Anda di halaman 1dari 8

KARSA SEORANG ALIF: SEBUAH CATATAN PERJALANAN HIDUP

SEORANG SANTRI DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA

Oleh Lukman Maulana (032120043)

Tentang Novel Negeri 5 Menara


Novel ini mengisahkan perjalanan seorang Alif Fikri, pemuda Minangkabau lulusan
Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang dengan setengah hati “hijrah” ke Pulau Jawa untuk
menimba ilmu di salah satu Pondok Pesantren terkenal di Ponorogo, Jawa Timur.
Perjalanannya yang setengah hati untuk merantau ke tanah Jawa bukannya tanpa sebab. Alif,
seorang pemuda yang memiliki cita-cita suatu saat nanti bisa seperti Pak Habibie,
sesungguhnya ingin melanjutkan sekolah ke SMA umum (non agama). Sementara ibunya
menginginkan agar Alif melanjutkan ke jalur pendidikan agama Islam, Madrasah Aliyah
(MA) dan menjadi seorang ahli agama suatu saat nanti.

Kondisi tersebut membuat Alif dilanda kekalutan, antara berbakti pada orang tua
dengan mengikuti keinginan ibunya, yaitu melanjutkan bersekolah ke Madrasah Aliyah
ataukah melanjutkan mimpinya untuk sekolah di SMA umum. Hingga akhirnya, dengan
referensi dari salah seorang kerabat, Alif dengan berat hati memenuhi permintaan
orangtuanya untuk menempuh jalur pendidikan agama Islam tetapi dengan suatu syarat. Alif
tidak mau masuk Madrasah Aliyah (MA) di Minang; tetapi ia memilih mendalami ilmu
agama ke Pondok Madani (PM), sebuah pesantren di Jawa Timur.

Alif yang ketika itu masih berusia sangat muda, merantau ke Jawa, dan perjalanan
hidup Alif sebagai salah satu siswa pondok pesantren pun dimulai. Kegiatan di Pondok
Madani membuat Alif harus bekerja keras. Di Pondok Madani tidak diizinkan bermalas-
malasan, termasuk dalam belajar bahasa. Di Pondok Madani bahasa wajib adalah bahasa
Arab dan bahasa Inggris. Di antara kesibukannya, Alif masih saling bertukar kabar dengan
Randai. Randai yang bersekolah di SMA bercerita tentang keseruan kegiatan serta prestasi
yang telah ia raih. Kadang kala, cerita Randai membuat Alif ingin keluar dari Pondok Madani
untuk bersekolah di sekolah umum seperti Randai.

Seiring berjalannya waktu, Alif dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan Pondok.
Alif juga menemukan sahabat-sahabat senasib yang kemudian dinamai Sahibul Menara
sahabat yang sering berkumpul di bawah menara masjid Pondok Madani. Mereka adalah Said
dari Surabaya, Raja dari Medan, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari
Gowa. Bersama, mereka saling menasihati, saling berbagi mimpi, dan saling membantu satu
sama lain.

Di bawah menara mesjid yang menjulang mereka menatap awan lembayung yang
berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka awan-awan itu menjelma menjadi peta dunia,
negara dan impian benuanya masing-masing. Alif melihat awan yang seperti benua Amerika,
Raja bersikeras bahwa awan itu seperti benua Eropa, sementara Atang dan Baso percaya
sekali bahwa awanawan itu membentuk benua Asia dan Afrika, sedangkan Said dan Dulmajid
sangat nasionalis, awan-awan itu berbentuk peta kesatuan negara Indonesia. Bentuk awan-
awan yang dilihat oleh Sahibul Menara bukan semata imajinasi mereka. Tersirat impian
mereka di sana. Masing-masing dari mereka ingin menjelajahi negara-negara pada benua
yang mereka khayalkan dengan tujuan masing-masing. Malam harinya, Alif pun menulis
impian tersebut dalam buku hariannya, yang ia namakan sebagai “Negeri 5 Menara.”

