Anda di halaman 1dari 5

Nama : Intan Widiasari

Kelas : 7D
NPM : 032117089
Mata Kuliah : Sosiolinguistik
1. Rangkuman materi Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dam
masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi
penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami.
Di dalam Sosiolinguistik terdapat beberapa masalah penting yang merupakan masalah
bagi peneliti, yaitu (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar
yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur
terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian
sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan
variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
2. Pertemuan 2 : Komunikasi Bahasa
Hakikat bahasa : bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Ciri-ciri tersebut bahasa tersebut menjadi
indikator hakikat bahasa adalah menurut pandangan linguistik umum (general linguistics),
yang melihat bahasa sebagai bahasa. Sedangkan menurut pandangan sosiolinguistik
bahasa itu juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat
mengidentifikasikan diri. Fungsi bahasa dilihat dari sudut penutur bahwa bahasa itu
berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa
yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi
juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak
si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.
Sedangkan dari sudut pendengar bahwa bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah
laku pendengar yakni tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu tetapi juga
melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara.
3. Pertemuan 3 : Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Peristiwa tutur yaitu terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur ,
dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dell Hyms
(1972) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan
komponen, yaitu (1) speaking and scene, (2) participants, (3) ends : purpose and goal,
(4) act sequences, (5) key : tone or spirit of act, (6) instrumentalities, (7) norms of
interaction and interpretation, and (8) genres. Pendapat ini sejalan dengan Fishman
yaitu “who speak, what language, to whom, when, and what end.” Sedangkan
peristiwa tutur pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (speech
act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan.
Austin membagi tindak tutur performatif menjadi (1) tindak tutur lokusi (suatu
tindakan untuk menyatakan sesuatu, sebagai contoh “Ibu guru berkata kepada saya
agar saya membantunya”), (2) tindak tutur ilokusi (suatu tindakan dalam menyatakan
sesuatu, contoh “Ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat”), dan (3) tindak
perlokusi (suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu, contoh “Mungkin ibu
menderita penyakit jantung koroner” kata dokter).
Tindak tutur mencakup juga perihal deiksis, presuposisi, dan implikatur percakapan.
Deiksis yaitu hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan
referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Sedangkan
presuposisi yaitu makna atau informasi tambahan yang terdapat dalam ujaran yang
digunakan secara tersirat. Kemudian implikatur percakapan yaitu adanya keterkaitan
antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap,
keterkaitan ini tidak secara literal melainkan tersirat.
4. Pertemuan 4: Bahasa dan Masyarakat
Ferdinand de Saussure (1916) mengusung pendapat tentang bahasa yaitu adanya
bagian-bagian bahasa, antara lain langage, langue, dan parole. Dalam bahasa Prancis,
langage yaitu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi
dan berinteraksi secara verbal diantara sesamanya. Langue yaitu sistem lambang
bunyi tertentu yang digunakan sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sedangkan
parole yaitu bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat
di dalam kegiatan interaksi atau komunikasi sesamanya. Sebagai langage, bahasa
bersifat universal dan ketika sebagai langue maka keuniversalannya terbatas pada
suatu masyarakat tertentu.
Dalam berkomunikasi, adanya saling mengerti antara penduduk suatu wilayah tertentu
dengan penduduk wilayah yang lain dikarenakan adanya kesamaan sistem dan
subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) antara langue dan
parole yang mereka gunakan. Ketidaksamaan sistem dan subsistem menyebabkan
tidak terjadinya saling mengerti menandai adanya dua sistem langue yang berbeda.
Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur
ini biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repertoir dari orang itu.
Verbal repertoir secara kepemilikan dibagi dua, yaitu yang dimiliki setiap penutur
secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan.
Sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro adalah kajian yang
mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal antara para
penuturnya di dalam masyarakat. Sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik
makro adalah kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat. Masyarakat tutur yakni suatu
kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama
serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian
bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu. Dengan kata lain, masyarakat tutur
adalah kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan
bentuk-bentuk bahasa dan mereka merasa menggunakan tutur yang sama.
Bahasa dan tingkatan masyarakat tampak dalam bahasa-bahasa tertentu. Sebagai
contoh, dalam tingkatan masyarakat dibagi dalam beberapa kelas, kelas-kelas ini
memiliki bentuk bahasa tertentu, baik variasi, ragam atau dialek yang khas. Dalam
istilah bahasa jawa dikenal undak usuk yaitu variasi bahasa yang penggunaannya
didasarkan pada tingkat-tingkat sosial.
Bernstein menggagas Deficit Hypotesis. Teori ini membahas bahwa adan perbedaan
kode bahasa yang digunakan golongan rendah dan golongan menengah. Anak-anak
golongan menengah menggunakan variasi atau kode bahasa yang berbentuk lengkap
(Elaborated Code) di rumah, sedangkan anak-anak golongan buruh rendah dibesarkan
dalam lingkungan variasi bahasa yang terbatas, atau tidak termasuk lengkap
(restricted code).

