Anda di halaman 1dari 166

KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME PENGAJAR BIPA

DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PEBELAJAR BIPA (*)

Gatut Susanto
BIPA- Universitas Negeri Malang

Abstrak
Pengajar BIPA yang berkompeten dan profesional adalah
pengajar BIPA yang dapat menjalankan peran, tugas dan fungsi sebagai
pengajar BIPA. Pihak yang paling tepat untuk menyatakan tingkat
kompetensi dan derajat keprofesionalan pengajar BIPA adalah pebelajar
BIPA. Pebelajar BIPA adalah sasaran tujuan dan sasaran akhir dari
proses pembelajaran BIPA yang dilakukan oleh pengajar BIPA.
Pebelajar BIPA adalah pihak yang secara langsung mengalami dan
merasakan praktik pembelajaran yang dilakukan oleh pengajar BIPA.
Oleh karena itu, pengalaman dan perasaan pebelajar BIPA dalam
proses pembelajaran BIPA, layak dijadikan pangkal pinjakan untuk
mengukur dan menentukan kompetensi dan profesionalisme pengajar
BIPA.
Wujud pengalaman dan perasaan pebelajar BIPA dapat
ditelusuri lewat kesan dan pesan pebelajar BIPA. Pesan dan kesan
pebelajar BIPA atas kinerja pengajar BIPA dapat dilihat di lembar
evaluasi program, komentar pebelajar, tanggapan dan catatan pebelajar
. Pengalaman dan perasaan pebelajar BIPA terhadap pengajar BIPA
antara lain berhubungan dengan aspek kepribadian pengajar, tingkat
penguasaan materi bahasa Indonesia, penguasaan materi non-bahasa
Indonesia, teknik mengajar, cara mengorganisasi materi, cara
mengevaluasi, ketekunan dan kecintaan atas profesi, kedekatan
hubungan dengan pebelajar, ketersediaan waktu untuk pebelajar, dan
faktor lain dari pengajar BIPA yang dianggap baik dan menonjol
oleh pebelajar BIPA.
Secara garis besar, ungkapan pengalaman dan perasaan
pebelajar BIPA, dapat digolongkan menjadi dua kategori. Kategori
pertama adalah ungkapan yang bernada negatif dan ungkapan yang
kedua bernada positif. Ungkapan bernada negatif mengisyaratkan
bahwa pebelajar BIPA tidak belajar. Sebaliknya, ungkapan positif

~1~
mengisyaratkan bahwa pebelajar BIPA belajar. Pengajar BIPA yang
berkompeten dan profesional tentu pengajar BIPA yang membuat
pebelajar BIPA belajar. Kompetensi pengajar BIPA apakah yang
membuat pengajar BIPA dapat menjalankan peran, tugas dan fungsi
sebagai pengajar BIPA sehingga pebelajar BIPA merasa belajar?
Apakah pebelajar BIPA merasa puas dalam belajar? Pengajar BIPA
yang profesional adalah pengajar BIPA yang mampu membuat
pebelajar BIPA puas dalam layanan pembelajaran yang dilakukan oleh
pengajar BIPA. Ungkapan kesan dan pesan pebelajar BIPA atas
keberlangsungan dan kepuasan dalam layanan pembelajaran BIPA
yang dilakukan oleh pengajar BIPA merupakan cerminan atas
kompetensi dan profesionalisme pengajar BIPA. Seperti apakah
ungkapan pebelajar BIPA kepada pengajar BIPA yang berkompeten
dan profesional? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan dibahas
dalam makalah ini.
_____________
Makalah disampaikan pada Semiloka dan Konferensi Internasional
BIPA, Tgl. 18-20 Juli 2007 di Pusat Bahasa Jakarta
A. Pendahuluan
Pengajaran BIPA di UM (IKIP MALANG) dilaksanakan sejak
tahun 70-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Dalam
rentang waktu yang panjang tersebut terjadi pasang surut dalam
penyelenggaraan program BIPA. Awal tahun 70-an merupakan
periode perintisan program. Tahun 80-an program BIPA dapat
berjalan dan tahun 90-an dapat dikatakan sebagai periode emas,
karena jumlah peserta program sangat banyak. Pertengahan tahun
1999 hingga tahun 2002, program berhenti karena tidak ada
mahasiswa. Awal tahun 2003 hingga sekarang program dapat
berjalan lagi.
Di sisi lain, trend pengajaran BIPA dari waktu ke waktu juga
berubah dari satu kawasan atau negara satu ke kawasan atau negara
lain, dewasa ini, bahasa Indonesia diajarkan hampir di seluruh
penjuru dunia. Menurut data peminat Program Biasiswa Pemerintah
Republik Indonesia, yaitu program Darmasiswa dan Darmasiswa
Plus, diketahui bahwa siswa peminat bahasa Indonesia tersebar di

~2~
lima benua. Faktanya, Bahasa Indonesia telah dipelajari dan
diajarkan di lima benua, Afrika, Amerika, Australia, Asia dan Eropa.
Mencermati fenomena penyelenggaraan program BIPA,
sudah selayaknya insan BIPA melakukan evaluasi dan selalu
berdaya upaya untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
program BIPA. Seperti apakah sosok pengajar BIPA yang berterima
bagi pebelajar BIPA? Pihak yang paling pantas dan layak untuk
mengatakan bahwa seorang pengajar BIPA itu pandai, memberi
kesempatan siswa untuk belajar, baik, sabar, menyenangkan,
humoris, dan sifat-sifat lain pada seorang pengajar adalah pebelajar
BIPA. Pebelajar BIPAlah yang merasakan dan mengalami secara
langsung proses pembelajaran itu. Siswalah yang menjadi tujuan
sasaran dan tujuan akhir dari pengajaran/pembelajaran yang
dilakukan oleh pengajar BIPA.
Bentuk ungkapan pebelajar BIPA atas kompetensi dan
profesionalisme pengajar BIPA sangat bervariasi. Bentuk-bentuk
ungkapan pebelajar BIPA yang didasarkan pada sosok dan kinerja
pengajar BIPA, antara lain berhubungan dengan aspek kepribadian,
tingkat penguasaan materi bahasa Indonesia, penguasaan materi
non-bahasa Indonesia, teknik mengajar, cara mengorganiasi materi,
pemberian evaluasi, ketekunan dan kecintaan atas profesi, kedekatan
hubungan dengan siswa, ketersediaan waktu untuk pebelajar, dan
faktor lain dari pengajar BIPA yang dianggap menonjol oleh
pebelajar BIPA.
Bentuk ungkapan pebelajar BIPA atas pengajar BIPA ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang kompetensi apa
sajakah harus dimiliki oleh para pengajar BIPA, sehingga dapat
dideskripsikan pengajar BIPA yang profesional. Sengaja dipilih
ungkapan bernada positip yang tertuang dalam kata kerja dan kata
sifat supaya dapat dideskripsikan bagaimanakah sosok pengajar
BIPA yang baik atau profesional. Deskripsi atas sosok pengajar BIPA
yang profesional diharapkan dapat dijadikan sebagai alat atau
panduan bagi para pengajar BIPA untuk mengukur profesionalisme
para pengajar BIPA dan sekaligus dapat dijadikan sebagai model
untuk menjadi pengajar BIPA yang berkompeten dan profesional.

~3~
Dalam konsep pengajaran modern yang dipengaruhi oleh
Barat, kelas adalah milik siswa. Pembelajaran berfokus pada
keterlibatan dan keaktifan siswa dalam belajar. Filsafat belajar yang
mendasari pemikiran itu adalah konstruktivisme. Pendekatan belajar
yang berasaskan konstruktivisme antara lain
1. pendekatan kontekstual,
2. life-skills education,
3. pendekatan CBSA,
4. pendekatan inkuiri,
5. pendekatan pemecahan masalah
6. pendekatan proses,
7. pendekatan kuantum (Quantum Teaching and Learning),
8. authentic instruction,
9. pendekatan kooperatif, dan
10. work-based learing.
Dalam pandangan konstruktivisme ini, peran siswa menjadi
lebih dominan, siswalah yang memiliki otoritas lebih di dalam kelas
itu. Kedudukkan guru ditinjau dari peran, tugas dan fungsinya
adalah lebih sebagai fasilitator. Guru tidak lagi dipandang sebagai
sosok yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengorganisasi dan
mengendalikan proses pembelajaran di kelas, guru juga bukan satu-
satunya sumber yang mahatahu atas materi pelajaran di kelas.
Konsekuensi logis dari pandangan ini, pada pengajaran dan
pembelajaran BIPA, ada pengajar BIPA yang berterima baik oleh
pebelajar BIPA dan ada pengajar BIPA yang tidak berterima oleh
pebelajar BIPA. Pada kasus pengajar BIPA yang tidak berterima
oleh pebelajar BIPA, pebelajar BIPA mempunyai hak dan biasanya
hak itu selalu digunakan, meminta pengajar diganti atau
diberhentikan. Yang terjadi bukan guru yang mengeluarkan siswa,
tetapi siswalah yang mengeluarkan guru.
Pengajar BIPA yang berterima baik oleh pebelajar BIPA dapat
diartikan bahwa pengajar BIPA tersebut mampu menjalankan peran,
tugas dan fungsinya sebagai pengajar BIPA. Pengajar BIPA yang
mampu menjalankan peran, tugas dan fungsinya adalah pengajar
BIPA memiliki kiat dan kinerja tertentu yang berbeda dengan kiat

~4~
dan kinerja pengajar BIPA yang tidak berterima oleh pebelajar BIPA.
Bahkan, pengajar BIPA yang berterima baik mungkin telah
menemukan seni dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran BIPA.
Kharakter dan sifat-sifat pengajar BIPA yang berterima baik oleh
pebelajar BIPA dapat dicaritahu lewat evaluasi siswa atas kinerja
guru. Berangkat dari kesadaran untuk selalu meningkatan mutu
penyelenggaraan program BIPA, memberikan layanan terbaik bagi
para pebelajar BIPA dan keinginan untuk saling berbagi
pengalaman dengan sesama pengajar BIPA ataupun calon pengajar
BIPA, maka dilakukanlah penelitian tentang sosok dan kinerja
pengajar BIPA UM untuk selanjutnya dirumuskan kompetensi dan
profesionalisme pengajar BIPA ditinjau dari pebelajar BIPA.
B.  Pembelajaran BIPA
Pembelajaran BIPA adalah sebuah sistem. Di dalam sistem itu
terdapat komponen-komponen pembelajaran. Komponen
pembelajaran satu dengan komponen lain saling berhubungan dan
saling menentukan berhasilnya sebuah tujuan pembelajaran BIPA.
Secara tradisonal dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
komponen pembelajaran BIPA adalah; (1) kurikulum, (2) siswa, (3)
guru, (4) materi, (5) metode, (6) media dan (7) evaluasi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru selain berperan
sebagai sutradara juga berperan sebagai aktor. Guru juga dipandang
sebagai ujung tombak untuk mencapai keberhasilan sebuah tujuan
pembelajaran. Di tangan para gurulah perancangan dan pelaksanaan
proses pembelajaran BIPA ditumpukan. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan apabila acuan ukur keberhasilan pembelajaran BIPA
sangat bergantung pada kapabilitas dan performansi para guru
BIPA.
Untuk itulah upaya untuk memetakan peran sentra dan
strategis para guru BIPA penting dilakukan. Dengan harapan supaya
dapat diketahui profil guru BIPA sesuai dengan peran, tugas dan
fungsi guru BIPA tersebut. Pemahaman terhadap kedudukan guru
BIPA yang demikian ini dijadikan pedoman untuk mengetahui
kinerja guru BIPA yang ideal. Informasi tentang profil dan kinerja
guru BIPA, akan memberikan gambaran kepada kita tentang sosok
~5~
guru BIPA yang ideal. Sosok guru BIPA yang ideal akan
memberikan gambaran kepada kita tentang guru BIPA yang handal
dalam mengajarkan BIPA. Pengajar BIPA yang handal adalah guru-
guru BIPA yang mampu mengajar BIPA.
Ukuran mampu mengajar BIPA bagi guru BIPA ditentukan
oleh derajat keberterimaan guru BIPA tersebut pada siswa-siswa
BIPA yang diajarnya. Siswa-siswalah yang akan menilai bagaimana
peran, tugas dan fungsi yang diemban oleh guru BIPA tersebut
dapat diaplikasikan dalam kelas pembelajaran sesungguhnya.
Hanya siswa BIPAlah yang berhak mengevaluasi layak dan
tidaknya, trampil dan tidaknya, bagus dan tidaknya atas kinerja
guru BIPA.
Kinerja guru BIPA menjadi cerminan atas keberadaan dan
pengakuan eksistensi profesi guru BIPA. Guru BIPA yang mampu
menjalankan peran, tugas dan fungsi guru adalah guru BIPA yang
profesioal. Proses pembentukkan terhadap profesi guru BIPA yang
profesional disebut profesionalisasi guru BIPA. Sedangkan derajat
keprofesionalan guru BIPA disebut profesionalisme. Empat kata
kunci bagi guru BIPA, yaitu profesi, profesional, profesionalisasi dan
profesionalisme merupakan satu paket yang harus melekat pada
guru BIPA.
Salah satu teknik untuk mengetahui bahwa guru BIPA
tersebut seorang profesional atau bukan dapat dilakukan dengan
jalan memberikan evaluasi balikan terhadap kinerja guru BIPA
tersebut. Evaluasi balikan dari para siswa BIPA dapat dilakukan
dengan jalan memberikan format evaluasi kepada siswa BIPA.
Format evaluasi tersebut berupa sebuah format yang berisi suatu
catatan tentang perilaku, tampilan, pemberian dorongan dan
motivasi, kejelasan dalam menerangkan pelajaran, antusiasme dalam
mengajar dan menyenangkan atau tidaknya atas guru BIPA.
Format evaluasi balikan tersebut isian terbuka supaya siswa
dapat menuliskan kesan dan pengalaman belajarnya dengan terbuka
pula. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi siswa
untuk mengekpresikan kesan dan pengalaman siswa dalam belajar
BIPA bersama guru BIPA. Catatan yang berisi kesan dan

~6~
pengalaman siswa dalam belajar BIPA bersama guru BIPA tersebut,
merupakan alat yang ampuh untuk memotret kinerja guru BIPA,
sehingga dapat diketahui apakah guru BIPA tersebut sudah
profesional atau belum.
Tentunya guru BIPA yang prefesional akan mampu
melaksankan peran, tugas dan fungsi yang diembannya. Ukuran
profesional yang patut dicatat adalah profesional menurut siswa.
Kalau diibaratkan dokter, dokter yang profesioanl adalah dokter
yang dapat memuaskan pasien. Beranalogi pada itu, guru BIPA yang
profesional adalah guru BIPA yang dapat memuaskan siswa BIPA.
Siswa merasa senang dan nyaman belajar bersama guru BIPAnya,
siswa merasa mencapai tujuan belajarnya, siswa merasa belajar
banyak dari guru BIPA, siswa merasa dihormati dan diakui
eksistensi, adalah sebagai contoh atas keprofesionalan guru BIPA.
Untuk mengetahui guru BIPA yang dianggap profesional oleh siswa,
dapat dilihat pada catatan autentik yang diberikan siswa pada
format evaluasi tersebut. Dengan demikian akan dapat dipotretkan
bahwa guru BIPA yang profesional adalah guru BIPA yang memiliki
ciri-ciri seperti yang dituliskan oleh siswa pada format evaluasi
tersebut.
C.  Kompetensi Pengajar BIPA
Richards (2001:129) menyebutkan bahwa istilah kompetensi
mengacu kepada perilaku yang dapat diamati yang diperlukan
untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari dengan berhasil. Jika dilihat
dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran BIPA seharusnya
juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak yang menjadi sasaran
dari proses pembelajaran, yaitu siswa BIPA
Menurut UU no 14 tahun 2005, tentang guru dan dosen, bab
IV pasal 10, disebutkan bahwa guru dan dosen harus memiliki
empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagodik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan profesional.
Zuchdi (2005) mengusulkan kompetensi pengajar BIPA yang
secara operasional dirinci sebagai berikut.
1. Pemilikan wawasan, keterampilan dan kebiasaan yang
sesuai dengan untuk profesi guru BIPA. Diantara yang
~7~
esensial adalah dipahaminya persamaan dan perbedaan
antarbudaya berbagai bangsa, khususnya bangsa-bangsa
yang memiliki perhatian dan minat untuk mempelajari
bahasa dan budaya Indonesia.
2. Penguasaan bidang studi dan bahan ajar, yang dimaksud
dengan penguasaan bidang studi adalah penguasaan
bidang kosakata dan struktur bahasa Indonesia, serta
keterampialn berbahasa Indonesia yang memadahi. Yang
dimaksud dengan penguasaan bahan ajar adalah
penguasaan tentang tujuan dan tingkatan siswa BIPA.
3. Pemahaman mendalam tentang peserta didik
4. Penguasaan teori dan praktik pendidikan, yang
dimaksudkan adalah penguasaan ilmu yang menjadi
fondasi pendidikan, antara ilmu jiwa, kemampuan
mengelola pembelajaran, meliputi merancang,
melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran.
5. Kepemilikan sikap, nilai, dan kepribadian yang
menunjang pelaksanaan tugas sebagai guru BIPA.
Sementara itu Depdiknas memerinci standar kompetensi guru
menjadi sepuluh kompetensi guru, yaitu:
1. Menguasai bahan ajar sebagaimana dikemukakan dalam
kurikulum
2. Mampu mengelola kegiatan pembelajaran; menyusun
perencanaan pembelajaran,
i. melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi proses
dan hasil pembelajaran
3. Mampu mengelola kelas, membangun situasi dan kondisi
kelas yang kondusif sehingga terbangun kelas yang hidup
4. Mampu menggunakan media pemebalajaran
5. Mengetahui, menguasai dan meginternalisasi landasan-
landasan pembelajaran
6. Mampu mengelola interaksi proses belajar-mengajar
7. Mampu melaksanakan evaluasi proses dan hasil belajar
siswa serta menggunakanya
a. sebagai balikan untuk meningkatkan proses pembalajaran

