Anda di halaman 1dari 9

HAKIKAT PUISI

"Puisi pada hakikatnya adalah satu pernyataan perasaan dan pandangan hidup seorang penyair yang
memandang sesuatu peristiwa alam dengan ketajaman perasaannya. Perasaan yang tajam inilah
yang menggetar rasa hatinya, yang menimbulkan semacam gerak dalam daya rasanya. Lalu
ketajaman tanggapan ini berpadu dengan sikap hidupnya mengalir melalui bahasa, menjadilah ia
sebuah puisi, satu pengucapan seorang penyair."

PUISI: DEFINISI DAN UNSUR-UNSURNYA

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan.

Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem.

Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari
Yunani yang berarti membuat atau mencipta.

Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang
yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang
yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang
yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Rahmat Djoko Pradopo memaparkan beberapa ahli terkait definisi puisi.

(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan
terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya
seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan
sebagainya.

(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair
menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata
disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik,
yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif,
yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu
lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret
dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra,
dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan
sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-
katanya berturu-turut secara teratur).

(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup.
Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat
seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian
orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
a. Tema

Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair melalui puisi. Gagasan pokok tersebut
menjadi landasan utama penyair dalam mengungkapkan isi puisi. Tema yang terdapat dalam puisi di
antaranya temaketuhanan (religius), kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan hidup,
alam, keadilansosial, demokrasi, kekuasaan, kesedihan, kerinduan, politik, pendidikian, budi pekerti,
dan perpisahan.

b. Perasaan

suasana perasaan penyair diekspresikan dan mampu dihayati pembaca. perasaan penyair dapat
berupa sikap, pandangan, perbuatan, atau watak khusus.

c. Nada

Penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca. Sikap penyair terhadap pembaca tersebut
diungkapkan dalam nada. dari sikap itulah tercipta suasana puisi. sebuah puisi dapat bernada sinis,
protes, menggurui, memberontak, main-main, bercanda, serius, patriotik, belas kasih, dendam,
membentak, memelas, takut, merendahkan, menyanjung, khusyuk, kharismatik, kagum, filosofis,
mengejek, meremehkan, menghasut, menghimbau.

d. Amanat

Amanat, atau pesan, nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi.
Amanat ditentukan sendiri oleh pembaca berdasarkan cara pandang pembaca terhadap sesuatu.
METODE PUISI

Puisi merupakan hasil kepaduan beberapa unsur penyusun yang membuat karya tersebut disebut
puisi. MenurutWaluyo (1991:4) puisi dibangun oleh dua unsur pokok yaitu: struktur fisik yang
berupa bahasa, dan struktur batin atau struktur makna.

Struktur fisik puisi atau struktur kebahasaan puisi disebut juga metode puisi. Medium pengucapan
maksud yang hendak disampaikan penyair adalah bahasa.

Struktur Fisik Puisi

Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.

(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata,
tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap
puisi.

(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Kata-kata dalam
puisi bersifat konotasi dan puitis. konotasi berarti memliki kemungkinan makna lebih dari satu. puitis
berarti mempunyai efek keindahan dan berbeda-beda dari kiata-kata dalam kehidupan sehari-hari.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal,
maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya
dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69)
menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan
leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan
dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan
historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga
titik)

(3) Imaji, yaitu Pengimajinasian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas apa
yang dinyatakan oleh penyair. melalui pengimajian apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat,
didengar, atau dirasa atau kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji
suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami
penyair.

(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya
imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju:
melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat
melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

(5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif disebut juga
majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire,
pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

(6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada
puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap
bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi
(aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh,
repetisi bunyi [kata], dan sebagainya serta (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi
rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

DIKSI

¡ Diksi atau pilihan kata adalah pemilihan kata oleh penulis untuk menyatakan maksud (Keraf dalam
Wahyudi 1989: 242).

¡ Pemilihan kata dilakukan untuk mendapatkan kata yang tepat berdasarkan seleksi bentuk,
sinonim, dan rangkaian kata.