5. Pertemuan 5 : Berbagai Variasi dan Jenis Bahasa


Keragaman atau kevariasian bahasa bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya
yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interajsu sosial yang dilakukan
sangat beragam. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut
digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.
Hartman dan Stork (1972) membedakan variasi berdasarkankriteria latar belakang
geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan, dan pokok pembicaraan.
Preston dan Shuy (1979) membagi variasi bahasa dalam penutur, interaksi, kode, dan
realisasi. Halliday (1970, 1990) membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai
yang disebut dialek dan pemakaian yang disebut register. Sedangkan Mc David
(1969) membagi variasi bahasa ini berdasarkan dimensi regional, dimensi sosial, dan
dimensi temporal. Variasi bahasa dari segi penutur diantaranya : idiolek, yaitu variasi
bahasa yang bersifat perseorangan bahwa setiap orang memiliki idoleknya masing-
masing.
dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, berada
pada suatu tempat, silayah, atau area tertentu.
kronelek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok
sosial pada masa tertentu.
Sosiolek atau dialek sosial, yaitu bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan
kelas sosial penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat,
golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang
variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan
ken.
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya
disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi bahasa berdasarkan bidang
pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang
apa. Misal, bidang jurnalistik, militer, pertanian, dll. Variasi bahasa dari segi
keformalan menurut Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi
variasi bahasa atas lima macam gaya (style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen),
gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam
santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). Variasi bahasa dari segi sarana
dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa
dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misal dalam telepon dan telegraf.
Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa
bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Jenis bahasa
dibagi dalam beberapa, diantaranya jenis bahasa berdasarkan sosiologis, sikap politik,
tahap pemerolehan, dan lingua franca. Secara sosiologis menurut Stewart
menggunakan jenis sikap dan perilaku terhadap bahasa. Terdapat empat dasar untuk
menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis yaitu standardisasi, otonomi,
historisitas, dan vitalitas atau keterpakaian. Jenis bahasa berdasarkan sikap politik
atau sosial politik dapat dibedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa
negara, dan bahasa persatuan. Kemudian jenis bahasa berdasarkan tahap pemerolehan
dibedakan atas bahasa ibu, bahasa pertama (kedua, ketiga, dst), dan bahasa asing.
Selanjutnya lingua franca yaitu sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat
komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang
berbeda.
6. Pertemuan 6 : Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Bahkan dengan bahasa kita
dapat mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan
suatu bangsa tercermin dari budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya
dalam kosa kata kata, paragraf, wacana atau retorika. Penggunaan bahasa adalah
penguatan dari budaya itu sendiri. Budaya bersifat dinamis, tidak menutup
kemungkinan terhegemoni oleh budaya lain. Artinya, budaya itu akan berkembang
sejalan dengan perkembangan zaman. Seperti dalam hipotesis Sapir-Whof adalah
sebuah pernyataan dalam teori linguistik relativitas yang menyatakan bahwa ada
hubungHubungan antara bahasa dan kebudayaan adalah hal yang menarik untuk
dibicarakan, sehingga membuat masyarakat luas dengan berbagai latar belakang
tertarik untuk membicarakannya. Ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa
merupakan wujud dari kebudayaan. Bahasa sebagai wadah dan refleksi
kebudayaan masyarakat pemiliknya dan dari bahasa kita dapat mengetahui
seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Koentjoroningrat dalam Chaer
(1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama
berkembangnya masyarakat manusia kuat antara bahasa dan budaya dan pikiran
seorang penutur.

7. Pertemuan 7 : Bilingualisme dan Diglosia

Bilingualisme atau kedwibahasaan yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa


atau dua kode bahasa. Secara umum dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian. Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia
digunakan untuk menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi dari
satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu. Lebih rinci dapat dilihat bahwa diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang
relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama atau ragam-ragam
utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
dialek utama atau ragam utama berupa dialek standar atau sebuah standar regional.
ragam lain yang bukan dialek-dialek utama itu memiliki ciri :- sudah sangat
terkodifikasi
– gramatikalnya lebih kompleks

– merupakan wahana kesusasteraan tertulis yang sangat luas dan dihormati

– dipelajari melalui pendidikan formal

– digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal

– tidak digunakan untuk oleh masyarakat manapun percakapan sehari-hari.


Topik-topik dalam diglosia diantaranya fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan,
standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.

Daftar Pustaka
https://ngerti.wordpress.com/2010/04/06/sosiolinguistik-rangkuman-materi-kuliah/

Anda mungkin juga menyukai