Kehidupan pondok yang ketat dalam menerapkan disiplin membuat mereka harus
saling mendukung agar kerasan menyelesaikan 4 tahun sekolah. Susah senang mereka jalani
bersama dari mulai keharusan hidup mandiri dalam kesederhanaan, tuntutan tugas dan
hafalan yang harus dikejar setiap hari, mengantri jatah makan, salat berjamaah, hafalan
Quran, latihan berbahasa asing, sampai pidato didepan santri-santri lain. Semua proses itu
dijalani dengan totalitas. Tekanan hidup tidak membuat Alif dan para santri lainnya menjadi
patah dan mengkerut, tetapi justru membuat mereka semakin kuat mental dan tahan banting.

Sebelas tahun kemudian, Alif berkesempatan menjadi salah satu panelis pada sebuah
acara di London. Ketika itu, Alif telah mencapai menara impiannya. Ia mendapat beasiswa di
George Washington University. Alif bersama istrinya bekerja di kantor berita American
broadcasting Network, Amerika. Di London, Alif satu meja dengan Atang yang juga menjadi
panelis. Alif pun bertemu dengan Raja beserta istri yang saat itu tinggal di London. Raja
mendapat undangan dari komunitas muslim Indonesia untuk menjadi pembina agama. Raja
juga tengah kuliah di Metropolitan University bidang linguistik. Dari Atang, Alif mendapat
kabar, anggota Sahibul Menara lainnya, Saida dan Dulmajid, bekerja sama mendirikan
sebuah pondok di Surabaya. Sementara itu, Baso telah berhasil menghapal Alquran dan
mendapatkan beasiswa di Mekah. Atas capaian Sahibul Menara, mantra “man jadda wa
jada” yang diajarkan di Pondok Madani telah terbukti. Bermula dari impian, dengan usaha
yang dilebihkan Sahibul Menara dapat meraih menara yang diinginkan.

Tentang Penulis Novel Negeri 5 Menara


Ahmad Fuadi lahir di Nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau
tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah.
Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di
Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan
mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada
rumus sederhana tapi kuat, “man jadda wajada”, siapa yang bersungguh sungguh maka akan
berhasil. Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela
dunia.

Fuadi dan istrinya Yayi tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca
dan traveling. Negeri 5 Menara adalah novel pertama dari trilogi N5M karya yang terbit
tahun 2009. Cerita dalam novel Negeri 5 Menara tidak terlepas dari inspirasi perjalanan hidup
sang penulis. Meski diangkat dari kisah nyata dan sebagian besar peristiwa yang diangkatnya
dalam novel adalah pengalaman pribadinya namun novel ini bukanlah biografi seorang
Ahmad Fuadi. Dengan menjadikan tokoh rekaan Alif, maka Fuadi memberi jarak antara
dirinya dengan sang tokoh.

Sebuah Kajian Pragmatik Dalam Sudut Pandang Pembaca Mengenai Novel


Negeri 5 Menara
Istilah pragmatik menunjuk pada efek komunikasi yang seringkali dirumuskan dalam
istilah Horatius: seniman bertugas untuk docere dan delectare, yaitu memberi ajaran dan
kenikmatan, seringkali ditambah lagi movere, yaitu menggerakan pembaca ke kegiatan yang
bertanggungjawab.
Dalam pendekatan ini karya sastra dipandang sebagai sarana atau alat untuk
menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Oleh karena itu penilaian karya sastra
terutama ditekankan pada tujuan atau fungsi yang hendak disampaikan kepada pembaca
seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik
mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi
pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka
semakin baik karya sastra tersebut.

Dengan indikator pembaca dan karya satra, pendekatan pragmatik memliki manfaat
terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyrakat, perkembangan dan penyebarluasannya,
sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Pendekatan pragmatik mempertimbangkan
implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator
karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat di pecahkan melalui
pendekatan pragmatik diantaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah
karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis

Sebuah Analisis Novel Negeri 5 Menara Dalam Sudut Pandang Pembaca


Berdasarkan Kajian Pragmatik

Novel negeri 5 menara menarik untuk dibahas, pasalnya novel ini memuat banyak kisah
inspiratif yang dapat memotivasi para pembacanya. Dalam ceritanya, Fuadi coba
menyampaikan bagaimana kisah perjalanan seorang remaja yang sedang mencari jati diri
ditengah perdebatan dengan orang tuanya dalam melanjutkan pendidikan. Pengarang
mengajak pembaca untuk mendongkrak semangat anak-anak muda untuk menggapai cita-cita
dan jangan pernah takut terhadap mimpi. Pembaca diyakinkan dengan persoalan bahwa
Tuhan telah memberikan kesuksesan untuk hambanya yang mau berusaha.

