Anda di halaman 1dari 3

3 Mantra trilogi a.

fuadi

1. Man Jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil)

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman


Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air yang menjadi rusak karena diam tertahan,


jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa


Anak panah jika tidak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam


Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang


Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan..

Imam Syafii

==================================================

kutipan prolog sajak dari pujangga islam yang terkenal, Imam Syafii ini menjadi prolog
novel Negeri 5 Menara ini. Menurut saya, novelnya sarat mengandung pesan moral. Menceritakan
seorang pemuda bernama Alif Fikri yang baru lulus Tsanawiyah (sekolah agama islam setingkat
SMP) di Maninjau, Sumatera Barat. Dia bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke SMA dan masuk
ke perguruan tinggi, tidak mengikuti sekolah agama lagi. Namun, Amak, Ibunda Alif tidak
sependapat dengan keinginan Alif ini. Terjadi perang batin pada diri Alif antara mengikuti
keinginannya masuk SMA hingga perguruan tinggi dengan mengikuti keinginan Amaknya.

Akhirnya Alif terpaksa mengikuti keinginan Amaknya untuk melanjutkan sekolah agama
lagi, namun kali ini bukan di Sumatera Barat, melainkan di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur,
Pondok Madani PM, namanya (berasosiasi pada pondok pesantren Gontor). Pada awal mengikuti
kegiatan dan sistem pengajaran di Pondok Madani, Alif merasa setengah hati. Namun seiring
berjalannya waktu, rasa itu mulai pudar, dia mulai mengikuti sistem pengajaran yang sarat akan ilmu,
aturan, dan pandangan mengenai kehidupan.

Pertama masuk, murid baru dikumpulkan di sebuah Aula, dan seorang Ustad bernama Ustad
Salman berteriak lantang di depan Man Jadda Wajada Siapa yang bersungguh-sungguh akan
berhasil. Mungkin semboyan ini juga yang menjadi inti dari novel ini. Sebuah novel yang
menginspirasi akan sebuah pencapaian cita-cita.

Alif menemukan 5 sahabat dari berbagai wilayah di Indonesia, sebut saja Atang dari
Bandung, Said dari Surabaya, Baso dari Gowa ; Sulawesi, Raja dari Medan, dan Dulmajid dari
Madura. Dari latar belakang yang berbeda ini akhirnya ke enam orang ini menjadi sahabat baik,
sangat baik bahkan. Keenam sahabat ini setiap sorenya, antara istirahat sore dan adzan maghrib

Ashabul Kahfi
sering menghabiskan waktu memandang matahari tenggelam di bawah menara masjid besar yang
dimiliki Pondok Madani. Untuk itulah mereka dijuluki sebagai Sahibul Menara Pemilik Menara.

Dibawah bayang-bayang menara, mereka berenam sering berbicara mengenai impian mereka
masing-masing. Sebut saja Alif yang memiliki impian untuk menjejakkan kaki di negeri Colombus,
Amerika yang penuh dengan hal-hal hebat. Raja yang terobsesi dengan daratan Eropa, terutama
negeri Inggris. Atang dan Baso yang berangan-angan dengan Timur Tengah dan Afrika, terutama
Mesir, negeri nabi Musa a.s. Sedangkan Said dan Dulmajid yang bercita-cita memajukan bangsanya
sendiri dengan berkarya di dalam negeri sendiri.

Novel ini juga bercerita tentang bagaimana sebuah hal kecil dapat membuat sesuatu yang
besar, kedisiplinan. Tidak ada yang pandang bulu mengenai peraturan. Peraturan itu ada,
dilaksanakan dan yang melanggar harus ditindak, tidak pandang bulu.

Awal dari kekacauan hukum adalah ketika orang meremehkan aturan dan tidak adanya
penegakan hukum. Kata alif.

2. Man shobara zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung )

Siapa saja boleh bermimpi, siapapun dia, bagaimanapun latar belakang keluarga, ekonomi
maupun pendidikannya. Yang dibutuhkan adalah fokus, sungguh-sungguh dan berusaha sekuat
tenaga. Namun ketika usaha itu tak kunjung membuahkan hasil, malah mendatangkan cobaan
bertubi-tubi, kesabaran jadi kunci utamanya, man shabaa zhafira.

Seperti yang dialami Alif,tokoh utama dalam novel Ranah 3 Warna yang ditulis oleh Ahmad
Fuadi. Siswa yang baru saja tamat dari pondok Madani ini punya mimpi besar untuk hidupnya. Ia
ingin kuliah di ITB jurusan penerbangan seperti Habibie lalu merantau ke Amerika.

Bagi sebagian besar masyarakat Maninjau, Sumatera Barat, tempat Alif berasal, hal ini
sangat-sangat mustahil. Alif tak punya ijazah SMA sebagai syarat bisa mengikuti ujian SNMPTN.
Apalagi merantau ke Amerika!