¡ Kata-kata dalam puisi memiliki peranan yang sangat besar. Kekuatan sebuah puisi terletak pada
kata-kata yang digunakan. Keberhasilan sebuah puisi pun terletak pada pilihan kata yang digunakan.
Maka dari itu pilihan kata dalam puisi harus benar-benar kata yang mewakili apa yang dirasakan oleh
penulisnya agar pembaca dapat merasakan apa yang dirasakan oleh penulis puisi tersebut.

PENGIMAJIAN

¡ Pengimajian atau daya bayang adalah kemampuan menciptakan citra atau bayangan dalam benak
pembaca. Dengan daya bayang, puisi tidak hanya digunakan sebagai sarana memberitahukan apa
yang dialami atau dirasakan penulis saja, melainkan juga sebagai alat merasakan apa yang dirasakan,
melihat apa yang dilihat, dan mendengar segala sesuatu yang didengar oleh penulis. Daya bayang
dapat penulis ciptakan dengan menempuh beberapa cara yang di antaranya (1) penggunaan kata-
kata kias, (2) penggunaan lambang-lambang, dan (3) penggunaan pigura-pigura bahasa, seperti
metafora, metonimia, personifikasi, dan sebagainya.

Contoh Daya Bayang dalam Puisi.

¡ AKU

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulanya terbuang

……………………………..

Chairil Anwar

Penggunaan kata-kata kias dalam puisi”Aku” terlihat pada “Aku ini binatang jalang” yang bermaksud
“pemberontak” dan “Dari kumpulanya terbuang” untuk mengiaskan “tidak mau mengikuti aturan
umum”. Kata kias yang digunakan memiliki pengaruh yang amat kuat karena di balik kata-kata itu
terkandung makna yang jelas yang gampang ditangkap oleh pancaindra.

¡ TERATAI

Kepada Ki Hajar Dewantara


Dalam kebun tanah airku

Tumbuh sekuntum bunga teratai;

Tersembunyi kembang indah permai.

Tak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,

……………………………………………..

Sanusi Pane

¡ Puisi “ Teratai” tersebut adalah contoh penggunaan lambang dalam penulisan puisi. Bunga teratai
yang menjadi ibarat dari Ki Hajar Dewantara (Suharianto: 2005). Menurut Jabrohim dkk (2003:36)
hal-hal yang berkaitan dengan citra ataupun citraan disebut pencitraan atau pengimajian.
Pengimajian digunakan untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus,
membuat hidup (lebih hidup) gambaran dalam pikiran dan pengindraan, untuk menarik perhatian,
untuk memberikan kesan mental, atau bayangan visual penyair menggunakan gambaran-gambaran
angan.

¡ Pencitraan atau pengimajian dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam, yaitu (1) citraan
penglihatan, yang dihasilkan dengan memberi rangsangan indra penglihatan, yang dihasilkan dengan
memberi rangsangan indra penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat seolah-olah kelihatan, (2)
citraan pendengaran yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara atau
berupa onomatope dan persajakan yang berturut-turut, (3) citraan penciuman, (4) citraan
pencecapan, (5) citraan rabaan, yakni citraan yang berupa rangsangan-rangsangan kepada perasaan
atau sentuhan, (6) citraan pikiran/intelektual, yakni citraan yang dihasilkan oleh asosiasi pikiran, (7)
citraan gerak, dihasilkan dengan cara menghidupkan dan memvisualkan sesuatu hal yang tidak
bergerak menjadi bergerak (Jabrohim dkk 2003:39).

KATA KONKRET

¡ Menurut Jabrohim dkk (2003:41) kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk
menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan
imaji pembaca. Sebagai contoh yang diungkapkan oleh Jabrohim, untuk melukiskan dunia pengemis
yang penuh kemayan, penyair menulis: Hidup dari kehidupan angan-angan yang
gemerlapan/gembira dari kemayaan ruang. Untuk melukiskan kedukaannya, penyair menulis: bulan
di atas itu tak ada yang punya/kotaku hidupnya tak punya tanda.

