KAJIAN PUSTAKA
2.1 Puisi
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang
artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry
yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4)
menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta.
Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui
imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada
dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus
merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang
tersembunyi.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah
dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun
secara baik, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat
(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal.
Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik
dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian
bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
bercampur-baur.
(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia
secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan
kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris,
pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta
(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah
percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya
tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan
bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya.
Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera,
(1) Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1)
hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada
(tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme,
dan rima.
(2) Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau
yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa
(3) Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara
jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya
(1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3)
bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
(4) Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam
puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur
tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke
(5) Meyer (Badrun, 1989:6) menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3)
bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk.
meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif,
(8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards
(dalam Waluyo, 2007:95) dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi
(tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif,
(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi
kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat
(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan
banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata
dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh
(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata
kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi,
kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1)
onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi
Sutardji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir,
persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata],
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan
tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait,
(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat
dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang
sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis
kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-
kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan
dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui,
masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong
penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan
2.2 Syair Sebagai Struktur, Sistem Tanda, dan Jalinan Teks yang Fungsional
Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia (sekarang Iran) dan
telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair
berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi
Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum.
Akan tetapi, dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi
sehingga menjadi khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri
Arab. Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu adalah Hamzah
Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan, sebagai berikut.
1. Syair Panji
Syair panji menceritakan tentang keadaan yang terjadi dalam istana dan keadaan
orang-orang yang berada atau berasal dari dalam istana. Contoh syair panji adalah Syair
Ken Tambuhan yang menceritakan tentang seorang putri bernama Ken Tambuhan yang
2. Syair Romantis
Syair romantis berisi tentang percintaan yang biasanya terdapat pada cerita pelipur
lara, hikayat, maupun cerita rakyat. Contoh syair romantis yakni Syair Bidasari yang
menceritakan tentang seorang putri raja yang telah dibuang ibunya. Setelah beberapa lama
ia dicari Putra Bangsawan (saudaranya) untuk bertemu dengan ibunya. Pertemuan pun
terjadi dan akhirnya Bidasari memaafkan ibunya, yang telah membuang dirinya.
3. Syair Kiasan
Syair kiasan berisi tentang percintaan ikan, burung, bunga atau buah-buahan.
Percintaan tersebut merupakan kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Contoh
syair kiasan adalah Syair Burung Pungguk yang isinya menceritakan tentang percintaan
yang gagal akibat perbedaan pangkat, atau seperti perumpamaan “seperti pungguk
merindukan bulan”.
4. Syair Sejarah
syair sejarah berisi tentang peperangan. Contoh syair sejarah adalah Syair Perang
Mengkasar (dahulu bernama Syair Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang
Makassar dengan Belanda. Syair berbahasa Arab yang tercatat paling tua di Nusantara
adalah catatan di batu nisan Sultan Malik al Saleh di Aceh, bertarikh 1297 M.
5. Syair Agama
Syair agama merupakan syair terpenting. Syair agama dibagi menjadi empat yaitu:
(a) syair sufi, (b) syair tentang ajaran Islam, (c) syair riwayat cerita nabi, dan (d) syair
nasihat. Perlu diketahui, setiap syair pasti mengandung pesan tertentu. Pesan tersebut
gurindam. Kedua istilah itu dapat dipadankan dengan istilah puisi sebagaimana yang
terdapat dalam konvensi sastra pada umumnya. Meskipun demikian, kasidah memiliki
bahwa syair merupakan struktur yang terdiri atas unsur-unsur pembentuknya, sebagai
sistem tanda yang menunjukkan makna tertentu dari sebuah kasidah, karya yang memiliki
keterkaitan dengan teks lain yang dijadikan pijakan, referensi, atau penguat, dan sebagai
karya yang memiliki fungsi tertentu bagi para pembaca atau penikmatnya. Untuk
memahami karakteristik tersebut dalam rangka memahami Syair Dendang Siti Fatimah,
berikut ini akan dibahas masalah syair sebagai struktur, sistem tanda, dan jalinan teks
yang fungsional.
