Nim: 201010700005
PENDAHULUAN
Karya sastra dapat diungkapan dengan perasaan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan yang dilukiskan dalam tulisan
dan menarik perhatian dengan alat bahasa. Karya sastra dapat dipahami sebagai usaha merekam
isi jiwa penulisnya dengan alat bahasa dan disampaikan kepada orang lain. Tentu hal ini adalah
sebuah kebebasan yang selalu memberikan imajinasi terhadap pembaca dan penikmatnya.
Salah satu produk sastra, terutama puisi. Puisi sangat populer di berbagai lapisan
masyarakat. Kata-kata yang dirangkai dengan cermat dalam bentuk sebuah gaya bahasa yang
disebut lirik yang terdiri dari beberapa bagian. Elemen dan struktur puisi, serta maknanya, serupa
dengan gaya bahasa dalam penulisan liriknya. Penjiwaan dan pemaknaan dalam sebuah karya
sastra tentu sangat berfungsi sebagai bentuk ekspresi dari seorang penulisnya.
Puisi yang pendek yang mengekspresikan emosi. Seorang pencipta lagu menggambarkan
berbagai makna melalui lirik yang dia buat. Pemilihan kata yang tepat sangat penting untuk
membawa makna yang begitu dalam ke dalam setiap diksi sehingga setiap pendengar atau
pembaca dapat memahami dan menikmatinya.
Diksi yang terdapat dalam puisi juga memiliki berbagai gaya. Ini termasuk gaya bahasa
atau majas, gaya bunyi, dan gaya bentuk. Dengan majas ini, diksi dalam puisi akan memiliki
nilai estetika yang luar biasa. Diksi puisi sering menggunakan citra karena penulis biasanya
mengambil gambar dari pengalaman hidup mereka sendiri. Diksi dalam puisi memiliki tujuan
tertentu untuk mendapatkan maknanya, terutama untuk menyampaikan pikiran, perasaan, atau
perspektif global. Entah dari masa lalu atau sekarang, karena lagu menggunakan diksi untuk
menyampaikan pesan.
Melalui diksi dan maknanya, pesan dapat disampaikan. Diksi, seperti puisi, ialah kumpulan kata
nyanyian dan ekspresi emosi dari seorang penulis ataupun penyair.
Banyak orang dalam masyarakat menyukai puisi karena tertarik dengan makna dalam
diksi yang dirangkai sebaik mungkin. Di mana pun mereka berada, sebuah puisi dikenal dan
disukai oleh hampir semua lapisan masyarakat. Setiap pusis telah masuk ke dalam kehidupan
manusia, yang berarti mereka selalu menyertai berbagai latar belakang kehidupan. Ini adalah
alasan mengapa puisi jarang terlewatkan oleh masyarakat, terlebih mahasiswa Sastra Indonesi di
dalam Universitas Pamulang.
Saat ini, masyarakat menghadapi kesulitan untuk memahami makna gaya yang digunakan
dalam diksi pada puisi. Penulis puisi tidak sering menggunakan diksi atau kata-kata yang terdiri
dari berbagai gaya bahasa atau metafora yang sulit dipahami oleh orang biasa. Oleh karena itu,
makna yang terkandung dalam diksi juga lebih sulit dipahami. Stilistika adalah bidang studi yang
menyelidiki masalah ini. Teori stilistika yang ditemukan dalam antologi puisi Irwansyah "Kami
Yang Lupa" adalah subjek penelitian ini. Metode unik yang digunakan penulis untuk
menyampaikan ide-idenya melalui bahasa yang mencerminkan kepribadian dan kepribadian
penulis disebut sebagai stilistika.
Seorang bapak, Irwansyah yang berkelahiran di Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara) 03
Juni 1973 senang merajut kata yang dahulu tak berusaha untuk publikasi. Penikmat sastra
semenjak SMP (baca novel dan roman di perpustakaan Sekolah saat Istirahat). S1 Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan Bogor dan S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Indraprasta. Saat ini mengajar di Universitas Pamulang. Baru
memberanikan diri di antologi Gembok Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia IX 2021.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan memeriksa teks diksi dari puisi-puisi
Irwansyah dari antologi puisi "Kami Yang Lupa". Pada penelitian ini akan menggunakan empat
metode deskriptif kualitatif untuk melakukan analisis ini. Fokus penelitian ini adalah gaya bahasa
dan citraan yang ditemukan dalam diksi/lirik lagu dari antologi puisi Irwansyah "Kami Yang
Lupa". Dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang
ingin mempelajari lebih lanjut tentang gaya bahasa dan citraan dalam konteks tersebut.
LANDASAN TEORI
Baik pengarang maupun penikmat karya sastra dapat dipengaruhi oleh gaya bahasanya,
yang menghidupkan elemen dan prinsip keindahan. Bahasa yang indah digunakan untuk
meningkatkan efek dengan memperkenalkan dan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang
lebih umum (Tarigan, 2009:4).
Majas, atau gaya bahasa, dan bahasa figuratif adalah istilah untuk kata-kata yang
memiliki banyak arti. Majas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah teknik
untuk menggambarkan sesuatu dengan membandingkannya dengan hal lain. Gaya bahasa,
menurut Gorys Keraf (2012:113), adalah cara penulis mengungkapkan pikiran mereka melalui
bahasa tertentu yang menunjukkan jiwa dan kepribadian mereka. Majas ialah suatu bahasa kiasan
yang meningkatkan arti.
Namun, menurut Nuriadin 2017, gaya bahasa biasanya dibagi menjadi kategori utama.
Termasuk dalam kategori ini adalah sebuah majas perbandingan, majas perulangan, majas
pertentangan, dan majas pertautan. Jenis-jenis majas dalam setiap kategori ini adalah sebagai
berikut: (1) majas perbandingan (seperti perumpamaan, metafora, dan personifikasi), (2) majas
perulangan (seperti aliterasi, asonansi, repetisi, pleonasme, dan parelisme), (3) majas
pertentangan (seperti hiperbola, litotes, dan oksimoron), dan (4) majas pertautan (seperti
hiperbola, litotes, dan oksimoron).
METODE PENELITIAN
Metode adalah pendekatan sistem yang bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan tugas
untuk mencapai tujuan tertentu (kbbi.web.id). Penny (1975) menyatakan bahwa penelitian
adalah proses yang sistematis untuk mempertimbangkan berbagai macam masalah, dan untuk
mencapai solusi ini, pengumpulan dan penafsiran fakta diperlukan.
Diksi puisi yang ditulis Irwansyah untuk antologi puisi Kita Yang Lupa adalah sumber
data utama penelitian ini. Dipelajari bersama, dimotivasi, dan dibaca berulang kali, informasi
penting dicatat. Analisis penelitian didukung oleh sumber teori yang ada dalam buku-buku teori.
Lihat bingkai-bingkai beranda yang ditata dari tatanan kehidupan modernisasi asasi
seperti basah basi ada dalam genggaman tapi tak tergenggam hanya beradu argumentasi
dalam kepala, jendela-jendela dibuka selebar-lebarnya tetapi terasa sempit ada
pengintip yang dititip menjepit, menggigit tanpa berani menjerit karena bukan serigala
bertaring tajam berkuku lancip.
Ada bingkai bicara hati nurani kesan hidup atau sebenarnya telah mati rasa dalam
belantara tangan-tangan besi...jadi abdi setia dengan tinta harga diri dibenam ancaman
loker PHK seperti kurcaci membuka jendela dengan coretan atas titah permintaan
hingga diksi berupa prediksi.
Bingkai lain tampilkan peci dengan dasi lima tahunan seperti terpelajar membawa
segudang impian iming-iming kesejahteraan, keamanan, keadilan, gambarkan
kebenaran mewakili keharmonisan kehidupan dalam simponi kebohongan entah apa isi
kepalanya segudang rencana hanya tinggal di atas meja menumpuk kertas kerja berakhir
di KPK.
Lihat! Ada bingkai pada sebuah beranda berebut tempat, kursi gerbong kereta khusus
wanita, "Pak...Kalian bukan bagian kaum kami", "maukah Kalian hamil, memakan
harta bukan hak seperti mencuri tempat duduk kami!" Saling sikut tak perduli tempat
dan
waktu, suasana sepi kembali mencuri karena penjaga picing mata kura-kura dalam
perahu.
Beranda-beranda dihias bingkai dalam genggaman yang tak tergenggam tak pula
tersentuh biar saja jadi bangkai.
Data berikut menunjukkan Iksan Skuter menggunakan gaya bahasa hiperbola dan
anafora dalam puisi "Bingkai Seperti Bangkai":
Terdapat gaya bahasa hiperbola, yang didefinisikan sebagai gaya bahasa yang
mengandung pernyataan yang berlebihan dalam jumlah, ukuran, atau sifatnya dengan tujuan
untuk menekan, memperkuat, atau meningkatkan kesan dan pengaruh. Salah satu klausa yang
menunjukkan gaya bahasa hiperbola adalah pernyataan "ada bingkai pada sebuah beranda", yang
memiliki sifat berlebihan. Segala kekayaan yang ada di dunia, seperti uang, mobil, perhiasaan,
dan sebagainya, dianggap sebagai isi dunia dalam konteks ini.
Dalam data ini, terdapat gaya bahasa anafora, yaitu gaya bahasa perulangan yang
memiliki perulangan kata pada baris atau awal kalimat. Perulangan kata semakin ditemukan pada
awal setiap kalimat. Tujuan dari pengulangan kata semakin ini adalah untuk menekankan
masalah yang ada dalam puisi bingkai seperti bangkai.
