Anda di halaman 1dari 11

PENGGUNAAN BAHASA FIGURATIF DALAM PUISI-PUISI M.

AAN MANSYUR
Asep Ikhsan Ca Noer Fauzi
(17.03.1.0002)
Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Majalengka
icancikal043@gmail.com

ABSTRAK
Bahasa kiasan dalam puisi sangat penting untuk dipelajari karena bahasa kiasan merupakan
salah satu bagian dari struktur fisik puisi yang dapat menjiwai atau menimbulkan akibat
tertentu dan menimbulkan konotasi tertentu dari kata-kata yang terdapat dalam puisi.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran bahasa kiasan dalam puisi M. Aan
Mansyur. Prosedur yang diteruskan dari pengumpulan data ke interpretasi data adalah (a)
mengidentifikasi bahasa kiasan dalam puisi M. Aan Mansyur, (b) memahami bahasa dalam
bentuk figuratif, (c) memahami deskripsi makna yang terkandung di dalamnya dan (d)
menandai unit segmentasi dalam bentuk bahasa kiasan. Analisis data didasarkan pada tiga
proses, yaitu reduksi, penyajian data, dan proses verifikasi. Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh, bahasa kiasan sangat erat kaitannya dengan realitas kehidupan. Penyair
mempunyai tujuan tertentu dalam menggunakan bahasa kiasan, pembaca harus berusaha
memahami bahasa kiasan dalam upaya memahami makna sebuah puisi. Dalam puisinya, M.
Aan Mansyur tidak hanya menggunakan bahasa kiasan agar puisinya terkesan menarik,
namun pencantuman bahasa kiasan dilakukan dengan cermat agar pembaca dapat mengetahui
makna bahasa kiasan meskipun dianggap sulit untuk ditafsirkan.
Kata Kunci: Bahasa figuratif, puisi, realitas kehidupan, penafsiran, makna

A. PENDAHULUAN
Puisi adalah salah satu karya sastra yang berisi ungkapan perasaan seseorang
yang dilengkapi oleh berbagai macam keindahan bahasa, sehingga memunculkan
unsur estetika di dalamnya. Salah satu bentuk dari estetika yang terkandung dalam
puisi adalah bahasa figuratif atau sering disebut dengan bahasa kiasan. Menurut
Abrams (1981: 63) bahasa figuratif adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh
penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari, penyimpangan dari bahasa
standar, atau penyimpangan makna kata, suatu penyimpangan rangkaian kata agar
diperoleh beberapa arti khusus. Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (1981: 63-
65) terdiri atas simile, metafora, metomini, sinekdoke, dan personifikasi.
Ada begitu banyak puisi dengan keindahan bahasa figuratifnya. Bahasa
figuratif dihadirkan dalam puisi untuk membuat pembaca lebih meresapi makna puisi
tersebut. Dalam membuat puisi, seorang penyair tidak sembarang mencantumkan
bahasa figuratif agar puisinya terkesan menarik. Dalam mencantumkan bahasa
figuratif seorang penyair harus mampu mengetahui makna yang terkandung dalam
kata-kata yang akan dijadikan bahasa figuratif agar pembaca pun bisa memahami
meskipun bahasa figuratif yang digunakan oleh penyair termasuk dalam golongan
yang sulit untuk diinterpretasi. Dengan bahasa figuratif tak sedikit pembaca yang
melahirkan banyak interpretasi berbeda-beda terhadap suatu puisi tertentu.
Banyak penyair dalam puisinya menggunakan begitu banyak bahasa figuratif .
Diantaranya adalah M. Aan Mansyur, dengan ciri khasnya dalam menulis puisi.
Dalam kumpulan puisi M. Aan Mansyur tahun 2015 yang berjudul “Melihat Api
Bekerja” jarang ditemukan puisi-puisinya tanpa dihadiri oleh adanya bahasa figuratif
yang dapat membantu pembaca menginterpretasi makna dari larik-larik yang
terkandung di dalamnya. Sehubungan dengan itu, Cirlot (1962: 167) mengungkapkan
bahwa penelitian terhadap bahasa figuratif adalah suatu hal yang penting. Bahasa
figuratif merupakan salah satu bagian dari struktur fisik dari puisi yang mampu
menghidupkan atau meningkatkan efek serta menimbulkan konotasi tertentu pada
kata-kata yang terdapat dalam puisi. Dalam penelitian ini dikaji bahasa figuratif pada
kumpulan puisi karya M. Aan Mansyur tahun 2015. Masalah yang dikaji meliputi
hubungan bahasa figuratif dengan realitas kehidupan , tujuan penyair menggunakan
bahasa figuratif, kesulitan dalam memaknai bahasa figuratif dalam puisi, dan bahasa
figuratif dalam kumpulan puisi M. Aan Mansyur tahun 2015.
