Anda di halaman 1dari 12

RIVIEW BUKU SOSIOLINGUISTIK

Review dibuat untuk Memenuhi Tugas UAS

Mata Kuliah Sosiolinguistik

Dosen Pengampu: Dr. H.Zamakhsari, M.Pd.

Dibuat oleh:

Khairul Abdillah Harahap (19104020009)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2022
Identitas Buku :
Judul Buku : Sosiolinguistik Perkenalan Awal
Pengarang : Abdul Chaer dan Leonie Agustina
Tahun Terbit : 2010 (edisi revisi)
Kota Terbit : Jakarta
Penerbit : Rineka Cipta
Tebal Buku : ix + 268 halaman
Cover : Soft
ISBN : 978-079-518-647-2
Ukuran : 15,5 x 23,5 cm
Kertas Isi : HVS
Ringkasan buku :
BAB 1 PENDAHULUAN
Sosiolinguistik merupakan gabungan dari dua disiplin keilmuan;
sosiologi dan lingustik. Tujuan dari sosiolinguistik sendiri untuk
memecahkan dan mengatasi masalah-masalah dalam masyarakat,
khususnya dalam kebahasaan. Baik secara mikrolinguistik maupun
makrolinguistik. De saussure (1916) menyatakan, bahasa adalah satu
lembaga kemsyarakatan, yang sama dengan kemasyarakatan lain, seperti
perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya. Oleh karena
itu, masyarakat sendiri sebagai pelaku dalam bahasa memberikan warna
tersendiri, bahkan memunculkan ragam bahasa pada bahasa itu sendiri.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa sosiolinguistik dapat didefinisikan;
1. Sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai bahasa, serta hubungan
antara para bahasawan dengan ciri dan fungsi variasi bahasa itu di dalam
suatu masyarakat bahasa ( Kridalaksana 1978: 94)
2.  Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan (Nababan 1984:2)
Tahun 1964 diadakan konferensi pertama sosiolinguistik yang
diadakan di University of california, Los Angeles. Dari pertemuan itu di
temukan 7 dimensi masalah dalam sosiolinguistik.
 Identitas sosial dari penutur
 Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
 Lingkungan sosial tempat peristiea tutur tejadi
 Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial
 Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk ujaran
 Tingkat variasi dan ragam linguistik   
 Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Ketujuh bagian di atas sangat urgen untuk di ketahui sebelum
memasaki bagian-bagian lain dalam linguistik.
 
BAB 2 KOMUNIKASI BAHASA
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di bentuk oleh
komponen-kompenen yang berpola secara tetap dan dapat di kaidahkan.
Namun, sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga
bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun
menurut pola tertentu, tidak secara tersusun secara acak atau sembarangan.
Sedangkan sistemis artinya sistem bahasa itu bukan meruapakan sebuah
sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem mprfologi,
subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon..
Dalam konsep sisolinguistik, bahasa adalah alat, berfungsi untuk
menyampaikan pikiran, lebih luasnya (Fishman: 1973) fungsi bahasa dapat
dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat
pembicaraan.
1. Dari sudut penutur bahasa bersifat pribadi, si penutur menyatakan sikap
terhadap apa yang dituturkannya.
2. Dari sudut pendengar, bahasa bersifat rediktif(mengatur tingkah laku
pendengar) yaitu si pendengar melakukan kegiatan sesuai dengan yang
dimaui si pembicara.
3. Dilihat dari sudut topik ujaran, bahasa sebagai refsensial maksudnya untuk
membicarakan objek peristiwa yang terjadi di sekeliling penutur.
4. Sedangkan bahasa dari kode yang digunakan berfungsi metalinguistik,
yakni bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri., seperti
masalah ekonomi, politik, dsb.
5. Dan yang terakhir bahasa dari segi amanat, untuk menyampaikan pikiran,
gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya atau yang sekedar imajinasi.
Sebagai mana yang kita ketahui, bahasa merupakan alat untuk
berkomunikasi. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi anatara
individual melalui simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum.
 
