Anda di halaman 1dari 4

SINOPSIS NOVEL “NEGARA 5 MENARA”

Alif Fikri adalah remaja yang baru lulus dari Madrasah Tsanawiyah di kampungnya, Maninjau.
Seperti kawan karibnya, Randai, Alif ingin melanjutkan sekolah ke SMA untuk kemudian kuliah di jurusan
penerbangan ITB. Cita-cita remaja asal Maninjau itu ingin menjadi seperti Habibie. Sayang sekali, dia
harus kecewa, kedua orang tuanya menghendaki Alif melanjutkan ke sekolah agama.
Kedua orang tua Alif merupakan keturunan ulama terkenal di Maninjau. Kakek Alif dari garis ibu,
Buya Sutan Mansyur, adalah murid dari Inyiak Canduang atau Syekh Sulaiman Ar-Rasuly. Mereka
menginginkan anaknya dapat menjadi seorang pemimpin agama dengan pengetahuan luas seperti Buya
Hamka. Jalan terbaik untuk mewujudkan cita-cita itu adalah dengan bersekolah di sekolah agama.
Kendati tidak yakin, Alif akhirnya menyanggupi melanjutkan ke sekolah agama. Untuk mengobati
kekecewaan—sekaligus wujud pemberontakannya—Alif memutuskan untuk sekolah di Pondok Madani,
Jawa Timur. Referensi pondok tersebut ia peroleh dari Pak Etek Gindo yang tengah belajar di Mesir.
Mendengar keinginan Alif, Amak dan Ayah terkejut. Mereka tidak menyangka jika Alif akan menuntut
ilmu di tempat yang jauh.
Alif berangkat ke Pondok Madani diantar ayahnya. Ternyata calon santri yang mendaftar ke
Pondok Madani jumlahnya banyak. Alif pun harus berjuang keras agar dapat melewati tahap seleksi.
Di Pondok Madani, Alif mempunyai karib yang sering disebut Sahibul Menara. Nama itu muncul
karena seringnya mereka berkumpul di bawah menara masjid, sekadar berbincang maupun belajar.
Anggota Sahibul Menara terdiri atas Alif, Raja dari Medan, Atang dari Bandung, Dulmajid dari Madura,
Said dari Surabaya, serta Baso dari Sulawesi. Para Sahibul Menara ini mempunyai cita-cita dapat
menginjakkan kaki di negara impian mereka. Alif ingin pergi ke Amerika, Raja sangat kagum dengan
Inggris, Atang ingin pergi ke Mesir, sementara Said dan Dulmajid lebih memilih mendirikan sekolah di
negeri sendiri. Adapun Baso, ia bertekad dapat belajar ke Mekah, Arab Saudi.
Kegiatan di Pondok Madani membuat Alif harus bekerja keras. Di Pondok Madani tidak diizinkan
bermalas-malasan, termasuk dalam belajar bahasa. Di Pondok Madani bahasa wajib adalah bahasa Arab
dan bahasa Inggris. Di antara kesibukannya, Alif masih saling bertukar kabar dengan Randai. Randai yang
bersekolah di SMA bercerita tentang keseruan kegiatan serta prestasi yang telah ia raih. Kadang kala,
cerita Randai membuat Alif ingin keluar dari Pondok Madani untuk bersekolah di sekolah umum seperti
Randai.
Tahun ketiga di Pondok Madani, Baso memilih pulang ke Sulawesi. Di antara anggota Sahibul
Menara, Baso paling rajin belajar dan menghafal Alquran. Kedua orang tua Baso meninggal saat Baso
masih kecil. Baso kemudian dibesarkan oleh neneknya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek Baso
sering ditolong oleh Pak Latimbang. Akan tetapi, di tahun ketiga pendidikannya di Pondok Madani, Baso
mendapat kabar kalau neneknya sakit. Untuk merawat neneknya, Baso memutuskan keluar dari Pondok
Madani dan pulang kampung.
Sepeninggal Baso, kegundahan Alif memuncak, keinginannya untuk keluar dari pondok kembali
muncul. Alasannya, Pondok Madani tidak memberikan ijazah setingkat SMA. Tanpa ijazah tersebut, Alif
tidak bisa masuk perguruan tinggi. Selain itu, bayangan Randai yang telah lulus SMA dan diterima di ITB
terus mengusiknya. Alif lantas berkirim surat kepada orang tuanya, memohon izin untuk keluar dari
Pondok Madani.
Selang hari, ayahnya datang. Alif merasa terharu oleh pengorbanan ayahnya yang telah menempuh
perjalanan jauh hanya untuk memastikan bahwa Alif akan menyelesaikan pendidikannya di Pondok Madani.
Alif pun berjanji akan memenuhi harapan orang tuanya.
Empat tahun berlalu. Alif dan teman-temannya pun menamatkan pendidikan di Pondok Madani.
Mereka meninggalkan Pondok Madani untuk kembali ke rumah.
Sebelas tahun kemudian, Alif berkesempatan menjadi salah satu panelis pada sebuah acara di
London. Ketika itu, Alif telah mencapai menara impiannya. Ia mendapat beasiswa di George Washington
University. Setamat dari GWU, Alif bersama istrinya bekerja di kantor berita American broadcasting
Network, Amerika.
Di London, Alif satu meja dengan Atang yang juga menjadi panelis. Alif pun bertemu dengan Raja
beserta istri yang saat itu tinggal di London. Raja mendapat undangan dari komunitas muslim Indonesia
untuk menjadi pembina agama. Raja juga tengah kuliah di Metropolitan University bidang linguistik. Dari
Atang, Alif mendapat kabar, anggota Sahibul Menara lainnya, Saida dan Dulmajid, bekerja sama
mendirikan sebuah pondok dengan semangat PM di Surabaya. Sementara itu, Baso telah berhasil
menghapal Alquran dan mendapatkan beasiswa di Mekah.
Atas capaian Sahibul Menara, “mantra” man jadda wa jada yang diajarkan di Pondok Madani telah
terbukti. Bermula dari impian, dengan usaha yang dilebihkan Sahibul Menara dapat meraih menara yang
diinginkan.

Ahmad Fuadi adalah seorang penulis novel, pekerja sosial dan


mantan wartawan dari Indonesia. Novel pertamanya adalah Negeri 5 Menara yang
merupakan buku pertama dari trilogi novelnya. Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan
semangat untuk berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam
jajaran best seller tahun 2009.
Ahmad Fuadi mulai terkenal sejak novel pertamanya, Negeri 5 Menara. Novel tersebut
merupakan buku pertama dari trilogi novelnya dan diadaptasi ke layar lebar pada 2012 dengan
judul yang sama, dan menjadi salah satu film terlaris tahun 2012. Ia telah mendapatkan
beberapa penghargaan, salah satunya adalah Penulis & Buku Fiksi Terfavorit versi Anugerah
Pembaca Indonesia.

Ahmad Fuadi lahir di Bayur Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972 . Bayur, sebuah
kampung kecil di pinggir Danau Maninjau. Ibunya adalah seorang guru SD dan ayahnya
seorang guru madrasah. Ia menghabiskan masa kecilnya dan bersekolah hingga sampai Sekolah
Menengah Pertama di Bayur.
Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama, Ahmad Fuadi merantau ke Jawa untuk mematuhi
permintaan dari Ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia memulai pendidikan menengahnya di KMI
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Di Pondok tersebut ia bertemu dengan kiai dan
ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Di Pondok tersebut Ahmad Fuadi mendapat nasehat dari guru-guru atau ustad-ustadnya
salah satunya adalah “man jadda wajada”, yang artinya “barang siapa yang bersungguh-sungguh
pasti akan menemui kesuksesan”, serta ada sebuah kata-kata lagi yang selalu dia ingat bahwa
“orang yang paling baik di antaramu adalah orang yang paling banyak manfaat.” Akhirnya pesan-
pesan tersebut yang menjadi prinsip yang selalu ia pegang dalam hidupnya.
Pada tahun 1992, Ahmad Fuadi lulus dari KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogi.
Kemudian melanjutkan kuliah Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat
kuliah, Ahmad Fuadi pernah mewakili Indonesia mengikuti program Youth Exchange Program di
Quebec, Kanada tahun 1995-1996. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan
kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship tahun 1997.
Tahun 1999, ia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media anad Public
Affairs, George Washington University, USA. Merantau ke Washington DC bersama istrinya Danya,
juga seorang wartawan dari majalah Tempo. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo
dan wartawan Voice of Amerika (VOA). Mereka pernah melaporkan secara
langsung berita bersejarah peristiwa 11 September 2001 dari Pentagon, White House dan Capitol
Hill.
Pada tahun 2004, Ahmad Fuadi mendapat beasiswa Chevening untuk belajar di Royal
Holloway, University of London untuk sebuah bidang dokumenter. Ia juga pernah
menjadi direktur komunikasi di sebuah NGO konsevasi The Nature Conservancy sejak tahun 2007
hingga sekarang.
Negosiasi Warga dengan Investor

Sudah tiga tahun lebih warga Dusun Sejahtera berjuang untuk menyelamatkan sumber mata
air yang terletak di desanya. Perjuangan panjang tersebut bermula ketika sebuah perusahaan properti
mulai membangun hotel di kawasan sumber mata air tersebut. Sumber air “Panguripan” menjadi
tumpuan hidup tidak hanya bagi enam ribu warga Desa Sejahtera, tetapi juga bagi puluhan ribu
warga desa sekitarnya. Sumber air panguripan menjadi penyedia air bersir untuk dikonsumsi
sekaligus untuk memenuhi pengairan sawah bagi puluhan hektare sawah. Bila pembangunan hotel itu
diteruskan, sumber air Panguripan akan mati.
Meskipun beberapa kali didemo warga, pihak pengembang tetap bersikukuh melanjutkan
pembangunannya.
Akhirnya, Pak Lurah membentuk tim yang akan mewakili warga untuk menuntut
pengembang hotel PT Mulya Jaya, menghentikan pembangunan hotel tersebut. Tim Penyelamat
Panguripan diterima Direktur PT Mulya Jaya, Edy, di ruangannya.

Edy : “Silakan duduk Bapak dan Ibu. Selamat pagi. Boleh saya tahu bapak dan ibu ini
berasal dari mana?“
Kepala Desa : “Saya Ariin, Pak. Kepala Desa Sejahtera. Ini Bu Suci, sekretaris desa, dan satu lagi
Pak Rahmat, salah satu tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh mewakili warga desa
kami”.
Edy : “Terima kasih atas kedatangan Bapak dan Ibu ke kantor saya. Dengan senang hati,
sebagai direktur saya akan mendengarkan aspirasi warga demi kebaikan bersama”.
Edy : “Begini Bapak dan Ibu. Dalam pertemuan dengan warga desa beberapa waktu lalu,
bukankah sudah disepakati bahwa pihak investor akan tetap melanjutkan
pembangunan hotel dan berjanji akan tetap menjaga kelestarian sumber air
Panguripan. Jadi, ada masalah apa lagi?”
Warga I : “Bagaimana mungkin kelestarian sumber airnya dapat dijaga, Pak? Pembangunan
hotel tepat di atas mata air tersebut pasti akan mematikan mata airnya. Awalnya,
karena pembangunan hotel tersebut akan menuntut ditebangnya pepohonan di sana,
maka daerah resapan air akan berkurang. Hal ini mengancam kelestarian mata air
kami.”
Warga II : “Sekali lagi saya tegaskan, Pak. Kami tidak akan pernah menyetujui pembangunan
hotel atau apa pun di atas sumber mata air, sumber penghidupan kami itu!”
Kepala Desa : “Sabar dulu, Pak Rahmat. (Sambil memegang pundak Pak rahmat). Benar Pak kami
belum pernah menyetujui dan tidak akan pernah menyetujui kesepakatan itu, Pak. Bagi
kami, sumber mata air Panguripan adalah gantungan kehidupan kami. Tak hanya untuk
makan dan minum, sawah kami juga membutuhkan air.”
Warga II : “Kami selamanya akan terus menolak pembangunan hotel tersebut! Bahkan kami
akan bertindak lebih keras bila tuntutan kami tidak segera dipenuhi!“
Edy : “Bapak dan Ibu jangan khawatir. Sebenarnya, Wali Kota sudah mengeluarkan surat
perintah penghentian pembangunan hotel.”
Warga I : “Kalau begitu tunggu apalagi?”
Edy : “Masalahnya, saya masih mencari lahan pengganti. Bagaimana pun saya tidak mau
kehilangan kesempatan bisnis di kota ini.”
Kepala desa : “Bila benar demikian, sebagai kepala desa, saya akan membantu Bapak menemukan
lahan baru yang tidak terlalu jauh dari sumber Panguripan.”
Edy : “Kalau memang Pak Lurah bisa mengusahakannya, saya akan sangat berterima
kasih. Hari ini juga saya akan memerintahkan anak buah saya menghentikan
pembangunan hotelnya.”
Kepala desa : “Terima kasih atas kerja sama ini. “
Edy : “Saya juga berterima kasih karena Pak Lurah berhasil menghentikan demo warga.”
“Terima kasih, Pak.”
Negosiasi Warga dengan Investor
Sudah tiga tahun lebih warga Dusun Sejahtera berjuang untuk menyelamatkan sumber mata
air yang terletak di desanya. Perjuangan panjang tersebut bermula ketika sebuah perusahaan properti
mulai membangun hotel di kawasan sumber mata air tersebut. Sumber air “Panguripan” menjadi
tumpuan hidup tidak hanya bagi enam ribu warga Desa Sejahtera, tetapi juga bagi puluhan ribu
warga desa sekitarnya. Sumber air panguripan menjadi penyedia air bersir untuk dikonsumsi
sekaligus untuk memenuhi pengairan sawah bagi puluhan hektare sawah. Bila pembangunan hotel itu
diteruskan, sumber air Panguripan akan mati.
Meskipun beberapa kali didemo warga, pihak pengembang tetap bersikukuh melanjutkan
pembangunannya.
Akhirnya, Pak Lurah membentuk tim yang akan mewakili warga untuk menuntut
pengembang hotel PT Mulya Jaya, menghentikan pembangunan hotel tersebut. Tim Penyelamat
Panguripan diterima Direktur PT Mulya Jaya, Edy, di ruangannya.

Edy : “Silakan duduk Bapak dan Ibu. Selamat pagi. Boleh saya tahu bapak dan ibu ini
berasal dari mana?“
Kepala Desa : “Saya Ariin, Pak. Kepala Desa Sejahtera. Ini Bu Suci, sekretaris desa, dan satu lagi
Pak Rahmat, salah satu tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh mewakili warga desa
kami”.
Edy : “Terima kasih atas kedatangan Bapak dan Ibu ke kantor saya. Dengan senang hati,
sebagai direktur saya akan mendengarkan aspirasi warga demi kebaikan bersama”.
Edy : “Begini Bapak dan Ibu. Dalam pertemuan dengan warga desa beberapa waktu lalu,
bukankah sudah disepakati bahwa pihak investor akan tetap melanjutkan
pembangunan hotel dan berjanji akan tetap menjaga kelestarian sumber air
Panguripan. Jadi, ada masalah apa lagi?”
Warga I : “Bagaimana mungkin kelestarian sumber airnya dapat dijaga, Pak? Pembangunan
hotel tepat di atas mata air tersebut pasti akan mematikan mata airnya. Awalnya,
karena pembangunan hotel tersebut akan menuntut ditebangnya pepohonan di sana,
maka daerah resapan air akan berkurang. Hal ini mengancam kelestarian mata air
kami.”
Warga II : “Sekali lagi saya tegaskan, Pak. Kami tidak akan pernah menyetujui pembangunan
hotel atau apa pun di atas sumber mata air, sumber penghidupan kami itu!”
Kepala Desa : “Sabar dulu, Pak Rahmat. (Sambil memegang pundak Pak rahmat). Benar Pak kami
belum pernah menyetujui dan tidak akan pernah menyetujui kesepakatan itu, Pak. Bagi
kami, sumber mata air Panguripan adalah gantungan kehidupan kami. Tak hanya untuk
makan dan minum, sawah kami juga membutuhkan air.”
Warga II : “Kami selamanya akan terus menolak pembangunan hotel tersebut! Bahkan kami
akan bertindak lebih keras bila tuntutan kami tidak segera dipenuhi!“
Edy : “Bapak dan Ibu jangan khawatir. Sebenarnya, Wali Kota sudah mengeluarkan surat
perintah penghentian pembangunan hotel.”
Warga I : “Kalau begitu tunggu apalagi?”
Edy : “Masalahnya, saya masih mencari lahan pengganti. Bagaimana pun saya tidak mau
kehilangan kesempatan bisnis di kota ini.”
Kepala desa : “Bila benar demikian, sebagai kepala desa, saya akan membantu Bapak menemukan
lahan baru yang tidak terlalu jauh dari sumber Panguripan.”
Edy : “Kalau memang Pak Lurah bisa mengusahakannya, saya akan sangat berterima
kasih. Hari ini juga saya akan memerintahkan anak buah saya menghentikan
pembangunan hotelnya.”
Kepala desa : “Terima kasih atas kerja sama ini. “
Edy : “Saya juga berterima kasih karena Pak Lurah berhasil menghentikan demo warga.”
“Terima kasih, Pak.”

Anda mungkin juga menyukai