Anda di halaman 1dari 22

BAHASA INDONESIA

“BAHASA INDONESIA SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI”

Di susun untuk memenuhi tugas kelompok pada,


Mata kuliah : Bahasa Indonesia
Dosen : Enni Suhenni, MPd
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Semester : I (satu)
Kelompok : 1 (satu)

Di susun oleh:

 Muhammad Rizki
 Muhammad Ridho
 Sarina
 Evida Rizki Nasution

PROGRAM STUDY S1
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAMAIYAH
MAHMUDIYAH TANJUNG PURA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena segala rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “BAHASA INDONESIA SEBAGAI
MEDIA KOMUNIKASI”. Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
sumbernya berupa jurnal dan buku yang telah saya jadikan referensi guna penyusunan
makalah ini sehingga, saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi masyarakat luas dalam waktu ke
depannya.

Makalah ini saya sampaikan kepada pembina mata kuliah Bahasa Indonesia yaitu
Ibu Enni Suhenni, M.Pd sebagai tugas kelompok mata kuliah tersebut. Semoga dapat terus
berkarya guna menghasilkan tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi masa depan
yang lebih baik. Saya berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna
bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Saya menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, banyak kekurangan dan kesalahan. Saya menerima kritik dan
saran yang membantu guna penyempurnaan makalah ini.

Tanjung Pura, 14 Okt

2022 Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakan Masalah............................................................................................ 1
B. Rumusan masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan Makalah....................................................................................................... 2

BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN BAHASA......................................................................................3
2. SEJARAH SINGKAT BAHASA INDONESIA.....................................................4
3. SEJARAH SINGKAT KONGRES BAHASA INDONESIA................................5
4. CARA PENYERAPAN BAHASA ASING KEDALAM BAHASA INDONESIA...........10
5. CIRI-CIRI KHUSUS BAHASA INDONESIA......................................................14

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 15
B. Saran........................................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga
memerlukan adanya suatu interaksi. Salah satu alat untuk berinteraksi dan berkomunikasi adalah
bahasa. Bahasa digunakan untuk mempermudah manusia dalam menyampaikan pikiran, gagasan,
ataupun perasaan. Bahasa lahirberbeda-beda sesuai dengan daerahnya sehingga muncul bahasa
yang beranekaragam. Indonesia merupakan negara yang memiliki lebih dari 300 bahasa daerah.
Hal ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau,sehingga terdiri
atas banyak suku dan adat istiadat. Walaupun memiliki banyak bahasa daerah, Indonesia
memiliki bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia lahir sebagai identitas bangsa Indonesia. Namun, pada era Globalisasi ini
menyebabkan masuknya bahasa asing dan bahasa pergaulan yang digunakan masyarakat
Indonesia saat ini. Tentu hal ini menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa pergaulan sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Dengan demikian lambat laun, penggunaan bahasa baku menjadi berkurang.

Untuk itu, kita sebagai masyarakat Indonesia, wajib melestarikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional. Dalam melestarikan bahasa Indonesia, kita perlu mengetahui sejarah dan asal-
usul terbentuknya bahasa Indonesia itu sendiri.Oleh karena itu, dalam tulisan ini dijelaskan lebih
rinci mengenai sejarahtera bentuknya bahasa Indonesia sampai perkembangannya saat ini,
termasuk perkembangan ejaannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan bahasa?


2. Bagaimana sejarah Bahasa Indonesia?
3.Bagaimana bentuk Kongres Bahasa Indonesia?
4.Bagaimana cara menyerap bahasa asing kedalam Bahasa Indonesia?
5.Apa sajakah ciri-ciri Bahasa Indonesia?

1
C. Tujuan Makalah

1.Agar mengetahui pengertian dari bahasa.


2.Mengetahui sejarah singkat Bahasa Indonesia.
3.Mengetahui berapa banyak kongres Bahasa Indonesia.
4. Mengetahui cara menyerap bahasa asing kedalam Bahasa Indonesia.
5.Mengetahui ciri-ciri dari Bahasa Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN BAHASA
Menurut Gorys Keraf (2004 : 1), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia. Ketika anggota masyarakat
menginginkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, maka orang tersebut akan menggunakan
suatu bahasa yang sudah biasa digunakannya untuk menyampaikan suatu informasi. Pada
umumnya bahasa- bahasa tersebut dapat berbeda antara suatu daerah dengan daerah yang lain,
hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan kultur, lingkungan dan kebiasaan dan kebiasaan
yang mereka miliki. Mungkin asumsi beberapa orang berpendapat bahwa tidak hanya bahasa
saja yang dapat di jadikan sebagai media kominikasi. Mereka menunjukan bahwa terdapat dua
orangatau lebih yang mengadakan gendang atau tong-tong atau sebaagainya.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
arbiter, yang dipergunakan oleh sekelompok masyarakat untuk bekerja komunikasi dengan
mempergunakaqn cara-cara tertentu yang telah di sepakati bersama. Mereka memakai beberapa
alat ataupun media untuk menyampaikan suatu kabar yangmemang ingin diinformasikan kepada
pihak lin dengan menggunakan lukisan-lukisan,asap api, bunyi

sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Dilihat dari pengertian yang ada dalam kamus
tersebut, dapat dipahami bahwa bahasa juga dapat berfungsi sebagai lambing bunyi sebagai
mana not yang ada pada nada, akan tetapi fungsi atau manfaat yang diberikan sangatlah berbeda
antara keduanya. Bunyi yang di hasilkan oleh bahasa di preoritaskan untuk menyampaikan suatu
informasi serta lebih menitik beratkan pada kepadatan isinya bukan pada fungsi estetika yang
dihasilkannya.