BAB 3 BAHASA DAN MASYARAKAT
Bahasa hidup dalam lingkungan masyarakat sebagai alat
komunikasi. Demikikan pula bahasa yang hidup dalam masyarakat
mempunyia ragam yang berbeda, dan tentunya bahasa manusia
mempunyia keistimewaan-keistimewaan yang telah kita kaji.
Bahasa dalam masyakat itu sendiri sebagai tutur. Namun disini
harus kita kaji bahasa dan tutur. Menurut Ferdinand de Saussure (1916)
membedakan antara yang disebut langage,
langue, dan parole. Langagedapat di padankan dengan istilah bahasa,
digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal.
Langage bersifat abstrak. Langue. Langue  merupakan sebuah sistem
lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat
tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanaya.
Jadi langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang
digunakan oleh sekelompok anggota tertentu. Langue  juga bersifat
abstrak, sebab langage maupun langue adalah sistem pola, keturunan, atau
kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Sedangkan parole bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan
dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para
anggota masyarakat di dalam berinteraksi dan berkomuniasi sesamanya.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu
sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan
pada tempat tertentu. Tetapi sebagai langue meskipun bahasa itu memiliki
ciri ke unversalan, tapi terbatas pada masyarakat tertentu. Suatu
masyarakat tertentu memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri,
saling mengerti (mutual intelligible)
 
BAB 4 PERISTIWA TUTUR DAN TIDAK TUTUR
Dalam setiap proses komunikasi terjailah peristiwa tutur dan tindak
tutur dalam satu situasi tutur. Yang dimaksud dengan peristiwa tutur
adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau
lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Seperti
yang terjadi dalam keadaan sehari-hari; proses tawar menawar dipasar,
rapat di gedung dewan, dsb.  Dell Hymes (1972) suatu peristiwa tutur
harus memenuhi delapan komponen, kedelapan komponen itu adalah:
1. Setting and scene. Setting Berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu,
atau psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, situasu tutur yang berbeda
dapat menyebankan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
2.   Participants. Pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara,
dan pendengar, penyapa, pesapa, atau pengirim, dan penerima (pesan).
3. Ends,merujuk pada maksud dan tujuan.
4.  Act sequence. Mengacu pada bentuk dan ujaran.
5. Key. Mengacu pada nada, cara, semangat dimana suatu pesan
disampaikan: dengan senang hati, serius, singkat, dsb.
6.  Instrumentalities. Mengacu pada jalur bahasa yang digunaka, seperti jalur
lisan dan tulisan.
7. Norm of Interaciton and interpretation, mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Seperti cara beriterupsi, bertanya.
8. Genre, mengacu pada jenis bentuk dan penyampaian. Seperti narasi, puisi,
pepatah, dsb.
.
  
 BAB 5 PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA
Kridalaksana (1972) mendefenisikan sosiolinguistik sebgai cabang
linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri dan variasi bahasa dan
menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial
masyarakat.
Sebagai bahasa langue sebuah bahasa mempunyai sostem dan
subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun
karena karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam bahasa tutur,
tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa
yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu
menjadi beragam dab bervariasi. Selain karena penutur yang tidak
homogen, juga disebabkan karena kegiatan interaksi sosial yang mereka
lakukan sangat beragam.
Terdapat dua pandangan dalam ragam bahasa:
1. Ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial pebutur
bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu.
2.  Ragam bashasa sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat
interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Kedua ragam bahasa ini dapat diaflikasikan berdasarkan adanya
keragaman sosial dan fungsi kegiatan berdasarkan adanya keragaman dan
fungsi kegiatan dalam masyarakat sosial.
Hartman dan stork (1972) membedakan variasi berdasarkan kriteria:
 Latar belakang geografi dan soisal penutur.
 Medium yang digunakan
 Pokok pembicaraan.
Mudahnya untuk memahami ragam bahasa pertama kita bedakan
berdasarkan penutur dan penggunaannya.
Yang dapat kita analisi dari penutur bahasa adalah berdasarkan
idiolek,  yaitu variasi bahasa yang berdifat perseorangan. Dalam hal ini
penutur bahasa mempunyai bahasanya masing-masing; warna, pilihan
kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb.dan yang paling dominan adalah
warna suara. Kita akan dengan mudah mengenali seseorang hanya dengan
suaranya saja, jika suara itu adalah suara temen akrab.
 
BAB 6. BILINGUALISME DAN DIGLOSIA
Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan secara sosiolinguistik
diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962: 12,
Fishman 1975: 73). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut
orang bilingual(dwibahasaan), kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas. Selain itu ada istilah multilingualisme
(keanekabahasaan) yaitu keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh
seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Menurut Bloomfield dalam bukunya Language(1933:56) bilingual adalah
kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama
baiknya. Pendapat Bloomfield banyak mendapat kritikan,
karena pertama: bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari
seorang penutur terhadap dua buah bahasa yang
digunakannya, kedua: mungkinkah ada seorang penutur yang dapat
menggunakan B2nya sama baik dengan B1nya. Batasan Bloomfield ini
banyak dimodifikasi orang. Lobert Lado (1964: 214) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang
dengan sama baik atau hamper sama baiknya, yang secara teknis mengacu
pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Haugen
(1961) “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Seorang
bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi
cukup kalau bisa memahaminya saja dan mempelajari bahasa kedua,
apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh
terhadap bahasa aslinya.” Diebold (1968: 10) menyebutkan adanya
bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilingualism) yaitu
bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang
sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini
bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah.
Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar
bilingualisme.
Dari uraian di atas, bilingualisme merupakan satu rentangan
berjenjang mulai menguasai B1 ditambah tahu sedikit akan B2,
dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang meningkat, hingga menguasainya
dengan baik. Halliday (Fishman 1968: 141)
menyebutnya ambilingual, Oksaar (Sebeok 1972: 481) ekuilingual, oleh
Diebold (Hymes 1964: 496) koordinat bilingual.
Berarti yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme itu
sangat luas, mulai dari pengertian langue, seperti bahasa Sunda dan
Madura, sampai berupa dialek  seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan
bahasa Jawa dialek Surabaya.

BAB 7 ALIH KOD DAN CAMPUR KODE


Appel (1976:79) mendifinisikan alih kode sebagai, “gejala
peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Conoto, ketika
Amin dan Udin berbicara dengan basaha Sunda (Sebagai bahasa ibu)
ketika datang Monti yang asalnya orang Surabaya secara otomatis bahasa
yang digunakan mereka berubah kedalam bahsa Indonesia.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar
bahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya
terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau
gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Seperti ketika Amin dan Udin
beralih bahasa ke bahasa Indonesia santai ketika datang Monti. Kemudian
mereka menggunakan bahasa Indonesia resmi ketika mengikuti Kuliah.
Penyebab-penyebab alih kode secara umum adalah:
1. Penutur
2. Pendengar
3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
4. Perubahan dari formal ke nonformal
5. Perubahan topik pembicaraan
Selain alih kode, pembahasan selanjutnya adalah Campur code.
Pembicaraan alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai
campur kode. Kedua peristiwa yang laim terjadi dalam masyarakat yang
bilinggual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkalo sukar
dibedakan. Kesamaa yang ada antara alih kode dan campur kode adalah
digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa
dalam satu masyarakat tutur.
Thelander (1976; 103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode
dan campur kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi
peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka
peristiwa yang terjadi adalah laih kode. Tetapi apabila didalam suatu
peristiwa tutur, klausa-kalusa campuran dan masing-masing klausa atau
frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang
selanjutnya, memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan dari
campur kode ke alih kode.
Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan
capur kode dan alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau
frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetpai apabila
satu kalusa disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka
peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
 
 BAB 8 INTERFERENSI DAN INTEGRASI
Interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubung dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang
dilakukan pleh penutur yang billinggual.
Integrasi (1968) menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur-unsur
bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah
menjadi warga bahasa tersebut. Penerimaan unusr bahasa lain dalam
bahasa tertentu sampain menjadi berprestatus integrasi memerlukan waktu
dan tahap yang relatip panjang. Dalam bahasa Indonesia pada awalnya
tampak banyak dilakukan secara audial, artinya mula-mula penutur
Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur
aslinya. Lalu mencoba nenggunakannya. Apa yang didengar oleh telinga
itu yang diujarkan dan apa yang dituliskan. Pada tahap berikutnya,
terutama setelah pemerintah mengeluarkan Pedoman Umum pembentukan
Istilah. Umpama kata System menjadi Sistem, Phonem menjadi fonem,
dsb.
Penyerapan unsur asign itu sendiri dalam rangka pengembangan
bahasa Indonesia bukan hanya melalui penyerapan kata asing itu yang
isertai degan penyesuaian lafal dan ejaan. Pun demikian banyak pula yang
penggunakan dua dara. 1. Penerjemahan Langsung. 2. Penerjemahan
konsep.
 
