Dibuat oleh:
2022
Identitas Buku :
Judul Buku : Sosiolinguistik Perkenalan Awal
Pengarang : Abdul Chaer dan Leonie Agustina
Tahun Terbit : 2010 (edisi revisi)
Kota Terbit : Jakarta
Penerbit : Rineka Cipta
Tebal Buku : ix + 268 halaman
Cover : Soft
ISBN : 978-079-518-647-2
Ukuran : 15,5 x 23,5 cm
Kertas Isi : HVS
Ringkasan buku :
BAB 1 PENDAHULUAN
Sosiolinguistik merupakan gabungan dari dua disiplin keilmuan;
sosiologi dan lingustik. Tujuan dari sosiolinguistik sendiri untuk
memecahkan dan mengatasi masalah-masalah dalam masyarakat,
khususnya dalam kebahasaan. Baik secara mikrolinguistik maupun
makrolinguistik. De saussure (1916) menyatakan, bahasa adalah satu
lembaga kemsyarakatan, yang sama dengan kemasyarakatan lain, seperti
perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya. Oleh karena
itu, masyarakat sendiri sebagai pelaku dalam bahasa memberikan warna
tersendiri, bahkan memunculkan ragam bahasa pada bahasa itu sendiri.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa sosiolinguistik dapat didefinisikan;
1. Sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai bahasa, serta hubungan
antara para bahasawan dengan ciri dan fungsi variasi bahasa itu di dalam
suatu masyarakat bahasa ( Kridalaksana 1978: 94)
2. Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan (Nababan 1984:2)
Tahun 1964 diadakan konferensi pertama sosiolinguistik yang
diadakan di University of california, Los Angeles. Dari pertemuan itu di
temukan 7 dimensi masalah dalam sosiolinguistik.
Identitas sosial dari penutur
Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
Lingkungan sosial tempat peristiea tutur tejadi
Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk ujaran
Tingkat variasi dan ragam linguistik
Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Ketujuh bagian di atas sangat urgen untuk di ketahui sebelum
memasaki bagian-bagian lain dalam linguistik.
BAB 2 KOMUNIKASI BAHASA
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di bentuk oleh
komponen-kompenen yang berpola secara tetap dan dapat di kaidahkan.
Namun, sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga
bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun
menurut pola tertentu, tidak secara tersusun secara acak atau sembarangan.
Sedangkan sistemis artinya sistem bahasa itu bukan meruapakan sebuah
sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem mprfologi,
subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon..
Dalam konsep sisolinguistik, bahasa adalah alat, berfungsi untuk
menyampaikan pikiran, lebih luasnya (Fishman: 1973) fungsi bahasa dapat
dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat
pembicaraan.
1. Dari sudut penutur bahasa bersifat pribadi, si penutur menyatakan sikap
terhadap apa yang dituturkannya.
2. Dari sudut pendengar, bahasa bersifat rediktif(mengatur tingkah laku
pendengar) yaitu si pendengar melakukan kegiatan sesuai dengan yang
dimaui si pembicara.
3. Dilihat dari sudut topik ujaran, bahasa sebagai refsensial maksudnya untuk
membicarakan objek peristiwa yang terjadi di sekeliling penutur.
4. Sedangkan bahasa dari kode yang digunakan berfungsi metalinguistik,
yakni bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri., seperti
masalah ekonomi, politik, dsb.
5. Dan yang terakhir bahasa dari segi amanat, untuk menyampaikan pikiran,
gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya atau yang sekedar imajinasi.
Sebagai mana yang kita ketahui, bahasa merupakan alat untuk
berkomunikasi. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi anatara
individual melalui simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum.
BAB 3 BAHASA DAN MASYARAKAT
Bahasa hidup dalam lingkungan masyarakat sebagai alat
komunikasi. Demikikan pula bahasa yang hidup dalam masyarakat
mempunyia ragam yang berbeda, dan tentunya bahasa manusia
mempunyia keistimewaan-keistimewaan yang telah kita kaji.
Bahasa dalam masyakat itu sendiri sebagai tutur. Namun disini
harus kita kaji bahasa dan tutur. Menurut Ferdinand de Saussure (1916)
membedakan antara yang disebut langage,
langue, dan parole. Langagedapat di padankan dengan istilah bahasa,
digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal.
Langage bersifat abstrak. Langue. Langue merupakan sebuah sistem
lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat
tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanaya.
