Apakah betul pernyataan di atas? Bukankah puisi untuk dinikmati? Apakah dari penilaian yang benar,
akan memotivasi pembaca untuk membaca? Ataukah dari penilaian yang salah puisi akan berhenti
dibaca? Apakah membaca puisi hanya karena kita kenal pada penyairnya? Hanya karena kita
mengenal pada kebesaran namanya? Seperti pada penyair Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Amir
Hamzah, Khalil Gibran?
Ah, apakah benar puisi dapat dinilai? Dievaluasi? Dan diberi poin? Kalau begitu kita membaca puisi
hanya karena pendapat bahwa puisi ini baik, puisi spontanik, puisi ini heroik, dll. Bukan karena
menikmati karya puisi itu apa adanya. Puisi yang berbicara dengan segenap kepuitikannya?
Penilaian sebuah puisi berawal dari interpretasi. Interpretasi tentang keindahan dari satu puisi. Karena
indah itu sangat subjektif sifatnya, maka para ahli merasa perlu menentukan yang disebut puisi indah
itu apa. Walaupun pada kenyataannya ketentuan itu kembali menjadi bermacam-macam bergantung
pada paradigma keilmuan dan perspektif para ilmuan yang menentukannya.
Puisi bisa dinilai bergantung pada kepentingan apa kita ‘membaca’ puisi tersebut. Apakah penilaian
bagian dari kritikan atau apresiasi? Dua-duanya bisa dipakai bergantung dari perspektif mana kita
melihat. Penilaian pada sebuah puisi dianggap bagian dari kritikan adalah ya. Kritikan tertinggi.
Sehingga pembaca mampu menentukan puisi yang ‘baik’, ‘bermutu’ itu seperti apa. Penilaian sebuah
puisi dianggap dari apresiasi adalah juga ya. Menghargai puisi (karya seni) dengan tingkat tinggi adalah
dengan menilai.
Karena dari perspektif kritik dan apresiasi bermuara pada evaluasi, maka kemudian berkembanglah
perangkat penilaiannya. Bermacam-macam aliran dan alat ukur ditawarkan para ahli (baik praktisi
maupun akademisi). Terutama di Barat, kriteria penilaian karya sastra begitu beragam. Kalau para
penyair konvensional menyebut keberhasilan puisi cukup dengan membuat kita tertegun dan
terkagum-kagum, itu tidak salah, tetapi tidak bisa diuraikan bentuk ketertegunan dan keterkaguman
itu. Nah, para ahli dari barat membuat sistematika penilaian tersebut dengan kriteria-kriteria karya
seni (walaupun sebenarnya sangat-sangat terpengaruh filsafat positivistik; ideologi materi yang secara
umum diterapkan pada ilmu matematika dan pengetahuan alam; sains).
Dari sekian banyak ahli, Wellek dan Warren adalah ahli sastra yang menempatkan puisi tetap berpijak
sebagai karya seni. Menurutnya karena puisi (karya seni) bersifat ‘indah’ dan mengandung nilai
‘bermutu’, maka puisi (karya seni) harus dinilai dengan dua hal: kriteria estetik dan kriteria ekstra
estetik.
Penilaian estetik adalah menilai karya puisi dari struktur estetik, yaitu semua usaha yang terlihat
susunannya dalam puisi: rima, irama, diksi, gaya bahasa, alur, konflik, humor, termasuk juga kebaruan
dan kemampuan yang membuat orang terpesona. (Nah, penilaian para penyair atau pembaca
konvensional masih sebatas ini ternyata).
Penilaian ekstra estetik adalah penilaian dari bahan-bahan karya puisi, yaitu: pemilihan kata-kata;
bahasa, tingkah laku manusia, gagasan, sikap (di antaranya spontanitas), intension (niat) dan apapun
yang sebelumnya berada di luar karya puisi itu sendiri. Dalam puisi yang berhasil, bahan-bahan
tersebut terjalin dalam hubungan-hubungan yang bermacam-macam oleh dinamika-dinamika tujuan
estetik.
Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi, selain berdasarkan pada susunan yang terlihat (estetik) juga
berbahankan pada bahan-bahan yang besar. Kebesarannya (agung) adalah bila puisi tersebut
mengekspresikan nilai yang besar. Nilai-nilai kehidupan yang besar itu di antaranya meliputi pikiran-
pikiran yang tinggi atau cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan menawarkan
renungan (kontemplasi).
Dengan demikian, sebuah puisi yang bernilai sastra (tinggi) adalah sebuah karya yang indah dan
mengandung kreativitas (estetik), juga memuat pikiran-pikiran tinggi dan gambaran-gambaran
kehidupan yang memesonakan (ekstra estetik).
Dengan demikian pula, kita tidak bisa menafikan puisi tersebut dengan menyebut ‘tidak bermutu’,
‘tidak bernilai’, ‘tidak bernilai sastra’ dan semacamnya bila kehilangan salah satu unsur kecil dari
bagian unsur besar (estetik & ekstra estetik) –karena tidak ada zat yang sempurna kecuali pembuat
manusia! Jika tidak ada salah satu dari keduanya (estetik atau ekstra estetik tidak ada), penilai boleh
menyebut bahwa puisi tersebut ‘kurang bernilai atau kurang bernilai sastra’ bahkan ‘tidak bagus’.
Uraian di atas adalah melihat penilaian puisi dari keobjektifan karya. Dalam kenyataannya menilai
puisi juga bisa bergantung pada penilai. Mampu tidaknya penilai menghadirkan jarak dirinya dari karya
dan penyairnya, atau menekan seminimal mungkin praduga negatif yang memenuhi pikirannya dalam
menilai puisi menjadi sesuatu yang penting dikritisi.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa soal keindahan adalah soal subjektif yang sesuai dengan
selera, penghayatan, dan pengalaman pembaca kritis (penilai). Apalagi bila dibebani dengan
kepentingan-kepentingan lain, definisi keindahan yang seharusnya diterapkan seobjektif mungkin
menjadi bias. Apalagi dengan ditambah kesan yang salah akan membentuk opini pembaca lain
terhadap puisi tersebut.
Lalu, jika penilai menyebut ada puisi yang kehilangan ‘spontanitas’. Apakah itu?
Spontanitas dalam KBBI adalah: 1) kesertamertaan dan 2) perbuatan yang wajar, bebas dari pengaruh
orang lain dan tanpa pamrih. Nah, spontanitas yang disebut penilai ini harus dijelaskan. Spontanitas
yang pertama merujuk pada unsur estetik (hal-hal yang bisa dilihat dari puisi), sedangkan spontanitas
yang kedua merujuk pada unsur ekstra estetik (khususnya: sikap penyair).
Jika penilai merujuk spontanitas yang pertama, harus dijelaskan apa dan bagaimana sehingga puisi
tersebut disebut kehilangan kesertamertaannya? Bukannya puisi adalah spontanitas kata-kata yang
meluncur seketika ketika rasa sudah memuncak (intens). Mana mungkin rasa yang keluar dengan
dilandasi kejujuran terhadap apa yang dirasakannya dapat berbohong?
Jika penilai merujuk spontanitas yang kedua, tidak wajar? Tidak pamrih? dan sebagainya, harus
dijelaskan ketidakwajarannya. Kalau ketidakwajarannya dalam gaya bahasa misalnya, bukankah
hiperbola adalah sarana ungkap yang dibutuhkan secara wajar oleh penyair untuk mewadahi tujuan
puisinya? Dan bagaimana bisa menyebut tidak wajar pada sikap penyair bila ada kedekatan jarak yang
tidak diminimalisasi atau tepatnya subjektifitas yang besar yang menempatkan posisi penyair menjadi
inferior? Padahal penyair dalam mengekspresikan gagasannya tanpamrih atau tulus dan jujur dan
integritasnya bisa dipertanggungjawabkan.