Yang dimaksud dengan struktur fisik syair ialah unsur-unsur yang membentuk
sebuah syair. Unsur tersebut dapat dirasakan melalui indra. Istilah struktur fisik ini sama
dengan istilah metode puisi sebagaimana yang dikatakan oleh Tarigan (1984: 9). Pendapat
ini sejalan dengan pendekatan struktural yang dikemukakan Culler (1983: 259). Dia
memandang karya sastra sebagai unsur-unsur yang tidak otonom, tetapi bersistem dan
koheren. Unsur tersebut beroleh makna dari sistem hubungan tadi. Selanjutnya Tarigan
menjelaskan bahwa unsur struktur fisik puisi itu terdiri atas diksi, imaji, kata konkret,
majas, ritme, dan irama. Unsur-unsur tersebut pun terkandung dalam sebuah Syair.
Jika ditinjau dari segi jumlah baitnya, syair terdiri atas beberapa jenis. Menurut
Al-Kina', dalam buku Majmu' Muhimmatil Mutun, syair yang terdiri atas satu bait disebut
”mufrad", yang terdiri atas 2 bait disebut "nutfah" yang terdiri dari 3 hingga 6 bait disebut
"qit'ah", dan yang terdiri atas 7 bait atau lebih disebut "gurinda," (Piah, 1989:125-130).
Struktur syair sebelum periode modern hanya menganut struktur terikat. Struktur ini
mengikuti pola tertentu dan sistem yang baku. Pola yang diikuti penyair ialah dalam hal
Struktur batin syair (puisi) disebut juga hakikat syair merupakan pasangan struktur
fisik atau metode syair. Yang dimaksud dengan struktur isi ialah unsur-unsur yang
pendapat Richards bahwa unsur struktur isi puisi itu adalah tema, rasa, nada, dan amanat.
Dengan ungkapan lain, tema merupakan konsep abtsrak yang kemudian menjadi konkret
melalui sarana retorika dan pencitraan. Tema ini merupakan refleksi dari gagasan, cita-
cita, keinginan, dan harapan penyair. Dengan demikian, tema itu dipengaruhi oleh
Adapun rasa merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang ada
dalam puisinya (Tarigan, 1984: 11). Tentu saja sikap penyair yang satu berbeda dengan
penyair lainnya. Bagi seseorang, kematian anak dihadapinya dengan sikap tabah. Tidak
demikian halnya dengan Ibnu Rumi yang menuduh Allah telah membunuh buah hatinya
dengan sengaja dan melemparkannya dari kerumunan orang. Jadi, sikap Ibnu Rumi
terhadap kematian anaknya yang diungkapkan dalam sya’irnya disebut rasa di dalam
hakikat puisi.
Adapun nada ialah sikap penyair terhadap pembacanya (Tarigan, 1094: 18). Sikap
itu berupa nada mencela, memuji, sinis, dan menasihati. Karya yang dibuat penyair
memiliki nada tertentu terhadap pembacanya. Nada dalam sebuah sya’ir akan
menimbulkan suasana tertentu. Antara nada dan suasana ada hubungan yang erat.
Unsur terakhir dari struktur batin puisi ialah amanat yang ingin disampaikan
penyair. Amanat ini dapat diketahui setelah orang membaca puisinya dan mengetahui rasa
dan nadanya. Amanat inilah yang mendorong si penyair untuk menciptakan syairnya.
Eco (2004: 7) mengartikan tanda sebagai sesuatu yang menggantikan sesuatu atau
sesuatu sebagai pengganti sesuatu. Dengan demikian, di balik sesuatu itu, yaitu tanda,
senantiasa ada sesuatu yang lain yang disebut arti. Sesuatu yang menjadi tanda disebut
penanda atau signifier, dan sesuatu yang menjadi arti tanda disebut petanda atau signified.
Menurut Pierce (Sudjiman dan Zoest, 1992: 7) makna tanda yang sebenarnya ialah
merepresentasikan sesuatu.