Bahasa adalah system symbol dan tanda. Yang dimaksud system symbol adalah hubungan
symbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan system
tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat
atau cirri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud.

Dari beberapa defenisi yang telah dipaparkan di atas maka dapat di simpulkan bahwa bahasa
adalah alat untuk berkomunikasi yang dapat disampaikan melalui lisan,tulisan maupum media
lain yang sudah di sepakati oleh pihak yang berkomunikasi. Bahasa yang disampaikan melalui
lisan dapat disebut dengan bahasa primer sedangkan bahasa yang diutarakan dengan
menggunakan selain lisan disebut dengan bahasasekunder.

3
Adapun pengertian dari berkomunikasi melalui lisan yaitu berkomunikasi dengan
menggunakan suatu symbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang memilikiciri
khas tersendiri yang dapat berbeda makna ketika diucapkan oleh orang dan kondisi yang
berbeda. Suatu symbol bisa terdengar sama ditelinga kita tapi memiliki makna yang sangat jauh
berbeda. Misalnya kata “sarang” dalam Bahasa Korea yang memiliki articinta, dalam Bahasa
Indonesia artinya tempat tingal burung. Sedankan pengertian daritulisan adalah susunan dari
symbol (huruf) yang dirangkai menjadi kata bermakna dan dituliskan. Bahasa lisan lebih
ekspresif, mimik, ekspresi wajah, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu
untuk mendukung komunikasi yang dilakukannya.

2. SEJARAH SINGKAT BAHASA INDONESIA


Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahasa
persatuan bangsa Indonesia. Dari sudut pandang linguistik,bahasa Indonesia adalah sebuah
variasi dari bahasa Melayu. Dalam hal ini dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau, tetapi
telah mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses
pembakuan pada awal abadke-20. Sampai saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
hidup dan terus berkembang dengan pengayaan kosa kata baru, baik melalui penciptaan maupun
melalui penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), bahasa Melayu (bahasa Melayu Kuno)
dipakai sebagai bahasa kenegaraan. Hal itu dapat diketahui, dari empat prasasti berusia
berdekatan yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan tersebut. Prasati
tersebut di antaranya adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun
683 M(Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka
tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M(Jambi). Prasasti itu
bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Padasaat itu, bahasa Melayu yang
digunakan bercampur kata-kata bahasa Sanskerta.Sebagai penguasa perdagangan, di Kepulauan
Nusantara, para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan
bahasa Melayu walaupun dengan cara kurang sempurna. Hal itu melahirkan berbagai varian
lokal dan temporal pada bahasa Melayu yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar
oleh para peneliti.

Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangkatahun abad ke-9) dan
prasasti di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10menunjukkan penyebaran penggunaan
bahasa itu di Pulau Jawa. Penemuankeping tembaga Laguna di dekat Manila, Pulau Luzon,
berangka tahun 900Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah tersebut dengan Sriwijaya.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu
karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaanya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan

4
Semenanjung Malaya. Kemudian, Malaka merupakan tempat bertemunya para nelayan dari
berbagai negara dan mereka membuat sebuah kota serta mengembangkan bahasa mereka sendiri
dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari bahasa di sekitar daerah tersebut. Kota Malaka
yang posisinya sangat menguntungkan (strategis) menjadi bandar utamadi kawasan Asia
Tenggara. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling tepat di kawasa timur
jauh. Ejaan resmi bahasa Melayu pertama kali disusun oleh Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu
oleh Moehammad Taib Soetan Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer yang dimuat dalam kitab
Logat Melayu pada tahun 1801.

3. SEJARAH SINGKAT KONGRES BAHASA INDONESIA

 Kongres Indonesia I

Adalah Raden Mas Soedirdjo Tjokrosisworo, seorang wartawan harian Soeara Oemoem,
Surabaya sebagai pencetus pertama diselenggarakannya Kongres Bahasa Indonesia I di
Indonesia.

Kongres ini dilaksanakan di Solo pada tanggal 25—27 Junii 1938, 10 tahun setelah Sumpah
Pemuda diikrarkan. Gagasannya ini dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa waktu itu bahasa
Indonesia belum dipakai secara luas dan tidak adanya pedoman yang baik bagi para pemakai
bahasa. Bahasa Indonesia dianggap masih belum teratur sehingga perlu adanya satu forum yang
mampu mengatur bahasa Indonesia atas dasar kesepakatan bersama.