Apakah ini tidak berlebihan bahkan bisa dianggap praduga penilai yang menyesatkan dan
menjatuhkan?
1) puisi adalah karya sastra yang merupakan karya seni yang bisa dinilai dengan kriteria objektif –
walaupun tidak ada norma keindahan yang objektif. Objektif di sini maksudnya berpegang pada teori
atau kriteria tertentu dengan definisi yang jelas,
2) menilai puisi adalah menilai karya seni yang melandaskan penilaiannya pada unsur estetik dan
ekstra estetik (hal-hal yang tersusun; terlihat; terbaca oleh pembaca dan bahan-bahan puisi; yang
tidak terlihat dan kemudian diwujudkan melalui interpretasi pembaca/penilai),
3) sikap penilai yang harus bersikap objektif –meminimalkan subjektivitas selaku penilai dan
menjelaskan maksudnya dengan tidak taksa (ambigu) kepada pembaca lainnya sebagai bentuk
tanggung jawab keahliannya menilai.
2) Penilai atau pembaca ahli sepatutnya memperlihatkan hal-hal yang memperlihatkan keseimbangan
integritas dalam menilai (menguraikan kelebihan-kelebihan selain menjelaskan kelemahan-
kelemahan puisi atau karya).
Mari, kita nikmati puisi rayakan kata-kata sajak dalam kejujuran, kebenaran, dan ketulusan jiwa, wahai
penyair, pembaca, dan penilai!*
1. Tema
Tema atau dasar pikiran penyair dalam menulis puisinya. Tema merupakan dorongan yang kuat yang
menyebabkan penyair mengungkapkan apa yang dirasakannya melalui puisi. Tema bersifat khusus
pada setiap penyair. Artinya antara penyair satu dengan penyair lain tidak akan sama.
Tema juga merupakan keyakinan penyair dalam memaknai hidup dan kehidupan.
Untuk menentukan tema pada puisi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
Cara melihat judul puisinya karena ada puisi yang di dalam judulnya sudah menampakkan tema.
Biasanya judul puisi dijadikan tema dan larik-lariknya merupakan penjelasan tema yang dibuat judul
itu. Perhatikan contoh puisi Hamid Jabbar berikut!
Doa
Hamid Jabbar
duh aduh
ya rabbi
Cara menentukan tema yang kedua adalah melihat bentuk fisik puisi itu, terdiri dari :
Apakah dari segi diksinya sudah menjelaskan makna yang sesuai keinginan pengarang puisi? Apakah
pilihan katanya sudah mewakili yang ingin disampaikan pengarang?
Apakah judul puisi sudah menggambarkan isi sepintas lalu? Apakah judul sudah didesain dengan
tepat?
Bagaimana penulis menggunakan kata untuk menyampaikan pesan kepada pembaca. Apakah ada
pengulangan kata yang mengindikasikan kata penting yang ingin disampaikan?
Baca juga : Contoh Puisi Singkat Tema Ibu Yang Menyentuh Hati
Kekerapan kata ini merupakan bentuk penanda tingkat kepentingan informasi. Jika informasi itu
dianggap penting maka dibuatlah perulangan kata bahkan hingga berkali-kali. Perhatikan puisi Hamid
Jabbar berikut ini!
Dan Pasir
Hamid Jabbar
dan pasir
dan laut
dan zikir
pautan kalimah
lailahhailallah
Contoh Puisi di atas yang berjudul "Doa" bertema ketuhanan karena isinya sekitar doa. Sedangkan
puisi berjudul "Dan Pasir" dilihat dari pilihan kata (diksi) dan kekerapan kata yang sering muncul
seperti kata "zikir" diulang sebanyak dua kali dan pemilihan kata "kalimah laaillaahaillallah"
merupakan penguat untuk menyatakan tema puisi di atas adalah "ketuhanan".
Untuk memperkuat pemahaman Anda berikut ini J. Waluyo (2003: 17-31) memberikan beberapa
kategori tema, yaitu tema :
Ketuhanan (religius)
Kemanusiaan
Patriotisme
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat puisi bisa berhubungan dengan
sikap karena amanat memengaruhi sikap, cara pandang, dan wawasan pembaca.
Amanat harus tetap sesuai dengan tema puisi yang diciptakan penyair. Namun, amanat yang
dirumuskan bisa berbeda antara satu pembaca dengan yang lainnya. Perbedaan ini disebabkan,
beragamnya tingkatan pembaca baik dari sisi pengetahuan, latar agama, dan latar budaya.
Misalnya, dari contoh puisi "Doa" di atas, pembaca dapat merumuskannya amanat, seperti di bawah
ini :
Nada dan perasaan dalam puisi merupakan ekspresi penyair dalam menyampaikan apa yang dirasakan
dalam hatinya. Sikap penyair akan terlihat jelas dalam puisinya. Sikap yang berbeda pada tiap penyair,
akan membedakan tiap karya puisi yang diciptakan, meskipun objek yang disampaikan sama.
Jadi unsur sikap atau suasana, atau nada, atau perasaan dalam puisi adalah ekspresi perasaan penyair
yang disampaikan dalam bentuk nada-nada yang menimbulkan keindahan, Seperti apa nada yang
menimbulkan keindahan ini mungkin terlalu singkat jika dijelaskan secara rinci di sini karena
terbatasnya kesempatan.
Namun, untuk membantu Anda melihat sikap, nada suasana dan perasaan penyair dalam sebuah
karya puisi, J. Waluyo memberikan contoh seperti berikut.
Protes
Mengurai
Memberontak
Main-main
Serius (sungguh-sungguh)
Patriotik
Mencekam
Santai
Masa bodoh
Pesimis
Humor (bergurau)
Mencemooh
Kharismatik
Khusyuk
Sedangkan mengenai perasaan puisi yang diungkapkan penyair, J. Waluyo memberikan contoh,
seperti berikut ini.
Perasaan gembira
Sedih
Terharu
Tersinggung
Terasing
Patah hati
Sombong
Tertekan
Cemburu
Kesepian
Takut
Menyesal
Untuk lebih memperjelas perasaan atau nada yang dimaksudkan pada penjelasan di atas perhatikan
puisi berikut!
Gadis peminta-minta
(Suara, 1956)
Nah, dari contoh puisi di atas yang berjudul "Gadis peminta-minta" dapat kita simpulkan yaitu puisi
tersebut bernada kesedihan dan keterharuan.
4. Tipografi
Tipografi adalah ukiran bentuk puisi yang biasanya berupa susunan baris ke bawah. Ada juga penulis
yang menyebut istilah tipografi dengan sebutan tata wajah puisi. Baik tipografi maupun tata wajah
memiliki pengertian yang sama, yaitu salah satu unsur puisi yang menjadikan puisi lebih indah karena
tata wajahnya dibuat seperti lukisan tertentu.
Tipografi ini banyak terdapar pada puisi modern yang sering disebut dengan istilah puisi mbeling, puisi
kontemporer atau ada juga yang menyebutnya dengan puisi konkret. Perhatikan bagaimana puisi
berikut ini dibuat tata wajahnya!
Sajak Transmigran II
F. Rahardi
Transmigran beruban
Sakit-sakitan
Mati
Enjabemen adalah pemindahan bagian kalimat pada larik berikutnya sehingga menimbulkan nuansa
makna.
Fungsi enjabemen mempererat hubungan antarlarik sehingga makna antarlarik itu menjadi utuh.
Perhatikan hubungan antarlarik yang menjadikan keutuhan makna antarlarik pada puisi berikut!
Doa
Ajib Rosidi
Amin
6. Akulirik
Akulirik adalah tokoh yang berbicara dalam puisi. Tokoh itu bisa pengarangnya, bisa pula bukan, dalam
arti pengarang mewakilkan tokoh puisi yang dikarangnya kepada tokoh tertentu, atau tokoh lain.
Ciri akulirik terdapat kata ganti : aka, kamu, dan kita. Perhatikan tokoh yang terdapat pada puisi
berikut!
Karangan bunga
Taufik Ismail
Datang ke Salemba
Sore itu
siang tadi
7. Unsur intrinsik puisi : Rima atau Persamaan Bunyi
Rima adalah persamaan bunyi yang berulang secara teratur pada kata yang letaknya berdekatan di
dalam satularik atau antarlarik. Nah, fungsi rima yaitu untuk menciptakan konsentrasi kekuatan
bahasa atau menciptakan daya gaib pada kata yang diulang.
Pada puisi-puisi lama pengulangan kata ini sangat penting dan dominan, seperti pada pantun, syair,
dan bentuk puisi lainnya yang berumus persajakan tertentu. Di sana pasti ada bunyi yang diulang
untuk menekankan persamaan bunyi dan nilai magis tertentu.
Perhatikan perulangan bunyi pada puisi berikut, dan bacalah keras-keras dan ulangi lagi membacanya.
Benarkah ada kekuatan magis?
Buah Rindu
Amir Hamzah
Untuk puisi modern pengulangan tidak lagi dianggap sepenting pada misi lama. Meskipun bukan
keharusan yang baku, tetapi unsur rima menjadi salah satu unsur yang turut membangun puisi.
8. Citraan atau Pengimajian
Citraan adalah susun kata pengimajian atau pengandaian untuk memperjelas atau memperkonkret
apa yang dimaksudkan oleh penyair. Puisi bukan hanya untuk sekadar dibaca, tetapi juga harus
dipahami maknanya. Nah, dengan citraan inilah penyair memperjelas puisinya.
Tuhanku
Chairil Anwar
Dalam termangu
Tuhanku
remuk
Tuhanku
Tuhanku
Gaya bahasa adalah irama atau ritme yang digunakan penyair untuk menimbulkan efek estetis
(keindahan atau puitis) pada karya puisi yang dihasilkannya. Cara ini dilakukan dengan memanfaatkan
kekayaan bahasa yang dimiliki oleh penyair melalui pengulangan bunyi, pengulangan kata, dan
kalimat.
Pengulangan bunyi contohnya seperti pada senjelasan tentang poin (7) rima. Pengulangan kata
meliputi repetisi dan diksi serta dalam bentuk pengulangan kalimat meliputi gaya implisit dan retorika.
Ada juga yang membagi gaya bahasa yang khas ini menjadi makna kias, lambang, dan persamaan bunyi
atau rima. Perhatikan contoh pengulangan bunyi dan pengulangan kata pada puisi berikut yang
menimbulkan bunyi teratur dan menciptakan irama!
Menyesal
Ali Hasjmi
Puisi tersebut banyak menggunakan majas personifikasi. Benda-benda mati seolah-olah menyerupai
manusia atau makhluk hidup. Misalnya “pagiku hilang sudah melayang”. Pagi yang berupa kata
keterangan waktu, seolah-olah bisa hidup dengan melayang. Seperti burung. “hari mudaku sudah
pergi”. Hari muda seolah-olah pergi. Dan seterusnya dan seterusnya.
Penilaian ekstra estetik sering disebut dengan unsur ekstrinsik. Biasanya yang dijadikan contoh adalah
biografi pengarang, latar sosial, dan nilai kebaikan yang ada di dalam puisi. Ketika di sekolah, kita
sering diajarkan hal tersebut. Kali ini, saya ingin kalian membaca lebih mendalam ketiga contoh
ekstrinsik tersebut, dengan membaca jurnal ilmiah yang membahas hal tersebut.