“Seperti terpelajar”
Di dalamnya terdapat citra penglihatan, yang merupakan citra yang ditimbulkan oleh
daya semu penglihatan. Arti dari kata "terpelajar" berasal dari kata "pelajar", yang berarti ada
sesuatu yang nampak, seperti pintar atau penuh wawasan. Dengan kata "terpelajar", pendengar
atau pembaca seaakan membayangkan situasi seseorang yang penuh wawasan.
Mimpi Keadilan...Asu
Si Cantik berbody aduhai baju celana dipakai ketat melenggak lenggok bak ratu
khatulistiwa tanpa malu serta salah keluar sidang senyum lebar menoel isi
kepala
berdegup jantung alang kepalang semua mata melotot sambil air liur jatuh terjerembab
membanjiri bumi, ketuk palu hakim petanda sengketa usai...Si cantik istri si miskin
dinyatakan bebas walau berjinah dan berdalih dengan Bang Ganteng pemilik pohon duit
yang hartanya tak habis tujuh turunan seisi negeri sanggup dibeli...
Aku terbangun disiram air oleh Si Cantik dan Bang Ganteng karena terganggu nyanyian
tidurku...Asu! Aku terusir dari mimpiku.
“Si Cantik berbody aduhai, dipakai ketat melenggak lenggok, keluar sidang senyum lebar,
air liur jatuh terjerembab membanjiri bumi, ketuk palu hakim petanda sengketa usai”
Kutipan diksi menunjukkan gaya bahasa asonansi. Asonansi adalah gaya bahasa
perulangan yang menggabungkan bunyi vokal dalam satu kata atau lebih. Lihatlah istilah
komunis, kapitalis, fasis, dan ideologis. Pengarang menggunakan gaya bahasa ini untuk
meningkatkan irama setiap rima dalam lirik/diksi. Setiap kata yang dipilih memiliki makna yang
berhubungan satu sama lain dengan makna yang ingin disampaikan pengarang dalam puisi.
“Pemakai sorban dihukum pula berbulan-bulan ketuk palu bersalah dari pak hakim yang
berbaju tanpa celana, Aku terbangun disiram air oleh Si Cantik dan Bang Ganteng karena
terganggu nyanyian tidurku...Asu! Aku terusir dari mimpiku”
Dalam kutipan diksi tersebut, terdapat gaya bahasa epozeukis, yang merupakan gaya
bahasa perulangan langsung di mana kata-kata yang dianggap penting diulang beberapa kali.
Pengarang menekankan kata "Si Cantik" dengan maksud bahwa "manusia" adalah subjek
penelitian dari masalah yang diangkat dalam puisi "Mimpi Keadilan...Asu ".
“Memakai sorban sepulang sholat, keluar sidang senyum lebar, melenggak lenggok bak
ratu khatulistiwa”
Data mengandung gambar penglihatan. Ciri-ciri yang dihasilkan oleh daya semu
penglihatan disebut citraan penglihatan. Kata-kata seperti "Senyum lebar", "melenggak", dan
"bak ratu" ditemukan dalam data ini. Kata-kata tersebut mendorong setiap pendengar atau
pembaca untuk memikirkan seseorang dengan kebaikan, bergaya halus, dan perempuan
istimewa.
“Bang Ganteng di dalam mobil sport dengan atap terbuka, Pak hakim yang berbaju
tanpa celana, Ketuk palu bersalah dari pak hakim”
Data mengandung gambar penglihatan. Dan juga dari segala sesuatu yang berkaitan
dengan upaya untuk mendapatkan bayangan pendengaran untuk menciptakan suasana terkubu
dalam tulisan atau sajak disebut citraan pendengaran.
Berdasarkan data ini, kata-kata "Bersalah", "Berbaju", semuanya memiliki arti yang
sama: "berirama" berarti berkata dengan suara keras, "bersalah" berasal dari kata "salah", yang
berarti salah atau kesalahan, "bersalah" berarti suatu hal yang dapat didengar, dan "salah" berarti
tersudut dan tersudut.
KESIMPULAN
Dalam diksi puisi dari antologi puisi Irwansyah yang berjudul "Kami Yang Lupa", citraan
yang dominan sebagai citraan penglihatan, kemudian citraan pendengaran, dan jenis citraan
perabaan. Oleh karena itu, mudah dipahami dan disimpulkan bahwa citraan penglihatan adalah
citraan yang dominan dalam puisi-puisi di antologi puisi tersebut. Selain itu, gambar penciuman,
rasaan, dan gerak tidak ditemukan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Moeliono, Anton M. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusutaka.
Moleong, LJ. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2014. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rani, Abdul dkk. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang:
Bayumedia Publishing.
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa (Struktur Internal, Pemakaian, dan Pembelajaran). Jakarta:
Rineka Cipta.
Hasanuddin, WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak:Pengantar Pengkajian dan Interpretasi.
Bandung: Angkasa.
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.