Dalam Novel ini, citra setiap karakter dibuat selaras dengan tema dari cerita dalam
novel ini. Fuadi coba untuk menggambarkan karakter atau watak setiap tokoh untuk dijadikan
pelajaran dan motivasi bagi pembacanya. Misalnya pada karakter Alif, ia digambarkan
sebagai seseorang yang mau bekerja dengan sungguh-sungguh, berbakti kepada orang tua,
bersemangat tinggi, dan berprestasi. Karakter tersebut akan diperkuat dengan data yang
menunjukkan beberapa dari penggambaran watak yang ingin pengarang sampaikan. Misalnya
pada kutipan berikut: “Waktu terasa bagai beliung yang menyedot hari-hariku dengan ken-
cang. Telah hampir setengah tahun aku di PM. Dan selama ini PM benar-benar tidak
memberiku waktu berlehaleha. Semua terjadi cepat, padat, ketat. Mulai dari yang remeh
temeh seperti mencuci sarung dan baju pramuka, belajar habishabisan sampai menuliskan
naskah pidato tentang perjuangan Palestina di acara muhadharah”(halaman 156). Kutipan
tersebut menggambarkan bagaimana karakter Alif yang berusaha menerima keadaan, dan
melakukannya dengan sungguh-sungguh, sehingga tuhan membuka jalan lain untuk dirinya.
Dengan keadaan seperti itu, Alif memanfaatkannya untuk belajar, berkreasi, dan beribadah,
sehingga memaksa ia untuk bekerja keras agar dapat meraih cita-citanya. Kutipan lain yang
menunjukkan Alif memiliki semangat yang tinggi digambarkan melalui kutipan berikut:
“Menjelang tidur, aku menulis sebuah tekad di dalam diariku. Apa pun yang terjadi,
jangankan sebuah surat dari Randai, serbuan dari Tyson, bahkan langit yang runtuh, tidak
akan aku izinkan menggoyahkan tekad dan cita-citaku. Aku ingin menemukan misi hidupku
yang telah disediakan Tuhan.” (halaman 108). Kutipan tersebut menggambarkan Alif selalu
berusaha melakukan sesuatu semaksimal mungkin demi meraih sebuah kesuksesan. meski
keyakinannya untuk menjalani kehidupan di PM sering goyah karena surat Randai. Tokoh
Alif dideskripsikan memiliki semangat yang tinggi untuk membuktikan bahwa ia bisa
menjalani ini semua. Semangat yang Alif miliki didukung oleh para sahabatnya di PM juga
para pengajar yang selalu memotivasinya. Jiwa Alif yang bersemangat tinggi dideskripsikan
selalu mengajaknya untuk berusaha meyakinkan diri bahwa ia bisa meraih mimpinya kelak
serta menyelesaikan pendidikan di PM dengan baik.

Terdapat hal yang harus digaris bawahi tentang penggambaran karakter yang
dimunculkan dalam novel ini. Pengarang terlalu memunculkan sifat superior pada
karakternya, meski terkesan inspiratif, namun membuatnya terlihat sempurna. Jika ditelaah
lebih jauh, Alif sang karakter utama ternyata memilki sifat yang mudah ragu dan terpengaruh
oleh keadaan. Artinya, kecenderungan sifat yang dimunculkan tidak selalu berkenaan dengan
sifat baik yang membuat kesan superior. Pernyataan ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
“Ya, apa sebetulnya yang aku cari? Hanya karena memberontak tidak boleh masuk SMA?
Dan lebih penting lagi, apakah aku bisa bertahan?” (halaman 29). Dalam kutipan tersebut
Alif digambarkan merasa tidak yakin bahwa ia akan meraih cita-citanya karena keputusannya
melanjutkan pendidikan ke pesantren. Hal ini dideskripsikan melalui niat Alif yang setengah
hati untuk menuju pesantren yang terlihat dari konflik batin yang dialaminya. Ragu yang Alif
hadapi lebih kepada hal-hal yang sebenarnya belum ia temui. Sikap ragunya ini merupakan
buah dari sifatnya yang tidak pernah yakin atas apa yang menjadi keputusannya ke pesantren.

Selanjutnya, hal yang menarik dalam novel ini adalah stereotip tentang pesantren.
Pasalnya, Novel ini mampu mengubah tentang pola pikir masyarakat yang konservatif
terhadap pesantren. Pembaca diajak untuk mengubah streotip bahwa pesantren adalah tempat
pembuangan anak-anak bermasalah, hanya mempelajari ilmu agama saja, bahkan lingkungan
pesantren yang terkesan “keras.” Stigma mengenai pesantren tersebut coba pengarang jawab
melalui ideologinya yang sangat menonjol, pengarang membalikan streotip yang berkembang
di masyarakat melalui tokoh Alif yang dalam novel ini dideskripsikan memiliki sosialisasi
yang baik, cerdas, dan pintar berbahasa. Bahkan setelah mengenyam pendidikan di pesantren,
kualitas dirinya semakin meningkat sehingga ia bisa meraih impiannya. Pernyataan tersebut
dibuktikan dengan kutipan berikut: “Pondok Madani memiliki sistem pendidikan 24 jam.
Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusia mandiri yang tangguh. Kiai kami bilang,
agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu umum dan ilmu agama. Saat ini ada tiga
ribu murid yang tinggal di delapan asrama,” Burhan membuka tur pagi itu dengan fasih.”
(halaman 31). Dalam kutipan tersebut, pengarang ingin mengungkapkan bahwa pesantren
adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga
membekali santri-santrinya dengan karakter, disiplin, dan semangat serta etos yang baik
dalam usaha meraih impian dan cita-cita. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi
yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pesantren adalah salah satu solusi
pendidikan yang ditawarkan pengarang untuk menjadikan seorang anak tumbuh menjadi
pribadi yang berkarakter, cerdas berprestasi, berakhlak mulia dan sukses meraih cita-cita.
Pesantren Madani dideskripsikan pengarang sebagai pondok pesantren berkualitas di mana
sistem pendidikannya terintegrasi. Bukan hanya fokus pada pendalaman ilmu agama, tetapi
juga mempersiapkan setiap santrinya untuk berlaga di dunia global dari segi ilmu, bahasa,
kemampuan berorasi, disiplin hingga kepercayaan diri sehingga lulusannya pun berkualitas.

Lebih dalam mengenai persepsi pengarang tentang stereotip pesantren, Fuadi coba
memunculkan ideologinya yang kedua secara eksplisit mengenai mencari ilmu dengan
merantau, yang juga diwakilkan oleh tokoh utama Alif. Seperti dijelaskan sebelumnya, Alif
merupakan orang Minang. Lewat tokoh Alif, pengarang seolah ingin menegaskan bahwa
ajakan menuntut ilmu dan pergi jauh merantau untuk melihat peradaban lain adalah hal
penting. Dibuktikan dengan tokoh Alif, ketika ibunya menentang melanjutkan sekolah ke
SMA dan menyuruhnya melanjutkan sekolah agama di kampung halamannya Bukittinggi,
Alif lebih memilih melanjutkan pendidikannya ke Pondok Madani Jawa Timur. Seperti
kutipan berikut. “Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok
saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang.” (halaman 12). Berdasarkan kutipan
tersebut, sekilas tidak ada salah mengenai persoalan merantau, karena merantau bagi
sebagian orang dianggap sebagai suatu adat, terlebih dalam cerita ini, Alif merantau dalam
mencari ilmu. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ideologi pengarang yang coba dimunculkan
ini akhirnya berorientasi pada sikap etnosentrisme. Artinya, pengarang coba menyampaikan
melalui tokoh Alif bahwa keadaan di Pulau Jawa lebih baik daripada kampung halamannya
sendiri, yakni di Bukttinggi. Hal ini menyakinkan pembaca bahwa Pulau Jawa secara umum
dapat membawa transformasi yang baik dibanding dengan daerah lainnya, khususnya pada
bidang pendidikan.