Kongres yang diketuai Prof. Dr. Poerbatjaraka dan beberapa anggota antara lain Mr. Amir
Syariffudin, Katja Sungkana Sumanang, dan Mr. Muhammad Syah menghadirkan para
pembicara yang merupakan tokoh-tokoh nasional waktu itu, seperti Sanusi Pane, Ki Hadjar
Dewantara, H.B. Perdi, Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Muh. Yamin, Soekardjo Wirjopranoto, St.
Takdir Alisyahbana, K. St. Pamoentjak, dan M. Tabrani.

 Kongres Indonesia II

Berkobarnya semangat meraih kemerdekaan dari bangsa penjajah dan usaha-usaha persiapan
untuk memproklamasikan kemerdekaan menyebabkan tidak terlaksananya kongres lanjutan.

Bahkan, setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan
memosisikan bahasa Indonesia pada kedudukan yang terhormat yakni sebagai bahasa negara
seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36, kongres bahasa
Indonesia lanjutan belum juga terlaksana.

5
Kurang lebih 9 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah melalui Jawatan
Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan memrakarsai Kongres
Bahasa Indonesia II, yang dilaksanakan di Medan pada 28 Oktober-2 November 1954.

Pembukaan Kongres Bahasa Indonesia II ini diresmikan langsung oleh Presiden I Republik
Indoensia Ir. Soekarno dan dihadiri 302 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Kongres ini juga dihadiri peserta yang berasal dari negara asing seperti Tanah Semenanjung,
Belanda, Perancis, dan India.

Pada Kongres II yang diketuai Sudarsana ini, para peserta dibagi atas 5 seksi yakni (1) Seksi
A: Tata Bahasa dan Ejaan, (2) Seksi B: Bahasa Indonesia dalam Perundang-undangan, (3) Seksi
C: Bahasa Indonesia dalam Kuliah dan Pengetahuan serta Kamus Etimologi Indonesia, (4) Seksi
D: Bahasa Indonesia dalam Film, (5) Seksi E: Bahasa Indonesia dalam Pers. Materi diskusi yang
diajukan juga lebih luas.

 Kongres Bahasa Indonesia III

Seiring peringatan Hari ke-50 Sumpah Pemuda, Kongres Bahasa Indonesia digelar lagi di
Jakarta pada 28 Oktober—3 November 1978.

Tujuan Kongres Bahasa Indonesia III ini adalah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional (sesuai dengan semangat dan isi Sumpah
Pemuda tahun 1928) maupun sebagai bahasa negara (sesuai dengan UUD 1945, Bab V, Pasal
36).

Pada kongres kali ini, berbagai masalah kebahasaan didiskusikan sekitar 419 peserta dari
dalam dan luar negeri. Pembahasan kemudian dikelompokkan ke dalam 3 kelompok besar yakni

a) fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana pemersatu bangsa Indonesia dan sarana
perhubungan antardaerah dan antarbudaya di Indonesia,
b) fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana pemerintahan dan ketahanan nasional, sebagai
unsur pendidikan dan pengajaran, sebagai sarana pendukung pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan sebagai sarana komunikasi, dan
c) pembinaan dan pengembangan bahasa daerah.

Kongres Bahasa Indonesia III yang diketuai Amran Halim ini akhirnya merekomendasikan
beberapa kesimpulan antara lain:

1) pembinaan dan pengembangan bahasa Indoensia dalam kaitannya dengan


kebijaksanaan kebudayaan, keagamaan, sosial, politik, dan ketahan nasional,
2) pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang
pendidikan,

6
3) pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang
komonikasi,
4) pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang
kesenian,
5) pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bidang
linguistik,
6) pembinaan dan pengembangan bahasa Indoensia dalam kaitannya dengan bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi.

 Kongres Bahasa Indonesia IV

Kongres-kongres Bahasa Indonesia selanjutnya dilaksanakan terencana setiap 5 tahun sekali.


Pada Kongres Bahasa Indonesia IV yang diselenggarakan di Jakarta pada 21—26 November
1983, jumlah peserta mencapai 485 orang yang umumnya berasal dari perguruan tinggi dalam
dan luar negeri. Kongres ini diketuai Prof. Dr. Amran Halim dan dibantu beberapa anggota
panitia lainnya termasuk A. Latief, M.A. sebagai Wakil Ketua.

Kongres Bahasa Indonesia IV ini membahas tidak hanya permasalahan yang terkait
kebahasaan, tetapi juga kesastraan dalam hubungannya dengan pelaksanaan pembangunan
nasional serta kaitannya dengan komunikasi massa dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.

Kongres ini juga ditujukan untuk untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
sebagai sarana komunikasi pemerintahan, sarana pengembangan kebudayaan, sarana pendidikan
dan pengajaran, dan sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

 Kongres Bahasa Indonesia V

Seiring peringatan Hari ke-60 Sumpah Pemuda, Kongres Bahasa Indonesia V digelar di
Jakarta pada 28 Oktober—3 November 1988. Kongres ini bertujuan memantapkan bahasa
Indonesia sehubungan dengan perannya untuk memperlancar usaha pencerdasan bangsa, sebagai
jembatan untuk mencapai kesejahteraan sosial yang adil dan merata.

Kongres yang diikuti 819 peserta ini mengusung tema ”Menjunjung Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Persatuan dalam Konteks Pembangunan Nasional”. Kongres ini juga mengangkat tiga
subtema yakni

a) ”Peningkatan Mutu dan Peran Bahasa Indonesia Memperlancar Usaha Pencerdasan


Bangsa,
b) Bahasa Indonesia Merupakan Sarana Pemantapkan Pembangunan Ketahanan Nasional,

7
c) Kemampuan Berbahasa Merupakan Jembatan Menuju Kesejahteraan yang Adil dan
Merata.

 Kongres Bahasa Indonesia VI

Kongres Bahasa Indonesia VI diselenggarakan pada 28 Oktober sampai dengan 2 November


1993, di Hotel Indonesia Jakarta. Kongres yang diketuai Dr. Hasan Alwi ini membahas lima
masalah terkait kebahasaan dan kesastraan. Masalah itu meliputi:

a) Peran Bahasa dan Sastra dalam Pembangunan Bangsa (11 judul),


b) Pengembangan Bahasa dan Sastra (8 judul),
c) Pembinaan Bahasa dan Sastra (8 judul),
d) Pengajaran Bahasa dan Sastra (2 judul), dan
e) Perkembangan Bahasa Indonesia di Luar Negeri (5 judul)

Di samping 770 peserta yang berasal dari seluruh Indonesia, kongres ini juga diikuti 52 peserta
dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, Jepang, Brunei Darussalam, Rusia, Jerman, Cina,
Korea Selatan, Malaysia, India, Hongkong, Italia, Singapura, Belanda, dll. Pada akhir kongres,
para peserta berhasil merumuskan delapan putusan umum dan lima putusan khusus, yakni:

a) Peran Bahasa dan Sastra dalam Pembangunan Bangsa (14 putusan),


b) Pengembangan Bahasa dan Sastra (12 putusan),
c) Pembinaan Bahasa dan Sastra (15 putusan),
d) Pengajaran Bahasa dan Sastra (7 putusan), dan
e) Perkembangan Bahasa Indonesia di Luar Negeri (6 putusan).

 Kongres Bahasa Indonesia VII

Seiring berkembangannya isu globalisasi, Kongres Bahasa Indonesia VII lebih memfokuskan
pada peran bahasa dan sastra dalam era globalisasi. Kongres yang diselenggarakan di Jakarta 26
—30 Oktober 1998 bertepatan peringatan 70 tahun Hari Sumpah Pemuda.

Kongres yang dihadiri 700 peserta dari dalam dan luar negeri ini mengusung tema “Pemantapan
Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan Bangsa dalam Era Globalisasi”.

Di samping itu, penyelenggara kongres ini juga menetapkan tiga subtema, yakni “Memperkukuh
Kedudukan Bahasa dalam Era Globalisasi”, Meningkatkan Mutu Bahasa sebagai Sarana
Komunikasi”, dan “Meningkatkan Daya Cipta dan Apresiasi Sastra. Keseluruhan masalah yang
dibahas dituangkan ke dalam kurang lebih 80 judul makalah. Kongres kali ini juga diiringi
dengan pelaksanaan pameran.

8
 Kongres Bahasa Indonesia VIII

Kongres Bahasa Indonesia VIII juga diselenggarakan di Jakarta pada 14—17 Oktober 2003, di
Hotel Indonesia. Pelaksanaan kongres ini dilatar belakangi oleh komitmen untuk memantapkan
posisi bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa dan alat pemersatu berbagai kelompok
etnis ke dalam satu kesatuan bangsa di tengah terjadinya berbagai perkembangan dan perubahan
di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai akibat bergulirnya gerakan reformasi yang
terjadi sejak 1998.

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru, dan lahirnya gerakan reformasi tentu saja mengubah tatanan
kehidupan yang awalnya serba sentralistik ke arah desentralistik yang secara langsung maupun
tidak langsung memengaruhi bidang kebahasaan dan kesastraan. Pada era reformasi, masalah
bahasa dan sastra Indonesia menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan masalah bahasa
dan sastra daerah menjadi urusan pemerintah daerah.

Sesuai perkembangannya, kongres kali ini mengusung tema “Pemberdayaan Bahasa Indonesia
Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa dalam Era Globalisasi” yang dijabarkan ke dalam tiga
pokok bahasan dengan cakupan sebagai berikut.

1. Bahasa
a. Pemantapan peran bahasa Indonesia dalam menghadapi budaya global
b. Peningkatan mutu bahasa Indonesia dalam memanfaatkan perkembangan ilmu
dan teknologi informasi
c. Peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia dalam upaya memantapkan
kesadaran berbangsa
d. Peningkatan mutu pendidikan bahasa Indonesia dalam membangun kehidupan
masyarakat madani
e. Perkembangan pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (BIPA)
f. Peningkatan mutu pengajaran bahasa asing di Indonesia
g. Pemantapan peran bahasa daerah dalam memperkukuh ketahanan budaya bangsa.

2. Sastra
a. Pemantapan peran sastra Indonesia dalam menghadapi budaya global
b. Peningkatan mutu karya sastra Indonesia dalam kaitannya dengan pemanfaatan
ilmu dan teknologi informasi
c. Peningkatan apresiasi sastra Indonesia dalam upaya memantapkan kesadaran
bangsa
d. Peningkatan mutu pendidikan sastra Indonesia dalam membangun kehidupan
masyarakat madani
e. Pemantapan peran sastra daerah dalam memperkukuh ketahanan budaya bangsa.

9
3. Media Massa
a. Peran media massa dalam meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia dan
penyebaran hasil pengembangan bahasa
b. Peran media massa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penggunaan
bahasa Indonesia yang baik
c. Dampak pemakaian bahasa Indonesia dalam media massa terhadap dunia
pendidikan
d. Peran media massa dalam memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi sastra
e. Peran media massa di daerah dalam memelihara bahasa dan budaya daerah.

Kongres Bahasa Indonesia VIII ini diikuti sekitar 1.000 orang yang terdiri atas peserta
undangan dan peserta biasa meliputi tokoh masyarakat, pakar, sastrawan, budayawan, pejabat
pemerintah, peminat bahasa dan sastra, serta wakil organisasi profesi dari dalam dan luar negeri
Di samping mendiskusikan 80 makalah terkait kebahasaan dan kesastraan, panitia kongres juga
menyelenggarakan Pameran dan Pentas Seni.

Pada pameran ini ditampilkan beberapa materi meliputi:

a) dokumen tertulis salinan makalah atau guntingan surat kabar dari penyaji utama Kongres
Bahasa Indonesia I—VII,
b) terbitan (buku) tentang kebahasaan dan kesastraan di Indonesia,
c) poster/foto kegiatan pertemuan nasional/internasional kebahasaan dan kesasastraan,
d) slogan kampanye penggunaan bahasa Indonesia dan pemasyarakatan sastra,
e) peta bahasa dan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia; dan sistem informasi kebahasaan.

4. CARA PENYERAPAN BAHASA ASING KE DALAM BAHASA


INDONESIA

 Proses Penyerapan Bahasa Asing ke dalam Bahasa Indonesia

Proses penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia dapat dipertimbangkan jika salah
satu syarat di bawah ini terpenuhi, yaitu:

1) Istilah serapan yang dipilih cocok konotasinya.


2) Istilah yang dipilih lebih singkat dibandingkan dengan terjemahan Indonesianya.
3) Istilah serapan yang dipilih dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah
Indonesia terlalu banyak sinonimnya.

1
 Kata serapan masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan empat cara:
1) Adopsi
Pemakai bahasa mengambil bentuk dan makna kata asing itu secara keseluruhan.
Contoh: supermarket, plaza, mall.
2) Adaptasi
Pemakai bahasa hanya mengambil makna kata asing itu, sedangkan ejaan atau
penulisannya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia. Contoh: "Pluralization"
menjadi "pluralisasi".
3) Penerjemahan
Pemakai bahasa mengambil konsep yang terkandung dalam bahasa asing itu, lalu kata
tersebut dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Contohnya: "Try out" menjadi "uji
coba".
4) Kreasi
Pemakai bahasa hanya mengambil konsep dasar yang ada dalam bahasa Indonesia. Cara
ini mirip dengan cara penerjemahan, tetapi tidak menuntut bentuk fisik yang mirip
seperti cara penerjemahan. Misal, kata dalam bahasa aslinya ditulis dalam dua atau tiga
kata, sedangkan dalam bahasa Indonesianya hanya ditulis satu kata. Contoh: "Spare
parts" menjadi "suku cadang".

 Kata Serapan sebagai Bagian Perkembangan Bahasa Indonesia

Kata serapan lumrah terjadi antar bahasa. Proses serap-menyerap kata terjadi setiap kali ada
kontak bahasa melalui pemakainya. Bunyi bahasa dan kosa kata merupakan unsur bahasa yang
bersifat terbuka/mudah menerima pengaruh sehingga dalam kontak bahasa proses serap-
menyerap unsur asing akan terjadi. Hal ini terjadi bisa dikarenakan adanya kebutuhan dan
kemampuan seseorang yang kurang memahami bahasa sendiri. Dalam proses penyerapan
bahasa, pasti akan timbul perubahan-perubahan. Sebab, tidak ada proses penyerapan yang terjadi
secara utuh. Proses penyerapan terjadi dengan beberapa penyesuaian, baik dalam ejaan antar
bahasa maupun ucapan.

Dalam hal kosakata, bahasa Indonesia telah banyak menyerap unsur-unsur asing. Beberapa
kosakata bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh bahasa asing, seperti bahasa Belanda, bahasa
Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Sanskerta. Unsur-unsur bahasa asing ini masuk ke Indonesia
ketika bangsa Indonesia mengalami kontak budaya dengan bangsa asing. Unsur-unsur asing telah
menambah sejumlah besar kata ke dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya perkembangan
bahasa ini, maka muncullah masalah-masalah kebahasaan. Misalnya, adanya kosakata yang
diserap secara utuh dan dengan penyesuaian-penyesuaian, yang ternyata tidak lepas dari
permasalahan analogi dan anomali bahasa.

Perspektif Analogi dan Anomali Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia

1
1. Perspektif Analogi

Analogi adalah keteraturan bahasa. Satuan bahasa dikatakan analogis bila satuan tersebut
sesuai dengan konvensi-konvensi yang berlaku. Perubahan/penyesuaian yang terjadi dalam kata
serapan dapat diketahui dengan membandingkan kata-kata sebelum masuk ke dalam bahasa
Indonesia dan setelah masuk ke dalam bahasa Indonesia.

Akan tetapi, kata serapan yang dikaitkan dengan analogi bahasa dilakukan dengan
membandingkan unsur-unsur intern bahasa penerima pengaruh itu sendiri. Artinya, untuk
mengetahui bahwa kata tersebut benar-benar kata serapan, maka perlu dilihat aslinya tanpa harus
mengetahui proses perubahan/penyesuaian. Hal yang perlu diingat adalah bagaimana keadaan
kata tersebut setelah masuk ke dalam bahasa Indonesia -- sistem fonologi, sistem ejaan, dan
struktur bahasa.

a) Analogi dalam Sistem Fonologi

Banyak kata serapan yang sesuai dengan sistem dalam bahasa Indonesia, baik melalui proses
penyesuaian atau tanpa proses penyesuaian.

Contoh:
Aksi - action (Inggris)
Derajat - darrajat
(Arab)

Jika dikaitkan dengan kenyataan historis, fonem /kh/ dan /sy/ diakui sebagai fonem lazim
dalam sistem fonologi bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994:15).
Namun, bila diselidiki lebih teliti secara historis, kedua fonem ini bukan fonem asli Indonesia.
Semua kata yang menggunakan fonem /kh/ dan /sy/ masih bisa dilacak aslinya berasal dari
bahasa Arab.

Jika fonem /kh/ dan /sy/ bukan asli Indonesia, maka pada awal munculnya dalam bahasa
Indonesia bisa dianggap sebagai gejala penyimpangan/anomalis. Namun, setelah berlangsung
lama, disertai frekuensi penggunaannya yang tinggi, maka dianggap sebagai gejala yang
analogis. Fonem-fonem lain yang merupakan fonem serapan adalah /f/, /q/, /v/, dan /x/.

b) Analogi dalam Sistem Ejaan

Sistem ejaan berhubungan dengan pembakuan. Pembakuan didasarkan pada Ejaan Yang
Disempurnakan. Ada pembahasan khusus tentang penulisan unsur serapan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994:38). Menurut taraf integrasinya, unsur pinjaman ke dalam
bahasa lndonesia dibagi menjadi (1) unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam
bahasa Indonesia. Contoh: reshuffle. (2) Unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya
disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia -- merupakan analogi bahasa. Contoh: Sentral -
central.

1
2. Perspektif Anomali

Anomali adalah penyimpangan/ketidakteraturan bahasa. Satuan bahasa dikatakan anomalis bila


tidak sesuai/menyimpang dengan konvensi-konvensi yang berlaku.

Untuk menentukan anomali bahasa pada kata-kata serapan dalam bahasa Indonesia, kita bisa
menggunakan cara memperbandingkan unsur intern dari bahasa penerima pengaruh, suatu kata
yang tampak sebagai kata serapan dibandingkan atau dilihat dengan kaidah yang berlaku dalam
bahasa Indonesia. Apabila kata tersebut tidak memiliki kesesuaian dengan kaidah yang berlaku,
maka kata tersebut termasuk anomalis. Kata-kata yang anomalis bisa dalam bentuk fonologi,
ejaan, ataupun struktur.

a) Anomali dalam Sistem Fonologi

Munculnya anomali dalam fonologi terjadi karena adanya kata asing yang diserap secara utuh
ke dalam bahasa Indonesia, tanpa mengalami perubahan penulisan dan bisa dibaca seperti
aslinya. Contoh: Export asalnya export; Exodus asalnya exodus.

b) Anomali dalam Sistem Ejaan

Semua kata asing yang secara utuh diserap ke dalam bahasa Indonesia, tanpa melalui
penyesuaian dengan kaidah di dalam penulisan. Contoh: Bank - bank (Inggris); jum'at - jum'at
(Arab).

Selain itu, terdapat pula kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan ditulis
sebagaimana aslinya. Jika termasuk dalam gejala anomalis, kata-kata tersebut tidak menyimpang
dari kaidah dalam bahasa Indonesia. Contoh: era - era (Inggris); formal - formal (Inggris).

c) Anomali dalam Struktur

Struktur yang dimaksud adalah struktur kata. Kata bisa terdiri dari satu morfem, bisa juga
tersusun dari dua morfem atau lebih.

Kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia bisa terdiri dari satu morfem, dua
morfem atau lebih. Misalnya: federalisme - federalism (Inggris); bilingual - bilingual (Inggris);
eksploitasi - exploitation (Inggris).

Proses penyerapan untuk kata-kata tersebut dilakukan secara utuh sebagai satu satuan.
Contohnya, kata "Federalisme" tidak diserap secara terpisah yaitu "Federal" dan "isme".

