Anda di halaman 1dari 4

PENGKAJIAN STRUKTUR PUISI POPULER INDONESIA

KAJIAN PUSTAKA

2.1  Hakikat Puisi


Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi termasuk karya sastra, dan
semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak
digunakan makna kias dan makna lambang. Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang
lain, puisi, lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih banyak mengandung kemungkinan
makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan
bahasa dalam puisi. Apabila dilihat dari segi bentuk penulisannya, puisi memiliki suatu tata
wajah atau penampilan khusus di atas kertas, yang biasa disebut tipografi. Seperti yang
dikemukakan oleh Heath Malcolm pada bukunya yang berjudul Aristotle’s Poetics (1997;
http://en.wikipedia.org/wiki/Poetry, 2 Oktober 2009) “poetry is a form of literary art in
which language is used for its aesthetic and evocative qualities in addition to, or in lieu of,
its apparent meaning.” (Puisi adalah sebuah bentuk seni sastra dimana di dalamnya
menggunakan bahasa bernilai indah dan pembangkit semangat, atau bahasa yang digunakan
sebagai pengganti makna yang tampak/ makna tersirat).

2.1.1        Tema Puisi


Sebelum membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna puisi harus
ditafsirkan dan bukan makna secara langsung yang dapat diketahui. Djojosuroto
menambahkan untuk langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan menafsirkan konteks dalam
linguistik berupa alat-alat linguistik yang secara eksplisit digunakan dalam ujaran (2005:24).
Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata dan hubungan antar kalimat dalam tiap baris puisi
tersebut. Jika hal demikian dilakukan, akan diperoleh penafsiran yang tidak berbeda dengan
maksud penyairnya. Sehingga pokok pikiran atau tema pada puisi dapat diketahui.
Setiap wacana tentu memiliki tema atau hal pokok yang menjadi topik pembicaraan,
begitu pula pada wacana sastra khususnya pada puisi juga memiliki tema di dalamnya. Tema
puisi adalah gagasan pokok yang dikemukakan penyair lewat puisinya (Djojosuroto,
2005:24). Tema puisi biasanya mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki,
seperti: cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan,
kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan protes. Tema dapat dijabarkan menjadi subtema atau
dapat dikatakan pokok pikiran.
2.1.2        Nada Puisi
Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu nada tertentu dari pembawaan sikap
penyairnya. Nada atau sikap pada puisi sering dikaitkan dengan suasana. Jika nada berarti
sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan sikap penyair terhadap pembaca (tone),
maka suasana berarti keadaan perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan
lingkungan yang dapat ditangkap oleh panca indera. Nada berhubungan dengan tema dan
pembaca. Nada yang berhubungan dengan tema menunjukkan sikap penyair terhadap objek
yang digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek seorang perampok, penyair dapat
bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada yang berhubungan dengan
pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada menghasut, nada santai, nada filosofis,
dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang dikemukakan penyair harus sesuai. Hanya
dengan cara demikian tafsiran atas makna sebuah puisi dapat mendekati ketepatan yang
dikehendaki penyair. Cara menafsirkan puisi diantaranya ialah dengan meninjau bahasa yang
digunakan oleh penyair, yaitu menentukan konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi
(hubungan struktur antar kalimat) dan koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna
puisi tidak hanya ditentukan oleh kata dan kalimat secara lepas, akan tetapi ditentukan oleh
hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik kalimat sebelumnya dan
sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).

2.1.3        Suasana Puisi


Dalam puisi diungkapkan perasaan penyair secara totalitas. Puisi dapat
mengungkapkan perasaan gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu, penasaaran, benci,
cinta, dendam, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan, penyair mengerahkan segenap kekuatan
bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaan yang bersifat total (Tarigan, 1984:5). Bahasa
memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif (Suriasumantri, 1985:181; Djojosuroto,
2005:26). Di dalam puisi, ketiga fungsi bahasa itu dimanfaatkan. Unsur emotif mendapat
porsi yang lebih dominan.

2.2  Struktur Fisik Puisi


2.2.1        Bunyi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik, unsur puisi
yang bertugas untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi tidak hanya
berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah puisi, juga mempunyai peranan yang lebih penting,
yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan
yang jelas, atau menimbulkan suasana yang khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga
digunakan sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan bunyi
vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti
bunyi musik, dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam
pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).

2.2.2        Kata
Satuan arti yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata. Untuk
mencapai nilai seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat menggunakan berbagai
cara, terutama alatnya yang terpenting adalah kata, karena kata dapat menjelmakan
pengalaman jiwa si pengarang dalam karya yang dihasilkannya. Menurut Aminuddin
(1995:201) gaya pemilihan kata atau kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan
kata atau kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai
estetis tertentu. Jadi, kata memiliki arti dan efek tertentu yang akan ditimbulkannya. Di
antaranya adalah arti denotatif dan konotatif, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan dan gaya
bahasa, citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi,
yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan pengalaman jiwa dalam sajak-
sajaknya. Kata-kata yang telah digunakan oleh penyair ini disebut kata berjiwa, yang tidak
sama artinya dengan kata dalam kamus, yang harus melalui proses pengolahan. Dalam kata
berjiwa ini sudah dimasukkan perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata
berjiwa sudah diberi suasana tertentu.
Penggunaan kata pada puisi populer juga diupayakan untuk menimbulkan efek
tertentu dan melahirkan pengalaman jiwa penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini
ditinjau dari arti kata yang meliputi pemilihan kata (diksi), denotasi dan konotatif, bahasa
kiasan, citraan, serta hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi,
yang semuanya digunakan penyair untuk menggambarkan perasaan dan pengalaman jiwanya
dalam tiap sajaknya. Sama halnya dengan penyair pada umumnya, mereka yang termasuk
penulis puisi populer tentunya mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman
jiwanya.
2.2.3        Irama
Satu hal yang masih erat hubungannya dengan pembicaraan bunyi adalah irama.
Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan
suatu gerak yang hidup, seperti gercik air yang mengalir turun tak putus-putus. Gerak yang
teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang
pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya
sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama yang disebabkan
pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan
jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan
bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya
pararelisme-pararelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Selain itu, disebabkan
pula oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat
konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek kata, atau kelompok-kelompok sintaksis berupa
gatra atau kelompok kata.
Pada puisi-puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada.
Apabila terdapat metrum, maka bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan
penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Sebenarnya
yang mempunyai metrum adalah pantun dan syair. Hal ini disebabkan jumlah suku kata yang
cenderung tetap dalam tiap baris baitnya dan oleh persajakan (tengah dan akhir) yang tetap.

Sumber: http://belajarbahasa-bahasaindonesia.blogspot.com/2012/05/contoh-penulisan-kajian-
pustaka.html

Anda mungkin juga menyukai