Lebih dalam membahas mengenai novel ini, yang menjadi sorotan dalam cerita ini
adalah penggunaan bahasa yang dipakai. Gaya penulisan Ahmad Fuadi dalam novel ini
menarik. Dialog dan narasinya ringan, deskriptif dan mampu memperkaya wawasan
pengetahuan pembaca. Terlahir di Minang, membuat pengarang memasukan dialek Minang
yang dominan dalam novel ini. Selain itu, terdapat dialek lain, seperti bahasa inggris dan
arab. Namun, penggunaan dialek ini menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan, karena
dominansi penggunaan dialek khusus, membuat keterbatasan dalam memahami ceritanya.
Banyak dari unsur bahasa yang jarang orang ketahui, dan tidak dijelaskan dalam novel ini.
Pernyataan tersebut di perkuat dengan beberapa temuan data untuk menegaskan, berikut
kutipannya: “Buyuang , sejak waang masih di kandungan, Amak selalu punya cita-cita,”
mata Amak kembali menatapku.” (halaman 8). Dalam kutipan tersebut, terlihat dialog Alif
yang menggunakan dialek Minang yang jarang diketahui oleh orang awam, yakni “buyuang”,
dan “waang.” Jika diartikan, makna dari dua kata tersebut adalah panggilan kepada anak laki-
laki yang tidak diketahui namanya. Selanjutnya, terdapat penggunaan unsur serapan dari
bahasa inggris dan arab, ditunjukkan dengan data berikut: ”Qum ya akhi. Ayo bangun.
Waktunya bertugas. Cepat berkumpul di kantor keamanan pusat untuk untuk briefing dan
pembagian lokasi kalian,” katanya di depan kami yang masih menguap dan mengucek-
ngucek mata.” (halaman 238). Data kutipan tersebut menunjukkan pemakaian unsur bahasa
asing kedalam percakapan, namun tidak diterangkan secara eksplisit oleh pengarang. Jika
diartikan, “Qum ya akhi” adalah “bangun teman.” Dalam konteks ini, “akhi” berarti saudara
laki-laki dalam bahasa Arab, sehingga secara luas kata tersebut bermakna perintah untuk
memerintahkan teman untuk bangun. Kemudian, pada kata “briefing” itu dapat berarti
“pertemuan singkat”, sehingga secara luas kata tersebut dimaksudkan melakukan pertemuan
singkat untuk memberi penjelasan tertentu.

Konklusi Cerita Dalam Novel Negeri 5 Menara


Berdasarkan analisis struktur novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, dapat
disimpukan bahwa novel ini adalah perjuangan dalam kesungguhan meraih cita-cita. Tokoh
utama sekaligus pencerita dalam novel ini ialah Alif Fikri, pemuda yang berasal dari Bayur,
Sumatera Barat. Dengan semangat, pengorbanan dan perjuangan yang tak kenal lelah
akhirnya Alif yang merupakan lulusan Pesantren Madani berhasil meraih cita-citanya yakni
menjadi seorang wartawan dan menginjakan kakinya di Amerika Serikat.

Dengan adanya novel ini, dapat membantu pembaca untuk mengubah streotip bahwa
pesantren adalah tempat pembuangan anak-anak bermasalah; serta mencari ilmu dengan
merantau dan berbakti kepada orang tua. Cerita dalam novel ini menggugah suasana pembaca
dengan menyuguhkan banyak kisah inspiratif yang bisa menjadi teladan bagi banyak orang.
Namun, perlu diketahui bahwa novel ini juga memiliki kekurangan yang membuat kesan
kurang puas bagi yang membaca, yakni penggambaran tokoh yang superior, ideologi seorang
pengarang, serta dominansi bahasa dan dialek yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai