Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PRAGMATIK

“BAHASA DAN KONTEKS SOSIAL”

Oleh : KELOMPOK 2

Annissa
Elvani
Irene Ketrin
Jutia Larasati
Nurul Fadila Harahap
Salwa Fadhillah Ilmi
Siti Rahmadhani Siregar

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN, 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Bahasa dan Konteks Sosial”. Makalah ini dibuat dalam rangka
melengkapi tugas mata kuliah “Pragmatik”. Melalui makalah ini, kami akan
memaparkan hasil dari tugas yang telah kami buat.
Ucapan terima kasih kami kepada rekan-rekan yang telah
membacadanmengkritikhasilmakalah yang telah saya buatini.Tak lupa ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dr. M. Oky Ferdian Gafari, S. Sos.,
M. Hum. selaku dosen pengampu yang telah memberikan banyak pelajaran,arahan
danbimbingandalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini baik
dari segi informasi, materi, maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, saran
dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun. Besar harapan saya,
makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku penulis dan bagi pembaca
umumnya.

Medan, September 2019

Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi
yang dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa sendiri digunakan untuk
berkomunikasi antar sesama untuk menyampaikan suatu aspirasi, gagasan atau
pikiran dalam masyarakat. Tanpa adanya bahasa, manusia sebagai makhluk sosial
akan sulit untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Tentu kita ketahui bahwa di Indonesia memiliki berbagai macam bahasa
yang berbeda sesuai dengan wilayah yang ada. Dari wilayah Sabang sampai
Merauke jika kita jelajahi secara langsung, pasti jarang ada yang menggunakan
bahasa yang sama kecuali bahasa Nasional negara kita, namun jika kita temukan
didalam pedalaman wilayah di negara kita, pasti ada suku yang tidak mengetahui
bahasa nasional karena telah terbiasa menggunakan bahasa penghantar di
wilayahnya tersebut.
Dalam penggunaan bahasa itu sendiri, ada penempatan dalam berbahasa
sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Maka tak jarang di kota-kota besar
sekalipun, seseorang yang berbahasa sesuai dengan konteks sosial yang ada.
Dalam bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada
golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang
kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan
sebagainya. Karena kita ketahui bahwa, ada dua aspek yang mendasar dalam
pengertian masyarakat. Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota suatu
masyarakat hidup dan berusaha bersama secara berkelompok-kelompok. Aspek
yang kedua ialah bahwa anggota-anggota dan kelompok-kelompok masyarakat
dapat hidup bersama karena ada suatu perangkat hukum dan adat kebiasaan yang
mengatur kegiatan dan tindak laku mereka, ter masuk tindak laku berbahasa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis dapat
merumuskan masalah :
1. Apa yang dimaksud Bahasa?
2. Bagaimana hakikat bahasa?
3. Bagaimana bahasa dalam konteks sosial?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
pragmatik.
2. Untuk mengetahui pengertian bahasa dan hakikat bahasa.
3. Tujuan khususnya untuk mengetahui bahasa dan konteks sosial dalam
masyarakat luas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bahasa
1. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-
alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai
alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. (KBBI. 1990: 66) Bahasa
adalah alat untuk berkomunikasi, bahasa merupakan rangkaian bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar, dan bahwa bahasa diatur dalam
suatu sistem. Sebagai alat untuk berkomunikasi, bahasa harus mampu
menampung perasaan dan pikiran pemakainya, serta mampu menimbulkan adanya
saling mengerti antara penutur dengan pendengarnya atau antara penulis dengan
pembacanya (Santoso, 1990: 1-2). Bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. bahasa
adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi
ujaran) yang bersifat arbitrer (Keraf dalam Smarapradhipa, 2005:1).
Definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared
combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols
(bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem
konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang
dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan) (Owen
dalam Setiawan, 2006:1).
Kesimpulan dari hasil pemaparan para ahli diatas adalah bahwa bahasa
merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan konvensional yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia, diatur dalam suatu sistem yang bertujuan untuk
menyampaikan konsep pemikiran manusia.