 BAB 9 PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN BAHASA
(Wardhaught 1990:189) terjadinya perubahan bahasa itu tidak
dapat diamati, sebab perubahan itu, yang sudah menjadi sifat hakiki
bahasa, berlangsung dalam waktu yang relatif lama, sehingga tidak
mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu relatif
terbatas. Namun yang dapt ita ketahui adalah bukti adanya perubahan itu
sendiri, walau hanya terbatas pada bahasa yang tertulis. Di Indonesia
sendiri kita menjumpai perubahan bahasa Melayu kedalam bahasa
Indonesia.
Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan
kaidah , entah kaidahnya itu di revisi, kaidahnya menghilang, atau
munculnya kaidah baru;
1. fonologi, bidang dl linguistik yg menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya
2. morfologi, cabang linguistik tt morfem dan kombinasinya
3. sintaksis, cabang linguistik tt susunan kalimat dan bagiannya; ilmu tata
kalimat
4. semantik, ilmu tt makna kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-
beluk dan pergeseran arti kata
5.  maupun leksikon, komponen bahasa yg memuat semua informasi tt
makna dan pemakaian kata dl bahasa.
Adapun pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan
bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi
sebagai akibat perpindahan dari suatu masyarakat tutur ke masyarkat tutur
yang lainnya. Seperti dua orang mahasiswa berasal dari Sumatera Utara
yang kulaih di Malang. Ketika mereka berbicara mereka menggunaan
bahasa ibu (Mandailing) namun karena mereka berada di lingkungan
bahasa jawa, akhirnya mereka berusaha untuk berusaha berinteraksi
dengan lingkungan dengan bahasa Indonesia dan bahasa jawa. Lama
kelamaan akhirnya mereka berbicara dengan bahasa Indonesia dan
menggunaan basaha jawa, hingga mereka meinggalkan bahasa
Sumateranya. Inilah yang dinamakan pergeseran bahasa.

BAB 10 SIKAP BAHASA DAN PEMILIHAN BAHASA


Untuk dapat memahami apa yang dinamakan sikap bahasa terlebih
haruslah dijelaskan apa itu sikap. Dalam bahasa Indonesia cenderung pada
bentuk tubuh, posisi berdiri tegap, dll. Namun sesungguhnya sikap itu
adalah reaksi kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk
tindakan prilaku. Anderson (1974:37) membagi sikap atas dua macam,
yaitu; sikap kebahasaan dan nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap
sosial, sikap skeptis dan sikap keagamaan. Sikap bahasa adalah tata
keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai
bahasa, mengenani objek bahasa, yang memberikan kecenderungan
kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya.
Namun perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif juga negatif.
Umpamanya, sampai akhir tahun lima puluhan masih banyak golongan
intelektual di Indonesia yang masih bersikaf negatif pada bahasa Indonesia
di samping mereka yang sangat bersikap posotif.
Pembahasan pemilihan bahasa dapat kita mulai dengan pendapat
Fasold (1984) hal pertama yang terbayang ketika memikirkan bahasa
adalah “bahasa keseluruhan” dimana kita membayangkan seseorang dalam
masyarakat bilinggual dan multilingual berbicara dua jenis bahasa atau
lebih harus memilih yang mana yang harus digunakan. Dalam hal ini ada
tiga pilihan yang dapat dilakukan, yaitu: 
1. dengan alih kode. 
2. dengan melakukan campur kode, dan ketiga dengan memilih satu variasi
bahasa yang sama.
 
BAB 11 BAHASA DAN KEBUDAYAAN
Kalau kita perhatikan buku-buku antropologi atau tentang
kebudayaan, maka kita akan mendapati berbagai definisi mengenai
kebudayaan yang sang berbeda, dan kesimpulannya dianggap benar.
Berdasarkan sifat definisi defini kebudayaan dikelompokan pada enam:
1. Definisi yang deskdriptif, yaitu defini yang menekankan pada unsur-unsur
kebudayaan.
2.  Defini yang historis, defini yang menekankan bahwa kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif. Definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai
atauran hidup dan tingkah laku.
4. Defini yang psikologis, uaitu definisi yang menekankan pada kegunaan
kebudayaan dalam penyusuaian diri kepada lingukangan, pemecahan
persoalan, dan belajar hidup
5.  Defini yang strutural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan
sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur
6. Definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Simpulnya kebudayaan melingkupi semua aspek dari segi
kehidupan manusia. Sedangkan hubungan antara kebudayaan dan bahasa
adalah hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada dibawah
lingkup kebudayaan. Pendapat lain menyatakan kebudayaan dan bahasa
mempuyai hubungan koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambous (1985) menyebutkan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang mengatur interaksi
manusia dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang
berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
 
 BAB 12 PERENCANAAN BAHASA
Dinegara-negara multilingual, multirasial dan multikultural, untuk
menjamin kelangsungan komunikasi kebangsaan perlu dilakukan suatu
perencanaan bahasa yang tentunya harus dimulai dengan kebijaksanaan
bahasa. Kebijaksaan bahasa dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan
kenseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan
perencanaa, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai
sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang
dihadapi oleh suatu kebangsaan secara nasional ( Halim 1976). Tujuan
kenijaksanaa bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan
dan komunikasi dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan
emosional yang dapat menggangu stabilitas bangsa. Kebijaksanaan untuk
mengangkat satu bahasa tertentu sebagai bahasa nasianal dan sekaligus
sebagai bahasa negara; atau mengangkat satu bahasa nasional dan
mengangkat satu bahasa lain sebagai bahasa negara boleh saja dilakukan
asalkan tidak membuat bahasa-bahasa lain yang ada didalam negri merasa
tersisih, atau membuat penuturnya merasa resah, yang pada gilirannya
menjadikan gejolak politik dan sosial.
Dari pembicaraan diatas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa
merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan
menetapkan dengan tepat funsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang
ada di negara tersebut, agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat
berlangsung dengan baik..
Di Indonesia lembaga dala perencaan dan pengembangan bahasa
dimulai dengan berdirinya commisie voor de volksletuur yang didirikan
pemerintah kolonial belanda pada tahun 1908 dan kemudian pada tahun
1917 menjadi balai pustaka. Sasaran perencanaan bahasa yaitu: 1.
Pembinaan dam pengembangan bahasa yang direncanakan. 2. Khalayak di
dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan menggunakan
saran yang diusulkan dan ditetapkan.
Kalau sasarannya adalah bahasa, atau korpus bahasa maka sasaran
itu menjadi bermacam-maca, antara lain: pengembangan sandi bahasa
dibidang pengaksaraan, peristilahan, pemekaran ragam wacana,
dsb.  Kalau sasaran perencanaan itu adalah khalayak masyarakat, maka
perencanaan itu, antara lain, dapat diarahkan kepada golongan penutur asli
atau bukan penutur asli, kepada yang masih sekolah, guru, dsb.
 
BAB 13 PEMBAKUAN BAHASA
Tentu kita mengetahui bahasa baku dan non baku. Yang disebut
bahasa baku adalah salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi)
yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan
tolak ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi resmi,
baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa baku sama halnya dengan bahsa
resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan,
termasuk pendidikan, dalam buku peljaran, undang-undang, dsb.
Simpunya bahasa baku (Halim: 1980) mengatakan bahwa bahasa baku
adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga
masyarakat pemakainya sebagai ragam resmi dan sebagai kerangka
rujukan norma bahasa dan penggunaannya. Sedangkan ragam bahasa tidak
baku adalah ragam bahasa yang tidak dilembagakan dan tidak ditandai
oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma-norma bahasa baku.
Fungsi bahasa baku (Gravin dan Mathiot (1956: 785-787)
mempunyai fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu: 
1. Fungsi pemersatu 
2. Fungsi pemisah 
3. Funsi harga diri 
4. Fungsi kerangka acuan.
(Moeliono (1975:2) mengatakan, bahwa oada umumnya yang
layak dianggap baku ialah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan
masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar
kewibawaannya. Ada pula dasar dan kriteria lainnya sepert: 
1. Otoriras 
2. Bahasa penulis-penulis terkenal 
3. Demokrasi 
4. Logika 
5. Bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat. 
Maka untuk mewujudkan semua itu harus ada pemeran yang
berkontribusi; pendidikan, industri buku, perpustakaan, administrasi
negara, media massa, tenaga, penelitian.
 
Penilaian Buku :
Kelebihan :
1. Menunjukkan berbagai ragam bahasa dari berbagai wilayah, sehingga
tidak menimbulkan kesalahpahaman.
2. Buku ini secara terperinci menjelaskan apa itu bahasa, apa fungsi bahasa,
bagaimana proses penggunaan terutama dalam kehidupan masyarakat luas.
3. Pembahasan materi jelas dan lugas membuat pembaca mudah untuk
memahaminya
Kekurangan :
1. Kurangnya contoh-contoh yang real dalam kehidupan sehari hari.
2. Perlu adanya perubahan atau modifikasi paada bgian cover agar terlihat
lebih menarik.

Anda mungkin juga menyukai