Sebagaimana Kridalaksana (1982: 34) mengungkapkan bahwa bahasa adalah
sebuah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk tujuan
komunikasi. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis. Dikatakan
sistematis menurut Kridalaksana (1982: 47) karena bahasa memiliki kaidah atau
aturan-aturan tertentu. Namun penggunaan bahasa dalam karya sastra sangat berbeda.
Menurut Tuloli (1999: 19) bahasa yang digunakan dalam karya sastra lebih banyak
mengandung unsur estetika atau unsur keindahan yang banyak dihadirkan oleh para
penyair. Dalam karya sastra dikenal istilah esencia poetica, yang berarti kebebasan
penyair. Dalam menghasilkan karya sastra yang indah tentu penyair menggunakan
bahasa yang dapat menarik minat baca dari para penikmat sastra, seperti bahasa-
bahasa yang hadir dalam bentuk novel, cerpen, puisi dan drama. Meskipun dalam
menciptakan karya sastra diperlukan nilai estetika pada bagian bahasanya perlu
diperhatikan juga nilai bahasa itu sendiri. Apakah bahasa yang digunakan indah dan
baku, atau hanya bernilai indah tanpa menghiraukan apakah bahasa itu baku atau
tidak. Karya sastra yang penulisannya menggunakan bahasa baku akan tetap diminati
oleh penikmat sastra. Bila kita ingin menulis sebuah karya sastra, gunakan bahasa
Indonesia yang benar karena bahasa yang terdapat dalam karya sastra selain
memperkuat keindahan dari karya itu sendiri, juga merupakan media penyampaian
pesan dari karya sastra tersebut.
Berdasarkan sejumlah pendapat ahli di atas, dapat dikatakan bahwa bahasa
figuratif dapat disebut juga sebagai bahasa kiasan yang merupakan bahasa
perbandingan yang digunakan dalam karya sastra dengan tujuan mempermudah dalam
memperoleh beberapa makna dari dua kata atau lebih. Seperti halnya bahasa kias atau
bahasa figuratif yang terdapat pada contoh larik puisi karya M. Aan Mansyur berikut
“Aku akan menggulung langit malam seperti karpet Turki dan menjualnya ke
penawar tertinggi”. Pada larik tersebut dapat ditemukan makna perbandingan simile
dan metafora sebagai analogi, yang membandingkan langit malam dengan karpet
Turki, juga menganalogikan langit malam sebagai suatu kekelaman yang dialami oleh
manusia. Gelap yang identik dengan hitam jadi acuan dalam menggunakan kata
“langit malam” sebagai sebuah dosa atau ketidakbaikan yang terdapat dalam diri
manusia. Diikuti dengan kata berikutnya yang bisa diartikan sebagai sebuah barang
langka dengan penegasan kata “karpet Turki”, menandakan bahwa hal semacam itu
adalah sesuatu yang langka. Dalam hal ini bisa jadi penyair menganalogikan barang
langka tersebut sebagai suatu penyesalan.
Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (1981: 63-65) terdiri atas (a)
simile, (b) metafora, (c) metonimi, (d) sinekdoke, (e) personifikasi. Di sisi lain,
Pradopo (1994: 62) membagi bahasa kias ke dalam tujuh jenis, yaitu (a)
personifikasi, (b) simile, (c) metafora, (d) alegori, (e) metonimi, (f) sinekdoke, dan (g)
perumpamaan.
Berikut adalah ketujuh jenis bahasa figuratif atau bahasa kias menurut
Pradopo (1994: 62), gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa kias yang
menggambarkan benda-benda mati seolah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Gaya
simile merupakan gaya perbandingan yang eksplisit, maksudnya adalah gaya yang
langsung menyatakan sesuatu hal sama dengan hal lain. Gaya simile memerlukan
kata-kata perbandingan seperti bagai, bagaikan, seperti, laksana, dan bak. Gaya
bahasa simile seperti halnya personifikasi yang merupakan gaya bahasa perbandingan.
Gaya bahasa simile selain digunakan untuk memperoleh nilai estetis juga digunakan
sebagai sarana untuk menciptakan suasana cerita menjadi lebih hidup. Hal itu
disebabkan oleh adanya efek yang ditimbulkan, yakni mampu membangkitkan daya
khayal. Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat. Gaya bahasa
alegori adalah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Gaya bahasa metonimi
merupakan kata lain dari perpindahan nama. Artinya suatu kata mendapat arti dari
kata lain. Gaya bahasa sinekdoke artinya menerima bersama-sama. Hal ini berarti
menggunakan sebagian daripada sesuatu untuk menyatakan keseluruhannya, contoh
Tak ada yang berpikir yang saya temui di sana, yang berpikir yang dimaksud adalah
manusia. Gaya bahasa perumpamaan epos/epic simile adalah perbandingan yang
dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya
dalam kalimat berturut-turut.

B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Dalam hal ini peneliti berusaha
mengungkap bahasa figuratif dalam kumpulan puisi-puisi M. Aan Mansyur tahun
2015. Sumber data adalah puisi-puisi M. Aan Mansyur tahun 2015. Data penelitian
adalah segmen-segmen puisi-puisi M. Aan Mansyur yang mengandung bahasa
figuratif. Sumber data tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan korpus bagi masalah
dan tujuan penelitian. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri. Teknik
pengambilan data adalah teknik dokumen dan obsevasi langsung pada sumber data,
yakni kumpulan puisi-puisi karya M. Aan Mansyur tahun 2015. Selanjutnya observasi
juga dilakukan atas biografi atau kehidupan pribadi penyair sebagai bahan untuk
mendeskripsikan data semantik. Prosedur yang dilalui dari pengambilan data sampai
dengan pemaknaan data adalah (a) mengidentifikasi bahasa-bahasa figuratif dalam
kumpulan puisi karya M. Aan Mansyur, (b) memahami bahasa-bahasa dalam
bentukfiguratif, (c) memahami deskripsi makna yang terkandung di dalamnya, dan (d)
menandai satuan-satuan segmentasi yang berupa bahasa figuratif. Analisis data
didasarkan pada tiga proses, yakni proses reduksi, proses sajian data, dan proses
verifikasi dengan berfokus pada bahasa-bahasa figuratif dalam kumpulan puisi-puisi
karya M. Aan Mansyur tahun 2015.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hubungan Bahasa Figuratif dengan Realitas Kehidupan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahasa figuratif merupakan
penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa
baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan kata supaya
memperoleh efek tertentu atau makna khusus. Seorang penyair dalam menciptakan
sebuah puisi tentu tidak lepas dari bahasa kiasan atau bahasa figuratif. Selain
menambah nilai estetis dalam sebuah puisi, bahasa figuratif ini juga memiliki
hubungan dengan realitas kehidupan. Seperti halnya bahasa figuratif yang hadir dalam
puisi karya M. Aan Mansyur yang berjudul Mendengar Radiohead berikut.
Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Supriyadi (2013) yang
menyatakan bahwa bahasa figuratif dalam puisi menambah keindahan puisi. Salah
satu alasan mengapa puisi kaya akan keindahan adalah bahwa dalam puisi terdapat
pencampuran antara dunia nyata dan dunia kias, antara makna sesungguhnya dan
makna kias. Dalam kaitan itu, Levin (dalam Wahab, 2006: 74) menyatakan bahwa In
the poem , there is a mixture of real world and imaginary world reference, or the
world of the poem is interely one of the imagination; but some features, normally of
the real world have been transfered into the imaginary world of the poem.
MENDENGAR RADIOHEAD
Aku ingin belajar menangis tanpa air mata, perasan perasaan-perasaan yang
lembap. Aku percaya ada perihal semacam itu; peri yang memperindah hal-hal
perih, batu yang bertahan di alir air sungai, atau badai yang lembut. Aku tahu
ketelanjangan tempat bersembunyi bunyi yang lebih nyaring daripada sunyi.
Dan dalam setiap yang pecah ada keindahan, hal-hal yang berhak dicahayai
senyuman; porselin mahal yang membentur lantai ruang tamu, lampu taman
yang mati, daun-daun dan daun jendela yang jatuh, hati yang patah dan
perpisahan, atau rindu dan bayi-bayi yatim piatu.
Aku lahir dari ucapan-ucapan ibu yang lebih banyak ia kecupkan dengan
diam; berlari adalah kesunyian, berjalan adalah kebalikannya.
Aku bertahan bertahun-tahun berlari dalam kesunyian menuju kau. Aku mau
menemukanmu, agar mampu berjalan menggandeng tanganmu mengelilingi
pagi yang hangat. Atau mengantarmu pulang, menyusuri gelap, dan dengan
sepenuh ketulusan aku ingin menjaga dirimu dari diriku.