2. Hakikat Bahasa
Arti kata 'hakikat' bila merujuk pada KBBI memiliki pengertian intisari atau
dasar. Hakikat bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendasar dari bahasa.
Sedangkan, hakikat bahasa menurut Chaer (2004:33) sama pengertiannya dengan
ciri atau sifat hakiki terhadap bahasa yang merupakan hakikat bahasa itu, antara
lain adalah Bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbiter,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Berikut ciri-cirinya menurut
Alwasilah (1993: 82-89) yang disebut dengan hakikat bahasa, sebagaimana akan
dijelaskan dalam uraian berikut ini:
a. Bahasa bersifat sistematik
b. Bahasa bersifat manasuka (arbitrer)
c. Bahasa bersifat vokal
d. Bahasa bersifat simbol
e. Bahasa mengacu pada dirinya
f. Bahasa bersifat manusiawi
g. Bahasa bersifat komunikasi
3. Fungsi Bahasa
Chaer (2004: 15-17) seperti yang dikemukakan bahwa bahasa dapat berfungsi
sebagai berikut :
a) Dilihat dari segi penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi.
Maksudnya si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya,
si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga
memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal
ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah,
atau gembira.
b) Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi
direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Disini bahasa itu tidak
hanya membuat pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan
sesuai dengan yang dimau si pembicara. Hal ini dapat dilakukan penutur
dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah,
himbauan, permintaan, maupun rayuan.

B. Konteks Sosial
Istilah konteks pertama kali diperkenalkan oleh Malinowski (1923: 307)
dengan sebutan konteks situasi. Ia merumuskan konteks situasi seperti di bawah
ini.Exactlyas in the reality of spoken or written languages, a word without
linguistic context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the
reality of spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context
situation.
Sejalan dengan pendapat Malinowski, Firth (Brown dan Yule, 1996) juga
menyinggung konteks situasi untuk memahami sebuah ujaran. Menurut Firth,
konteks situasi bagi pekerjaan linguistik menghubungkan tiga kategori, yaitu:
a. Ciri-ciri yang relevan dari para peserta: orang-orang, kepribadian-
kepribadian.
(i) Perbuatan verbal para peserta
(ii) Perbuatan nonverbal para peserta
b. Tujuan-tujuan yang relevan.
c. Akibat perbuatan verbal.
Konteks situasi yang dikenalkan oleh Malinowski dan Firth ini lalu
dikembangkan lagi oleh Hymes (1974) yang menghubungkan dengan situasi tutur.
Dalam situasi tutur tersebut, terdapat delapan komponen tutur yang disingkat
menjadi SPEAKING. Kedelapan komponen tutur itu dapat mempengaruhi tuturan
seseorang. Delapan komponen tutur itu meliputi latar fisik dan latar psikologis
(setting and scene), peserta tutur (partisipants), tujuan tutur (ends), urutan tindak
(acts), nada tutur (keys), saluran tutur (instruments), norma tutur (norms), dan
jenis tutur (genres).
Leech (1983) memerikan konteks sebagai salah satu komponen dalam
situasi tutur. Menurut Leech, konteks didefinisikan sebagai aspek-aspek yang
berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Leech menambahkan
dalam definisinya tentang konteks yaitu sebagai suatu pengetahuan latar belakang
yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan petutur dan konteks ini membantu
petutur menafsirkan atau menginterpretasi maksud tuturan penutur.
Levinson (1983:5) mengemukakan konteks dari definisi Carnap yaitu istilah
yang dipahami yang mencakup identitas partisipan, parameter ruang dan waktu
dalam situasi tutur, dan kepercayaan, pengetahuan serta maksud partisipan di
dalam situasi tutur. Selanjutnya Levinson (1983: 22-23) menjelaskan bahwa untuk
mengetahui sebuah konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual
sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka dan
pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistik yang berhubungan
dengan produksi dan penafsiran tuturan. Untuk mengetahui ciri-ciri konteks,
Levinson mengambil pendapat Lyon yang membuat daftar prinsip-prinsip
universal logika dan pemakaian bahasa, yaitu seperti di bawah ini.
(i) Pengetahuan ihwal aturan dan status (aturan meliputi aturan dalam situasi
tutur seperti penutur atau petutur, dan aturan sosial, sedangkan status
meliputi nosi kerelativan kedudukan sosial).
(ii) Pengetahuan ihwal lokasi spasial dan temporal
(iii) Pengetahuan ihwal tingkat formalitas
(iv) Pengetahuan ihwal medium (kira-kira kode atau gaya pada sebuah saluran,
seperti perbedaan antara variasi bahasa tulis dan lisan)
(v) Pengetahuan ihwal ketepatan sesuatu yang dibahas.
(vi) Pengetahuan ihwal ketepatan bidang wewenang (atau penentuan domain
register sebuah bahasa).
Kemudian, Ochs (Levinson, 1983: 23) menyatakan bahwa tidaklah mudah
mendefinisikan jangkauan konteks. Menurutnya, seseorang mempertimbangkan
aspek sosial dan psikologis pemakai bahasa yang menjalankan setiap waktu. Hal
seperti itu adalah jangkauan minimal. Selain itu, jangkauan konteks juga meliputi
kepercayaan dan asumsi ihwal latar sosial, temporal dan spasial; tindakan atau
perbuatan yang lebih dulu, perbuatan terus-menerus, dan perbuatan yang akan
dating (baik verbal maupun nonverbal), dan pernyataan ihwal pengetahuan dan
perhatian terhadap partisipasi dalam interaksi sosial. Jadi, Lyon dan Ochs
menekankan bahwa konteks tidak harus dipahami dengan meniadakan ciri-ciri
linguistik. Levinson menambahkan bahwa konteks juga meliputi partisipan,
tempat tuturan dengan rangkaian tuturan yang membangun sebuah wacana.
Pendapat lain dikemukakan oleh Hamblin yang menafsirkan konteks
sebagai keunikan yang dimiliki penutur dalam arti janji yang tercatat (Gazdar:
1976). Van Dijk (Levinson, 1983) menambahkan bahwa konteks ditafsirkan
sebagai situasi kompleks, sebagaimana situasi ihwal pasangan yang berurutan
dimana situasi awal menyebabkan situasi kedua. Situasi pertama adalah produksi
tuturan yang diujarkan penutur, sedangkan situasi yang kedua merupakan tafsir
tuturan oleh petutur. Senada dengan pendapat Dijk, Verschueren (1999)
menjelaskan bahwa dalam pemakaian bahasa terdapat unsur penutur dan petutur.
Penutur bertugas membuat tuturan, sedangkan petutur menafsirkan tuturan
penutur. Ihwal konteks, Verschueren mengaitan dengan dunia psikologis, sosial,
dan fisik, saluran linguistik, dan konteks linguistik. Ihwal definisinya, konteks
adalah hasil dari proses pembangkitan yang meliputi apakah yang ada di luar sana
dan mobilisasi atau pengerahan (dan kadang-kadang berupa manipulasi) oleh
pengguna bahasa.
Schiffrin (1994) memerikan konteks dalam bukunya Approach to Discourse
dalam satu bab tersendiri. Pemerian konteks ia hubungkan dengan nosi teks.
Dalam bukunya tersebut, Schiffrin membahas konteks dalam kaitannya dengan
berbagai teori, yaitu teori tindak tutur, pragmatik, sosiolinguistik interaksional,
dan etnografi komunikasi. Teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks
sebagai pengetahuan (berhubungan dalam linguistik maupun dalam kompetensi
komunikasi), sedangkan sosiolinguistik interaksional dan etnografi komunikasi
memandang konteks sebagai situasi (termasuk pengetahuan “di sini dan saat ini”)
dan pengetahuan ihwal bentuk-bentuk umum situasi.
Yule (1996) membahas konteks dalam kaitannya dengan kemampuan
seseorang untuk mengidentifikasi referen-referan yang bergantung pada satu atau
lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan
penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan
sebagai lingkungan fisik dimana sebuah kata dipergunakan. Koteks menurut Yule
adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah ekspresi atau
ungkapan. Koteks adalah bagian linguistik dalam lingkungan tempat sebuah
ekspresi dipergunakan.
Mey (2001) berpendapat bahwa konteks itu penting dalam pembahasan
ketaksaan bahasa lisan atau tulis. Mey mendefiniskan konteks sebagai konsep
dinamis dan bukan konsep statis, yang harus dipahami sebagai lingkungan yang
senantiasa berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi
dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat
dimengerti. Konteks berorientasi pada pengguna sehingga konteks dapat disangka
berbeda dari satu pengguna ke pengguna lain, dari satu kelompok pengguna ke
kelompok pengguna lain, dan dari satu bahasa ke bahasa lain. Mey menambahkan
konteks lebih dari sekedar referen namun sebuah perbuatan/tindakan. Konteks
adalah perihal pemahaman untuk apakah sesuatu itu. Konteks juga memberikan
arti pragmatik yang sebenarnya dan membolehkan arti pragmatik yang sebenarnya
menjadi tindak pragmatik yang sebenarnya. Konteks menjadi lebih penting tidak
hanya untuk menilai referen dan implikatur yang pantas, tetapi juga dalam
hubungan dengan isu pragmatik lainnya seperti tindak pragmatik dan
praanggapan. Ciri konteks lain adalah fenomena register. Dengan register, petutur
memahami bentuk-bentuk linguistik yang dipergunakan penutur untuk menandai
sikap mereka terhadap mitra wicaranya.
Yan Huang (2007: 13-14) membicarakan konteks dalam kaitannya dengan
nosi dasar semantik dan pragmatik. Menurut Huang, konteks dipergunakan secara
luas dalam kepustakaan linguistik, namun sulit untuk memberikan definisi yang
tepat. Konteks dalam arti luas mungkin diartikan sebagai pengacuan terhadap ciri-
ciri yang relevan dari latar yang dinamis atau dalam lingkungan tempat unit
linguistik dipergunakan secara sistematis. Selanjutnya, konteks disusun atas tiga
jenis, yaitu konteks fisik, konteks linguistik, dan konteks pengetahuan umum.
Konteks pengetahuan umum meliputi sejumlah asumsi latar belakang yang
dimiliki bersama antara penutur dan petutur. Konteks pengetahuan umum ini oleh
Stanlaker (Yuang, 2007: 14) disebut latar umum (common ground). Konteks
pengetahuan umum juga dikenal dengan istilah latar belakang, arti umum,
ensiklopedipengetahuan, konteks pengetahuan dunia nyata.
Joan Cutting (2008) menjelaskan konteks bersamaan dengan teks dan
fungsi. Ketiga aspek tersebut dikaji oleh pragmatik dan analisis wacana. Konteks
menurut Cutting adalah pengetahuan ihwal dunia fisik dan sosial serta faktor-
faktor sosio-psikologis yangmempengaruhi komunikasi sebagaimanapengetahuan
waktu dan tempat di dalam kata-kata yang dituturkan atau dituliskan.
Konteks merupakan pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan
petutur. Cutting membagi konteks menjadi tiga macam, yaitu konteks situasional,
konteks pengetahuan latar, dan koteks. Konteks situasional berkaitan dengan
situasi tempat interaksi tuturan, apakah penutur mengetahui ihwal apa yang dapat
mereka lihat di sekelilingnya. Konteks pengetahuan latar berkaitan dengan apakah
penutur dan petutur saling mengetahui ihwal budaya dan interpersonal. Budaya
adalah pengetahuan umum yang dibawa oleh kebanyakan orang dalam pikirannya,
seperti tempat tinggal. Interpersonal berhubungan dengan pengetahuan khusus
dan kemungkinan pribadi ihwal sejarah penutur itu sendiri. Koteks merujuk pada
konteks sebuah teks itu sendiri.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan
konvensional yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, diatur dalam suatu
sistem yang bertujuan untuk menyampaikan konsep pemikiran
manusia.hakikat bahasa menurut Chaer (2004:33) sama pengertiannya dengan
ciri atau sifat hakiki terhadap bahasa yang merupakan hakikat bahasa itu,
antara lain adalah Bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat
arbiter, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
Ochs (Levinson, 1983: 23) menyatakan bahwa tidaklah mudah
mendefinisikan jangkauan konteks. Menurutnya, seseorang
mempertimbangkan aspek sosial dan psikologis pemakai bahasa yang
menjalankan setiap waktu.Konteks merupakan pengetahuan yang dimiliki
bersama oleh penutur dan petutur. Cutting membagi konteks menjadi tiga
macam, yaitu konteks situasional, konteks pengetahuan latar, dan koteks.
Konteks situasional berkaitan dengan situasi tempat interaksi tuturan, apakah
penutur mengetahui ihwal apa yang dapat mereka lihat di sekelilingnya.
Konteks pengetahuan latar berkaitan dengan apakah penutur dan petutur saling
mengetahui ihwal budaya dan interpersonal.

B. Saran
Makalah tentang bahasa dan konteks sosial bisa menjadi salah satu
sumber untuk memgetahui tentang bagaimana bahasa dan konteks sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA

Balai Pustaka. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus
Besar. Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Smarapradhipa, Galih. 2005. Bertutur Dengan Tulisan.
Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik suatu Pengantar. Bandung: Angkasa
Abdul Chaer. 2004. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Cutting, Joan. (2008). Pragmatics and Discourse. London: Roudtledge.

Gazdar, Gerald. (1979). Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical


Form. New York: Academic Press.

Huang, Yan. (2007). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Hymes, Dell. (1974). Foundation in Sociolinguistics. Philadelphia: University of


Pennsylvania Press.

Leech, Geoffrey. (1983). The Priciples of Pragmatics. New York: Longman


Group Limited.

Levinson, S. C. (1983). Pragmatics Cambridge: Canbridge University Press.

Scchiffrin, Deborah. (1994). Approach to Discourse. Massachusetts: Blackwell


Publishers.

Verschueren, Jef. (1999). Understanding Pragmatics. London: Arnold.

Yule, George. (1996). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai