Anda di halaman 1dari 5

RESUME

BAHASA DAN MASYARAKAT

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiolinguistik

Dosen Pengampu : Pipik Asteka, S.Pd., M.Pd.

Oleh:

Wiwi Sri Wahyuni (17.03.1.0017)

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MAJALENGKA

2018/2019
BAHASA DAN MASYARAKAT
1. Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga
istilah tersebut berasal dari bahasa Perancis , dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim
dipadankan dengan satu istilah yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat
berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa
Peranci istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi dan inetraksi secara verbal diantara sesamanya. Langage ini
bersifat abstrak. Istilah kedua yaitu langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi
sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat tertentu. Yang ketiga yaitu istilah parole yang bersifat konkret, karen
parole itu meruakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh
para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya.
Dari pembehasan mengenai istilah langage, langue, dan parole di atas terlihat bahwa kata atau istilah
bahasa dalam bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga
istilahnyang berasal dari Perancis tersebut dapat dipadankan dengan satu kata bahasa itu, meskipun
harus dalam konteks yang berbeda.
Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah suatu sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu.
Tetapi sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalanny, bersifat terbatas pada suatu
masyarakat tertentu. Suatu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumrusannya; namun adanya
ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi,
misalnya penduduk yang ada di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan di Lereng Gunung
Salak, Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karen mereka
masih mengerti dengan alat verbalnya.
Adanya saling mengerti anatar penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Karawang adalah
karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon dan semantik)
diantara parole-parole yang mereka gunakan. Tetapi antara penduduk Garut Selatan dengan penduduk
di Banyumas tidak akan saling mengerti secara verbal diantara mereka sesamanya. Hal ini terjadi
karena parole-parole yang digunakan dianatara penduduk di kedua tempat tersebut tidak mempunyai
kesamaan sistem maupun subsistem. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk Garut
Selatan dan di Banyumas itu, kita menyebutnya ada duah buah sistem langue, yaitu bahasa Sunda di
Garut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas.
Parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di Karawang dan di Bogor adalah berbeda
meskipun mereka saling mengerti., karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem
diantara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi di dakam ‘‘keperbedaan’’ mereka masih terdapat
“kesaling- mengertian”. Dlam kasus ini, Parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut
sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama.
Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau
menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penatan sintaksis, dan penggunaan
unsur-unsur bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek. Jadi, jika ada
1000 orang maka akan ada 1000 idiolek.
Secara linguistik dapat disimpilkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah
dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun perlu dicatat bahwa dua buah dialek
yang secara linguistik adalahsebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti;
tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua buah bahasa yang berbed. Seperti contohnya bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia.

2. Verbal Repertoire
Yang dimaksud kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk
menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan
konteks situasi dan konteks sosialnya (Halliday 1972:269-293). Jadi untuk dapat disebut mempunyai
kemampuan komunikatif seorang itu haruslah mempunyai kemampuan untuk bisa membedakan
kalimat yang gramatikal dan yang tdak gramatikal, serta mempunyai kemampuan untuk meililih
bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, mampu memilih ungkapan yang sesuai dengan
tingkah laku dan situasi, serta tidak hanya dapat mengeinterpretasikan makna referensial (makna
acuan) tetapi juga dapat menafsirkan makna konteks dan makna situasional.
Verbal repetoir sebenarnya ada dua macam yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan
yang merupakan milik masayarakat tutur secara keseluruhan. Yang pertama mengacu pada alat-alat
vebal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial
bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Yang kedua mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal
yang ada di dalam suatu masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai
dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem Interaksi verbal dianatara para penturnya
di dalam masyarakat di sebut sosiolinguistik interksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian
mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik dalam
masyarakat disebuat sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel 1976: 220). Kedua
jenis sosiolingusitik ini, mikro dan makro mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya saling bergantungan. Maksudnya, verbal repertoir setiap penutur
ditentukan oleh masyarakat di mana dia berada, sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur
terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur di dalam masyarakat itu.

3. Masyarakat Tutur
Kalau suatu kelompok orang atau suatu kelompok masyarakat mempunyai verbal repertoir yang
relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa
yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok masyarakat itu atau
orang itu adalah sebuah masyarakat tutur (Inggris: Speech Community). Jadi masyarakat tutur
bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan sekelompok
orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Kemudian
untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya, bahwa
mereka merasakan menggunakan tutur yang sama (Lihat Djikokentjono 1982).
Fishman (1976:28) menyebut”masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-
anggotanya setidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan
penggunaannya”. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatof, dapat
menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil
orang.
Dengan pengertian terhadap masyarakat seperti itu, maka setiap kelompok orang yang karena
tempat atau daerahnya, profesinya, hobinya, dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang
sama, seta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin
membentuk suatu masyarakat tutur.
Bahasan mengenai masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam, yang barangkali antara satu
dengan yang lainnya agak sukar untuk dipertemukan. Bloomfield (1933:29) membatasi dengan
“sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama”. Batasan Bloomfield ini
dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiolinguistik sebab, terutama dalam masyarakat modern,
banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa: dan di dalam masyarakat itu sendiri
erdapat leboh dari satu ragam bahasa.
Masyarakat tutur besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari
adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara
referensial yang diperkuat dengan adanya intergrasi simbolik, seperti intergasi dalam sebuah wadah
yang di sebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau
daerah membentuk suatau masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja
yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam
hubungannya dengan variasi kebahasaan.
Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan
oleh banyaknya dan luasnya variasi bahasa di dalam jaringan yang didasari oleh pengalaman dan
sikap para penutur di mana variasi itu berada. Lalu verbal refertoir masyarakat tutur merupakan
refleksi dari repertoir seluruh penuturnya sebagai anggota masyarakat itu (Fishman 1975:32).

4. Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat


Adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi; pertama, dari segi
kebangsawanan, kalau ada; kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan
pendidikan dan kedaan perekonomian yang dimiliki.
Untuk melihat adakah hubungan anatara kebangsawanan dan bahasa, contoh masyarakat tutur bahasa
Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1972: 245) membagi masyarakat Jawa
atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, (4) ndara; sedangkan Clifford
Geertz (dalam Pride Holmes (ed.) 1976) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkatan yaitu, (1)
priyayi, (2) bukan priyayi tapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan (3) petani dan orang
kota yang tidak berpendidikan. Dari kedua penggolongan itu jelas adanya perbedaan tingkat dalam
masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkatan-tingkatan itu maka, dalam masyarakat Jawa
terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi, bahasa atau
ragam bahasa yang digunakan di kalangan wong ciclik tidak sama dengan wong sudagar, dan lain
pula bahasa yang digunakan para priyayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang
berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial; lazim pula disebut sosiolek (Nababan 1984).
Perbedaan variasi bahasa juga dapat terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai
tingkat sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara atau petani
yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing
menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah
meggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi
menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa yang penggunaannya
didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dinel dalam bahasa Jawa dengan undak usuk. Adanya
tingkat-tingkat yang disebut undak usuk ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur bahasa Jawa
tersebut untuk mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap lawan bicaranya.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat
kebangsawanan mungkin sudah tidak ada. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status
sosial ekonomi. Begitulah dalam masyarakat Ibu kota Jakarta ada dikenal denga istilah golongan atas,
golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa saja yang masuk golongan atas, golongan
menengah, dan golongan bawah adalah relatif, agak sukar ditentukan, tetapi kalau dilihat golongan
sosial ekonominya, maka anggota ketiga golongan itu bisa ditentukan. LJ

Anda mungkin juga menyukai