Jadi langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang
digunakan oleh sekelompok anggota tertentu. Langue juga bersifat
abstrak, sebab langage maupun langue adalah sistem pola, keturunan, atau
kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Sedangkan parole bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan
dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para
anggota masyarakat di dalam berinteraksi dan berkomuniasi sesamanya.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu
sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan
pada tempat tertentu. Tetapi sebagai langue meskipun bahasa itu memiliki
ciri ke unversalan, tapi terbatas pada masyarakat tertentu. Suatu
masyarakat tertentu memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri,
saling mengerti (mutual intelligible)
BAB 4 PERISTIWA TUTUR DAN TIDAK TUTUR
Dalam setiap proses komunikasi terjailah peristiwa tutur dan tindak
tutur dalam satu situasi tutur. Yang dimaksud dengan peristiwa tutur
adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau
lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Seperti
yang terjadi dalam keadaan sehari-hari; proses tawar menawar dipasar,
rapat di gedung dewan, dsb. Dell Hymes (1972) suatu peristiwa tutur
harus memenuhi delapan komponen, kedelapan komponen itu adalah:
1. Setting and scene. Setting Berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu,
atau psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, situasu tutur yang berbeda
dapat menyebankan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
2. Participants. Pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara,
dan pendengar, penyapa, pesapa, atau pengirim, dan penerima (pesan).
3. Ends,merujuk pada maksud dan tujuan.
4. Act sequence. Mengacu pada bentuk dan ujaran.
5. Key. Mengacu pada nada, cara, semangat dimana suatu pesan
disampaikan: dengan senang hati, serius, singkat, dsb.
6. Instrumentalities. Mengacu pada jalur bahasa yang digunaka, seperti jalur
lisan dan tulisan.
7. Norm of Interaciton and interpretation, mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Seperti cara beriterupsi, bertanya.
8. Genre, mengacu pada jenis bentuk dan penyampaian. Seperti narasi, puisi,
pepatah, dsb.
.
BAB 5 PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA
Kridalaksana (1972) mendefenisikan sosiolinguistik sebgai cabang
linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri dan variasi bahasa dan
menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial
masyarakat.
Sebagai bahasa langue sebuah bahasa mempunyai sostem dan
subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun
karena karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam bahasa tutur,
tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa
yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu
menjadi beragam dab bervariasi. Selain karena penutur yang tidak
homogen, juga disebabkan karena kegiatan interaksi sosial yang mereka
lakukan sangat beragam.
Terdapat dua pandangan dalam ragam bahasa:
1. Ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial pebutur
bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu.
2. Ragam bashasa sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat
interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Kedua ragam bahasa ini dapat diaflikasikan berdasarkan adanya
keragaman sosial dan fungsi kegiatan berdasarkan adanya keragaman dan
fungsi kegiatan dalam masyarakat sosial.
Hartman dan stork (1972) membedakan variasi berdasarkan kriteria:
Latar belakang geografi dan soisal penutur.
Medium yang digunakan
Pokok pembicaraan.
Mudahnya untuk memahami ragam bahasa pertama kita bedakan
berdasarkan penutur dan penggunaannya.
Yang dapat kita analisi dari penutur bahasa adalah berdasarkan
idiolek, yaitu variasi bahasa yang berdifat perseorangan. Dalam hal ini
penutur bahasa mempunyai bahasanya masing-masing; warna, pilihan
kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb.dan yang paling dominan adalah
warna suara. Kita akan dengan mudah mengenali seseorang hanya dengan
suaranya saja, jika suara itu adalah suara temen akrab.
BAB 6. BILINGUALISME DAN DIGLOSIA
Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan secara sosiolinguistik
diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962: 12,
Fishman 1975: 73). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut
orang bilingual(dwibahasaan), kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas. Selain itu ada istilah multilingualisme
(keanekabahasaan) yaitu keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh
seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Menurut Bloomfield dalam bukunya Language(1933:56) bilingual adalah
kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama
baiknya. Pendapat Bloomfield banyak mendapat kritikan,
karena pertama: bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari
seorang penutur terhadap dua buah bahasa yang
digunakannya, kedua: mungkinkah ada seorang penutur yang dapat
menggunakan B2nya sama baik dengan B1nya. Batasan Bloomfield ini
banyak dimodifikasi orang. Lobert Lado (1964: 214) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang
dengan sama baik atau hamper sama baiknya, yang secara teknis mengacu
pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Haugen
(1961) “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Seorang
bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi
cukup kalau bisa memahaminya saja dan mempelajari bahasa kedua,
apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh
terhadap bahasa aslinya.” Diebold (1968: 10) menyebutkan adanya
bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilingualism) yaitu
bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang
sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini
bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah.
Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar
bilingualisme.
Dari uraian di atas, bilingualisme merupakan satu rentangan
berjenjang mulai menguasai B1 ditambah tahu sedikit akan B2,
dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang meningkat, hingga menguasainya
dengan baik. Halliday (Fishman 1968: 141)
menyebutnya ambilingual, Oksaar (Sebeok 1972: 481) ekuilingual, oleh
Diebold (Hymes 1964: 496) koordinat bilingual.
Berarti yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme itu
sangat luas, mulai dari pengertian langue, seperti bahasa Sunda dan
Madura, sampai berupa dialek seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan
bahasa Jawa dialek Surabaya.