Kategori : Novel/Fiksi
Harga : Rp 50.000,00,_
Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari
kampung Buya Hamka. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi perintah ibunya untuk masuk ke sekolah
agama. Di pondok modren Gontor dia bertemu Kiai dan Ustad yang diberi keikhlasan mengajarkan ilmu
hidup dan akhirat. Gontor pula yang mengajarkan kepadanya ”mantra” sederhana yang sangat kuat , mad
jadda wajjada, siapa yang bersungguh sunguh akan sukses. Lulus kuliah Hubungan Iternasional,
UNPAD, dia menjadi Wartawan majalah TEMPO. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-
tugas reportase di bawah bimbingan para wartawan senior.
Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairis,
George Washington University,USA. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya yang juga
wartawan. Tempo adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi
koresponden Tempodan wartawan Voice of Amerika (VOA). Berita bersejarah sejarah seperti tragedi 11
september dilaporkan mereka berdua langsung dari Pantagon, White House dab Capitol Hill. Tahun
2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di
Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter
Seorang Scholarship Hunter, Fuadi selalu bersemangat melanjutkan sekolah dengan mencari beasiswa.
Sampai sekarang, Fuadi telah mendapat 8 beasiswa untuk belajar di luar negeri. Dia telah mendapatkan
kesempatan tinggal dan belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat dan Inggris. Penyuka fotografi ini
pernah menjadi Direktur Komunikasi The Nature Conservancy, sebuah NGO konservasi internasional.
Kini, Fuadi sibuk menulis, jadi pembicaraan dan motivator. Ia mulai menggarap film layar lebar Negeri 5
Menara serta membangun yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu-
Komunitas Menara.
B. SINOPSIS
Novel karya Ahmad Fuadi ini sudah difilmkan. Tokoh utama di dalam novel ini adalah Alif. Ia lahir di
Minangkabau. Sejak kecil, Ia mempunyai cita-cita menjadi seperti B. J. Habibie. Oleh karena itu, setelah
SMP, ia berencana melanjutkan SMU di Padang. Ia berharap dapat kuliah di jurusan yang diinginkannya.
Namun, Amak Alif berkeinginan Ia menjadi penerus Buya Hamka. Hal ini membuat impian Alif kandas
karena ia harus menuruti keinginan orang tuanya. Orang tuanya menawari untuk sekolah agama atau
pergi ke pondok pesantren. Alif sempat kesal, namun Ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya.
Akhirnya, Ia masuk pondok. Pamannya memberi saran untuk masuk ke Pondok Pesantren modren Gontor
di Jawa Timur.
Awalnya Alif menjalaninya dengan setengah hati, namun akhirnya Ia tetap ingin melanjutkan di pondok
pesantren karena mendengar kalimat bahasa Arab “Man Jadda Wajada” yang artinya adalah barang siapa
bersungguh-sungguh pasti bisa, yang ia dengar dari sang guru di sana.
Di pondok, Ia memiliki teman baru yang berasal dari berbagai daerah. Mereka adalah Raja, Dulmajid,
Said, Atang dan Baso. Mereka habiskan waktu sehari-hari dengan hafalan Al-Qur’an, belajar bahasa Arab
dan bahasa Inggris siang malam.
Hal yang paling berat dijalani di PM adalah pada saat ujian, semua murid belajar 24 jam nonstop dan
hanya beberapa menit tidur. Namun disela rutinitas di pesantren yang super padat dan ketat. Alif dan 5
temannya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul di bawah menara masjid, sambil menatap awan dan
memikirkan cita-cita mereka kedepan.
Suatu hari Baso keluar dari pondok, hal ini menggugah semangat Alif dan teman-temannya untuk segera
lulus dan menjadi orang sukses serta mewujudkan impiannya untuk pergi ke benua Eropa dan Amerika.
Akhirnya, impian merekan terwujud. Alif berada di Amerika, Atang di Afrika, Raja di Eropa, Baso di
Asia, Said dan Dulmajid di Indonesia. Anda dianjurkan untuk tidak meremehkan suatu impian karena
Allah Maha Mendengar.
C. BAHASA PENGARANG
Gaya bahasa yang digunakan menggabungkan kejelian observasi seorang reporter dan kekalisan jelajah
imajinasi literer dalam Negeri 5 Menara yang inspiratif. Dengan deskripsi ruang yang nyaris sempurna,
Ahmad Fuandi berhasil memetakan seluk-beluk pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita
dari mulut ke mulut. Dinamika kehidupan internal pesantren berpadu mulus dengan riuhnya suasana
global di jantung peradaban modern yang serba bergegas. Sebuah novel yang membuktikan bahwa tak
ada hal yang tak bisa dicapai manusia di dalam hidupnya. MAN JADDA WA JADDA.
1. TEMA
Dengan tema persahabatan, pendidikan dan kekeluargaan, penulis novel menanamkan berbagai
nilai-nilai pendidikan, nilai kejuangan, dan nilai kebersamaan, sehingga murid-murid terdidik
secara total untuk berkarya penuh totalitas di masyarakat. Kata “man jadda wa jadda” akan
senantiasa memotivasi setiap anak dan akan melahirkan kesuksesan dimasa depan mana kala
diikuti dengan kreatifitas, ketabahan dan keikhlasan.
2. ALUR
Dimana tokoh utama (Alif Fikri) kilas balik dari ingatannya akan masa silam ketika menimbah
ilmu di Pondok Madani hingga membuahkan hasil yang menyenangkan dimasa kini. Sangat
bagus dan menarik, sehingga membuat pembaca sulit menebak peristiwa yang terjadi selanjutnya.
Dan juga bisa membuat pembaca penasaran serta mengundang antusias pembaca untuk membaca
novel ini. Dan, berkesinambungan. Tidak terpecah berantakan. Disini, pengarang menggunakan
alur sorot balik. Pembaca tidak akan bosan membaca kehidupan di pondok karena penulis
menggunakan alur campuran. Ia memulai cerita dengan mengambil setting Alif yang sudah
bekerja lalu mulai masuk ke dalam ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya dulu di Pondok
Madani. Setelah cukup panjang menceritakan tentang pondok, ia mulai beralih lagi ke kehidupan
Alif masa sekarang.
3. LATAR
Cerita dalam novel ini banyak berkisah dan mengambil latar di aula, masjid dan pondok
pesantrennya.
Tempat : “Al-Baraq adalah bangunan memanjang dengan koridor berbentuk huruf L.”
4. PENOKOHAN/WATAK
Alif Fikri : Tabah dan sabar (“sabar, kita harus menghadapi hukuman ini dengan sabar”).
Dulmajid : Ia dari Sumenep, Madura. Seorang pemain bulutangkis, rekan latih tanding Ustad
Torik. Lucu, nekad (“Hah, ayo kita gotong terus masih ada waktu 5 menit” ).
Raja Lubis : Ia dari Medan. Ia adalah anggota English Club dan seorang orator yang hebat.
Penghafal keras, gampang bingung (“Aku tidak berani melihat anak perempuan, karena akan
mengganggu hafal Al-qur’an” ).
Baso Salahudin : Dari Gowa, Sulawesi. Terkenal karena memori fotografis dan Bahasa Arab yang fasih.
Ia meninggalkan Pondok Madani saat kelas lima untuk menjaga neneknya dan berusaha menghafal Al-
Qur`an di kampung halamannya. Pintar dan pengertian (“ayo ujian akan dilaksanakan 3 hari lagi, kita
harus belajar keras” ).
Atang Yunus : Dari Bandung. Seorang yang mencintai seni dan teater pendiam, tidak berani aneh –
aneh (“aku sangat tidak bilang kepada ketua jasus itu, karena aku takut di hukum lagi” ).
Said Jufri : Dari Surabaya. Ia sangat terobsesi dengan bodybuilding dan mengidolakan Arnold
Schwarznegger.
Ustad Salman : Wali kelas Alif. Laki-laki muda bertubuh kurus bersuara lantang.
Amak : Menjunjung tinggi nilai agama, tegas, baik.
Ayah/ Fikri Syafnir / Katik Parpatiah Nan Mudo : Sabar, baik, menjunjung tinggi nilai agama.
Dan tokoh-tokoh pendukung lain : Pak Sikumbang, Pak Etek Muncak , Pak Etek Gindo Marajo, Pak
Sutan, Ismail Hamzah , Burhan, Ustadz Salman , Kiai Amin Rais , Kak Iskandar Matrufi, Rajab Sujai /
Tyson , Ustadz Torik , Raymond Jeffry / Randai , Ustadz Surur , Ustadz Faris , Ustadz Jamil , Ustadz
Badil , Ustadz Karim , Kak Jalal , Amir Tsani , Pak Yunus , Kurdi, Ustadz Khalid , Shaliha , Sarah, Mbok
Warsi , Zamzam.
5. AMANAT
Sebagai pembaca, amanat yang dapat saya temukan dari novel ini ialah tidak ada kebetulan di dunia ini.
Semua atas izin Allah dan usaha manusia. Selain itu pesan lain yang dapat diambil dari novel ini ialah,
betapa berartinya “man jadda wa jadda” yang artinya “yang penting usaha”, dan maka Allah akan
membukakan jalan ke jendela dunia. Buku ini telah menjadi bukti yang inspiratif. Ditulis dalam bahasa
yang ringan. Walaupun terkadang serius, namun lebih sering disajikan dengan menghibur.
6. SUDUT PANDANG
Penulis novel menggunakan sudut pandang pelaku utama orang pertama (“Aku yang dulunya egois dan
cepat marah, sekarang menjadi Alif yang bijaksana dan selalu berfikir panjang sebelum melakukan
sesuatu”)
7. GAYA BAHASA
Penulis banyak menggunakan gaya bahasa personifikasi. (“Satu persatu kawan pun datang dari negeri 5
menara dan menara membisikkan telinga kami agar kenangan kembali ke masa kecil”)
D. KELEBIHAN
Melalui novel ini, Ahmad Fuandi berhasil membuat banyak orang ingin tahu lebih dalam tentang dunia
pesantren sebagai pusat keunggulan, termasuk kalangan non-muslim. Novel disajikan dengan narasi dan
cerita yang cukup jelas dan berdasar pada kisah hidup nyata. Penelusuran jejak-jejak pesahabatan dan
pencapaian cita-cita diramu dalam kisah yang sekaligus melibatkan petualangan, religi, dan wawasan
yang mengesankan.
E. KELEMAHAN
Kelemahan dari Novel Negeri 5 Menara adalah Klimaks cerita kurang menonjol sehingga para pembaca
merasa dinamika cerita sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca merasa cerita belum selesai
setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebakan karena penulis mendasarkan ceritanya pada kisah nyata
dan tidak ingin melebih-lebihkannya.
F. KESIMPULAN
Novel ini berjudul Negeri 5 Menara, karya A. Fuadi. Menceritakan tentang kisah 6 orang sahabat. Novel
ini bagus untuk dibaca semua orang. Mengingat isi novel yang bertema tentang perjuangan, pencapaian,
dan juga keikhlasan.
Kelebihan : Novel yang berkisah tentang generasi muda bangsa yang penuh motivasi, bakat, semangat,
dan optimisme untuk maju dan tidak kenal menyerah ini, merupakan pelajaran yang berharga bukan saja
sebagai karya seni, tetapi juga tentang psoses pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya
sumberdaya insani yang handal. A. Fuandi mengelola nostalgia menjadi novel yang menyentuh sekaligus
menjadi diskusi kritis yang bersimpatik tentang pendidikan kehidupan.
Novel ini disajikan dengan cukup baik, dan lengkap. Karena cerita diambil berdasarkan kisah nyata,
membuat pembaca seakan-akan ikut masuk dan terbawa suasana dalam novel. Serta berbagai nilai dan
amanah yang didapatkan dari novel ini, membuat pembaca diharapkan dapat mengikuti teladan baik
dalam novel ini.
Kekurangan : Disamping kelebihannya, secara singkat, kekurangan yang bisa dijadikan pertimbangan
para pembaca untuk membeli atau tidaknya novel ini ialah sebagai berikut.
1. Judul Resensi
Penulis resensi sudah mencantumkan judul resensi bukunya, yang dimana judul resensinya ialah
Resensi Novel Negara 5 Menara.
2. Identitas Novel
Penulis resensi juga telah mencantumkan identitas novel yang diresensi dengan baik dan lengkap.
Dari judul novel, nama penulis, nama penerbit, tahun terbit, hingga harga, ukuran dan tebal novel
telah dicantumkan oleh penulis resensi.
3. Pendahuluan
Pendahuluan ini merupakan bagian yang bisa berisikan memperkenalkan pengarang. Dan
penulis resensi juga telah mencantumkan perkenalan pengarang novel, kisah hidup pengarang dan
tujuan pengarang menulis buku tersebut.
Dalam resensi novel ini, struktur yang memperkenalkan pengarang disampaikan dalam bagian
“Kepengarangan”. Berikut kutipan singkatnya.
“KEPENGARANGAN : Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau
tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi perintah
ibunya untuk masuk ke sekolah agama. Di pondok modren Gontor dia bertemu Kiai dan Ustad
yang diberi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan akhirat. Gontor pula yang mengajarkan
kepadanya ”mantra” sederhana yang sangat kuat……”
”Novel karya Ahmad Fuadi ini sudah difilmkan. Tokoh utama di dalam novel ini adalah Alif. Ia lahir di
Minangkabau. Sejak kecil, Ia mempunyai cita-cita menjadi seperti B. J. Habibie. Oleh karena itu, setelah
SMP, Ia berencana melanjutkan SMU di Padang. Ia berharap dapat kuliah di jurusan yang diinginkannya.
Namun, Amak Alif berkeinginan Ia menjadi penerus Buya Hamka…”
5. Penilaian Novel
Dalam bagian ini, penulis resensi telah memberikan penilaiannya terhadap buku yang dibaca,
yakni dengan mengomentari dan mengutarakan pendapatnya terhadap buku tersebut. Dan dalam
resensi ini, penulis resensi telah memberikan dengan lengkap penilaian novel tersebut
berdasarkan berbagai variabel, contohnya ialah unsur – unsur novel yang terdiri dari :
Alur
“Maju – mundur (campuran)”
Latar
“Cerita banyak mengambil latar di aula, masjid dan pondok pesantren”
Gaya Bahasa
“Penulis banyak menggunakan gaya bahasa personifikasi”
Sudut Pandang
“Pelaku utama orang pertama”
Amanat
Tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua atas izin Allah dan usaha manusia.
Kesimpulan dan pesan yang dapat diambil dari novel ini ialah, betapa berartinya “man
jadda wa jadda” yang artinya “yang penting usaha”, dan maka Allah akan membukakan
jalan ke jendela dunia.
Jadi, menurut hasil analisis saya, penulis resensi telah menilai dan meresensi novel
dengan baik dari segi unsur – unsur novel.
- Kelebihan :
Penulis resensi juga telah menuliskan kelebihan dari novel yang ia baca. Bagian ini berisi
gambaran keunggulan, manfaat dan kegunaan buku yang dijadikan pertimbangan para pembaca
untuk membeli buku ini. Berikut kutipannya.
“Novel disajikan dengan narasi dan cerita yang cukup jelas dan berdasar pada kisah hidup nyata.
Penelusuran jejak-jejak pesahabatan dan pencapaian cita-cita diramu dalam kisah yang sekaligus
melibatkan petualangan, religi, dan wawasan yang mengesankan.”
- Kelemahan :
Dalam bagian ini, berlawanan dengan kelebihan, di sini penulis resensi juga telah memberikan
kritik dan komentar serta pendapatnya terhadap bagian novel yang ia rasa kurang memuaskan.
Berikut kutipannya.
“Kelemahan dari Novel Negeri 5 Menara adalah Klimaks cerita kurang menonjol sehingga para
pembaca merasa dinamika cerita sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca merasa cerita
belum selesai setuntas-tuntasnya.”
6. Penutup
- Kesimpulan :
Penulis resensi juga telah mengakhiri resensi novelnya dengan membuat kesimpulan akhir
yang berisikan, gambaran singkat mengenai isi novel, kelebihan dan kelemahan novel secara
garis besar dan penulis resensi menyertakan pernyataan-pernyataan berupa saran atau
rekomendasi bagi para pembaca resensi, agar dapat mempertimbangkan layak atau tidaknya
membeli novel tersebut.
Dari hasil analisis saya terhadap struktur resensi novel ini, penulis resensi telah membuat resensi
dengan sangat baik. Dapat dibuktikan dengan kelengkapan semua struktur penyajian resensi, dari
bagian identitas novel, isi atau ikhtisar novel, penilaian novel yang meliputi kelemahan dan kelebihan
dan berdasarkan unsur - unsur novel, serta kesimpulan resensi novel.
ANALISIS MENURUT KAIDAH KEBAHASAAN
1. Menggunakan konjungsi penerang
Penulis resensi telah menggunakan beberapa konjungsi penerang seperti ialah, bahwa, adalah.
Berikut kutipannya.
“Sebagai pembaca, amanat yang dapat saya temukan dari novel ini ialah tidak ada
kebetulan di dunia ini.”
“Sebuah Novel yang membuktikan bahwa tak ada hal yang tak bisa dicapai manusia di
dalam hidupnya.”
“Novel karya Ahmad Fuadi ini sudah difilmkan. Tokoh utama di dalam novel ini adalah
Alif.”
“Kelemahan dari Novel Negeri 5 Menara adalah klimaks cerita kurang menonjol
sehingga para pembaca merasa dinamika cerita sedikit datar.”
“Sejak kecil, Ia mempunyai cita-cita menjadi seperti B. J. Habibie. Oleh karena itu,
setelah SMP Ia berencana melanjutkan SMU di Padang.”
“Awalnya Alif menjalaninya dengan setengah hati, namun akhirnya Ia tetap ingin
melanjutkan di pondok pesantren…”
5. Kepenulisan Karya
Dalam resensi novel ini, masih banyak kalimat atau kata yang saya temukan tidak sesuai
dengan kaidah PUEBI dan tata bahasa baku Bahasa Indonesia.
Contohnya seperti berikut.