Ketulusan, panjang dan susah dinikmati sepenuhnya, seperti musim.
Kejujuran, singkat dan tidak mudah diduga, seperti cuaca. Namun jika kau
menginginkan jarak, aku akan menjadi ketiadaan yang lengang. Sebab
ingatanmu sedekat-dekatnya keadaan aku. lebih dekap dari pelukan sepasang
lengan.
Kesalahanku padang rumput yang hijau. Seperti ternak, aku ingin makan dan
menjadi gemuk. Menjadi potongan-potongan daging yang membuatmu enggan
tersenyum seusai makan. Menjadi lemak yang kau keluhkan dan
menghabiskan uangmu. Sementara kebenaran semata museum yang tidak kita
sadari. Jika ada waktu, kau akan mengunjunginya. Namun, kau terlalu sibuk
melupakanku.
Masing-masing kita adalah kumparan diri sendiri, orang lain, dan bayangan
yang setia. Tidak ada kemurnian. Dalam pengingkaranmu akan aku, ada cinta
yang akan membuatmu bersedih suatu kelak.
Sementara aku, aku tahu cara mengisi kekosongan adalah menunggu. Dunia
ini dipenuhi keseimbangan-keseimbangan. Tepat ketika seorang melihat
matahari sore menutup mata, di tempat lain ada seorang menatap matahari
pagi bangun. Ketika matamu tiba-tiba berair, dari jarak yang tidak kau ketahui,
aku tersenyum menghangatkan kesedihanmu.
Pada “Mendengar Radiohead” puisi di atas terdapat beberapa bahasa figuratif,
yakni (a) aku ingin belajar menangis tanpa air mata, perasan perasaan-perasaan yang
lembap, (b) Aku tahu ketelanjangan tempat bersembunyi bunyi yang lebih nyaring
daripada sunyi, (c) hal-hal yang berhak dicahayai senyuman, (d) daun-daun dan daun
jendela yang jatuh, (e) aku lahir dari ucapan-ucapan ibu, (f) berlari adalah kesunyian,
berjalan adalah kebalikannya, (g) aku bertahun-tahun berlari dalam kesunyian menuju
kau, (h) berjalan menggandeng tanganmu mengelilingi pagi yang hangat, (i) aku akan
menjadi ketiadaan yang lengang, (j) kesalahanku padang rumput yang hijau, (k)
seperti ternak, aku ingin makan dan menjadi gemuk, (l) menjadi lemak yang kau
keluhkan, (m) kebenaran semata museum yang tidak kita sadari, (n) aku tersenyum
menghangatkan kesedihanmu.
Dari sejumlah bahasa figuratif di atas, pembaca sudah bisa mengetahui bahwa
sebenarnya penyair tidak benar-benar mendengarkan lagu “Radiohead”, yang kita
tahu bahwa “Radiohead” adalah band musik ternama yang banyak diminati karya-
karyanya. Namun dalam puisi ini, sang penyair menganalogikan kata “Radiohead”
sebagai pemaknaan dari artinya dalam bahasa Indonesia, yang berarti “kepala radio”.
Dalam hal ini kita bisa memaknai judul puisi ini sebagai “mendengar kepala radio”,
yang bermakna mendengarkan suara-suara di kepala (nalar, ingatan, kenangan dan
sebagainya). Dalam isi puisi tersebut, sebenarnya penyair sedang mengalami
kesepian, kegelisahan, dan pengharapan terhadap seseorang yang dicintainya. Apabila
dihubungkan dengan realitas kehidupan atau kehidupan nyata, bahwa apa yang
dialami oleh penyair juga dialami oleh banyak orang. Siapapun yang ada di dunia ini
pasti telah mengalami pahit manisnya kehidupan. Terutama dalam hal ini menyangkut
cinta, yang tentu saja tak dapat dipisahkan dari kita dalam menjalani kehidupan.
Bahasa figuratif yang diciptakan oleh penyair tentu juga lahir dari masyarakat. Dari
berbagai macam bahasa figuratif yang dihasilkan oleh penyair dalam puisi
Mendengar Radiohead dapat diketahui bahwa dalam kesepian dan kegelisahannya
penyair mengaharapkan cintanya tetap bersemi meski dalam kekosongan yang
membuatnya harus pasrah pada kenyataan bahwa menunggu adalah satu-satunya
jalan, dan mendoakan serta mengikhlaskan adalah bukti cintanya yang begitu besar.
