Anda di halaman 1dari 5

RESENSI NOVEL “SUMI” KARYA JAZULI IMAM

Prestatif akademik, besar dalam keluarga taat beragama, dan diterima sebagai pekerja di salah
satu perusahaan asuransi ternama adalah kenikmatan yang menjelma tegangan dalam diri
Sumi. Keinginan Sumi dan norma paksaan yang dominan, serupa jembatan putus yang
membuat pemuda itu harus diam dan mengalah. Perlawanan akhirnya pecah, ketika Sumi
dengan pylox hitam mencoret jargon kantor asuransi tempatnya bekerja “Certainty &
Security For Your Life”. Sumi tuliskan ulang di dinding palet, “Life is Adventure, Or
Nothing”.
Setahun berlalu, ribuan kilo sudah Sumi berjalan keluar. Alih-alih menemukan kedamaian
yang didambakan, yang terjadi, di Jakarta, di kota, desa dan mana-mana, semua orang sama
sakitnya. Memilih pulang pada puisi dan tergantungnya Sumi dengan antidepresan, seolah
mempersempit ruang Sumi bertahan hidup.
Kedamaian apa yang Sumi cari? Novel ini akan mengajak kita berperjalanan bersama Sumi
menemukan jawabannya.

Sekilas dari uraian blurb pada novel tersebut, sedikit banyaknya bisa kita dapati
gambaran awal akan situasi yang dialami oleh tokoh utama pada cerita. Keresahan Sumi akan
hubungan sosialnya yang dirasa kurang sehat, memaksanya untuk berkehendak sesuai
keinginannya. Keresahan yang berujung pada pemberontakan dan konflik batin yang
memuncak. Kebahagiaan Sumi yang direnggut oleh keluarganya sendiri, terutama dominasi
sang ayah atas dirinya. Norma-norma yang dipaksakan dan ditanamkan padanya, justru
membuat Sumi terikat dan kehilangan dirinya sendiri. Itulah titik awal pemberontakannya.
Bukan hanya dalam hubungan internal keluarganya, hal serupa juga mencederai nama
baiknya di tempat ia bekerja. Tak ada lagi harapan dalam benaknya. Perjalanan panjang harus
ditempuh Sumi sebagai suatu keputusan paling berani yang ia kehendaki. Sebuah perjalanan
untuk menjadi dirinya sendiri.

Pencitraan awal oleh Jazuli Imam selaku penulis, berhasil menjembatani orientasi
cerita menuju bagian lainnya, dalam hal ini adalah komplikasi daripada cerita itu sendiri yang
ditandai dengan dimulainya perjalanan panjang Sumi, dengan segala gejolak dan resah yang
tak berkesudahan. Sebuah perjalanan yang identik dengan latar belakang penulisnya, nuansa
kepecinta alamannya begitu lekat. Idealisme hidup yang kuat ditanamkan pada setiap karya-
karyanya. Seperti halnya dalam novel ini, sosok Sumi dihadirkan dengan membawa serta
pemaknaan-pemaknaan yang mendalam dari apa yang ia alami lewat puisi-puisi yang ditulis
dalam buku hariannya.

Sumi dalam perjalanannya, kini berada di Ujung Timur sebuah wilayah yang sedari
awal memang menjadi tujuan utamanya. Pertemuan demi pertemuan telah Sumi lalui,
termasuk pertemuannya dengan Bapak Stefan seorang penduduk asli Marlo. Sumi begitu
dekat dengan Bapak Stefan, layaknya bapak dan anak. Mereka kerap menghabiskan hari
bersama. Tak terbesit sedikit pun dalam diri Sumi untuk melanjutkan perjalanannya, seolah
tinggal bersama Bapak Stefan benar-benar menjadi tujuan terakhirnya. Namun pada akhirnya,
justru Bapak Stefan lah yang membuat Sumi memutuskan untuk berjalan lebih jauh. Pada
sebuah daerah yang sebelumnya sempat terlintas di benaknya. Itulah Bigel, sebuah daerah
yang pernah terpikirkan olehnya kala menulis di buku harian. “Telah lahir; Sumi, tulisnya
dalam buku harian pada suatu malam, seolah ia belum pernah hidup sebelumnya. Sebuah
kabupaten bernama Bigel, 500 kilo meter dari Marlo, melintas di kepalanya ketika ia
menuliskan kata-kata itu.”