Kata serapan dari bahasa Inggris yang memiliki akhiran "tion", diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi berakhiran "si" karena mengalami penyesuaian. Ternyata hal ini
memunculkan masalah kebahasaan, yaitu munculnya akhiran "sasi" yang melekat pada kata-kata
yang tidak berasal dari bahasa Inggris, seperti: islamisasi - islam + sasi; kristenisasi - kristen +
sasi

1
Dalam linguistik, proses pembentukan ini disebut "anologi". Istilah anologis wajar digunakan
karena menggunakan bentuk yang sesuai dengan bentuk yang telah ada. Maksudnya,
penggunaan struktur neonisasi didasarkan pada kata "mekanisasi" dan sejenisnya yang telah ada.

Akhiran "sasi" dalam bahasa Indonesia termasuk gejala anomali bahasa. Mengapa? Karena
jika kita bandingkan dengan kaidah gramatikal, khususnya berkaitan dengan struktur morfologi
kata, akhiran (sasi) di dalam bahasa Indonesia tidak ada. Hal ini berpotensi memunculkan
permasalahan baru, yaitu masalah pengakuan dari para pakar yang memiliki legalitas di dalam
bahasa. Akhiran (sasi) merupakan gejala anomali apabila akhiran "sasi" dianggap tidak resmi
dalam bahasa Indonesia. Namun, jika akhiran "sasi" bisa diterima sebagai akhiran dalam bahasa
Indonesia, maka ada perubahan dari anomali menjadi anologi. Proses penyerapan seperti ini juga
terjadi pada bahasa Arab. Contoh: insani - insani; duniawi - dunyawi.

5. CIRI-CIRI KHUSUS BAHASA INDONESIA


Secara historis, bahasa Indonesia memiliki akar yang kuat dari bahasa Melayu. Seiring
berjalannya waktu, bahasa kita ini pun diperkaya dengan serapan-serapan dari bahasa lainnya.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa sembilan dari sepuluh kata dalam bahasa Indonesia diambil dari
bahasa asing. Bahasa kita sudah melewati banyak fase perubahan ejaan, mulai dari Ejaan Van
Ophuijsen (1901), Ejaan Soewandi atau Republik (1947), dan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan atau EYD (1972). Pada 2015, lahirlah Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
yang ditandai dengan terbitnya Permendikbud 50/2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia.

Perkembangan ejaan hanyalah satu aspek dalam suatu fenomena kebahasaan. Banyak
perkembangan lainnya yang terjadi, baik yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau murni lahir
dari kebiasaan masyarakat. Namun, dari perjalanan panjang tersebut, kita bisa melihat beberapa
pola yang konsisten dalam perkembangan bahasa Indonesia. Barangkali, pola-pola tersebut
dapat berdiri sebagai ciri bahasa Indonesia.

1. Imbuhan

Bahasa Indonesia memiliki kesederhanaan dalam pembentukan kata. Dalam kata kerja
misalnya, untuk mengubah sebuah kata dasar menjadi kata kerja tidak harus mengubah struktur
kata tersebut secara drastis. Kita hanya perlu menambahkan imbuhan (afiks) dan kata tersebut
akan memberikan makna yang berbeda. Contohnya adalah kata sapu. Untuk mengubah kata
benda ini menjadi sebuah aktivitas, kita hanya perlu menambahkan prefiks me- atau di- demi
membentuk kata menyapu dan disapu.

Dalam bahasa Indonesia, imbuhan memegang peranan yang penting pada pola pembentukan
kata. Kita punya me-, di-, te-, be-, pe-, misalnya, sebagai imbuhan awal atau prefiks. Sebagai

1
imbuhan akhir atau sufiks, kita punya -i, -an, dan -kan. Kemudian, sebagai sisipan, ada pula
imbuhan infiks seperti -el- dan -em- pada kata selidik dan gemetar.

2. Tanpa Kala, Plural, dan Gender

Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia tidak memiliki ciri khusus untuk
menandakan kala atau tense. Dalam kalimat, kita menggunakan kata pelengkap lain untuk
menjelaskan kejadian yang sudah berlalu. Kemudian, bahasa Indonesia juga tidak memiliki
memiliki unsur penanda makna plural seperti fungsi /s/ dalam akhir kata pada bahasa Inggris.
Lebih lanjut lagi, bahasa kita tidak memiliki penanda gender seperti dalam bahasa Jerman atau
Arab.

3. Tanpa Perbedaan Nada

Dalam bahasa Mandarin dan Vietnam, misalnya, perubahan nada saat berbicara bisa mengubah
arti dari sesuatu yang ingin disampaikan. Hal tersebut tidak terjadi secara eksplisit pada bahasa
Indonesia. Biasanya, kita memakai penekanan tertentu—bukan nada—untuk menyampaikan
pertanyaan atau perintah. Terkadang, penekanan tersebut juga bisa menandakan amarah.

4. Konsistensi Pelafalan

Pelafalan dalam bahasa Indonesia biasanya konsisten dengan apa yang tertulis. Kita hanya
perlu mempelajari pelafalan setiap huruf. Tidak perlu repot-repot, bukalah KBBI baik daring
maupun luring. Di sana ada tanda diakritik yang bisa memandu kita untuk
mengucapkan e dalam enak dan entah.