Tujuan Penyair Menggunakan Bahasa Figuratif
Seorang penyair tidak pernah memiliki batasan dalam menciptakan sebuah
puisi. Banyak penyair yang menuangkan isi hatinya dalam karya sastra yang terdiri
dari bait dan baris dengan berbagai nilai keindahan. Salah satu aspek yang dapat
membuat puisi menjadi lebih indah adalah adanya bahasa kias atau bahasa figuratif.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan penyair menggunakan bahasa
figuratif adalah untuk menambah nilai estetis pada puisi atau membuat puisi-puisi
lebih indah. Tujuan lain penyair menggunakan bahasa kias atau bahasa figuratif
adalah menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
Perlu diketahui bahwa bahasa figuratif juga dapat menyebabkan puisi menjadi
prismatis. Artinya, memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Penyair lebih
banyak menggunakan bahasa kias atau bahasa figuratif dalam puisi tentu memiliki
tujuan tertentu terhadap pembaca. Dengan adanya bahasa kias atau bahasa figuratif
dalam puisi, penyair ingin membuat para pembaca bisa berimajinasi dalam
menginterpretasi makna sebenarnya dalam puisi yang telah diciptakannya.
Di sisi lain, keindahan puisi juga disebabkan oleh adanya simbol atau
pernyataan simbol. Sebagaimana dinyatakan oleh Russel (1966: 108) bahwa many
poems are based on the symbolic statements. Pernyataan simbolik dalam puisi
tersebut sebagai tempat lahirnya metafora yang menambah keindahan sebuah puisi.
Simbol-simbol kebahasaan yang digunakan dalam puisi itu merujuk pada pengertian
metafora. Simbol metafora yang lahir dalam puisi dapat mengacu pada semantik
universal dan semantik yang terikat budaya. Simbol-simbol yang digunakan dalam
puisi merupakan kategori metafora nominatif, baik sebagai subjek maupun objek.
Simbol sebagai metafora nominatif-subjektif adalah simbol yang digunakan pada
puisi yang berkedudukan sebagai subjek, sedangkan simbol sebagai metafora-objektif
adalah simbol yang berfungsi sebagai objek dalam suatu kalimat. Seperti halnya
dalam puisi M. Aan Mansyur yang berjudul Seekor Kucing dan Sepasang Burung
berikut.
SEEKOR KUCING DAN SEPASANG BURUNG
Ada sangkar besar di tubuh kecil setiap burung. Surga bagi para pecinta
burung, tempat mereka terperangkap lupa diri dan mati. Juga matamu,
sepasang burung terakhir di bumi. Aku tak pernah membenci apa pun sebesar
aku mencintai matamu.
Pikiran bukan penjara. Aku penjarakan pikiranku. Kututup pintunya buat
semua tamu dan nama. Kecuali jiwamu, puisi tentang jalan-jalan lengang
pukul tiga pagi.
Aku ingin menjadi seekor kucing di jalanan atau puisi. Aku ingin memangsa
sepasang burung di wajahmu.
Jauh dalam tubuhku ada pohon yang tumbang dan tumbuh tiap hari. Juga
sarang tempat angin sering mampir istirahat.
Kelak orang membaca puisi tentang taman kota, mengunjungi museum
burung, atau membaca dongeng tentang hutan-hutan yang hilang. Mereka
tersenyum mengingatku.
“Pada zaman dahulu, ada seekor kucing menyelamatkan sepasang burung
dengan memakan sepasang mata kekasihnya”.
Dalam puisi di atas terdapat banyak sekali bahasa figuratif atau bahasa simbol
atau bahasa kias yang ditonjolkan oleh penyair. Maksud dan tujuan penyair
menggunakan bahasa figuratif dalam puisi di atas adalah penyair ingin memperkuat
isi dan makna puisi tersebut. Penyair menginginkan dengan hadirnya bahasa figuratif
dalam puisi akan membuat pembaca bisa berpikir lebih keras lagi dalam
menginterpretasi atau memaknai puisi yang berjudul Seekor Kucing dan Sepasang
Burung di atas.
Kesulitan yang Ditemui Pembaca dalam Memaknai Bahasa Figuratif
Dalam memaknai atau mencari maksud bahasa figuratif yang dihadirkan oleh
penyair dalam sebuah puisi memang tidak mudah. Banyak pembaca yang kadang
salah menginterpretasi bahasa kias atau bahasa figuratif dalam puisi. Kesulitan
selanjutnya dalam memaknai puisi adalah berkaitan dengan penggunaan simbol.
Pengertian simbol perlu dibedakan antara makna simbol dan makna simbolisme atau
metaforis. Menurut Coomaroswamy (dalam Cirlot, 1962) simbolisme merupakan seni
berpikir menurut imaji. Sedangkan simbol merupakan ungkapan yang tepat dan
terealisasikan yang berhubungan dengan kehidupan inti dan pokok. Dengan kata lain,
simbol merupakan lambang umum bukan sebagai mimpi, bukan sebagai bayangan,
tapi sebagai suatu kehidupan realistis.
Namun, oleh adanya bahasa kias, penyair mampu menghadirkan banyak
makna dalam menginterpretasi sebuah puisi. Meskipun banyak menghasilkan
interpretasi yang berbeda-beda, namun pada umumnya para pembaca mampu
memaknai tiap puisi meskipun bahasa kias atau bahasa figuratif yang dihadirkan sulit
untuk dimaknai. Biasanya kesulitan yang dialami oleh pembaca disebabkan
kurangnya ketelitian dalam membaca puisi serta kurangnya pembaca dalam
memahami isi puisi tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam
membaca puisi dibutuhkan ketelitian agar pembaca bisa mendapatkan makna yang
sebenarnya dibalik bahasa kias atau bahasa figuratif yang terdapat dalam puisi.
Bahasa Figuratif dalam Puisi-puisi Karya M. Aan Mansyur
Kita perhatikan puisi M. Aan Mansyur yang berjudul Jendela Perpustakaan berikut.
JENDELA PERPUSTAKAAN
Langit menyentuh buku-buku pada sore hari ketika para pengunjung diminta
berhenti membaca. Seorang petugas akan menutupnya dan tidak menyadari
pertemuan singkat mereka yang hangat. Perpisahan dan warna masa kecil itu
tiba-tiba musnah.
Orang-orang pulang dengan pikiran-pikiran lama di kepala. Lampu-lampu
dipadamkan dengan alasan penghematan. Buku-buku tidak bisa membaca diri
mereka sendiri. Malam akan datang dan kesunyian menyusun dirinya kembali.
Di depan perpustakaan, langit masih menatap jendela tertutup itu tanpa
berkedip. Aku tidak ingin cepat sampai di rumah. Kubiarkan langit yang sedih
menyentuh kepalaku. Orang-orang tergesa dan tidak membawa buku. Mereka
berbahaya dan tidak waspada.
Di jalan menuju rumah aku ingin memikirkan semua bunyi-bunyian~bahkan
yang paling jauh~dan tidak ingin mengerti apa-apa. Di rumah hanya ingin
kurenungkan diriku dan seluruh yang tidak ingin kulupakan. Jika mimpi
datang, aku ingin jadi jendela yang luas untuk langit, buku-buku, dan kau.
Puisi yang berjudul Jendela Perpustakaan karya M. Aan Mansyur tersebut
menceritakan tentang suasana hati penyair yang begitu melankolis melihat senja
datang menghampiri, menutup segala aktivitas membaca di sebuah perpustakaan.
Memikirkan segala tentang malam, dengan keheningan dan kehampaan yang akan
datang. Sang penyair merasa kosong, dia hanya menginginkan perenungan tentang
dirinya dan segala yang pernah dialaminya. Sebagai penyair, M. Aan Mansyur
menghadirkan kata-kata yang mengandung bahasa kias atau bahasa figuratif, seperti
bahasa figuratif yang terkandung dalam larik puisi Langit menyentuh buku-buku pada
sore hari ketika para pengunjung diminta berhenti membaca. Kalimat tersebut
mengandung bahasa kias atau bahasa figuratif personifikasi yang artinya bahasa kias
persamaan yang menganggap benda atau makhluk selain manusia seperti memiliki
perilaku manusia. Dengan kata lain membuat atau menganggap benda mati seperti
hidup. Dari larik puisi di atas, M. Aan Mansyur menggambarkan bahwa langit mampu
menyentuh buku-buku dan berperilaku layaknya manusia. Efek yang timbul dari
penggunaan bahasa figuratif personifikasi seperti contoh di atas adalah timbulnya
imajinasi pada pembaca sehingga menambah nilai estetis dari puisi tersebut.
PULANG KE DAPUR IBU
Aku hidup diantara orang-orang yang memilih melakukan usaha lebih keras
untuk menyakiti orang lain daripada menolong diri sendiri.
Aku ingin pulang ke dapur ibuku, melihatnya sepanjang hari tidak bicara. Aku
ingin menghirup seluruh kebahagiannya yang menebal jadi aroma yang selalu
membuat anak kecil dalam diriku kelaparan.
Aku ingin hidup dan diam bersama ibuku. Aku akan menyaksikan ia memetik
sayur di kebun kecilnya di halaman belakang untuk makan malam yang
lengang. Aku ingin membiarkannya tersenyum menatapku makan tanpa
bernapas.
Aku ingin melihat ibuku tetap muda dan mudah tersenyum. Aku ingin
menyimak seluruh kata yang tidak ia ucapkan. Aku ingin hari-harinya sibuk
menebak siapa yang membuatku tiba-tiba suka bernyanyi di kamar mandi.
Puisi karya M. Aan Mansyur yang satu ini menceritakan tentang kerinduan
sang penyair akan masa kecilnya, atau merindukan kenangan-kenangan bahagia
bersama ibunya tatkala masih bersama. Sebab apa yang dialaminya sekarang hanyalah
kepalsuan dan kerasnya dunia. Dalam melukiskan perasaan tersebut, penyair
menggunakan bahasa figuratif atau bahasa kias dalam puisinya. Sebagaimana
dinyatakan oleh Cirlot (1962: 167) bahasa figuratif merupakan salah satu bagian dari
struktur fisik puisi yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek serta
menimbulkan konotasi tertentu pada kata-kata yang terdapat dalam puisi. Bahasa
figuratif atau bahasa kias yang terkandung dalam puisi tersebut diantaranya adalah
majas sindiran atau satire dan majas hiperbola. Majas sindiran atau satire hadir pada
larik puisi berikut.
Aku hidup diantara orang-orang yang memilih melakukan usaha lebih keras
untuk menyakiti orang lain daripada menolong diri sendiri.
Larik di atas menggambarkan suasana hati penyair yang tidak nyaman dengan
keadaan atau kehidupannya yang sekarang. Dimana kebanyakan orang lebih
mementingkan menilai atau mengurusi hidup orang lain dibanding memerhatikan dan
menilai diri sendiri sebagai upaya wawas diri. Selain itu majas hiperbola yang hadir
pada larik berikut.
Aku ingin membiarkannya tersenyum menatapku makan tanpa bernapas.
Aku ingin menyimak seluruh kata yang tidak ia ucapkan.
Larik-larik puisi di atas memberikan makna bahwa kerinduan penyair terhadap masa
kecilnya, atau kebersamaan dengan ibunya begitu besar. Sampai-sampai penyair
mengungkapkan kerinduannya dengan kalimat yang dibuat luar biasa, tidak biasanya,
atau dilebih-lebihkan. Dari kedua larik di atas, kita tahu bahwa penyair melebihkan
ungkapanya dengan kata tanpa bernapas dan tidak ia ucapkan sebagai penegas atau
keterangan. Dengan kata tersebut sebagai penegas maka makna yang timbul itu
berlebihan, sebagaimana jika dipikirkan secara logika apakah mungkin ada orang
yang tersenyum menatap atau memperhatikan orang yang sedang makan tanpa
bernapas sama sekali. Juga apakah mungkin ada orang yang bisa menyimak seluruh
kata yang tidak diucapkan.
MENIKMATI AKHIR PEKAN
Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang
segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka
tertawa dan menipu diri mereka sendiri menganggap hidup mereka baik-baik
saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.
Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak
banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari.
Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.
Pada puisi ini, penyair menggambarkan apa yang dilakukannya di akhir pekan
adalah menikmati keresahan yang dialaminya, dengan mengungkapkan segala hal
yang terpikirkan ke dalam puisinya tersebut. Tentang kemunafikan yang ada
disekitarnya, juga tentang kejujuran, dan kesadaran memaknai hidup yang ada di
sekitarnya. Kedua bait puisi tersebut mengungkapkan perbandingan yang kentara,
antara apa yang dibenci penyair dan yang disenangi penyair. Dalam puisi M. Aan
Mansyur yang satu terdapat penggunaan bahasa kias, atau bahasa figuratif yang
dominan antara majas sindiran atau satire dan juga metafora. Majas sindiran atau
satire yang hadir dalam puisi tersebut terdapat pada larik berikut.
Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan
apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri mereka sendiri menganggap hidup
mereka baik-baik saja.
