Anda di halaman 1dari 7

RESENSI NILAI KEAGAMAN

“NOVEL NEGERI 5 MENARA”


Karya : Ahmad Fuadi

A. Sinopsis

Novel Negeri 5 Menara merupakan sebuah novel karya Ahmad Fuadi yang
diterbitkan oleh PT. Gramedia pada tahun 2009. Novel ini bercerita tentang
kehidupan 6 santri dari 6 daerah yang berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani
(PM) Ponorogo Jawa Timur yang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan
mimpi menggapai jendela dunia.

Cerita ini berawal dari kehidupan seorang “Aku” yang bernama Alif Fikri
Chaniago dari Maninjau. Seorang anak Minangkabau yang memiliki keinginan
besar untuk melanjutkan sekolahnya di SMA Bukittinggi. Namun keinginan itu
tak dapat Alif wujudkan karena amaknya tak menyetujui dengan alasan kehidupan
di SMA tidak bisa menunjang pengetahuan Alif akan dunia Islam. Pada awalnya
Alif tidak menerima keputusan amak yang tak sejalan dengannya. Namun pada
suatu hari Alif menerima surat dari pamannya yang bekerja di Mesir bernama
Etek Gindo. Beliau menyarankan Alif untuk melanjutkan sekolahnya di sebuah
pondok pesantren di Jawa yang bernama Pondok Madani. Melalui pemikiran yang
cukup lama, Alif-pun menyetujui saran dari Paman Etek Gindo, dan itu berarti Ia
juga menyanggupi kemauan dari Amaknya untuk melanjutkan sekolah di sebuah
Pondok Pesantren. Alif mengambil keputusan ini dikarenakan Ia tertarik akan
kisah dari rekan pamannya di Mesir yang juga lulusan Pondok Madani, dimana
mereka begitu fasih akan bahasa arab, bahasa inggris dan memiliki masa depan
yang baik.

Akhirnya Alif-pun berangkat untuk mendaftar di Pondok Pesantren


Madani bersama Ayahnya. Saat itu Alif sadar jikalau Ia masih dalam pikiran dan
keputusan yang setengah-setengah. Dalam perjalanan menuju Pondok Madani,
Alif berpikir Apakah Dia akan kuat dengan kehidupan pesantren yang katanya
cukup berat? Seberapa lamakah Ia bisa bertahan? Kegalauan masih setia
mengunjungi otak dan hatinya ketika itu. Sesampainya Di Pondok Madani. Alif
mendaftarkan diri dan mengikuti serangkaian tes, hingga akhirnya Dia lolos
seleksi dan diterima sebagai murid baru Pondok Madani. Selama perjalanan dan
proses pengenalan awal Pondok Madani, Alif bertemu dengan 5 orang murid
baru lainnya, yakni Said Jufri dari Surabaya, Raja Lubis dari Medan, Atang dari
Bandung, Dulmajid dari Sumenep, dan Baso Salauddin dari Gowa. Melalui
pertemuan yang tak diduga dari proses perjalan menuju Pondok Madani, seleksi ,
hingga akhirnya menjadi murid resmi Pondok Madani membuat mereka menjadi
sahabat yang erat, dimana mereka saling memberikan semangat dan saling
mengisi akan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mereka semakin akrab
dan memiliki kegemaran yang sama yaitu duduk dibawah menara pondok madani.
Dari kegemaran yang sama mereka menyebut diri mereka sebagai Sahibul
Menara. Sahibul Menara berarti pemilik menara, karena merekalah yang sering
menempati tempat di bawah menara masjid tersebut. Mereka menyebut sebagai
menara 1 adalah Said, lalu menara 2 adalah Raja, Menara 3 Alif, menara 4 Atang,
menara 5 Dulmajid, dan menara 6 Baso.

Di tempat ini pula mereka menatap awan dan mendiskusikan tentang masa
depannya. Suatu saat mereka duduk di bawah menara sambil memandang awan di
langit. Mereka mengkhayalkan awan-awan tersebut seperti peta dunia dan
menggambarkan wilayah Eropa, Asia, Afrika, Amerika dan Indonesia sesuai
dengan mimpi mereka masing-masing. Suatu saat mereka ingin mengunjungi
negeri seperti khayalan mereka.

Diantara mimpi tersebut ada hal yang mengharukan. Mimpi ini dari Baso.
Dia merupakan anak yatim piatu dan paling miskin diantara Sahibul Menara dan
dia belajar ke pondok dibiayai atas kemurahan hati tetangganya. Baso diasuh oleh
neneknya. Baso orang paling pintar diantara mereka dan mempunyai hobi belajar.
Tak ada yang mengalahkan frekuensi belajarnya. Dia hanya ingin menjadi hafiz
Al-Qur’an untuk amal baik pada orang tuanya yang belum sempat dia lihat. Dia
percaya, orang tua anak yang hafiz Al-Qur’an tempatnya di surga. Tetapi
menjelang akhir masa belajarnya Baso harus mengundurkan diri dan bekerja
sebagai guru di kampung halamannya dan menjaga neneknya yang sedang sakit.
Tetapi cita-cita Baso tak putus. Di akhir cerita dia bisa menjadi hafiz Al-Qur’an
dan mendapat beasiswa belajar di Mekkah.

            Mimpi Sahibul Menara yang lain juga tercapai. Raja akhirnya bekerja di
London, Atang kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir, Said dan Dulmajid bekerja
sama memajukan pesantren di Surabaya. Dan si Alif bekerja di Wahington DC
sebagai reporter seperti pilihan kegiatan sewaktu di PM, setelah menamatkan
program doktornya di Amerika.
            Memang tidak rinci diceritakan bagaimana cara meraih mimpi mereka
setelah tamat dari PM Madani. Kisah hanya lebih ditekankan pada suka duka
santri di pondok dan bagaimana mereka belajar dan bekerja menyelesaikan tugas-
tugas mereka. Bagaimana mengatasi jadwal yang ketat. Bagaimana bila wesel dari
orang tua terlambat.

Yang menarik adalah bagaimana pondok memandang saat ujian. Ujian


adalah pestanya pelajar maka harus dihormati. Diadakan acara khusus menyambut
ujian dan aturan disesuaikan dengan jadwal belajar. Mereka belajar siang malam
bergantian. Mereka membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil
antre mandi, sambil antri makan, sambil makan atau sambil mengantuk. Benar-
benar suasana yang magis dengan nuansa belajar yang kental. Belajar bagi mereka
24 jam. Ada juga tradisi sairul lail, begadang sampai jauh malam untuk belajar
dan membaca buku. Siapa yang ingin mendapat kemuliaan maka belajarlah
sampai jauh malam.

            Beberapa mutiara yang dapat dipetik. Para santri harus menghormati
gurunya yang mempunyai jiwa iklas mengabdi di pondok tanpa dibayar. Santri
juga harus mempunyai jiwa iklas bila ingin belajar di pondok. Bila santri dan guru
sama-sama iklah berbuat, insya Allah ilmu akan lancar mengalir.

Ada banyak pesan yang menggelinding di berbagai percakapan.


Diantaranya. “Bacalah Al-Qur’an dan hadits dengan mata hati kalian. Resapi
dan lihatlah mereka secara menyeluruh, saling berkait menjadi pelita bagi
kehidupan kita. Allah itu dekat dan Maha Mendengar. Bahkan lebih dekat dari
urat leher. Bila punya mimpi berdoalah dan berusaha. Pada akhir belajarnya, para
santri mendapat wejangan. Jadilah rahmat bagi alam semesta. Carilah jalan ilmu
dan jalan amal ke setiap sudut dunia. Ingat nasihat Imam Syafii: Orang yang
berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu
dan merantaulah ke negeri orang. Hidup sekali, hiduplah yang berarti”.

Novel ini bukan sekedar cerita. Tetapi ada banyak makna tentang
kepatuhan anak pada orang tua, cita-cita, kerja keras, belajar, bergaul, bersahabat,
bersikap dan keisengan anak muda usia SMA. Tetapi penulis bersikap
proporsional dengan mengedepankan cita-citanya. Ada mantra yang sangat
dipercayainya, “Man Jadda wajada” siapa yang sungguh-sungguh bekerja akan
berhasil.

B. Penokohan
   Alif Fikri
Merupakan tokoh utama dalam novel. Ia berkarakter baik hati, pintar dan
sedikit keras kepala. Sikap keras kepalanya terbukti ketika ia menolak keras
permintaan ibunya untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren Madani. Impian
menuntut ilmu di almamater berlambang Ganesha (ITB) pun terkadang membuat
Alif iri pada Randai. Namun sedikit demi sedikit Alif mulai menyadari bahwa
pilihan Amak adalah anugarh besar bagi dirinya.

   Randai

Sahabat dekat sekaligus rival bagi Alif Fikri. Kendati bersahabat, keduanya
sama-sama bersaing untuk menduduki ranking tertinggi dalam kelas. Dalam novel
ini, tokoh Randai diceritakan sebagai pelajar pintar, baik hati namun sombong. Ia
sering memamerkan keberhasilannya di bangku sekolah pada Alif, termasuk
ketika SMA.

  Sahibul menara

Merupakan teman dekat Alif semas adi PM. Mereka adalah Raja, Said,
Dulmajid, Baso, dan Atang. Kelima orang itu diceritakan berwatak protagonis,
dari merekalah Alif belajar mehargai perbedaan dan sedikit demi sedikit angannya
melanjutkan pendidikan di SMA terobati.

  Amak

Amak adalah ibu dari tokoh Alif Fikri, seorang guru MI yang berhati lurus,
idealis dan memiliki kemauan tinggi untuk memajukan putranya. Idealismenya
tidak pandang bulu dan bisa mengenai siapa saja termasuk putra sendiri. Pernah
suatu kali ia melukiskan angka merah di raport Alif lantaran putranya itu tidak
mau memainkan alat musik ketika praktik kesenian. Amak juga sempat dijauhi
para guru saat ia dengan tegas menolak memberikan bantuan jawaban pada siswa-
siswi yang tengah menjalani Ujian Nasional.

  Ayah

Dikisahkan sebagai orang sabar, pendiam tetapi juga sangat memperhatikan


pendidikan anak-anaknya.

  Ustadz Salman

Tokoh ini adalah wali kelas Alif semasa di PM, seorang lelaki mda
bertubuh kurus dan bersuara lantang. Dari mulut beliaulah Alif mendengar petuah
yang menginspirasi serta menguatkan tekad menuntaskan belajar di PM.
  Kyai Rais

Pemimpin PM yang dihormati banyak kalangan, tak terkecuali Alif. Beliau


memberi kalimat yang terpatri kuat di hati para santrinya, yakni “Man Jadda Wa
Jadda dan Man Shabara Zafira”.

  Sarah

Tokoh ini tidak terlalu ditonjolkan dalam novel. Ia adalah putri salah
seorang pendidik di PM, satu-satunya perempuan yang pernah masuk ke
lingkungan pesantren sehingga Sahibul Menara menjulukinya sebagai princess
PM. Sahibul Menara juga sempat bertaruh barang siapa saja yang bisa mendekati
Sarah, maka Raja akan mentraktirnya makan makrunah (makanan paling popular
di PM) di kantin selama sebulan penuh. Alif yang kebetulan seorang pengurus
majalah kampus bersedia menerima tawaran tersebut, dengan mengangkat profil
keluarga Sarah, Alifpun sukses memenangkan taruhan karena sanggup
menunjukkan bukti fotonya bersama Sarah.

C. Amanat
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari novel karya Ahmad Fuadi ini.
Salah satunya adalah banyak jalan untuk meraih cita-cita, meski menggunakan
jalur berbeda dari keinginan namun kita pasti bisa menggapainya dengan satu
syarat: tidak pernah menyerah.

D. Nilai – Nilai dalam Novel

1.  Nilai Agama
Novel ini menceritakan tentang kehidupan sekitar pesantren sehingga
banyak mengajarkan nilai agama yang tidak terdapat pada novel-novel lain. Salah
satu bukti itu adalah kalimat “Man Jadda Wa Jadda”, yang berarti siapapun
dapat meraih cita-citanya asal ia bersungguh-sungguh.

2. Nilai Moral

Kebersamaan Sahibul Menara dalam menghadapi kerasnya pendididkan di


pesantren mengajarkan bahwa sebagai penuntut ilmu, kita harus sabar dan tidka
pantang menyerah menuntaskan apa yang telah dimulai.
E. Pesan
Banyak  pesan yang terdapat di dalam novel Negeri 5 Menara.
Diantaranya adalah :
1. Jangan pernah takut untuk memiliki cita-cita yang setinggi-tingginya.
2. Yakinlah bahwa segala keinginan yang disertai do’a dan ikhtiar yang
keras pasti akan dikabulkan oleh Allah swt.
3. Patuhlah kepada nasehat orangtua, niscaya kamu akan berhasil.
4. Jangan menyesali keinginan yang belum kita dapatkan, karena Allah

akan menggantinya dengan hal yang lebih baik.


5. Tempat belajar memang penting tapi yang lebih penting adalah
kesungguhan hati kita.
6. Hidup itu tentang niat, usaha, ikhlas dan tawakal. Jadi segala hal yang
kita lakukan harus kita sandarkan kepada Allah.
7. Lakukan sesuatu hal berdasarkan bakat dan minat.
8. Orang besar bukan orang yang memiliki banyak harta, melainkan
orang yang bisa membagi ilmu pengetahuan dan pengalamannya
kepada orang lain untuk diikuti. 

Anda mungkin juga menyukai