Saya tidak bilang bahwa bahasa Indonesia selalu 100% konsisten dalam menggunakan pola-
pola tersebut. Namun, dapat dibilang hingga saat ini, empat poin di atas cukup bisa menjelaskan
permukaan bahasa Indonesia. Peran imbuhan; ketiadaan penanda kala, makna plural, dan ciri
gender; ketiadaan nada dalam membentuk makna denotatif; dan konsistensi pelafalan
merupakan sebagian ciri dari perjalanan panjang bahasa Indonesia.

1
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Gorys Keraf (2004 : 1), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Dari sudut
pandang linguistik,bahasa Indonesia adalah sebuah variasi dari bahasa Melayu. Dalam hal ini
dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau, tetapi telah mengalami perkembangan akibat
penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan pada awal abadke-20. Sampai saat
ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup dan terus berkembang dengan pengayaan
kosa kata baru, baik melalui penciptaan maupun melalui penyerapan dari bahasa daerah dan
bahasa asing.

 Kongres Indonesia I

Adalah Raden Mas Soedirdjo Tjokrosisworo, seorang wartawan harian Soeara Oemoem,
Surabaya sebagai pencetus pertama diselenggarakannya Kongres Bahasa Indonesia I di
Indonesia.

Kongres ini dilaksanakan di Solo pada tanggal 25—27 Junii 1938, 10 tahun setelah Sumpah
Pemuda diikrarkan.

 Kongres Indonesia II

Berkobarnya semangat meraih kemerdekaan dari bangsa penjajah dan usaha-usaha persiapan
untuk memproklamasikan kemerdekaan menyebabkan tidak terlaksananya kongres lanjutan.

Bahkan, setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945

 Kongres Bahasa Indonesia III

Seiring peringatan Hari ke-50 Sumpah Pemuda, Kongres Bahasa Indonesia digelar lagi di
Jakarta pada 28 Oktober—3 November 1978.

Tujuan Kongres Bahasa Indonesia III ini adalah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional (sesuai dengan semangat dan isi Sumpah
Pemuda tahun 1928) maupun sebagai bahasa negara (sesuai dengan UUD 1945, Bab V, Pasal
36).

1
 Kongres Bahasa Indonesia IV

Kongres-kongres Bahasa Indonesia selanjutnya dilaksanakan terencana setiap 5 tahun sekali.


Pada Kongres Bahasa Indonesia IV yang diselenggarakan di Jakarta pada 21—26 November
1983, jumlah peserta mencapai 485 orang yang umumnya berasal dari perguruan tinggi dalam
dan luar negeri.

 Kongres Bahasa Indonesia V

Seiring peringatan Hari ke-60 Sumpah Pemuda, Kongres Bahasa Indonesia V digelar di Jakarta
pada 28 Oktober—3 November 1988. Kongres ini bertujuan memantapkan bahasa Indonesia

 Kongres Bahasa Indonesia VI

Kongres Bahasa Indonesia VI diselenggarakan pada 28 Oktober sampai dengan 2 November


1993, di Hotel Indonesia Jakarta.

 Kongres Bahasa Indonesia VII

Seiring berkembangannya isu globalisasi, Kongres Bahasa Indonesia VII lebih memfokuskan
pada peran bahasa dan sastra dalam era globalisasi. Kongres yang diselenggarakan di Jakarta 26
—30 Oktober 1998 bertepatan peringatan 70 tahun Hari Sumpah Pemuda.

 Kongres Bahasa Indonesia VIII

Kongres Bahasa Indonesia VIII juga diselenggarakan di Jakarta pada 14—17 Oktober 2003, di
Hotel Indonesia. Pelaksanaan kongres ini dilatar belakangi oleh komitmen untuk memantapkan
posisi bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa dan alat pemersatu berbagai kelompok
etnis ke dalam satu kesatuan bangsa di tengah terjadinya berbagai perkembangan dan perubahan
di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai akibat bergulirnya gerakan reformasi yang
terjadi sejak 1998.

 Proses Penyerapan Bahasa Asing ke dalam Bahasa Indonesia


1. Adopsi
2. Adaptasi
3. Penerjemahan
4. Kreasi

Ciri-ciri Bahasa Indonesia:

1. Imbuhan
2. Tanpa Kala, Plural, dan Gender
3. Tanpa Perbedaan Nada
4. Konsistensi Pelafalan

1
B. Saran

Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan bnayak terimakasih kepada semua pihak
yang ikut andil dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik selalu kami tunggu dan kami
perhatikan.

1
DAFTAR PUSTAKA

Lanin, Ivan. 2020. “Perbedaan antara EYD dan EBI“. Diakses pada 27 Oktober 2020.

Sriyanto. 2014. Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Ejaan. Jakarta.

Teguh, Irfan. 2020. “Ejaan yang Disempurnakan & Sejarah Pembakuan Bahasa Indonesia“.
Diakses pada 27 Oktober 2020.

Aminuddin, M.Pd. 2001. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru

Pamungkas, 2001 Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD).
Surabaya: Giri Surya

Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga

Samsyuddin, A.R. 2003. Dalam buku Mendamba Indonesia yang Literat. Bandung: Rizqy Offset

Anda mungkin juga menyukai