Anda di halaman 1dari 3

Ed M isi 1 ar e t

IPMEDIA
BULLETIN IPM WEDI

Media Dakwah dan Komunikasi Kader IPM

RANAH 3 WARNA
HARI GINI, BELUM PUNYA PACAR? AHMAD FUADI

NEGERI 5 MENARA
BIDANG PIP

Resensi Buku
Negeri 5 Menara"
Pengarang : A. Fuadi Penerbit : PT Gramedia Pusat Utama Kota tempat terbit : Jakarta Tahun terbit : 2009 Tebal : xiii + 423 halaman Alif Fikri yang berasal dari Maninjau, Bukittinggi, adalah seorang anak desa yang sangat pintar. Ia dan teman baiknya, Randai, memiliki mimpi yang sama yaitu masuk ke SMA dan melanjutkan studi di ITB, Universitas bergengsi itu. Selama ini mereka bersekolah di madrasah atau sekolah agama Islam. Mereka merasa sudah cukup menerima ajaran Islam dan ingin menikmati masa remaja mereka seperti anak-anak remaja lainnya di SMA. Alif mendapat nilai tertinggi di sekolahnya yang membuatnya merasa akan lebih terbuka kesempatan untuk Amak (Ibu) memperbolehkannya masuk sekolah biasa, bukan madrasah lagi. Namun Amak menghapus mimpinya masuk SMA. Beberapa orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah agama karena tidak cukup uang untuk masuk ke SMP atau SMA. Lebih banyak lagi yang memasukkan anaknya ke sekolah agama karena nilainya tidak cukup. Bagaimana kualitas para buya, ustad, dan dai tamatan madrasah kita nanti? Bagaimana nasib Islam nanti? Waang punya potensi yang tinggi. Amak berharap Waang menjadi pemimpin agama yang mampu membina umatnya, kata Amak yang membuat harapan anaknya masuk SMA pupus. Novel ini menceritakan berbagai kisah sederhana kehidupan di Pondok Madani, pesantren modern yang akhirnya menampung Alif di dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan pengajaran-pengajaran PM yang sederhana namun mengena. PM berbeda dengan sekolah agama lainnya karena di sini para murid dilatih untuk menjadi intelektual dan mampu menganalisa berbagai ilmu dari sudut pandang Islam. Sehari-harinya mereka wajib menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Jika melanggar, tidak mungkin tidak terlepas dari hukuman. PM sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya. Biarpun masuk karena terpaksa, namun Alif mulai menyukai kehidupan di pondok. Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup persahabatannya dengan Sahibul Menara yaitu sebuah sebutan penghuni PM terhadap Alif dan 5 teman lainnya yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani. Mereka adalah Said, Baso, Raja, dan Atang. Persahabatan lekat yang dijalin bersama sangat cukup menjadi penghiburan bagi Alif. Tapi di satu sisi ada kegelisahan mengetahui teman baiknya Randai sudah masuk SMA terbaik yang pernah mereka idamkan bersama, sudah melewati masa SMA dengan penuh tawa, dan dengan bahagia berhasil merebut impian mereka tertinggi yaitu masuk universitas di ITB.
Alif yang baru saja lulus dari Pondok Madani bertekad untuk masuk perguruan tinggi negeri, menyusul Randai yang sudah lebih dulu masuk ITB. Persaingan sejak kecil dengan Randai membuatnya gigih untuk belajar dan lolos tes UMPTN. Ia pun berniat meminjam buku bekas teman-temannya dahulu agar bisa menguasai pelajaran-pelajaran yang akan diujikan. Semangatnya menggebu-gebu saat itu. Namun, satu pertanyaan dari Randai sempat menciutkan semangatnya itu. Kan tidak ada ijazah SMA? Pertanyaan itu memang membuat peluang masuk PTN mengecil, tapi itu tak membuat Alif patah arang. Malah ia menjadi tertantang untuk membuktikan bahwa lulusan pesantren yang tak mempunyai ijazah bisa masuk universitas negeri. Ia akan buktikan ke semua orang bahwa segala tantangan berat akan bisa dihadapi dengan sungguh-sungguh dan usaha keras. Man jadda wajada.

Meski impiannya untuk kuliah di jurusan Teknik Penerbangan ITB pupus, kemampuan dan waktu yang tersedia saat itu tak cocok dengan impiannya, Alif tetap serius untuk ikut UMPTN. Ia memutuskan untuk masuk jurusan Hubungan Internasional. Menurutnya, pilihannya ini akan membawanya terbang jauh ke Amerika, negara yang ia ingin kunjungi. Novel ini dapat menjadi satu pengharapan bagi Indonesia, setidaknya masih ada pemuda di luar sana yang rela memberikan dirinya dipakai masa depan. Bukan menempatkan masa depan di tangan sendiri untuk ia tentukan. Merupakan satu penghiburan bahwa masih ada orang-orang yang sungguh-sungguh rela belajar dan mengasah diri untuk dapat memberikan sumbangsih pada dunia, terutama pada tanah airnya sendiri. Namun novel ini juga dapat menjadi kisah yang mengiris hati karena menyadarkan kita bahwa hampir tidak ada generasi muda yang seperti itu, bahkan mungkin.. Termasuk kita sendiri?

RANAH 3 WARNA
Masih ingat tokoh Alif dalam novel Negeri 5 Menara? Nah, di buku Ranah 3 Warna ini kisah tentang Alif dapat kembali kita ketahui kelanjutannya. Buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini adalah sebuah buku yang layak mendapatkan apresiasi. Buku yang berkisah tentang seorang Alif yang berusaha keras dan sungguhsungguh menjalani kehidupannya, meraih cita-citanya. Berbagai hikmah bermanfaat dapat kita petik dari novel setebal 470an halaman ini. Jika di buku pertama dari Trilogi Negeri 5 Menara kita mendapatkan pelajaran Man Jadda Wajada (siapa yang bersunggung-sungguh akan sukses), maka di buku yang kedua ini ada satu tambahan pelajaran lagi, yaitu Man Shabara Zhafira (siapa yang bersabar,akan beruntung). Ternyata keberhasilan, kesuksesan atau apapun yang bermakna pencapaian itu tidak hanya cukup dengan bersungguh-sungguh, tapi juga harus diiringi konsep sabar. Sabar dalam hal ini tidak berarti diam. Hmm.. buku ini sangat menarik. Ada beberapa bagian yang cukup berhasil mengucurkan air mata karena memang mengharukan. Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi ini cukup menggugah emosi. Rasa emosinya sama seperti ketika saya membaca Sang Pemimpi dan Edensor karya Andrea Hirata, serta Galaksi Kinanti karya Tasaro GK. Tentang bagaimana seseorang yang dianggap bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa, pada akhirnya mencapai cita-citanya. Buku ini juga menggambarkan bagaimana kondisi mahasiswa yang merantau, bagaimana besarnya tantangan untuk dapat menjadi seorang penulis, sekaligus bagaimana menjadi seseorang yang dapat membanggakan keluarga. Sebuah karya yang ringan namun padat hikmah, semuanya terangkum dalam kisah hidup Alif di Bandung, Amman dan Amerika.. Ranah 3 Warna.. Mengutip penggalan kalimat dari halaman penutup novel ini.. Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung yang paling ujung Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung

Anda mungkin juga menyukai