Namun cemoohan dan kepesimisan orang-orang itu malah menjadi cambuk bagi Alif untuk
mewujudkan impiannya, meski sulit. Di sinilah menariknya buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara
ini dibanding bukunya yang pertama. A. Fuadi mampu membawa pembaca ikut menyelami pahit
manisnya lika-liku kehidupan yang dialami alif. Konflik yang diciptakan sangat hidup, didukung
dengan tokoh-tokoh lain yang berperan penting bagi Alif. Seperti tokoh Ayah yang selalu
menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda. Lalu tokoh amak sebagai janda yang tetap
tegar meski telah ditinggal mati suaminya. Meski hidup kesusahan, alih-alih menyuruh Alif pulang
ke Maninjau, ia malah terus memompa semangat anak pertamanya itu. Salasaian apo yang alah
waang mulai, selesaikan apa yang sudah kamu mulai, begitu ucapnya ketika Alif mengabarkan
ingin drop out dari kampusnya di Unpad. Ditambah lagi dengan teman-temannya geng Uno yang
selalu memberinya semangat.

Apa yang dialami Alif agaknya bisa dialami siapa saja. Namun yang berbeda adalah
bagaimana menyikapinya. A. Fuadi menyampaikan berbagai pesan moral tersebut kepada pembaca
dengan indah tanpa ada kesan menggurui. Ia menambahkan banyak kata-kata bijak yang bisa
memacu semangat siapa saja, baik dalam bahasa Indonesia, Arab maupun Prancis.

Dalam novelnya terlihat jelas juga kegelisahan penulis tentang negeri ini. Hal itu
digambarkannya dalam bab Negeri Utopia. Alif terkagum-kagum dengan masyarakat Quebec, tempat

Ashabul Kahfi
ia mendapat beasiswa pertukaran pelajar. Ia mengangankan Indonesia bisa meniru Kanada dalam hal
perbedaan pendapat. Ketika masyarakat Quebec ingin memisahkan diri dari Kanada, tidak ada
sedikitpun konflik apalagi kontak fisik antar sesama sipil maupun aparat. Semua bebas berpendapat
dan ketika keputusan telah didapat, seluruh warga menerimanya dengan besar hati, menghargai.
Tokoh utama juga terkesima karena tingkat kriminal di sana adalan nol. Pintu rumah tak pernah
dikunci siang dan malam namun tak pernah terjadi pencurian.

Semua orang sudah bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing. Jika ada yang kurang
beruntung, maka pemerintah berkewajiban memberikan santunan, jelas Franc, homolouge Alif di
Quebec.

Novel yang terinspirasi dari kisah nyata ini juga terasa berwarna dengan sedikit sentuhan
kisah percintaannya. Alif yang jatuh cinta pada Raisa, tetangga kos nya. Ia kerap berdebar-debar
ketika berbicara dengan perempuan cerdas yang dianggapnya berkilauan ini. Namun sayang, Raisa
malah berjodoh dengan Randai, sahabat sekaligus saingan Alif sejak kecil. Akhirnya, cinta Alif tak
pernah tersampaikan. Hanya membeku disepucuk surat yang telah ditulisnya bertahun yang lalu.

Ranah 3 warna yang berarti Bandung, Yordania, dan Kanada ini akhirnya membawa kita pada
indahnya tiga daerah berbeda rasa ini. Penulis memberikan deskripsi yang jelas untuk membangun
imajinasi pembaca tentang ketiganya.

3. Man Shoro Ala dari washola ( siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan )

Alif merasa berdiri di pucuk dunia. Bagaimana tidak? Dia telah mengelilingi separuh dunia,
tulisannya tersebar di banyak media, dan diwisuda dengan nilai terbaik. Dia yakin perusahaan-
perusahaan akan berlomba-lomba merekrutnya.

Namun Alif lulus di saat yang salah. Akhir 90-an, krisis ekonomi mencekik Indonesia dan
negara bergolak di masa reformasi. Satu per satu, surat penolakan kerja sampai di pintunya.
Kepercayaan dirinya goyah, bagaimana dia bisa menggapai impiannya?

Secercah harapan muncul ketika Alif diterima menjadi wartawan di sebuah majalah terkenal.
Di sana, hatinya tertambat pada seorang gadis yang dulu pernah dia curigai. Ke mana arah hubungan
mereka? Dari Jakarta, terbuka cakrawala baru. Alif meraih beasiswa ke Washington DC,
mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki teman-teman baru di Amerika. Hidupnya
berkecukupan dan tujuan ingin membantu adik-adik dan Amak pun tercapai.

Life is perfect, sampai terjadi peristiwa 11 September 2001 di World Trade Center, New York,
yang menggoyahkan jiwanya. Kenapa orang dekatnya harus hilang? Alif dipaksa memikirkan ulang
misi hidupnya. Dari mana dia bermula dan ke mana dia akhirnya akan bermuara?

Mantra ketiga man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di
tujuan) menuntun perjalanan pencarian misi hidup Alif. Hidup hakikatnya adalah perantauan.

Rantau 1 Muara bercerita tentang konsistensi untuk terus berkayuh menuju tujuan, tentang
pencarian belahan jiwa, dan menemukan tempat bermuara. Muara segala muara.

Ashabul Kahfi

Anda mungkin juga menyukai