BAHASA FIGURATIF atau KIASAN

¡ Bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi
makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu (Jabrohim
dkk 2003:42). Pencapaian arti atau efek tertentu tergantung jenis kiasan yang digunakan. Pradopo
(dalam Jabrohim dkk 2003:44) mengelompokkan bahasa figuratif menjadi enam jenis, yaitu simile,
metefora, epik-simile, personifikasi, metonimi, sinekdoks, dan allegori.

1. Simile
¡ Simile adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang sesungguhnya
tidak sama (Jabrohim dkk 2003:44). Sebagai sarana dalam upaya menyamakan hal yang berlainan
tersebut simile menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, seperti, sebagai, bak,
seumpama, laksana, serupa, sepantun, dan sebagain

2. Metafora

¡ Metafora adalah bentuk bahasa figuratif yang memperbandingkan sesuatu hal dengan hal lainnya
yang pada dasarnya tidak serupa (Jabrohim dkk 2003:45).

3. Epik-simile

¡ Epik simile atau perumpamaan epos ialah pembandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang,
yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingan lebih lanjut dalam kalimat-kalimat
atau frase-frase yang berturut-turut (Jabrohim dkk 2003:49). Menurut Baribin (1990:49) simile epik,
ialah perumpamaan yang dilanjutkan atau diperpanjang. Contoh: “Tidurlah bocah di atas bumi yang
tak tidur.

4. Personifikasi

¡ Menurut Baribin (1990:50) personifikasi ialah mempersamakan benda dengan manusia, hal ini
menyebabkan lukisan menjadi hidup, berperan menjadi lebih jelas, dan memberikan bayangan
angan yang konkret. Contoh: “awan pun terdiam”.

5. Metonimi

¡ Metonimi adalah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda ke suatu hal atau benda
lainnya yang mempunyai kaitan rapat (Jabrohim dkk 2003:51). Menurut Alternbornd (dalam Baribin
1990:50) metonimia, ialah penggunaan sebuah atribut dari suatu objek atau penggunaan sesuatu
yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Metonimi juga
sering disebut dengan bahasa kiasan pengganti nama. Misalnya: “senja kian berlalu”. Senja artinya
maut atau kesusahan.

6. Sinekdoki

¡ Sinekdoki adalah bahasa figuratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari suatu benda atau
hal untuk benda atau hal itu sendiri (Jabrohim dkk 2003: 52). Menurut Baribin (1990:50) sinekdoki
ada dua macam, yakni (1) pars pro toto, yaitu sebagian untuk keseluruhan; (2) totum pro parte:
keseluruhan untuk sebagian. Contoh pars pro toto: “Tidakkah siapapun lahir kembali di detik begini”
dan “hatimu yang mendengar semesta dunia”. Contoh totum pro parte: “Sampai engkau bangkit dan
seluruh pulau mendengarkan”.

VERSIFIKASI ATAU RIMA DAN IRAMA

¡ Bunyi dalam puisi menghasilkan versifikasi atau ritma dan rima. Secara umum ritma dikenal
sebagai irama atau wirama, yakni pengertian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan
bunyi bahasa dengan teratur (Jabrohim dkk 2003: 53). Rima adalah istilah lain dari persajakan atau
persamaan bunyi, sedangkan irama sering juga disebut dengan ritme atau tinggi rendah, panjang
pendek, keras lembut, atau cepat dan lambatnya kata atau baris-baris suatu puisi bila puisi tersebut
dibaca. Rima dan irama ini memiliki peran yang sangat penting karena keduanya sangat berkaitan
dengan nada dan suasana puisi (Suharianto 2005: 45-49).
CONTOH PENGGUNAAN RIMA DAN IRAMA DALAM PUISI:

¡ MINANG

Inilah tanah, di mana Sabai dilahirkan

Di mana Malin, si Durhaka, menerima kutukan

di mana kaba ialah sebagian dari kehidupan

dan beragam pantun mengalun dalam kesunyian

Sepi di sini sepi batu dan sepi gunung

Sepi hutan-hutan hijau melingkung

padang-padang lalang sejauh mata merenung

di atasnya mengambang rawan suara lesung

…………………………………………….

(Hartoyo Andang jaya)

¡ Dari contoh puisi tersebut terlihat bagaimana rima dan irama merupakan unsur yang sangat
berperan dalam menghidupkan suatu puisi. Dengan rima dan irama yang terdapat dalam puisi
tersebut, nada dan suasana yang hendak digambarkan penyair menjadi lebih nyata dan lebih mudah
dibayangkan oleh pembacanya.

Rima dibedakan atas tiga macam:

¡ 1. Berdasarkan bunyinya, terbagi atas asonansi (rima karena persamaan vokal) dan aliterasi (rima
karena persamaan konsonan),

¡ 2. Berdasarkan letak dalam kata, rima terbagi atas rima mutlak (seluruh vokal dan konsonan
sama), rima sempurna (salah satu suku katanya sama), dan rima tak sempurna (bila dalam salah satu
suku kata hanya vokal atau konsonan saja yang sama),

¡ 3. Berdasarkan letaknya dalam baris, rima terbagi atas rima awal (terdapat pada awal baris), rima
tengah, rima horisontal (terdapat pada baris yang sama), dan rima vertikal (terdapat pada baris yang
berlainan).

TIPOGRAFI

¡ Tipografi adalah cara penulisan suatu puisi sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang
dapat diamati secara visual (Aminuddin 2002: 146). Tipografi merupakan bentuk fisik atau
penyusunan baris-baris dalam puisi.

Peranan tipografi dalam puisi adalah untuk menampilkan aspek artistik visual dan untuk
menciptakan nuansa makna tertentu. Selain itu, tipografi juga berperan untuk menunjukan adanya
loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin dikemukakan
penyair.

STRUKTUR BATIN PUISI


¡ (1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda
dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan.

¡ (2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi
penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman
pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada
kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar
belakang sosiologis dan psikologisnya.

¡ (3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema
dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca,
dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

¡ (4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair
menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat
ditemui dalam puisinya.

TEMA

¡ Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang (Jabrohim dkk 2003:65). Menurut Waluyo
(2003:17) tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan penyair melalui puisinya.
Semua karya terkhusus karya sastra pasti memiliki tema yang merupakan pokok permasalahan yang
diangkat dalam menulis karya sastra itu.

PERASAAN (Feeling)

¡ Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddin 2002:150).
Sikap tersebut adalah sikap yang ditampilkan dari perasaan penyair, misalnya sikap simpati, antipati,
senang, tidak senang, rasa benci, rindu, dan sebagainya.

NADA DAN SUASANA

¡ Sikap penyair kepada pembaca disebut nada puisi, sedangkan keadaan jiwa pembaca setelah
membaca puisi atau akibat yang ditimbulkan puisi terhadap perasaan pembaca disebut suasana.
Nada mengungkapkan sikap penyair, dari sikap itu terciptalah suasana puisi. Ada puisi yang bernada
sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik, belas kasih
(memelas), mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo 2009:37).

AMANAT

¡ Amanat atau tujuan adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat
dapat ditemukan setelah mengetahui tema, perasaan, nada, dan suasana puisi. Amanat yang hendak
disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak
penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan (Jabrohim dkk 2003:67).
Sedangkan menurut Waluyo (2003:40) amanat, pesan atau nasehat merupakan kesan yang
ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Cara pembaca menyimpulkan amanat puisi sangat
berkaitan dengan pandangan pembaca terhadap suatu hal.

Amanat berbeda dengan tema. Dalam puisi, tema berkaitan dengan arti, sedangkan amanat
berkaitan dengan makna karya sastra (Jabrohim dkk 2003:67). Arti dalam puisi bersifat lugas,
objektif dan khusus, sedangkan makna puisi bersifat kias, objektif, dan umum.

Sumber:

http://anniunni.blogspot.com/2012/08/hakikat-dan-metode-puisi.html

Dengan beberapa perubahan.

Anda mungkin juga menyukai