Adapun sistem tanda utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol
122) mengemukakan bahwa bahasa pada umumnya merupakan sistem tanda tingkat
pertama. Dalam kajian semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu
disebut meaning (arti). Adapun karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua dan
artinya ditentukan oleh konvensi sastra. Oleh karena itu, muncullah arti baru yakni arti
sastra. Arti sastra ini merupakan arti dari bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama.
Meskipun demikian seorang satrawan tidak boleh melepaskan diri dari sistem tanda
tingkat pertama atau dari konvensi bahasa karena hal itu dapat membuat karyanya tidak
dapat dipahami.
intertekstual. Pendekatan ini dipandang efektif untuk mengungkapkan makna suatu karya.
Bahkan Riffaterre (1978: 149) menegaskan bahwa ketuntasan interpretasi terhadap sebuah
puisi hanya dapat dicapai melalui cara interteks. Culler (dalam Riffaterre, 1978: 139)
Intertekstual dipandang oleh Beckson dan Gauz (dalam Riffaterre, 1978: 129)
sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan beberapa persoalan seperti
beberapa teks yang terdapat dalam sebuah karya. Tidaklah mengherankan apabila Julia
Cristeva, yang telah menggunakan istilah tersebut secara luas, memandang sebuah teks itu
sebagai bangunan mosaik kutipan; "setiap teks merupakan serapan dan transformasi dari
teks lain".
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran
inferensial. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya
hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda
dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang
sebagai tanda.
Ahli sastra Teeuw (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak
susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik
merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai
dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de
Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce
(1839 -1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah
tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda.
Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi
keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebutkan di depan bahwa de Saussure
Dalam buku itu de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-
tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelas -kan konsep-konsep yang dikenal dengan
dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan
petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept
and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign).
Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi)
arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku
manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang
sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di
sana ada sistem (Sudjiman dan Zoest, 1991:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu
Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa.
Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan
terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika.
Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan
de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam
Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan
sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931-1935 Charles
Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul
Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce. Peirce selain seorang filsuf juga
seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce
akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka
diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan
logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu
Pierce (dalam Van Zoest, 1996: 8-9) membagi hubungan penanda dan acuannya
atas tiga konsep: (1) ikon, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang memiliki
Misalnya, kesamaan potret dengan orang yang diambil fotonya, kesamaan peta dengan
wilayah geografi yang digambarkannya, dan gambar kuda menandai kuda yang nyata; (2)
indeks, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang timbul karena ada kedekatan
alamiah. Misalnya, asap menandakan adanya api, dan arah angin menunjukkan cuaca; (3)
simbol, yakni hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Maksudnya, tanda itu
mengacu pada sesuatu yang telah mendapat kesepakatan masyarakat. Misalnya, lampu
membenarkan.
Menurut Peirce kata „semiotika‟, kata yang sudah digunakan sejak abad kedelapan
belas oleh ahli filsafat Jerman Lambert, merupakan sinonim kata logika. Logika harus
berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh
alam semesta. Semiotika bagi Pierce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence)
atau kerja sama tiga subyek yaitu tanda (sign), obyek (object) dan interpretan
(interpretant).
Pendekatan semiotika Pierce yang menekankan pada jenis-jenis tanda yang utama
yaitu ikon, indeks, dan simbol dapat diterapkan pula untuk mengamati gejala-gejala yang
mempunyai dua sisi, sisi baik dan sisi tidak baik. Sisi baik dari pemalsuan tanda-tanda
umumnya adalah untuk tujuan kebaikan bersama sedangkan sisi tidak baik umumnya
teoretis yang sama. Sebetulnya apa yang dinamakan semiotik sastra bukan merupakan
suatu aliran ilmu sastra. Berbagai aliran seperti strukturalisma dan ilmu sastra linguistik
dapat dinamakan semiotik (Van Luxemburg dkk, 1984: 4446). Semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko
dan B. Rahmanto, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari berbagai objek,
peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri
berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau
gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial.
Bila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki
arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti(signifiant) dalam
kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa
yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang
tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan
(semantik).
Ada beberapa aliran semiotik dalam ilmu sastra, yang diwakili oleh Saussure
(Perancis), Jurij Lotman (Rusia), dan C.S. Pierce (Amerika). Kesamaan utama pandangan
mereka adalah bahwa bahasa merupakan salah satu di antara sekian banyak sistem tanda.
Ada kalanya ditekankan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang paling fundamental.
Pierce (1839-1914) adalah seorang filsuf Amerika yang meletakkan dasar bagi
sebuah bidang studi yang disebtu semiotik. Pierce menyebutkan tiga macam tanda sesuai
1. Ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang
ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto, atau pera dengan wilayah
geografisnya.
3. Simbol atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan
Saussure adalah ahli linguistik asal Swiss yang memperkenalkan studi tentang
tanda sebagai semiologi. Menurut Saussure, bahasa adalah sistem tanda, dan tanda
merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, yakni
penanda dan petanda. Penanda adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu. Sedangkan
petanda adalah aspek makna atau konseptual dari suatu penanda. Tanda memiliki ciri
arbitrer, konvensional, dan sistematik. Arbitrer atau manasuka misalnya dalam urutan
bunyi k-a-c-a-n-g tidak ada pemikiran atau motif menghubungkan bunyi itu dengan
tanaman tertentu. Kombinasi aspek formal dan konseptual (bunyi “kacang” dengan wujud
kacang sebenarnya) hanya terjadi berdasarkan konvensi sosial yang berlaku dalam bahasa
tertentu saja. Jika kita menyebut “kacang”, orang Inggris menyebutnya “bean” sesuai
Jurij Lotman, seorang ahli semiotik Rusia menyebut bahasa sebagai system tanda
primer yang membentuk model dunia bagi pemakaiannya. Model ini mewujudkan sarana
konseptual bagi manusia untuk menafsirkan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya.
Sastra disebutnya sebagai sistem tanda sekunder. Sastra dan semua cabang seni lainnya
Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks
sajak. Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang
mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan
sistem semiotik atau ketandaan , yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti.
Dalam lapangan semiotik, yang penting yaitu lapangan sistem tanda, adalah
pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda
(signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified)
atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan
petanda, ada tiga jenis tanda pokok yaitu ikon, indeks dan simbol. Hubungan antara ketiga
tanda ini bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang
Karya sastra merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi sastra. Karena
sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Dalam sastra konvensi bahasa disesuaikan
dengan konvensi sastra.dalam karya sastra kata-kata ditentukan oleh konvensi sastra,
sehingga timbul arti baru yaitu arti sastra. Jadi arti sastra itu merupakan arti dari arti,
untuk membedakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertamadsisebut meaning dan
Makna sajak bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan
suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan, daya liris, pengertian yang timbul oleh
lagi.
Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan
struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata arti bahasa, melainkan
sajak berarti mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sajak, maka
menganalisis sajak itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda, dikemukakan oleh Culler.
Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda
dan karena itu menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai arti (Preminger, 1974: 981). Maka dalam menganalisis sajak terutama dicari
sebuah tanda, terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam
semiotik, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan
makna.
“tanda” sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya
selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi
meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda
(signifier) dan petanda (signified). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah
konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya, kata ‘ayah’ merupakan
tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti ‘orang tua laki-laki’.
yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan
adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004: 90).
Sementara itu, seorang tokoh semiotik lain, Charles Sanders Peirce (1839–1914)
terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified)
atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda,
tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol
(Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang
bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan
antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan
alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat
Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena adanya
tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda dengan mata
pragmatisme.
Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan
dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga
hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain
realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsigns,
secondness/overagainstness).
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik
memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua
tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara
terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan
Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
berikut. Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu
1984:44).
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman,
yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak
saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-
1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure
pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya,
sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh
indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya
yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung
di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan
oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan
ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti
bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of
content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan
yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain,
oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan.
Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima
tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan
pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu
masyarakat.
Peirce: signs the axiom that cognition, thought, and even man are semiotic
in their essence.. like a sign, a thought refers to other thoughts and objects
of the word so that „all which is reflected upon has [a] past”. Peirce even
went so far as to conclude that “the fact that every thought is a sign, taken
in conjunction with the fact that life is a train of thought, proves that man
is a sign” (North, 1990: 41)
Menurut Peirce, pada intinya tanda-tanda dasar kognisi, pikiran, dan
bahkan seseorang merupakan semiotic mereka…sebuah tanda misalnya.
Pikiran akan mengacu kepada pikiran yang lain dan begitu juga objek pada
sebuah kata, karena „semua yang digambarkan memiliki [sebuah] masa
lalu. Peirce bahkan pergi jauh-jauhnya untuk menyimpulkan bahwa
“kenyataan yang ada di dalam setiap pikiran itu merupakan sebuah tanda,
diterima bersama dengan kenyataan bahwa hidup merupakan sebuah
jalannya pikiran, membuktikan bahwa seseorang itu adalah tanda” (North,
1990: 41)
bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi
analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (diukan)
makna (Pradopo, 2005:119). ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda
(sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati
dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa,
tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua
ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu
keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa
memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai
bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan,
Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal
dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya
ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada
hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Contoh indeks adalah
tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Simbol
adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol
adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar
(bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya
”Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan
hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama
ialah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan
adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya.
Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai
penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai
orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda
yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan
petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan
arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya,
hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan
oleh konvensi. 'Ibu' adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi
masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother,
Perancis menyebutnya la mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda
untuk satu arti itu menunjukkan "kesemena-menaan" tersebut. Dalam
bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.” Selanjutnya
dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan
pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak
dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan
sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Semiotik merupakan lanjutan
dari penelitian strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan
strukturalisme adalah sebagai berikut. ”
penelitian struktural.
1988: 98).
bekerja. Pada (a), semiotik seakan apendix ’ekor‟, kepada strukturalisme. Tapi tidak
demikian halnya pada (b). Untuk menemukan tanda, sesuai dengan pengertian sebagai
ilmu mengenai tanda. Semiotik tidak dapat memisahkan diri dari strukturalisme, ia
dapat dipisahkan dengan semiotik, karena sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang
bermakna.
semiotik dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memperkuat sebuah analisis karya
sastra setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu analisis secara struktural. Seperti
dikemukakan oleh Zaimar (1990 : 24) bahwa analisis struktural akan berhasil
yang terdapat di dalamnya, namun analisis struktural tidak dapat memecahkan masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka analisis semiotik prosa fiksi yang harus
dilakukan adalah melihat semua struktur sebagai tanda. Penganalisis harus selalu bertanya
apakah tokoh, latar, alur, dan pengaluran, dan penceritaan di dalamnya itu merupakan
sebuah tanda/simbol atau bukan. Setelah melihat unsur-unsur itu sebagai simbol, simbol-
berdasarkan deskripsi tadi dan ditafsirkan maknanya. Ketika melihat tanda-tanda tersebut,
untuk memahami makna teks tersebut harus selalu dikaitkan dengan teks yang dirujuknya
tadi.
tentang semiotika budaya dalam puisi. Buku ini terbagi ke dalam lima bab: The Poem s
Conclusion . Untuk keperluan makalah ini empat bab yang pertama sudah mencukupi.
a. Significance
puisi adalah kepaduannya, secara formal dan semantik. Dia menyebut kepaduan formal
dan semantik ini significance. From the standpoint of significance text is one semantic
unit. From the standpoint of meaning text conveys a string of successive information
units, the language is referential . Arti adalah yang dirujuk oleh teks pada tataran mimetic.
Ciri dasar mimesis adalah bahwa ia menghasilkan urutan semantik yang terus-menerus
berubah. Puisi mentranrsformasikan teks pada tataran ini ke tataran yang tinggi, yaitu ke
Puisi merupakan transformasi matrix, sebuah kalimat minimal dan literal, menjadi
periphrases yang compleks dan nonliteral. Matriks itu dapat dinyatakan dalam satu kata
.yang mungkin tidak muncul dalam teks. Kata itu selalu diaktualisasikan ke dalam varian
yang berturut-turut; bentuk-bentuk dari varian ini ditentukan oleh aktualisasi yang
varian dari struktur yang sama. Matriks merupakan motor, generator bagi derivasi
Pendeknya, pada tataran mimetik arti kata bergantung sepenuhnya pada sintaks
dan posisi, kata-kata itu menambahkan informasi ke informasi sebelumnya, dan satu-
satunya rujukan umumnya paling-paling adalah sistem deskriptif yang melayani distribusi
kebalikannya, kata-kata mengulang informasi yang sama, biasanya sebuah seme, .atau
struktur tematik yang tak berbeda. Apabila teks mimetik bersifat sintagmatik, teks
Sejalan dengan pembedaan antara arti dan makna itu, Reffaterre membedakan dua
Pembacaan heuristic adalah pembacaan pada tahap pertama. Pada pembacaan ini input
kata atau frasa yang tidak dapat diartikan secara literal sehingga membutuhkan
pemahaman secara kiasan, dan bahwa kompetensi linguistik bukan satu-satunya faktor
yang terlibat. Pada tahap pembacaan ini mimesis dipahami secara penuh.
Pembacaan hermeneutic adalah pembacaan tahap kedua. Pada tahap ini pembaca
meninjau, merevisi, dan membandingkan ke belakang apa yang baru saja dibacanya. Di
sini ia akan mengenali bahwa ketidakgramatikalan yang ada dalam teks sesungguhnya
ekivalen, varian dari matriks strutkural yang sama. Teks dengan demikian merupakan
sementara unit arti mungkin kata, frasa, atau kalimat, unit makna adalah teks.
b. Produksi Tanda
Tanda puitik adalah kata atau frasa yang memiliki kaitan dengan significance.
Tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik. Maksudnya, sebuah kata atau frasa
menjadi puitis ketika merujuk ke (dan jika merupakan sebuah frasa, terpola berdasar)
kelompok kata yang ada sebelumnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan
if a phrase , patterns itself upon) a preexistent word group. Hipogram dibentuk dari seme
kata dan/ atau presupposition-nya, sedangkan seme adalah inti dari arti sebuah kata,
sebagaimana kata Reffaterre berikut: Hypogram is formed out of a word s seme and/or its
mengaktualisasikan sebagian dari hal ini. Kata inti hipogram itu sendiri mungkin
Sememe dari kata inti (kernel word) berfungsi seperti sebuah eksiklopedia
representasi yang berhubungan dengan arti kata itu. Aktualisasainya mempunyai efek
menyerap (saturating) urutan verbal derevatif dengan arti itu, secara terbuka
menkonfirmasi apa yang telah dikumpulkan oleh kata itu. Seruling, misalnya,
seme kemerduan , tetapi juga mengandung seme keparauan. Neologisme Hugo dalam
ini: Comme Properce,/ j entends/ Une flute tibicine/ Dans les branches du printemps
Reffaterre menjelaskan bahwa kata tibicine adalah neologisme yang berasal dari kata
tibicen, peniup seruling . Sebagai sebuah neologisme (kata baru atau kata dengan arti
baru) kata itu mempunyai keuntungan memaksa pembaca untuk men-decode-nya; dan
sebagai sebuah kata yang dilatinkan, kata tibicine menciptakan hubungan tautology,
kata-kata klise dan sistem deskriptif. Kata-kata klise dan sistem deskriptif ini berbeda dari
katagori sebelumnya dalam bahwa kata-kata klise dan sistem deskriptif telah
teraktualisasikan dalam bentuk-bentuk yang telah berada dalam benak pembaca. Kata-
kata klise dan sistem deskriptif ini merupakan bagian dari kompetensi linguistik pembaca,
dan konotasi kesastraan sering melekat padanya. Klise adalah contoh-contoh yang telah
jadi, citra yang telah teruji, diucapkan pertama kali pada waktu lampau, dan senantisa
mengandung kiasan (trope), perangkat stilistik yang tersimpan. Sistem deskriptif adalah
kata-kata yang berasosiasi satu sama lain seputar kata inti, sesuai dengan sememe kata inti
itu. Tiap komponen dari sistem itu berfungsi sebagai metonimi nucleus-nya.
c. Produksi Teks
Konversi dan ekspansi menetapkan (establish) ekivalen antara kata dan rangkaian kata:
menjadi satu tanda kolektif , dengan memberi komponen rangkaian itu fitur ciri-ciri yang
mendiskusikan sebelumnya, dan mengikuti pola sistem deskripsitif. Hal ini tampak pada
perifrasis dan metafora yang dikembangkan. Ekspansi merupakan agen utama tranformasi
tanda tekstual dan teks, dan oleh karenanya merupakan penghasil significance yang
utama, karena sebuah konstan hanya dapat diketahui di mana teks melebar ke varian yang
berturutan dari given awal; yang kompleks keluar dari yang sederhana. Pendeknya, aturan
kompleks.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, ekspansi seluruhnya dibuat oleh sekuen
yang bersifat pengulangan, yang melayani pencipataan rima dan penyisipan wacana
deskritif ke dalam naratif. Kebanyakan, lebih dari sekadar pengulangan, ekspansi juga
melibatkan perubahan gramatikal dari konstituen kalimat model: kata ganti diubah
menjadi kata benda, kata benda menjadi kelompok, kata sifat menjadi anak kalimat, dan
seterusnya.
memodifikasi semuanya dengan faktor yang sama. Sebuah hipogram mungkin dibuat dari
klise, atau kutipan dari teks lain, atau deskriptif sistem. Karena hipogram selalu memiliki
orientasi positif atau negative, konstituen dari konversi selalu mengubah (transmute)
penanda hipogram dalam beberapa kasus konversi terdiri atas tidak lain dari permutasi
penanda.
inilah bagaimana konversi dapat mempengaruhi sekuen yang lebih panjang dari pada
frasa atau kalimat dan menjadiakan seluruh teks satu tanda. Oleh karena sistem deskriptif
merupakan grid metonimi yang bentuk seputar kata inti, komponennya memiliki penanda
Di samping itu, teks bisa diproduksi oleh gabungan antara konversi dengan
ekpanasi. Ada satu jenis konversi yang tak berkaitan dengan hipogram eskternal: tipe ini
sini ekspansi dibatasi ke bentuk-bentuk yang lebih kompleks yang juga mengulang fitur
karakteristik matriks.
Sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting dalam semiotik. Karya
sastra merupakan sistem tanda yang bermakna yang mempergunakan medium bahasa.
Preminger (1974: 981) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem semiotik tingkat
ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem
memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan
Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.
prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah.
a. Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga
sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari
periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas
bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi
berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa
umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan
pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005: 124).
meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini
mimesis.
Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada
tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat
(significance).
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan
metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk
menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora
dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa
kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping
itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi,
Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal
dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri
orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa
ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang
lain. Riffaterre (1978: 2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable),
lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata,
dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya
sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti
sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi
nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya
konvensi syair. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk
mempengaruhi dunia gaib. Biasanya nonsense banyak terdapat dalam syair atau puisi
yang bergaya Syair. Di dalam syair, nonsense lebih cenderung bernada himbauan kepada
sang anak, seperti penggalan syair Dendang Siti Fatimah berikut ini.
Oii…oiii..oiii
Dengar olehmu wahai anak adam
Asalnya wahi nurul izan
Dipercaya empat nasirul adam
Dipecahnya pula sekalian alam
(SDSF, bait ke-4)
Bait di atas terdiri dari kata-kata perumpamaan yang dapat menimbulkan suasana
religius yang kental. Perumpamaan yang digunakan adalah nama-nama khusus yang dapat
atas memiliki makna yang sangat kuat kepada setiap pendengarnya untuk mendengarkan
(Riffaterre, 1978: 2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa
bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di
dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Sebagai
contoh adalah bait 15 dari Syair Dendang Siti Fatimah berikut ini.
penggunaan kata-kata /ya iya, iya ya../ dan /waya/. Pada akhir larik hanya terdapat fonem
/t/. Secara linguistik larik terakhir ini tidak memiliki arti. Namun, dalam kesatuan isi
syair, “t” mengandung makna konotatif, yaitu sebuah permohonan. Perintah itu ditujukan
pada satu wujud yang tidak terlihat. Dalam syair di atas, “A” diartikan dengan
“kembalilah ke asalmu”.
Contoh lain adalah puisi ”Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum
Bachri. Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zig-zag. Puisi
ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik
secara metatesis, secara linguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna
angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh
bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi
Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan
dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978: 5–6).
Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap makna
merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam
pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian
Menurut Santosa (2004: 231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang
didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun
serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat
terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau
berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2005: 135) member
bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu,
berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini,
pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan
yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik
pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur
kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke
keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan
pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Lihat
Riffaterre, 1978: 5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden,
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang
dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi,
ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978: 13).
Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir
dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan
kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993 :126). Hal ini senada dengan konsep yang
dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang
tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase.
Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis.
Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain
dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya
monumental.
pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud
dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Syair
d. Hubungan Intertekstual
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra.
Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya.
sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang
sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi,
antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi
makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus diperhatikan. Syair Dendang Siti
Fatimah misalnya, syair ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain
Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai
makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini
adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari
teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks
tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya secara
pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal
baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra
yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre
(1978:11) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara
Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu,
termasuk teks sastra, merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta
transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan mentransformasikan
hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari
sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain. Sebagai contoh,
berikut adalah bait ke 16 dan 17 dari Syair Dendang Siti Fatimah yang secara
Antara kedua bait di atas memiliki hubungan yang sangat baik dan memiliki tema
yang sama yakni untuk menghormati orang tua. Hal itu sesuai dengan hadits
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin
kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda,
“Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari
dan Muslim)
Ilmu sastra meneliti sifat-sifat teks sastra. Penelitian itu bertujuan untuk
mengetahui fungsi teks sastra dalam masyarakatnya. Ilmu sastra yang dimaksud di sini
ialah ilmu sastra secara umum. Sifat-sifat sastra itu merupakan ciri khas yang terkandung
dalam setiap jenis sastra yang berkaitan dengan fungsinya dalam masyarakat. dan fungsi
utama sastra berkaitan dengan masalah kesetiaan kepada sifat-sifatnya sendiri (Wellek
Fungsi ini merupakan apa yang dituju oleh pengarang dalam karangannya. Apakah
maksud pengarang membuat karangan itu dan apa fungsi bagian-bagian karangan di
dalam keseluruhannya?
jiwa, sedangkan Horatius mengemukakan bahwa tugas dan fungsi penyair ialah
memberikan faidah dan hiburan atau utile dan dulce (Teeuw, 1984: 183-184).
sastra, dalam hal ini kasidah. Fungsi ini berhubungan dengan masalah kaitan antara nilai
sastra dan nilai sosial serta pengaruh nilai sosial terhadap nilai sastra.
Hal tersebut menyangkut tiga aspek fungsi: (a) sastra berfungsi sebagai
pembaharu dan pendobrak; dalam hal ini sastra dipandang sama dengan ucapan nabi, (b)
sastra berfungsi menghibur semata , dan (c) sastra berfungsi mengajarkan sesuatu dengan
Sementara itu Rusyana (1971: 7-8) mengemukakan fungsi sosial puisi secara
khusus, yaitu fungsi yang berkaitan dengan masalah pengaruh puisi terhadap prilaku
masyarakat umum dan kegunaannya bagi kehidupan mereka. Kedua fungsi itu
diwujudkan dalam penggunaan puisi untuk mengungkapkan pujian dan cacian kepada
pihak lain serta untuk mengekspresikan pandangan agama, sosial, dan politik seorang
sastrawan.
menyatakan bahwa puisi tersebut pada umumnya untuk tujuan pendidikan, sejarah, dan
khotbah. Ketiga fungsi itu berada dalam ranah keagamaan. Fungsi sastra tersebut bersifat
masyarakatnya.