibedakan menjadi tiga, yaitu aferesis,
apokop, dan sinkop. Aferesis adalah proses penghilangan satu fonem
atau lebih pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi. Apokop
adalah proses penghilangan satu fonem atau lebih pada
akhir kata. Misalnya: pelangit menjadi pelangi. Sinkop adalah proses
penghilangan sebuah fonem atau lebih pada tengah kata. Misalnya:
sahaya menjadi saya.
b. Metatesis
Perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata. Dalam bahasa
Indonesia kata-kata yang mengalami proses metatesis
ini tidak banyak. Misalnya: kelikir menjadi kerikil, jalur menjadi
lajur.
c. Diftongisasi
Proses perubahan vokal tunggal menjadi vokal rangkap
secara berurutan, diftongisasi masih dalam satu silabel. Diftong dapat
diartikan juga sebagai gabungan bunyi dalam satu suku kata17,
Misalnya:
anggota = anggauta, bunyi [o] = [au]
teladan = tauladan, bunyi [e] = [au]
d. Monoftongisasi
Proses perubahan dua buah vokal atau gugus vokal menjadi sebuah
vokal. Proses ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia akibat dari
ingin memudahkan ucapan. Misalnya:

16
Ibid., h. 103-105.
17
Ade Rahima, Fonologi Bahasa Indonesia, (Jambi: Komunitas Gemulun Indoneisa, 2022),
h. 15.

14
[ramay] diucapkan menjadi [rame]
[kalaw] diucapkan menjadi [kalo]
e. Anaftiksis
Proses penambahan bunyi vokal di antara dua konsonan dalam
sebuah kata; atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata
tertentu. Anaftiksis ada tiga macam, yaitu protesis, epentesis, dan
paragog. Protesis adalah proses penambahan bunyi pada awal kata.
Misalnya: mas menjadi emas. Epentesis adalah proses penambahan
bunyi pada tengah kata. Misalnya: kapak menjadi kampak. Paragog
adalah proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata. Misalnya:
adi menjadi adik.

B. Jenis-Jenis Perubahan Bunyi


Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut adalah asimilasi, disimilasi,
modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi
monoftongisasi, dan anaptiksis, seperti dijelaskan di bawah ini.
a. Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi
bunyi yang sama atau hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi bahasa
diucapkan secara berurutan, sehingga dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi satu sama lain. Perhatikan contoh berikut,18
1. Kata bahasa Inggris top dilafalkan (tOp'] dengan (1) apico-dental.
Namun, ketika [s] adalah lamina-palatal pada kata stop, ia juga
dilafalkan [s 1 Op'] dengan [1] lamino-palatal. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa [1] pada [stOp'] disesuaikan atau disamakan
dengan [1s] artikulasi sebelumnya sehingga secara laminopalatal sama.
Ketika bunyi diasimilasikan muncul setelah bunyi yang
mengasimilasikan, itu disebut asimilasi progresif.
2. Zak 'kantong' bahasa Belanda diucapkan [zak], velar [k] tidak bersuara,
dock 'kain' diucapkan [duk'], bersuara [4] apko-dental meningkat.
Penggabungan kedua kata tersebut menghasilkan zakduk

18
Masnur Muchlish, Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa
Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Akasara, 2014), h. 118-120.

15
“saputangan'”, dilafalkan [zagduk']. Jika bunyi yang diasimilasikan
datang sebelum bunyi yang mengasimilasikan, itu disebut asimilasi
regresif.
3. Kata Batak Toba holan ho 'hanya kau' diucapkan [holakko] swan hon
diucapkan [suatton]. Bunyi holan [n] dan ho [h] diadaptasi atau
diasimilasi menjadi [k]. sedangkan [n] pada swan dan [h] pada hon
diselaraskan atau disamakan dengan [1]. Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa ada dua bunyi, yaitu [n] dan [h]. [n] dan [h]
kompatibel satu sama lain. Jika kedua suara bergabung menjadi suara
baru, kita berbicara tentang asimilasi resiprokal.
Dilihat dari besar kecilnya perubahan, asimilasi contoh I tergolong
asimilasi fonetis karena perubahannya masih dalam alofon suatu fonem,
yaitu fonem /t/. Asimilasi pada Contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis
karena perubahan dari [k`] menjadi [g] pada posisi koda masih tergolong
alofon dari fonem yang sama. Sedangkan asimilasi pada contoh 3
tergolong asimilasi fonemis karena adanya perubahan [n] menjadi (k) dan
[h] menjadi [k] (holan ko > [holakko]) serta perubahan dari [n] menjadi [1]
dan [h] menjadi [1] (dalam suan hon [suatton]) sudah berada dalam
rentang antarfonem.19
Dalam bahasa Indonesia asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada
kata tentang dan tendang. Bunyi nasal tentang diucapkan apikodental
karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga bersifat apikodental.
Bunyi nasal dalam tendang diucapkan apico-alveolar karena bunyi yang
mengikutinya, yaitu [d], juga apico-alveolar. Perubahan nasal tetap berada
dalam deretan alofon fonem yang sama.
b. Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi, dismilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi
yang identik atau mirip menjadi satu bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Perhatikan contoh berikut.
1. Kata belajar [bolajar] dalam bahasa Indonesia berasal dari gabungan
awalan ber [bor] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Seharusnya menjadi

19
Ibid.

16
[borajar] berajar jika tanpa perubahan. Namun, karena ada dua bunyi
[r], bunyi [r] pertama dibedakan atau diubah menjadi [1] sehingga
menjadi [bolajar]. Karena perubahan tersebut telah melewati batas
fonem, yaitu bahwa [r] adalah alofon dari fonem /r/ dan [1] adalah
alofon dari fonem /l/, maka disebut asimilasi fonemis.
2. Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sansekerta
sajjana [sajjana]. Perubahan itu disebabkan oleh bunyi [j] ganda. Bunyi
[j] pertama diubah menjadi nada [r]: [sajjana]> [sarjana]. Karena
perubahan tersebut melewati batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon
fonem // dan [r] merupakan alofon fonem /r/, maka perubahan itu
disebut disimilasi fonemis.
3. Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] merupakan hasil proses morfologi
yang mereproduksi bentuk dasar dari sayur [sayUr]. Setelah
pengulangan, [s] dalam bentuk dasar [sayUr] berubah menjadi [m],
menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan itu melewati batas fonem,
yaitu [s] adalah alofon dari fonem /s/ dan [m] adalah alofon dari fonem
/m/, perubahan ini disebut juga dismilasi fonemis.
c. Modifikasi Vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan vokal yang disebabkan oleh
pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya dapat
dihitung sebagai peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong
tipikal, maka harus dibedakan. Berikut contohnya:
1. Kata balik dilafalkan [bali?], vokal i dilafalkan [i] rendah. Namun,
jika mendapatkan akhiran-an, menjadi balikan, bunyi [i] menjadi [i]
tinggi: [balikan]. Perubahan ini disebabkan oleh bunyi yang
mengikutinya. Dalam kata balik, bunyi selanjutnya adalah glotal stop
atau hamzah [?], sedangkan dalam Balik bunyi selanjutnya adalah
dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [1] ke [I] masih dalam alofon
satu fonem, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal. Sebagai
informasi, perubahan itu juga bisa diakibatkan oleh perbedaan struktur
suku kata. Pada bunyi [i] sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik
pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i] sebagai nuklus silab yang tidak

17
diikuti koda (li pada ba-li-kan). Kata toko, koko, oto dilafalkan [toko].
[koko], [oto].20
2. Kata toko, koko, oto dilafalkan masing-masing [toko], [koko], [oto]
Pada saat yang sama kata tokoh, kokoh, otot dilafalkan [10kOh
[kOkOh], [OtOt']. Bunyi vokal [O] suku kata pertama kelompok
kedua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya.
Karena vokal suku kata kedua adalah [O], silaba pertama juga akan
disesuaikan dengan [O]. Namun, karena perubahan itu termasuk
dalam alofon salah satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu
disebut modifikasi vokal fonetis. Cara berpikir ini juga bisa diterapkan
pada bunyi [o] pada kelompok kata pertama.
Jika diperhatikan, perubahan vokal pada Contoh I adalah dari vokal
rendah ke vokal tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke
tinggi disebut umlaut oleh ahli bahasa. Namun, ada juga yang
menyebutnya metafoni. Sementara itu, perubahan vokal pada contoh 2
disebabkan oleh pengaruh vokal lain pada silaba berikutnya. Jenis
perubahan vokal ini sering disebut sebagai harmoni vokal atau
penyelarasan vokal. Selain kedua jenis perubahan suara tersebut, ada juga
perubahan ablaut yang disebut ablaut (ada yang mengatakan apofoni atau
gradasi vokal). Jenis perubahan vokal ini bukan karena pengaruh struktur
silaba atau bunyi vokal lain pada silaba selanjutnya. tetapi lebih terkait
dengan unsur morfologi. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris
sing [sin] 'menyanyi' menjadi sang (sen), sung [son] Perubahan vokal
semacam itu juga bisa disebut modifikasi internal.21
d. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh
lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa di cermati ilustrasi berikut
Dengan cara pasangan minimal [baran] 'barang - [parang] 'paran' bisa
disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan/p/. Tetapi
dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal
setidak-tidaknya bermasalah- karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya,
20
Ibid., h. 121.
21
Ibid., h. 122.

18
fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p]: [adap] dan
[sǝbap'], yang persis sama dengan pengucapan fonem p pada atap dan
usap: [atap'] dan [usap']. Mengapa terjadi demikian? Karena konsonan
hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika
dinetralisasikan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p'], sama dengan
realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.22
Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari
fonem yang sama? Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti
bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu
diberlakukan. Kalau pun ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi
mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan
fonem /p/. Untuk mewakili-kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya
adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi
distribusinya).
e. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya
penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Hal ini sering terjadi dalam
penggunaan bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Indonesia, selama
tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus
berkembang karena telah diam-diam didukung dan disepakati oleh
komunitas yang menggunakannya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak
untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk
tetapi. Namun, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak
sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Kendati demikian,
karena alasan kemudahan dan efisiensi, fenomena ini terus berlangsung.
Di dalam bahasa Inggris, penghapusan ini sudah menjadi pola sehingga
memiliki arti yang sama dengan struktur lengkapnya. Contohnya:

shall not disingkat shan't

will not disingkat won't

22
Ibid., h. 122-124.

19
is not disingkat isn't

are not disingkat aren't

It is atau it has disingkat it's.


f. Metatesis
Metatesis adalah urutan bunyi fonemis pada suatu kata yang
menghasilkan dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia,
hanya terdapat beberapa kata yang mengalami metatesis. Sebagai contoh:

kerikil menjadi kelikir


jalur menjadi lajur
brantas menjadi bantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya:
lemari berasal dari bahasa Portugis almari
Rabu berasal dari bahasa Arab Arba
rebab berasal dari bahasa Arab arbab
g. Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong)
menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan.
Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam
satu puncak kenyaringan sehingga tetap dalam satu silaba.
Kata anggota [anggota] diucapkan Jangauta], sentosa [sontosa]
diucapkan [sontausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o]
ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak.
Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka
pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan, dalam penulisannya pun
disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa.
Contoh lain:
teladan [teladan] menjadi tauladan [tauladan] vokal [e] menjadi [au]
topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] vokal [O] menjadi
[au]
h. Monoftongisasi

20
Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan
dua bunyi vokal atau vokal berganda (diftong) menjadi satu suara tunggal
(monoftong). Peristiwa penyatuan suara vokal ini sering terjadi dalam
bahasa Indonesia sebagai cara mempermudah pengucapan dari suara-suara
diftong.
Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [potai] diucapkan
Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal (e)
Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:
Kalau [kalau] menjadi [kalo]
Danau [danau] menjadi [dano]
Satai [satai] menjadi [sate]
Damai [damai] menjadi [dame]
i. Anaptiksis
Anaptiksis atau vokalisasi adalah modifikasi suara dengan
menambahkan vokal tertentu di antara dua konsonan untuk meningkatkan
kejelasan pengucapan. Vokal yang sering ditambahkan adalah vokal
lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan vokal lemah ini umumnya
terjadi pada konsonan-konsonan yang berdekatan. Sebagai contoh:
Putra menjadi putera [putǝra]
Putri menjadi puteri [putəri]
Penambahan [a] berdampak pada bertambahnya jumlah kurikulum.
Konsonan pertama dari gugus yang diperkenalkan oleh bunyi [5] menjadi
silabus baru dengan klimaks suku kata pada [ə]. Jadi [tra] menjadi [to+ra],
[tri] menjadi [to+ri], [sri] menjadi [sa+ri], [slo] menjadi [sa+lo].
Dikelompokkan bersama, ada tiga jenis anaptik: prostesis, epentetika, dan
paragog.23
1. Protesis adalah proses penambahan atau bunyi pada awal kata.
Contohnya:
Mpu menjadi empu
Mas menjadi emas

23
Ibid. h. 124-127.

21
2. Epentesis adalah proses memasukkan atau menambahkan bunyi di
tengah kata. Contohnya:
Kapak menjadi kampak
Sajak menjadi sanjak
Upama menjadi umpama
3. Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir
kata. Contohnya:
Adi menjadi adik
Hulubala menjadi hulubalang
Ina menjadi inang

C. Cara dan Kaidah-Kaidah Penyerapan Kata-Kata Asing


Peranan bahasa asing dalam bahasa Indonesia membuktikan adanya
kontak atau hubungan antar bahasa, sehingga mengakibatkan terserapnya
bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan di sini dapat diartikan
sebagai penggabungan unsur bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia untuk
tujuan pembakuan dan pemakaian resmi oleh penutur bahasa Indonesia.
Fungsi pembelajaran bahasa asing itu sendiri adalah untuk memperkaya dan
memperbanyak kosakata bahasa Indonesia.
Tuntutan globalisasi juga berarti bahwa kehidupan sehari-hari tidak lepas
dari pengaruh dunia luar, khususnya dunia Barat, baik dari segi gaya hidup,
keterbukaan informasi, gaya bahasa maupun penggunaan bahasa. Semua
komunitas yang menggunakan bahasa menyetujui aturan, struktur, kosa kata.
Kesepakatan tentang aturan dan kosa kata sampai titik tertentu biasanya dapat
menyerap semua konsep, ide, dan gagasan pengguna.
Kosakata serapan merupakan kosakata yang diambil dari bahasa asing atau
daerah untuk diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia. Kata-kata atau istilah
asing yang masuk dan diserap ke dalam Bahasa Indonesia yang sudah
disesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia atau masih sesuai seperti aslinya
disebut kata serapan. Kosakata asing yang dianggap lebih modern sesuai
kehidupan masa kini, membuat orang-orang terpengaruh dengan bahasa
asing. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kosakata dari
bahasa asing yang masuk dan menyesuaikan dengan kosakata bahasa

22
Indonesia dapat dikatakan sebagai kata serapan, walaupun ejaannya masih
sama dengan bahasa aslinya. 24
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini telah menyerap berbagai unsur
bahasa Indonesia. Kosakata bahasa asing yang terekam biasanya tidak
memiliki padanan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan proses
penyerapan. Ada beberapa proses yang terlibat dalam memasukkan unsur
asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain:
1. Adopsi
Adopsi adalah proses penyerapan unsur asing yang belum sepenuhnya
berasimilasi dalam bahasa Indonesia. Sedangkan menurut Kosasih, metode
adopsi terjadi ketika pemakai bahasa menerima bentuk dan makna bahasa
asing secara keseluruhan. Contohnya, di plaza, pusat perbelanjaan, dan
supermarket Suwignyo & Anang Santoso, (1) konsep ilmiah tidak
ditemukan dalam bahasa Indonesia, (2) makna aslinya dipertahankan, (3)
sebenarnya secara linguistik Bahkan jika Anda tidak dapat melokalkannya
ke dalam bahasa Indonesia, Anda akan dipekerjakan. Secara tertulis. (4)
untuk bahasa Indonesia menghasilkan banyak sinonim sinonim, dan (5)
bersifat internasional.
2. Adaptasi
Adaptasi adalah proses penyerapan unsur asing yang belum
sepenuhnya berasimilasi dalam bahasa Indonesia. Menurut pusat
bimbingan dan perkembangan bahasa, pengucapan unsur asing sudah
disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Menurut Kosasih, cara
adaptasi unsur asing agar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dapat
terjadi ketika pengguna bahasa hanya menerima makna asing, sedangkan
ejaan dan gaya penulisannya dapat disesuaikan dengan ejaan bahasa
Indonesia. Contohnya seperti [diversifikasi] menjadi [diversifikasi].
Adaptasi merupakan dampak kontak dari berbagai bahasa. Oleh karena itu,
akan ada kata-kata yang diserap pada saat setiap kali melakukan kontak
melalui penggunaan bahasa.

24
Badudu J.S., Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia., (Jakarta:
Kompas, 2009), h. 3-4.

23
Selain itu, terdapat unit linguistik dan struktuk linguistik tertutup dan
terbuka terhadap pengaruh lainnya. Tertutup memiliki maksud tidak dapat
menerima pengaruh, sedangkan terbuka bermaksud untuk dapat menerima
pengaruh. Adapun adaptasi dapat terjadi jika pemakai bahasa hanya
menerima arti dan ejaan atau cara kata asing yang diserap teks sesuai
dengan ejaan bahasa Indonesia.25
3. Penerjemahan
Metode penerjemahan terjadi ketika seorang pemakai bahasa
mengadopsi konsep-konsep yang terkandung dalam bahasa asing.
Kemudian mencari kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia. Kata-kata
seperti tumpang tindih, percepatan, proyek rintisan, dan uji coba, adalah
kata-kata yang lahir karena proses penerjemahan dari bahasa Inggris
overlap, acceleration, pilot project, dan tryout.
4. Kreasi
Jalur kreatif terjadi ketika pengguna bahasa hanya mengadopsi konsep
dasar dari sumbernya. Kemudian dia mencari padanan bahasa
Indonesianya. Sekilas, cara yang terakhir ini memiliki perbedaan. Hakikat
ciptaan tidak memerlukan bentuk fisik seperti terjemahan. Sebuah kata
dalam bahasa aslinya mungkin terdiri dari satu kata, tetapi dalam bahasa
Indonesia terdiri dari dua kata atau lebih. Contohnya effective menjadi
berhasil guna, shuttle menjadi ulang alik, dan spare parts menjadi suku
cadang.26

25
Ibid., h. 10.
26
Ibid., h. 13.

24
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perubahan fonologis mengacu pada cara seseorang mengucapkan sesuatu.
Pada pengucapan bunyi, ternyata terdapat perbedaan dalam pengucapan di
setiap kata atau istilah yang sama secara berbeda oleh penutur. Dalam
implementasi berbicara, fonem atau bunyi bahasa tidak dapat berdiri sendiri.
Akan tetapi, saling terkait dalam urutan bunyi. Maka dari itu, bunyi dapat
berubah akibat keterkaitan pengaruh fonetis maupun fonemis. Perubahan
fonologis dapat disebabkan oleh adanya koartikulasi, dampak pengaruh bunyi,
dampak distribusi, dan lain-lain. Adapun perubahan bunyi memiliki 9 jenis,
jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi
vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, kontraksi, diftongisasi, monoftongisasi,
dan anaptiksis.
Penyerapan dapat diartikan sebagai penggabungan unsur bahasa asing ke
dalam bahasa Indonesia untuk tujuan pembakuan dan pemakaian resmi oleh
penutur bahasa Indonesia. Fungsi pembelajaran bahasa asing itu sendiri adalah
untuk memperkaya dan memperbanyak kosakata bahasa Indonesia. Kosakata
serapan merupakan kosakata yang diambil dari bahasa asing atau daerah untuk
diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia. Kata-kata atau istilah asing yang
masuk dan diserap ke dalam bahasa Indonesia yang sudah disesuaikan dengan
kaidah bahasa Indonesia atau masih sesuai seperti aslinya disebut kata
serapan. Kosakata dari bahasa asing yang masuk dan menyesuaikan dengan
kosakata bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai kata serapan, walaupun
ejaannya masih sama dengan bahasa aslinya. Kosakata bahasa asing yang
terekam biasanya tidak memiliki padanan bahasa Indonesia.
A.

25
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.


Chaer, Abdul. 2015. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Devianty, Rina. 2017. “Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan”. Jurnal Tarbiyah, 24(2).
Gunardi, Ari. 2020. “Bahasa Serapan Terhadap Bahasa Indonesia”. Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra, 1(1).
J.S., Badudu. 2009. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Kompas.
Muchlish, Masnur. 2014. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi
Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Akasara.
Rahima, Ade. 2002. Fonologi Bahasa Indonesia. Jambi: Komunitas Gemulun Indoneisa.
Rokhman, F., & Surahmat. 2019. Linguistik Disruptif Pendekatan Kekinian Memahami
Perkembangan Bahasa. Jakarta: Bumi Aksara.
Safitri, Shanti. 2017. “Kata Serapan Bahasa Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Cyber
Adventure dan Magic Cookies Terbitan Mizan Tahun 2017”. Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra, 5(2).
Simatupang, Rosmina. 2022. “Analisis Serapan dalam Bahasa Indonesia pada Artikel”,
Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(2).
Wijaya, Iriany, Kesuma. 2015. “Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar”, Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra, 14(2).

26

Anda mungkin juga menyukai