Sumi memulai perjalanannya menuju Bigel dengan segala keterbatasan. Kejadian


tidak mengenakkan, telah merugikan Sumi. Usai memberikan beberapa buah buku untuk
seorang anak kecil bernama Klas, ia kehilangan dompetnya. Meskipun begitu, keterbatasan
tersebut bukanlah halangan bagi Sumi untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju Bigel.
Sumi yakin, bahwa sesuatu yang baru akan menghampirinya selama perjalanan menuju
Bigel. Sebuah ungkapan yang meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap berjalan, dengan
kondisi dan situasi yang berbeda dari sebelumnya. “Ketiadaan menciptakan ruang, riang,
kosong. Segala hal akan datang untuk mengisi yang kosong, pikirnya. Sumi berharap
mendapatkan hal dan pengalaman yang berbeda dari perjalanannya kali ini.”

Dalam perjalanannya menuju Bigel, acungan jempol demi acungan jempol telah Sumi
layangkan pada kendaraan yang nampaknya jarang sekali melintas. Upaya tersebut pada
akhirnya tak membuahkan hasil. Sumi terus melanjutkan perjalanannya. Suatu ketika,
pertemuannya dengan Pak Saldi ketika Sumi sampai di Marta; yang mana Pak Saldi
merupakan seorang kepala desa, telah memberi Sumi jalan keluar. Kala itu Sumi dihadapkan
pada suatu peristiwa dimana dirinya dituduh sebagai pemberontak oleh aparat keamanan,
pada saat Sumi bermalam di hutan. Sumi masih bisa selamat, setelah pukulan gagang senapan
menghantamnya berkali-kali. Pak Gun seorang kepala tentara, mengetahui bahwa pemuda
yang dicurigai dan dituduh itu mengenal Pak Saldi, kepala desa Marta.

Singkat cerita, di rumah Pak Saldi Sumi dipertemukan dengan seorang relawan
sarjana yang bertugas sebagai perawat bernama Dawiyah. Sosok Dawiyah lah yang kemudian
berhasil menghidupkan Sumi kembali. Sumi yang telah lama kehilangan kendali atas dirinya,
kini seolah menemukan jati dirinya kembali. Seolah ia menemukan sosok yang menjadi puisi
dalam hidupnya, yang mampu mengetahui apa yang tersembunyi dan penuh misteri pada
kedalaman dirinya yang ia cipta.

Sumi layaknya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Jazuli Imam
menegaskan hal tersebut dengan menggambarkan Sumi sebagai seseorang yang memiliki
ketergantungan pada obat antidepresan yang selalu ia dapat dari seorang psikiater. Fakta itu
terungkap tatkala hubungan Sumi dan Dawiyah sedang manis-manisnya. Sumi yang
kelabakan karena persediaan obatnya telah habis, membawanya pada keadaan sindrom putus
zat yang mengkhawatirkan. Dawiyah yang seorang perawat mengetahui hal tersebut, sebab
sebelumnya ia pernah punya pengalaman pada kasus yang sama, tatkala keadaan tersebut
menimpa ibunya sendiri. Melihat hal tersebut terjadi pada diri Sumi, dengan sabar Dawiyah
menemani dan mengurus Sumi sebagaimana dulu ia menemani ibunya. Dawiyah tahu Sumi
membutuhkannya, seolah pemuda yang dicintainya itu menyimpan satu hal lain yang tak
semua orang dapat melihatnya.

Ketidaksempurnaan Sumi juga ditunjukkan tatkala Sumi melepas rindu dengan


Dawiyah. Sebelumnya Sumi dan Dawiyah terpisah sebab secara mendadak Dawiyah
dipindah tugaskan ke Sungai Biru. Dalam pertemuan tersebut mereka melakukan hal yang
dianggap tidak sepantasnya dilakukan di tempat umum. Sama-sama merasakan kerinduan
yang mendalam membuat Sumi dan Dawiyah hilang kendali, seolah dunia hanya diisi oleh
mereka berdua. Dari situlah perjalanan Sumi selanjutnya bermula. Sebab apa yang
dilakukannya dengan Dawiyah saat melepas rindu itu, telah memberi kesempatan emas
kepada orang-orang yang tidak menyukai hubungan mereka berdua.

Sumi kembali terpisah dengan Dawiyah yang sekarang entah ditugaskan dimana.
Akhirnya dengan segala derita yang ditanggungnya, Sumi menatap kembali tujuan awalnya
melakukan perjalanan yang sudah begitu jauh dilaluinya. Bigel kembali melintas dalam
benaknya. Terlebih ketika Sumi menyangka kalau Dawiyah telah ditugaskan di sana.
Perjalanannya telah dimulai kembali.

Kini dalam perjalanannya menuju Bigel, Sumi telah melalui berbagai tantangan yang
menghampirinya selama dalam perjalanan. Sumi berhasil berlari menghindar dari pos
perbatasan, kabur dari hewan-hewan penghuni hutan, dan berhasil keluar dari hutan Yaba
yang menghambatnya. Hingga akhirnya Sumi dipertemukan dengan sekelompok scooterist
yang sedang beristirahat ketika melakukan perjalanan yang sama, menuju Bigel. Setiap
lekukan peristiwa yang dialami, telah menghadirkan banyak hal baru kepada Sumi. Termasuk
perkenalannya dengan sekelompok scooterist yang sedang bersamanya kali ini. Diantara
mereka, Metta seorang pejalan sekaligus scooterist itu telah mengajarkan Sumi suatu hal
yang begitu berharga, yang ia tulis dan diabadikan dalam buku hariannya. Metta berkata
“Membesarkan cinta kasih itu kaya bikin api unggun. Mula-mula bakar kertas, kemudian
daun kering, kemudian ranting besar. Saat api telah berkobar, kayu basah pun akan
menyala. Kalau sudah nyala enak, hangat, cemerlang, dan senantiasa berkobar di dada sang
penyala.”

Perjalanan pun terus berlanjut menuju Bigel. Dari secarik kertas yang tertulis nama
Dawiyah, sebagai satu-satunya harapan. Buah dari kelicikan Nina dan Kepala Puskesmas.
Sumi, kini berjalan mengikuti suara hatinya. Pertemuan demi pertemuan pun kembali
dilaluinya. Realita hutan Ujung Timur yang memesona, serta kontradiksi kelestariannya telah
membawa Sumi pada keadaan dilema akan keberadaannya di sana. Bukan hanya itu, berbagai
kondisi sosial kebudayaan pun telah ia temui. Dalam hal ini, termasuk pertemuannya dengan
Pak Bardi, Wesley, dan lainnya yang ternyata saling berhubungan dan bertautan. Hingga
pada puncaknya, Sumi diselamatkan oleh Wesley di tengah konflik antar orang non Ujung
Timur dengan orang asli Ujung Timur. Peristiwa itu ialah buntut dari konflik yang terjadi di
Jakarta, Yogyakarta dan daerah lainnya.

Selain itu, peristiwa tersebut telah membawa Bapak Sumi untuk menyelamatkan dua
orang mahasiswa asal Ujung Timur dan dengan senang hati menampung di rumahnya.
Perlahan, dari serangkaian kejadian yang telah dilalui, Bapak Sumi akhirnya menyadari akan
kesalahan yang telah diperbuatnya.

Sementara itu, tatkala situasi dan kondisi tak berpihak pada orang Ujung Timur, Sumi
dipertemukan kembali dengan sosok Oge, yang tidak lain ialah bapak angkat Klas. Dari anak
angkatnya lah Oge tahu tentang Sumi. Pada akhirnya, Sumi berhasil selamat dari kecamuk di
Ujung Timur. Seiring dengan itu, telah tersiar pula berita-berita dan tampilnya orang-orang
yang berpengaruh dalam perdamaian atas konflik yang terjadi. Atas pertolongan Oge, Sumi
selamat dan bisa bertemu kembali dengan Bapak Stefan di Marlo.

Semenjak kejadian itu, Sumi akhirnya memutuskan pulang ke Jakarta dan mengakhiri
perjalanannya. Dengan membawa harapan baru, jiwa yang baru, serta suasana dalam keluarga
yang kini sepenuhnya baru. Sumi telah menemukan dirinya kembali. Sampai suatu ketika,
Sumi akhirnya menemukan kembali cintanya, Dawiyah. Dari surat yang telah dititipkan
kepada Bapak Stefan, Sumi berhasil menemui Dawiyah dari jelinya membaca puisi.
Semacam petunjuk yang telah mempertemukan kembali mereka berdua, di Taman Arung
Palakka.

Anda mungkin juga menyukai