Dari larik berikut bisa kita simpulkan bahwa penyair menyindir mereka yang
dimaksud, dengan penegasan kalimat tapi kata-kata mereka tidak mengungkapkan
apa-apa, dan diikuti kalimat berikutnya yang sepenuhya adalah satire yaitu mereka
tertawa dan menipu diri mereka sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja.
Maksud dari penegasan tersebut adalah apa yang mereka katakan itu tidak bermakna
sama sekali, atau tidak bermutu. Dan maksud dari kalimat berikutnya adalah jelas
menggambarkan kemunafikan, yang berarti mereka hanya berpura-pura bahagia
meskipun sebenarnya tidak.
Sedangkan majas metafora yang hadir dalam puisi tersebut terdapat pada larik
berikut.
Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.
Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang
telah dicuri.
Dari larik berikut bisa kita lihat bahwa penyair melukiskan persamaan yang
terkandung dalam makna kedua larik tersebut. Penyair menggunakan kata atau
kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya. Maksud dari larik pertama bisa
kita artikan sebagai berfoya-foya dan menghilangkan kebahagiaan atau kejujuran
dalam diri mereka. Mengapa demikian? Sebab “anak kecil” adalah gambaran dari
kepolosan, kejujuran, dan kebahagiaan yang sesungguhnya (tanpa dibuat-buat), murni
tanpa kemunafikan. Sedangkan maksud dari larik kedua bisa kita artikan sebagai apa
yang mereka cari adalah jati diri, kebenaran, dan kejujuran terhadap hidup yang
sedang dijalani.

D. KESIMPULAN
Penelitian terhadap bahasa figuratif dalam puisi penting dilakukan, karena
bahasa figuratif merupakan salah satu bagian dari struktur fisik puisi yang dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek serta menimbulkan konotasi tertentu pada
kata-kata yang terdapat dalam puisi. Dalam kumpulan puisi M. Aan Mansyur jarang
ditemukan puisinya yang tanpa dihadiri oleh adanya bahasa figuratif, yang hal itu
dapat membantu pembaca dalam menginterpretasi makna dari larik-larik yang
terkandung di dalam puisinya. Banyak puisi dengan keindahan bahasa figuratifnya
mampu menggugah estetika dan rasa emosional pembacanya. Bahasa figuratif
dihadirkan dalam puisi untuk membuat pembaca lebih mudah dalam memaknai arti
puisi tersebut. Dalam menggubah puisi seorang penyair mesti berhati-hati dan tidak
sembarangan mencantumkan bahasa figuratif agar puisinya menarik dan memiliki
nilai-nilai etika serta estetika. Dalam mencantumkan bahasa figuratif penyair harus
mampu mengetahui makna yang terkandung dalam kata-kata yang dijadikan sebagai
bahasa figuratif agar pembaca pun bisa memahami, meskipun bahasa figuratifnya
tergolong sulit untuk diinterpretasi. Dalam memahami dan memaknai bahasa figuratif
yang dihadirkan oleh penyair dalam sebuah puisi memang sulit. Banyak pembaca
yang kadang salah dalam menginterpretasi bahasa kias atau bahasa figuratif dalam
puisi.

DAFTAR PUSTAKA
Abrams, (1981). Teori Pengantar Fiksi. Yogyakarta: Hanindita Graha Wida.
Achen, S.T. (1978). Symbols Around us. New York: Van Nostrand Reinhold Company
Cirlot, J.E. (1962). A Dictionary of Symbols. Second edition. New York: Philosophical
Library Inc.
Kridalaksana, H. (1982). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Kumpulan Puisi M. Aan Mansyur. (2015). Melihat Api Bekerja. Jakarta: Gramedia
Pradopo, R.J. (1994). Prinsip-prinsip Kritik Sastra: Teori dan Penerapannya. Gadjah Mada
University Press.
Russel, C.R. (1966). How to Analyze Poetry. New York: Monarch Press.
Supriyadi. (2013). Ungkapan-ungkapan Metaforis dalam Puisi-Puisi karya Agus R. Sarjono.
Litera: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Volume 12, Nomor 2,
Oktober 2013, (312-327)
Ntelu, A. Ellyana. Yelin. Supriyadi. (2020). Bahasa Figuratif dalam Puisi-puisi Karya
Chairil Anwar. Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra. Volume 21, Nomor 2, (41-56)
Supriyanto, T. (2011). Kajian Stilistika dalam Prosa. Yogyakarta: Elmatera.
Tuloli, N. (1999). Penyair dan Sajaknya. Gorontalo: Percetakan STKIP Gorontalo

Anda mungkin juga menyukai