~8~
8. Mampu melaksanakan fungsi-fungsi bimbingan dan
penyuluhan terhadap siswanya
9. Mengetahui dan menguasi tata penyelenggaraan
administrasi sekolah
10. Mampu melaksanakan penelitian dan mengunakan
hasilnya bagi peningkatan proses belajar mengajar.
Ketegasan mengenai kompetensi apa yang harus dimiliki oleh
pengajar BIPA dapat ditelusuri lewat ungkapan puas pebelajar BIPA.
Berdasarkan hasil analisis ungkapan pebelajar BIPA, dapat diketahui
bahwa kompetensi pengajar BIPA adalah sebagai berikut.
1. Memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang
kharakter dan gaya belajar pebelajar BIPA
2. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk
merumuskan dan melaksanakan tujuan pebelajar dalam
belajar BIPA
3. Memiliki sikap dan kepribadian positif kepada pebelajar
BIPA
4. Memiliki kepekaan terhadap motivasi dan sikap belajar
siswa
5. Memiliki gaya unik mengajar BIPA, mampu
menemukan seni mengajar BIPA
6. Memiliki tabiat menyenangkan bagi pebelajar BIPA
7. Memiliki daya tenaga dan daya upaya untuk mengajar
BIPA
8. Memiliki kepribadian guru BIPA
9. Memiliki kemampuan mengelola kelas BIPA
10. Memiliki paduan kemampuan semangat, energi,
kesabaran dan sara humor yang tinggi
11. Memiliki karakter pengajar BIPA yang enerjetik,
antusias, vibrant, kreatif dan tidak Sombong
12. Memiliki daya juang untuk program dan mampu
melaksanakannya secara cerdas
13. Menguasai bidang keilmuan BIPA
14. Menguasai metodologi mengajar BIPA

~9~
15. Memiliki ketahanan fisik dan energi untuk mengajar
BIPA
16. Memiliki kepribadian terbuka sebagai pengajar BIPA
17. Memiliki keinginan dan kemampuan untuk menjadikan
BIPA menjadi bagian dalam hidupnya
D.  Profesionalisme Pengajar BIPA
Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan
sekedar pengetahuan teknologi dan managemen tetapi lebih
merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari sekedar
teknisi, bukan hanya memiliki ketrampilan tetapi memiliki suatu
tingkah laku yang dipersyaratkan.
Dalam jurnal educational leadership 1993 (dalam Supriyadi
1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional, guru harus
memilki lima hal, yaitu:
1. Guru memiliki komitmen pada siswa dan proses
belajarnya,
2. Guru meguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran
yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa,
3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa
melalui berbagai cara evaluasi,
4. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang
dilakukannya dan belajar dari pengalamanya,
5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya.
Menurut Hamied (2001) dalam kaitannya dengan BIPA,
profesionalisme pengajar BIPA harus memiliki karakateristik lain,
yaitu sikap, pemahaman, ketrampilan dan kebiasaan.
Sikap guru BIPA harus optimis bahwa tersebarnya BIPA
secara menjagat dapat diupayakan untuk melahirkan komunikasi
lintas budaya antar anggota kelompok masyarakat dunia dan akan
berkontribusi pada terciptanya dunia yang lebih adil dan lebih
beradap, yang pada gilirannya akan menciptakan perdaimana dunia.
Selain itu, guru BIPA hendakanya juga mampu menumbuhkan
minat siswanya untuk mempelajari bahsa dan budaya Indonesia.
~ 10 ~
Pemahaman guru BIPA hendaknya paham betul akan
keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Pemahaman ini
akan berkontribusi pada pelayanan dan penanganan kepada
pebelajar BIPA, yaitu menempatkan mereka sebagai penutur asing
bahasa Indonesia, bukan sebagai penutur asli.
Ketrampilan yang harus dimiliki oleh pengajar BIPA meliputi
ketrampilan linguistik dan ketrampilan pedagogis. Guru BIPA
harus memiliki ketrampilan linguistik ( pengetahuan tentang aspek
kebahasaan dan praktik berbahasa). Guru BIPA juga harus trampilan
mengajarkan bahasa Indonesia kepada siswa BIPA. Dalam kaitannya
dengan penguasaan aspek kebahasaan, guru BIPA harus memiliki
dasar pengetahuan yang memadahi tentang teori-teori bahasa
Indonesia. Selain itu, guru BIPA harus trampil berbahasa Indonesia,
sehingga dia layak dijadikan model oleh para siswanya. Dalam
kaitannya dengan pedagogis, guru BIPA harus trampilan
mengajarkan bahasa Indonesia kepada siswa asing. Guru BIPA
harus memiliki dasar pengetahuan yang cukup dan trampilan
mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.
Kebiasaan pengajar BIPA harus mencerminkan bahwa ia
selalu menggunakan setiap kesempatan untuk berinteraksi dengan
siswa dalam bahasa Indonesia menurut konteks budaya Indonesia
yang sesungguhnya.
Ada empat hal yang perlu dicermati dalam upaya
melaksanakan profesionalisasi pengajaran BIPA;
1. Fungsi dan signifikansi sosial. Pengajaran BIPA
mempunyai fungsi dan kedudukan yang cukup strategis
dalam kancah masyarakat internasional. Program BIPA
diselenggarakan di sebagian besar negara asing. Bahkan
kalau dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Indonesia
adalah bahasa keempat terbesar di dunia.
2. Pendidikan yang akuntabel, lembaga penyedia calon
pengajar BIPA.
3. Disiplin ilmu yang kokoh
E. Kode Etik Profesi APBIPA
~ 11 ~
Profesi adalah pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian,
tanggungjawab, dan kesetiaan terhadap suatu pekerjaan atau jabatan
itu. Orang yang bekelompok dalam suatu organisasi menurut jenis
pekerjaan atau keahlian pada bidang yang sama, dengan tujuan
untuk melakukan pengabdian pekerjaan, maka organisasi itu
dinamakan organisasi profesi. Dalam organisasi profesi ini biasanya
diatur rambu-rambu guna mengendalikan kelayakan dan kepatutan
seseorang dalam melaksanakan profesinya. Aturan-aturan itu
disebut kode etik profesi. Dapat disebutkan contoh organisasi profesi,
misalnya PGRI, IDI, dll. Orang-orang yang memiliki kharakteristik
atau sifat-sifat seperti disebutkan di atas ia disebut profesional.
Sedangkan proses yang dilakukan atau dikembangkan untuk
menjadikan seseorang menjadi profesional disebut profesionalisasi.
Derajat penampilan profesional seseorang inilah yang disebut
profesionalisme. Istilah profesionalisme itu juga menujuk pada sikap
dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar
yang tinggi dan kode etik profesinya.
Ciri-ciri profesi itu meliputi (1) fungsi dan signifikansi sosial
dari profesi tersebut, (2) ketrampilan para anggota profesi yang
diperoleh lewat suatu pendidikan atau pelatihan ayang akuntabel,
(3) adanya disiplin ilmu yang kokoh, (4) kode etik, (5) imbalan
finansial atau material terhadap layanan yang diberikan oleh para
anggota profesi ini.
Syafi’ie (2006) menyatakan bahwa kualifikasi pengajar Bahasa
Indonesia yang profesional sebagai berikut.
1. berakhlak mulia
2. sehat
3. berilmu
4. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
5. cakap
6. kreatif
7. mandiri
8. demokratis
9. bertanggung jawab

~ 12 ~
Ciri-ciri pekerjaan yang profesional
1. Memerlukan pendidikan khusus bagi calon pelakunya
2. Ada standarisasi kompetensi profesi yang ditetapkan oleh
organiasi profesi atau
institusi lain yang berwenang
3. Mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan negara
dengan segala civil effect-nya.
Adapun syarat-syarat pekerjaan sebagai profesi adalah:
1. Melayani publik sepanjang masa
2. Memiliki disiplin ilmu dan ketrampilan khusus
3. Berbasis penelitian
4. Memerlukan pendidikan/pelatihan khusus dalam waktu
yang relatif lama
5. Mempunyai standarisasi untuk memberikan lisensi
/sertifikasi kepada yang berhak
6. Mempunyai otonomi dalam menentukan ruang lingkup
pekerjaannya
7. Bertanggung jawab terhadap keputusan dan kinerja yang
dicapai dalam ruang lingkup pekerjaannya
8. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan dan
klien
9. Mempunyai dan memaknai adiminstrasi yang baik dalam
penyelenggaraan berbagai kegiatan dalam ruang lingkup
kerjanya.
10. ada organisasi dan asosiasi profesi yang didirikan dan
diatur secara otonom oleh anggota profesi
11. Mempunyai kode etik profesi yang ditaati oleh anggota
profesi
12. Dipercaya oleh publik
13. Memilki kewibawaan dan status sosial yang tinggi

~ 13 ~
F. Bentuk Ungkapan Pebelajar BIPA
Tabel 1. Bentuk-bentuk Ungkapan 1 Pebelajar BIPA

No. Bentuk Ungkapan Pebelajar


1 He was one of the best language teacher. I have encountered
in my life. He is very accustomed to teaching westerns and
he is plays remarkable perception and sensitivity to our need
and wants in class. Motivated students for 4 hours period is
a formidable task, but thumbs up to Mas.
2 He is an excellent teacher who always kept us motivated.
When he sensed a log in the class he would stop the current
activity and move on to some things else. He is natural in the
classroom.
3 He was a rock star. Never boring. I would have to say I am
the most difficult student a language teacher can encounter...
and Mas was always encouraging, and never made me feel
bad for just trying. He always had a good attitude. One
recommendation: in the first month try not to laugh
hysterically (behind the desk) a student who make no sense..
but his grade = 105% A+++
4 Thank you Mas for making my language experience so
positive. You have been a truly an exceptional teacher and I
hope that you understand that all of your energy and efforts
were truly appreciated.
5 When I went to class B for awhile I almost cried, because it
was uninteresting, but when I move to class C where Mas
was the teacher I felt better. I think Mas spoiled us with his
excellent teaching and great personality.
6 Pak Widodo is a great teacher. He is really encouraging and
he has really positive attitude that some of the other teacher
lack. Its going to be really sad for the program to lose Mas
and Pak in the same year.
7 Pak Widodo Rock! Always motivating and very sensitive to

~ 14 ~
the intension of each student and the dynamics of the
classroom. No one could ever ask for a better language
teacher.
Tabel 2. Bentuk-bentuk Ungkapan 2 Pebelajar BIPA

No. Bentuk Ungkapan Pebelajar


1 Teacher were great. They were fun and really interested in
helping us learn.
2 Mas good. I think everybody learned a lot and is satisfied.
3 Mas was extremely encouraging, explaining every thing as
clear as possible until we understand, always patient. We
spoke about topics that interested us, so we couldn,t be
bored. If we were dragging, he had throw in a twist- a song,
a picture, agroomy topic. His energy, patient and sense of
humor aband.
4 Mas is super, energetic, enthusiastic, dramatic, vibrant man
who really obviously enjoy teaching. It’s also pleasing to
have some one put himself on the same level most of time.
He was also a splendidly creative teacher who I was super
pleased to meet.
5 Teacher are the heroes of the program, responsive,
intelligent, concerned and friendly.
6 Teacher were fantastic. Great teacher to work with.
7 I was amazed by Mas’s amazing energy and devotion.
Especially during Ramadhan, he made such a special effort
to be enthusiastic, helpful, and funny. He is an excellent
teacher and so patient but creative.
8 Mas was great teacher, relaxed, motivated, focused. He
know what he wanted to do and he did it. I learn very
quickly in his class.
9 I like Mas’s class, he always tried to make classes more
interesting.
10 He Always answered questions to the best of his knowledge,
was extremely patient, take suggestions on ways to improve
class, adjusted pace to our health and attention span though

~ 15 ~
without letting us slack.

Tabel 3. Bentuk-bentuk Ungkapan 3 Pebelajar BIPA

No. Bentuk Ungkapan Pebelajar


1 Mas enthusiastic and quite humorous. Mas combines the
attributes of a great professor with the elements of a friend.
Always willing to answer questions or spend extra time after
class. Experienced in foreign students’ concerns as they
encounter difficulties in class, with the long or with the
culture. Made class fun and stimulating place to learn.
2 Mas really great and really takes individual concerns
seriously, very attentive to class mood, really seems to enjoy
class.
3 Mas was the finest person for the job and take his job to heart

Tabel 4. Bentuk-bentuk Analisis 1 Pebelajar BIPA

No. Analisis
1  Familier dengan gaya mengajar orang Barat.
 Mengerti dan sensitive atas kebutuhan dan keinginan siswa
di kelas
 Selalu memotivasi pebelajar
2  Menjaga motivasi siswa dalam belajar
 Peka dan trampil dalam aktivitas pembelajaran
 Tampil natural, menjadi pengajar dengan gaya khas guru
itu
3  Tidak membosonkan bagi siswa yang sulit atau kesulitan
belajar
 Selalu memotivasi siswa, tidak membuat siswa merasa
tidak enak
 Bertingkah laku sopan
 Tidak tertawa berlebihan dan tertawa pada tempatnya
4  Membuat pengalaman positif siswa dalam belajar bahasa

~ 16 ~
 Memiliki energi dan daya upaya dalam mengajar
5  Menerapkan cara mengajar yang excellent
 Memiliki kepribadian guru
Tabel 5. Bentuk-bentuk Analisis 2 Pebelajar BIPA

No. Analisis
1  Memberi motivasi siswa
 Bertingkah laku positif
2  Memberi motivasi siswa
 Memberi perhatian kepada setiap siswa
 Memperhatikan dinamika pembela-jaran di kelas
3  Guru menyenangkan
 Guru senang membantu siswa supaya siswa belajar
4  Membuat semua siswa di kelas belajar dan merasa puas
dalam belajar
5  Memberi do-rongan siswa untuk belajar
 Menjelaskan hal-hal sampai jelas dan tuntas
 Selalu sabar
 Membicara topik atau hal yang disenangi siswa
 Lincah dalam memilih dan mengganti topik pembicaraan
 Memiliki paduan energi, sabar dan rasa humor
6  Energik, antusias, dramatik, vibrant dan menikmati
mengajar
 Menempatkan diri sederajat dengan siswa
 Kreatif
7  Pendekar program, tanggap, cerdas, peduli dan ramah
8  Guru yang berkualitas dalam keilmuan, cara mengajar dan
penampilan mengajar
 Siswa merasa senang belajar bersama guru itu
9  Berenergi tinggi dan berkorban dengan ikhlas
 Membuat siswa supaya antusias belajar
 Berkeinginan membantu siswa, lucu, sabar dan kreatif
10  Guru relax/santai, termotivasi, dan fokus.
 Mengerti apa yang akan dilakukan dan dia melakukannya
 Membuat siswa belajar dengan cepat

~ 17 ~
11  Berupaya untuk membuat kelas selalu manarik

Tabel 6. Bentuk-bentuk Analisis 3 Pebelajar BIPA

No. Analisis
1  Selalu menjawab pertanyaan siswa, sangat sabar, meminta
masukan siswa untuk memajukan kelas
 Menyesuaikan tempo mengajar menurut ketahanan dan
perhatian siswa,
 Tidak membiarkan siswa slack
2  Antusias dan memiliki sense of humor
 Mampu menjadi guru yang baik dan sekaligus juga teman
yang baik bagi siswa
 Ada waktu ekstra untuk siswa
 Berpengalaman mengajar mahasiswa asing
3  Memperhatikan secara individu pada siswa,
memperhatikan suasana kelas, dan menikmati kelas
4  Melakukan dan menikmati pekerjaan karena pekerjaan itu
menjadi bagian dari hati guru itu

Tabel 7. Bentuk-bentuk Kompetensi 1 Pengajar BIPA

No. Kompetensi Pengajar


1  Memiliki pengetahuan dan pengalaman akan
kharakter dan gaya belajar pebelajar BIPA
 Memiliki pengeta-huan dan ketram-pilan untuk
meru-muskan dan melaksanakan tujuan pebelajar dalam
belajar BIPA
 Memiliki sikap positif kepada pebelajar BIPA
2  Memiliki kepekaan terhadap motivasi dan sikap belajar
siswa
 Memiliki kepekaan dan ketrampilan dalam proses
pembelajaran BIPA
 Memiliki gaya unik mengajar BIPA ala dia
3  Memiliki tabiat menyenangkan bagi pebelajar BIPA

~ 18 ~
4  Memiliki daya tenaga dan daya upaya untuk mengajar
BIPA

Tabel 8. Bentuk-bentuk Kompetensi 2 Pengajar BIPA

No. Kompetensi Pengajar


1  Memiliki sikap positif terhadap Pebelajar BIPA
2  Memiliki kemampuan mengelola kelas BIPA
3  Memiliki kepriba-dian yang menye-nangkan bagi
pebelajar BIPA
4  Memiliki kemampuan merumuskan tujuan belajar dan
melaksanakan proses pembelajaran bagi pebelajar BIPA
5  Memiliki sikap dan kepribadian yang menarik bagi
pebelajar BIPA
 Memiliki paduan kemampuan semangat, energi,
kesabaran dan sara humor yang tinggi
6  Memiliki karakter pengajar BIPA yang engergik, antusias,
vibrant, kreatif dan tidak sombong
7  Memiliki daya juang untuk program dan mampu melak-
sanakannya secara cerdas
 Memiliki sifat tanggap, peduli dan ramah terhadap
pebelajar BIPA
8  Menguasai bidang keilmuan BIPA
 Menguasai metodologi mengajar BIPA
9  Memiliki ketahanan fisik dan energi untuk mengajar BIPA
 Memiliki kepriba-dian untuk mem-bantu siswa belajar
BIPA dengan sabar, kreatif
 Memiliki rasa humor
10  Memiliki kemampuan untuk merumuskan apa yang akan
dilakukan dan dia mampu melaksanakannya
11  Memiliki kemam-puan mengelola kelas, supaya kelas
menjadi selalu menarik
12  Memiliki kepekaan dan kemampuan melayani pebelajar
BIPA
 Memiliki kepribadian terbuka sebagai pengajar BIPA, siap

~ 19 ~
menerima kritik atau masukan pebelajar BIPA

Tabel 9. Bentuk-bentuk Kompetensi 3 Pengajar BIPA

No. Kompetensi Pengajar


1  Memiliki kemampuan menjadi pengajar BIPA yang baik
dan sekaligus juga teman yang baik bagi pebelajar
 Memiliki sikap dan sifat positif sebagai pengajar BIPA
2  Memiliki kemampuan untuk mengelola pebelajar BIPA
dan kelas BIPA
3  Memiliki keinginan dan kemampuan untuk mengajar
BIPA menjadi bagian dalam hidupnya

G. Penutup
Pembahasan tentang kompetensi dan profesionalisme
pengajar BIPA ditinjau dari sudut pandang pebelajar BIPA dapat
dijadikan bahan renungan untuk memulai merumuskan standar
kompetensi pengajar BIPA. Selanjutnya, rumusan standar
kompetensi pengajar BIPA dapat dijadikan acuan untuk mencetak
pengajar BIPA yang professional. Tumbuhnya pengajar BIPA yang
professional pada setiap institusi atau lembaga penyelenggara BIPA
akan meningkatkan mutu dan memperkokoh penyelenggaraan
program BIPA. Inilah yang menjadi harapan kita semua sebagai
insan BIPA bahwa program BIPA akan semakin tumbuh dan
semakin kokoh sehingga melalui BIPA dapat meningkatkan citra
Indonesia di mata dunia.

~ 20 ~
PERKEMBANGAN PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
BAGI PENUTUR BELANDA

Hein Steinhauer
Universitas Leiden, Universitas Radboud Nijmegen1

Di dalam brosur uraiang tentang latar belakang Semiloka


BIPA dibuka dengan pengamatan bahwa “[p]engajaran bahasa
Indonesia bagi penutur asing […] kini tengah mengalami berbagai
kendala.”, yang berlanjut dengan observasi bahwa “[…] kondisi
pengajaran BIPA di beberapa negara di luar Indonesia akhir-akhir ini
menunjukkan gejala penurunan, baik dari segi intensitas
penyelenggaraan maupun dari segi jumlah peminatnya.” Tujuan
Semiloka ini disebutkan antara lain mencari jalan untuk mengatasi
masalah tersebut. 
Saya diminta untuk berbicara tentang sejarah pengajaran
BIPA di luar Indonesia. Namun, dengan rendah hati saya mengakui
bahwa topik yang seluas itu di luar jangkauan kemampuan saya,
sehingga terpaksalah saya batasi pembicaraan ini berdasarkan
pengalaman saya saja, yaitu dengan mengulas pengajaran Bahasa
Indonesia bagi Penutur Belanda (BIPB) saja. Dalam tulisan berikut
ini akan saya bicarakan (1) sejauh mana negeri Belanda termasuk
“beberapa negara” yang terkait dengan pengajaran BIPA dan (2)
perubahan apa kiranya yang telah terjadi sehingga timbul kesan
terjadi penurunan intensitas penyelenggaraan BIPA dan jumlah
peminat belajar BI dibandingkan dengan sebelum ini.
Faktor-faktor yang menentukan dalam hal itu sangat beragam
dan sebagiannya satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Dapat
disebutkan di antaranya adalah perkembangan ekonomi, suasana
politik dunia, konflik generasi, politik pendidikan, sistem beasiswa,
1
Atas berbagai saran dan perbaikan dalam penulisan makalah ini saya
berterima kasih kepada Dr. Susi Moeimam.
~ 21 ~
perkembangan demografis, perkembangan media massa, citra studi
humaniora, susunan dan keahlian staf pengajar, citra dunia ketiga,
dan tentunya citra Indonesia. Khusus untuk suasana dan
perkembangan di Belanda perlu disebutkan beberapa faktor
tambahan lagi. Adanya hubungan Belanda-Indonesia yang
berkesinambungan selama tiga setengah abad, tradisi pengajaran
dan penelitian tentang Indonesia, besarnya data sumber yang
tersimpan, dan banyaknya orang yang akarnya terletak di Indonesia,
baik yang keturunan Indonesia maupun yang keturunanan bekas
penjajah. Sebelum menyinggung peran faktor-faktor itu sejauh yang
dapat saya amati, akan saya awali dengan sedikit ulasan tentang
sejarah pengajaran dan penelitian bahasa Melayu di Belanda
sebelum bahasa Melayu ini dalam program pendidikan ini berganti
nama menjadi bahasa Indonesia.
Dari dulu bahasa Melayu diajarkan di Belanda untuk berbagai
tujuan. Untuk hubungan dagang dan diplomatik, untuk
menyebarkan agama, dan juga untuk tahu bagaimana memerintah
kuli, serdadu, dan pembantu. Bahasa Melayu itu dipakai sebagai alat
untuk menjaga dan mengurus kepentingan orang Belanda.
Akhirnya, bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa pemerintahan
penjajahan, dan dipakai sejak pertengahan abad ke-19 sebagai
bahasa pengantar utama dalam pendidikan rakyat pra-Indonesia,
khususnya juga dalam pendidikan utuk pegawai pemerintah dan
pegawai perusahaan Belanda di Indonesia. Dengan demikian,
bahasa Melayu dijadikan alat untuk mengalihkan pengetahuan yang
oleh pemerintah waktu itu dianggap penting.2
Namun, perlu dicatat bahwa selain bahasa Melayu itu
diajarkan dan diteliti demi tujuan praktis dan nonilmiah, bahasa
Melayu ini juga sudah mulai diteliti sejak zaman Raffles demi ilmu
pengetahuannya sendiri. Yang dipentingkan dalam pengkajian itu
adalah bahasa yang tertulis, yaitu bahasa Melayu klasik. Penelitian
itu berjalan bersamaan dengan perkembangan ancangan filologis.
2
Dalam hal itu peran bahasa Melayu tidak berbeda dengan peran bahasa
Indonesia sekarang ini. Tidak dapat disangkal bahwa semua praktek itu
ternyata berperan besar dalam memperkokoh status bahasa Melayu
sebagai bahasa antarsuku dan bakal bahasa Indonesia
~ 22 ~
Dalam pada itu keberagaman bahasa Melayu yang menonjol
itu tidaklah luput dari perhatian para pengamatnya. Dari akhir abad
ke-17 sampai akhir abad ke-19 dapat kita ikuti diskusi yang hangat
dan kadang-kadang bahkan sengit antara pembela bahasa ‘Melayu
Tinggi’ dan mereka yang mempropagandakan bahasa ‘Melayu
Rendah’ yang memiliki alasan bahwa bahasa Melayu Rendahlah
yang dimengerti oleh rakyat biasa dan orang banyak.3
Keberagaman itu dan kebutuhan akan suatu standar demi
pengajaran itu mendorong pemerintah kolonial menugaskan kepala
penilik pendidikan dalam negeri, Ch. Van Ophuijsen membakukan
sistem ejaan dengan huruf romawi (Ophuijsen 1901) dan menyusun
tata bahasa baru (Ophuijsen 1910). Tata bahasa itu kemudian
menjadi pedoman penulis dan penyunting Balai Pustaka, setidak-
tidaknya sampai pendudukan Jepang.
Sampai tahun lima puluhan pada abad yang lalu bahasa
Melayu diajarkan di Belanda di Universitas Utrecht dan di
Universitas Leiden, khusus dalam rangka pendidikan calon pegawai
pemerintah kolonial. Studi yang disebut Indologi itu juga mencakup
bahasa Jawa, hukum kolonial dan hukum adat serta sejarah
Indonesia. Di Utrecht fakultas Indologi itu didirikan pada tahun 1925
oleh perusahaan minyak, karet, dan gula, karena program di Leiden
dianggap ‘terlalu etis’, dan dengan demikian kurang cocok untuk
mendidik pegawai penjajah. Setelah kemerdekaan Indonesia (tanpa
Papua Barat) secara resmi diakui oleh pihak Belanda pada akhir
tahun 1949, program di Utrecht mulai dianggap mubazir sehingga
akhirnya diberhentikan di tahun 1956, sedangkan program di Leiden
itu berkembang menjadi program yang berhaluan ilmu murni tanpa
pamrih, yang berangsur-angsur menggeser titik perhatiannya dari
filologi Melayu klasik kepada masyarakat dan bahasa Indonesia
kontemporer.

3
Sebenarnya jenis perbedaan pendapat seperti itu merupakan masalah
segala zaman dan tidak terbatas pula pada masalah bahasa
Melayu/Indonesia saja, ditemukan di mana-mana jika terdapat perbedaan
besar antara bahasa sastra/tertulis dan bahasa lisan yang digunakan
sehari-hari.
~ 23 ~
Namun, pada satu-dua dasawarsa pertama jumlah mahasiswa
masih sangat terbatas. Ketegangan dalam hubungan Indonesia-
Belanda akibat dekolonisasi industrial dan masalah Papua Barat
tidak memicu calon mahasiswa Belanda untuk memilih program
studi yang menyangkut antara lain bahasa Indonesia/Melayu
modern. Pada waktu itu citra Indonesia di Belanda dipengaruhi oleh
dua kekuatan sosial-politik yang paling vokal. Yang pertama adalah
kalangan orang Belanda yang akibat perang dunia kedua dan
periode bersiap di samping telah kehilangan harta benda serta
seringkali bahkan sanak saudaranya juga terluka atau mengalami
gangguan kesehatan sesudahnya. Sukarno yang dalam mata mereka
adalah kolaborator Jepang digambarkan sebagai biang keladi
penderitaan mereka. Yang kedua berhubungan dengan suasana
perang dingin. Sukarno, sebagai salah seorang pelopor gerakan
nonblok, tidak memihak blok barat yang antikomunis, maka
dianggap prokomunis. Akibatnya, di Belanda yang mengerti
Sukarno terbatas pada beberapa golongan masyarakat saja, yaitu
partai komunis, sayap kiri gerakan sosialis, dan kelompok usahawan
dan cendekiawan yang ingin memulihkan kembali hubungan
dengan Indonesia.
Pada waktu itu studi di tataran universitas boleh dikatakan
dikhususkan untuk anak kalangan elit yang cukup berada saja. Itu
jugalah yang mempengaruhi sedikitnya jumlah mahasiswa.
Namun, paruh kedua tahun enam puluhan pada abad yang
lalu iklim sosial-politik dan budaya telah mulai berubah dengan
drastis. Pertama-tama keadaan ekonomi mulai mengatasi dampak
perang dunia kedua. Dengan timbulnya kesadaran bahwa
pendidikan tinggi seharusnya terjangkau bukan untuk kalangan elit
saja, maka gelombang yang lahir pascaperang mulailah memasuki
perguruan tinggi. Keadaan ekonomi yang menguntungkan itu pun
memungkinkan dikembangkannya sistem beasiswa, sehingga
jumlah mahasiswa di semua fakultas dan universitas meningkat
dengan pesat. Jumlah program studi pun bertambah banyak, antara
lain dengan bidang ilmu baru seperti politikologi, polemologi, ilmu
pembangunan, dan sosiologi.

~ 24 ~
Sementara itu peta politik dunia mulai berubah. Satu demi
satu negara jajahan menjadi merdeka, tidak jarang melalui
perjuangan fisik. Perang dingin antara negara-negara komunis dan
negara barat (alias kapitalis) memanas di berbagai negara yang
memperjuangkan kemerdekaannya di Afrika dan di Asia Tenggara.
Dan waktu itu para wartawan belum ‘embedded’, sehingga
kekejaman perang dingin yang paling panas waktu itu, yaitu perang
di Vietnam, hampir setiap malam ditayangkan di televisi.4
Bagi generasi muda kerangka acuan untuk pandangan
hidupnya dengan begitu bukan lagi perang dunia kedua seperti
halnya bagi generasi sebelumnya. Pandangan politiknya terbentuk
oleh kepalsuan retorika perang dingin, oleh lomba senjata dengan
ancaman nyata pecahnya perang nuklir, dan juga oleh gambaran
penyiraman hutan dengan racun, pemusnahan desa, penembakan
hewan piaraan, dan pengeboman anak-anak dengan napalm. Yang
mereka dambakan bukanlah menjadi generasi penerus, melainkan
generasi pengubah, yang menciptakan dunia ‘yang disempurnakan’,
pokoknya yang lebih adil daripada dunia yang diwariskan kepada
mereka oleh generasi sebelumnya. Mahasiswa yang waktu itu
menuntut ilmu yang ada hubungannya dengan negara dunia ketiga,
sebagian besarnya karena terdorong oleh rasa ingin tahu
kebudayaan nonbarat dan diilhami oleh kesetiakawanan dengan
rakyat negara (bekas) jajahan yang dilanda penderitaan akibat
politik negara barat.
Pada awalnya jumlah mahasiswa yang memilih jurusan
bahasa dan kebudayaan Indonesia masih terbatas sekali. Pertama,
karena gema ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda tidak
langsung padam. Kedua, karena pengambilalihan kekuasaan oleh
Suharto terlalu berdarah untuk menimbulkan antusiasme pada calon
mahasiswa. Namun, perlu dicatat bahwa bagi pejuang perang dingin
di negara-negara NATO kudeta Suharto itu dianggap sukses besar. 5
Semakin mantap Orde Baru semakin akrab hubungan diplomatik
4
Televisi waktu itu merupakan media baru, yang belum komersial
dan yang penyiarannya masih terbatas. Dengan demikian, warta
beritanya masih dianggap seru dan perlu sehingga diikuti dengan
penuh perhatian.
~ 25 ~
antara negara barat dan RI. Hubungan ekonomi pun ditingkatkan
melalui IGGI. Kedatangan perusahaan-perusahaan asing di
Indonesia disambut dalam rangka pembangunan. Diakui bahwa
diktatur militer dan pelanggaran HAM memang tidak dapat
dikagumi, tetapi dibenarkan dengan alasan bahwa ‘tidak ada pilihan
lain’. Singkatnya, citra Indonesia di mata pemerintah negara NATO
menjadi lebih positif.
Mulai ada perspektif untuk mengunjungi Indonesia sebagai
mahasiswa/peneliti, atau sebagai pegawai/wakil perusahaan, atau
pun sebagai turis. Dalam hal ini perkembangan ekonomi juga sangat
mendukung. Bersamaan dengan itu (dan itu soal waktu juga) rasa
dengki, kecewa dsb yang semula masih dimiliki oleh kebanyakan
generasi bekas penjajah berangsur-angsur berubah menjadi
nostalgia. Maka pada awal tahun tujuh puluhan gelombang kecil
mahasiswa mendaftarkan diri untuk studi bahasa dan kebudayaan
Indonesia. Isi program studi sesuai dengan kepakaran para
pengajarnya dengan di antaranya tiga guru besar: Prof. Dr. J.C.
Anceaux (Perbandingan Bahasa Austronesia dan Papua), Prof. Dr. A.
Teeuw (Bahasa dan Sastra Melayu/Indonesia, Filologi, Perkamusan),
Prof. Dr. E.M. Uhlenbeck (Linguistik, Bahasa Kawi, Bahasa Jawa
Modern), C.D. Grijns (Sosiolinguistik, Dialektologi, Bahasa
Melayu/Indonesia), H. Ras (Filologi, Bahasa, dan Sastra Jawa), dan R.
Roolvink (Filologi, Bahasa Melayu Klasik, Bahasa Batak). Bahasa
yang diajarkan dalam program studi itu adalah Melayu Klasik,
bahasa Jawa modern dan kuno, paling sedikit salah satu bahasa
daerah yang lain, perbandingan bahasa Austronesia, dan tentunya
bahasa Indonesia. Di Fakultas Ilmu Sosial diajarkan kuliah tentang
antropologi Indonesia. Di tahun-tahun pertama sejak kemerdekaan
Indonesia perencanaan status bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan resmi masih dianggap sebagai suatu eksperimen yang
menarik, yang hanya dapat ditunggu perkembangannya (lihat
Drewes 1948). Namun, dengan dikukuhkannya Orde Baru status dan
sukses bahasa Indonesia juga tidak dapat digugat lagi. Kenyataan itu

5
Bukanlah kebetulan kalau kode rahasia untuk kudeta fasis jenderal
Pinochet di Cile tahun 1973 berbunyi “Jakarta, Jakarta!”.
~ 26 ~
mendorong pakar di Negara NATO untuk menulis buku pelajaran
bahasa Indonesia modern, antara lain Yohani Johns (1975) di
Australia, Labrousse (1979) di Perancis, Nothofer dan Pampus (1988)
di Jerman6. Di Belanda pun terbit buku pelajaran yang baru, yaitu
Teeuw 1971.
Hubungan yang nyata dengan Indonesia modern terwujud
dengan kedatangan tiga belas dosen dari berbagai universitas dan
IKIP di Indonesia ke Leiden untuk mengikuti program pascasarjana
dalam bidang bahasa dan sastra. Sejalan dengan itu diselenggarakan
program pascasarjana untuk sejarah Indonesia dan antropologi
melalui proyek PRIS (Programma Indonesische Studiën). Di tahun
1974 itu juga dimulai proyek ILDEP (Indonesian Linguistics
Development Project) yang berlangsung dalam empat tahap antara
tahun 1974 dan 1994 (lihat Lampiran).
Keintensifan hubungan itu dan kesediaan pemerintah Belanda
untuk menyediakan dana untuk studi Indonesia melatari
diperluasnya staf jurusan Indonesia. Pada tahun 1977 staf itu
diperkuat dengan kedatangan Dr. D.J. Prentice (ahli bahasa Melayu,
bahasa Indonesia, dan berbagai bahasa Austronesia lainnya) dan Dr.
S.O. Robson (ahli bahasa Jawa dan filologi), kedua-duanya dari
Australia, dan Dr. R.A. Blust (ahli perbandingan bahasa Austronesia)
dari Amerika. Jumlah mahasiswa baru waktu itu sudah lumayan
besarnya. Di tahun itu juga Dr. W.A.L. Stokhof dan penulis makalah
ini ditugaskan untuk menjalankan program ILDEP dengan masing-
masing ditempatkan di Jakarta dan di Leiden. Dengan kedatangan
Dr. Prentice buku pelajaran BIPA yang semula hanya Teeuw 1971
kemudian dilengkapi dengan Langkah Baru karangan Yohani Johns
(1975). Uraian gramatikal dalam Johns 1975 sebagian besarnya
didasarkan atas silabus-silabus yang disusun oleh Dr. Prentice
sendiri sewaktu mengajar di Canberra.
Menjelang tahun sembilan puluhan pada abad yang lalu
susunan staf berubah. Dr. Roolvink, kemudian Prof. Teeuw, Prof.
Uhlenbeck, dan Prof. Anceaux, dan akhirnya Dr. Grijns (1924-1999)
6
Pada zaman Sukarno pakar dari belakang tirai besi telah
mendahului mereka: Oplt (1960) di Cekoslowakia, dan Teselkin
(1960) di Uni Soviet.
~ 27 ~
memasuki masa pensiun, sedangkan Dr. Blust dan Dr. Robson
pulang ke negara masing-masing karena alasan pribadi. Dr. Prentice
setelah menderita sakit beberapa waktu akhirnya meninggal pada
tahun 1995. Pergantian staf menyebabkan juga pergeseran fokus
dalam program studi. Dengan meningkatnya hubungan Belanda-
Indonesia pengajaran dan penelitian bahasa yang terlepas dari
konteks kebudayaan dan sejarah dianggap kurang wajar, maka
aspek kehidupan Indonesia itu kemudian lebih mendapat perhatian
dalam program studi.7 Dengan adanya anggapan bahwa pasaran
untuk tamatan program studi itu nantinya tidak akan mampu
menampung semua mahasiswa yang masuk waktu itu, maka
diciptakanlah program yang disebut ‘varian manajemen’ dengan
sejumlah mata kuliah ekonomi yang harus diikuti di Universitas
Erasmus di Rotterdam. Popularitas varian itu mencerminkan iklim
politik waktu itu. Harapan generasi pascaperang yang pertama
bahwa dekolonisasi akan membawa kemakmuran bagi bangsa yang
pernah dijajah ternyata merupakan ilusi saja dan tidak dapat
menjadi pegangan lagi. Falsafah ekonomi liberal pola Thatcher dan
Reagan mau tidak mau mempengaruhi mentalitas orang. Kalau
sebelumnya mahasiswa belajar demi hati, maka sekarang mereka
belajar demi dompet.
Hal seperti itu juga berlaku untuk pemerintah. Cita-cita
politik bahwa perguruan tinggi harus terjangkau oleh orang banyak
memang tidak dilepaskan, tetapi cita-cita ini hanya dapat dicapai
sebatas isi kantong pundi pemerintah saja. Diciptakan berbagai
siasat untuk mengendalikan pengeluaran uang untuk para stafnya. 8
Dilakukan berbagai kampanye penghematan sejak awal tahun
delapan puluhan, yang kemudian berdampak timbulnya sistem

7
Waktu itu Belanda mengalami resesi ekonomi yang mengharuskan
tindakan penghematan keuangan. Pergeseran fokus itu sebenarnya
merupakan juga tindak penghematan terselubung. Staf jurusan
bahasa dan kebudayaan Asia Tenggara dan Oseania memanglah
tidak menyusut, tetapi staf baru yang masuk bukan dari luar namun
dari jurusan lain sehingga tidak ada tambahan anggaran.
8
Jumlah staf ini besar yang banyak anggotanya ditarik pada awal
tahun tujuh puluhan. Tahun-tahun itu merupakan tahun-tahun emas.
~ 28 ~
pengontrolan pengeluaran uang dalam birokrasi perguruan tinggi. 9
Uang kuliah dinaikkan, besarnya staf tidak tergantung lagi pada
pengetahuan dan keahlian yang patut dipertahankan dan
dibutuhkan, melainkan semata-mata didasarkan pada jumlah
mahasiswa dan ‘produknya’. Maksudnya, jumlah tamatan program
studi sebagai persentase jumlah mahasiswa seangkatan yang
mendaftar tahun pertamanya. Tahun 1982 lama studi pun
diperpendek. Sebelumnya program studi itu resminya lima tahun,
tetapi mahasiswa boleh tetap terdaftar seumur hidup tanpa
menyelesaikan satu studi pun (alias bisa menjadi mahasiswa abadi).
Sejak tahun 1982 itu program yang dapat dibandingkan dengan S1
(dengan awal S2) menjadi empat tahun, dan jangka waktu maksimal
boleh terdaftar sebagai mahasiswa ditetapkan. Selama beberapa
tahun program ‘tahap ke-2’ (S2) ini belum terwujud secara benar
karena dananya tidak terstruktur dan dalam prakteknya pesertanya
langsung terjun ke penulisan disertasi. Jumlah mahasiswa yang
mengikuti jalur itu memang sedikit, namun mereka diilhami oleh
semangat ilmuwan. Pada masa ini jumlah mahasiswa yang hanya
mengikuti program S1 cukup besar. Mereka ini mendambakan karier
yang lebih praktis, walaupun dalam kenyataannya kemudian
pekerjaan yang mereka dapat tidak selalu ada kaitan langsung
dengan studi mereka.
Perubahan besar yang terjadi pada tahun sembilan puluhan di
panggung dunia mempunyai dampak juga terhadap studi di
perguruan tinggi. Perang dingin berakhir dengan jatuhnya tembok
Berlin (November 1989) dan bubarnya Uni Soviet (1991). ‘Dengan
begitu sejarah pun tamatlah sudah’, demikian pernyataan pakar
9
Akhir tahun enam puluhan Fakultas Sastra Universitas Amsterdam
hanya dibantu oleh seorang juru ketik yang bekerja untuk separuh
waktu. Dekan dengan kedua pembantunya dengan masa kerja
empat tahun dipilih dari jajaran guru besar yang dimiliki. Mereka
mengadakan pertemuan paling banyak satu pagi seminggu hanya
kalau ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Sekarang ini Fakutas
Sastra Universitas Leiden ditunjang oleh dewan pimpinan dan
pengurus yang meliputi puluhan pegawai tetap yang bekerja penuh,
termasuk dekan yang dapat menjalankan tugasnya secara
profesional.
~ 29 ~
ekonomi politik Amerika Yoshihiro Francis Fukuyama (1989) dalam
esainya yang menghebohkan. Maka kepentingan negara barat untuk
merayu negara seperti Indonesia supaya tetap memihak mereka
dalam perang dingin itu menjadi kurang mendesak. Mungkin saja
kritik dari Jan Pronk, Menteri Belanda untuk Kerja Sama
Pembangunan pada waktu itu, terhadap beberapa aspek
pemerintahan Suharto ikut terpancing oleh alasan itu tetapi yang
jelas kritik itu tidak diterima oleh sasarannya dan bulan April tahun
1992 dijadikan alasan untuk mengharamkan semua proyek yang
dibiayai (biarpun sebetulnya hanya sebagian saja) oleh pemerintah
Belanda. Mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda dengan dana
beasiswa dari pemerintah Belanda banyak yang harus pulang dan
sejumlah mahasiswa lain tetap dapat meneruskan studinya dengan
beasiswa dibayar lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia. Banyak
orang Belanda yang bekerja di Indonesia dipulangkan juga. ILDEP
masih dipertahankan selama dua tahun dengan dana Bappenas dll,
tetapi akhirnya harus bubar juga.
Sejak itu berita dari Indonesia yang sampai di media massa
luar negeri tidak menunjang peningkatan citra Indonesia sebagai
negara yang romantis dengan bangsa yang ramah dan lemah lembut
dengan munculnya liputan pelbagai berita tentang krismon,
kerusuhan, pemerkosaan wanita Cina, penembakan mahasiswa oleh
tentara, jatuhnya presiden Suharto, perang saudara di Ambon, Aceh,
pemboman di Bali, di Jakarta, lalu di Bali lagi, kemudian disusul
dengan bencana alam, tsunami, gempa bumi, lusi. Peringkat
Indonesia dalam penanggulangan korupsi pun belum membaik.
Pendek kata, dengan semua keadaan dan alasan itu semangat untuk
memulai/memilih studi tentang Indonesia sulitlah dipicu. Cukup
banyak calon mahasiswa yang mempunyai perhatian dan simpati
terhadap Indonesia, tetapi jumlahnya yang berani mendaftar untuk
mengikuti program studi itu secara penuh (sebagai studi pilihan
utama) tidak sebanyak lagi tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, resesi
yang berkepanjangan di Belanda (dari tahun 2002 sampai kira-kira
dua tahun yang lalu) menyebabkan calon mahasiswa lebih suka

~ 30 ~
memilih studi yang lebih kelihatan memberikan jaminan pekerjaan
di masa depan.
Namun demikian, terdapat paling sedikit tiga perkembangan
mutakhir yang menguatkan dugaan bahwa masa depan untuk studi
tentang Indonesia itu akan bisa lebih menarik pembelajarnya di
negeri Belanda:
1. Ekonomi di Belanda telah membaik kembali. Tetapi yang
lebih penting lagi, titik berat ekonomi dunia sedang
bergeser ke Asia timur, selatan, dan tenggara, yang
hasilnya pasti akan semakin terasa di Indonesia juga;
2. Penghancuran Twin Towers di New York tahun 2001 dan
reaksi pemerintahan Bush sejak itu menyebabkan
polarisasi antarmanusia yang berbau SARA dan
menghalalkan sikap intoleran. Ajaran bahwa pembunuhan
sesama manusia adalah bukti kesalehan, yang
penganutnya cukup vokal di berbagai pelosok dunia,
tidaklah mengundang simpati pada kebanyakan
masyarakat di Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah
muslim yang terbesar di dunia tetapi yang memberi
kebebasan untuk memilih agama dan memiliki toleransi
cukup tinggi, Indonesia dapat dipakai sebagai contoh bagi
dunia;
3. Memasuki milenium ketiga ini diadakan beberapa
perubahan dalam organisasi dan program studi lagi, yang
dapat dinilai positif. Tahun 1999 para menteri pendidikan
negara Uni Eropa memutuskan untuk menyelaraskan
organisasi studi universitas, sehingga ijazah-ijazah masing-
masing negara dapat disetarakan. Yang disepakati adalah
sistem Anglo-Saxon dengan dua tahap, yakni Bachelor dan
Master (atau S1 dan S2), masing-masing tiga tahun dan
satu atau dua tahun. Program Master dua tahun itu lebih
bersifat ilmiah dan berancang-ancang ke tahap penelitian
dan penulisan disertasi, sedangkan Program Master satu
tahun itu lebih terarah ke karier nonakademis. Dengan
demikian, studi menjadi lebih terstruktur. Yang lebih

~ 31 ~
penting lagi ialah terwujudnya kerja sama antarlembaga
perguruan tinggi di Eropa. Tahun 2002 program kerja
sama itu mulai dilaksanakan. Sejak dua tahun ini satu
bagian dari Program Master untuk studi (bahasa, sastra,
dan kebudayaan) Indonesia adalah penataran/lokakarya
intensif selama dua minggu, yang terbuka untuk peserta
mahasiswa dari semua negara Uni Eropa yang
menawarkan studi tersebut, yaitu Belanda, Prancis,
Jerman, Italia, dan Inggris. Pengajarnya pun juga berasal
dari negara-negara itu. Penataran pertama diadakan di
Leiden pada tahun 2006, yang kedua baru-baru ini di
Paris. Oleh karena program ini dinilai sangat bermanfaat
maka diusahakan untuk tetap dapat menyelenggarakan
program ini dengan dana dari Uni Eropa yang juga telah
membiayai kedua penataran sebelum ini.
Manfaat yang paling menonjol dalam program kerja sama
seperti itu adalah aspek antarbangsa. Dalam era globalisasi ini para
politisi yang populistis mengeksploitasi ketakutan pemilihnya akan
pengaruh organisasi supranasional, akan apa yang tidak terbiasa,
akan orang asing yang lain bahasanya, lain agamanya. Intinya,
mereka membangkitkan perasaan primordial dan menurut hemat
saya satu-satunya obat penekan dan pembasminya dengan upaya
membiasakan dan membuka mata mereka-mereka ini melalui
hubungan dan pergaulan lintas batas negara.
Dari dulu pergaulan internasional antara mahasiswa Belanda
dengan masyarakat Indonesia dirangsang menuntut kursus bahasa
Indonesia yang intensif di Indonesia selama beberapa minggu.
Kemampuan berbicara suatu bahasa akan lebih meningkat jika
disertai hubungan yang berkesinambungan dengan masyarakatnya
selama beberapa waktu. Kefasihan berbicara adalah salah satu
tujuan studi bahasa yang semakin ditekankan dan lagi Program
Bachelor itu lebih padat dari program sebelumnya sehingga tatap
muka beberapa kali seminggu dengan penutur asli untuk konversasi
dinilai tidak mencukupi. Sementara itu mengikuti penataran di
Indonesia selama beberapa minggu saja pun dinilai juga belum

~ 32 ~
memadai. Oleh karena itu, sejak tahun akademis yang baru lalu
mahasiswa diharuskan (jika kesehatan memungkinkan) mengikuti
kuliah di Indonesia selama satu semester penuh. Untuk kebutuhan
itu, sementara ini sudah ditemukan jalan bagi Leiden dengan
membonceng program Australian Consortium for In-Country
Indonesian Studies (ACICIS) yang bekerja sama dengan UGM. Sayang
sekali laporan evaluasinya sekarang ini belum dapat saya sajikan.
Keberadaan mahasiswa di Indonesia selama satu semester
sekaligus mempunyai manfaat yang lain juga. Sepengetahuan saya
semua universitas di Eropa yang mengajarkan bahasa Indonesia
mendasarkan kursusnya pada bahasa Indonesia yang baku. Numun,
yang merupakan masalah ialah kenyataan bahwa bahasa yang
dipakai dalam praktek sangat bervariasi dan merupakan suatu
kontinum dari bahasa baku itu melalui varietas bahasa Indonesia
yang kurang resmi, sampai isolek Melayu setempat (seperti Melayu
Kupang, Ambon, Larantuka, atau Manado). Kontinum yang paling
menonjol bagi pelajar asing tentunya varietas-varietas bahasa
Indonesia lisan yang ke-Jakarta-Jakarta-an. Justru karena bahasa
Indonesia lisan selalu bergerak dan bergoyah di antara dua kutub,
yaitu varietas Melayu setempat yang dipakai dalam suasana yang
paling akrab, relaks, dan bebas dari satu segi, dan bahasa Indonesia
yang baku dari segi yang lain, maka pengajaran bahasa Indonesia
hampir tidak bisa menyinggung gejala bahasa lisan itu. Paling-paling
hanya dapat didaftarkan sederetan gejala dan kecenderungan yang
mungkin dapat didengar dari penutur asli. Itu jugalah yang dipakai
sebagai ancangan dalam pengajaran BIPB. Kefasihan berbahasa
pergaulan dalam berbagai situasi pemakaiannya hanya dapat
diperoleh dalam praktek. Satu-satunya kemampuan yang bisa dilatih
dalam pengajaran di universitas di samping pemahaman tata bahasa
bahasa Indonesia yang baku (TBBIB) adalah kemampuan
mendengarkan dan mengamati pemakaian bahasa, sehingga
perilaku penutur asli bisa ditiru dan kalau perlu diperikan. Untuk
itulah, keberadaan mahasiswa di Indonesia selama satu semester
dinilai sangat berguna.

~ 33 ~
Tidak benarlah pernyataan Fukuyama (seperti yang
ditafsirkan banyak orang). Jatuhnya tirai besi dan ‘kemenangan
demokrasi liberal’ tidak menamatkan sejarah sebagai rangkaian
peristiwa. Sejarah bahasa Indonesia belumlah rampung. Gejala tenlit,
bahasa blog, pengaruh internet sebagai sumber penggarapan
informasi dan sarana mengungkapkan diri pada umumnya, semua
itu mempunyai dampak atas bahasa Indonesia sekarang ini dan di
masa mendatang. Kemampuan mengamati pada pembelajar bahasa
Indonesia dengan demikian tidak kurang penting daripada
kemampuan menghafal. Pengajarannya harus sesuai dengan
kenyataan itu.
Apakah pertanyaan pada awal makalah ini terjawab?
Benarkah kondisi pengajaran BIPB kurang intensif dan peminatnya
menurun? Sejak satu dasawarsa ini jumlah mahasiswa baru masih
terbatas. Dalam bersaing dengan studi bahasa Asia yang populer
saat ini seperti bahasa Jepang dan Cina Mandarin, bahasa Indonesia
masih belum menyamai. Baru kalau Indonesia dari segi ekonomi
menduduki tingkat yang sama dengan negara-negara harimau yang
lain maka persaingan yang lebih seimbang dan adil dapatlah
dinantikan. Selama belum, staf pengajar di jurusan akan terancam 10
walaupun programnya tidak mungkin dihapus. Akibat
diberlakukannya sistem pengajaran Bachelor-Master, waktu untuk
studi bahasa dipadatkan. Namun, program satu semester di
Indonesia dengan disertai peningkatan sarana pengajaran dan buku
ajar11 merupakan tindak kompensasi yang diduga memadai.
10
Pengganti Prof. Teeuw sebagai guru besar bahasa dan sastra
Indonesia, Prof. Dr. H.G.M. Maier, meninggalkan Leiden untuk
bekerja di Riverside University di California pada tahun 2003. Dalam
rangka tindak penghematan lebih lanjut dari Universitas Leiden
posisinya sebagai Guru Besar di Leiden yang kemudian kosong
sampai sekarang juga belum ditawarkan untuk diisi.
11
Tahun sembilan puluhan pada abad yang lalu dilakukan ujicoba
kursus baru yang lebih modern, mendalam dan lengkap dan yang
teks-teks bacaannya lebih diarahkan kepada pembelajar dewasa.
Pada awal abad ini terbit buku pelajaran bahasa Indonesia karangan
Steinhauer (2001). Tiga tahun kemudian terbit Kamus Belanda-
Indonesia (Moeimam dan Steinhauer 2004).
~ 34 ~
Program Bachelor bersifat ekstensif dan cukup luas, tetapi berbagai
program Master memungkinkan pelatihan ilmiah yang cukup
mendalam.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa masa depan
pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Belanda masih berada
di antara masa yang tidak terlalu murung tetapi juga belumlah
cerah. Banyak hal tergantung dari perkembangan ekonomi di kedua
negara kita. Pada tahun 1928 semangat Soempah Pemoeda
dibangkitkan antara lain oleh ancaman polisi Belanda membubarkan
Kongres Pemuda kedua itu karena salah seorang pembicara
meneriakkan harapan agar Indonesia akan menjadi semakmur
Inggris atau Jepang. Sekarang, demi membangkitkan semangat dan
motivasi memilih studi BI maka marilah kita berjuang/berdoa
supaya ekonomi Indonesia nanti semaju dan tak kalah kokohnya
dengan ekonomi negara-negara harimau masa kini.

Daftar Pustaka
Drewes, G.W.J. 1948. Van Maleis naar Basa Indonesia. Leiden: Brill
[inaugural address].
Johns, Yohanni. 1975. Bahasa Indonesia. Langkah baru: a new approach.
Canberra: Australian National University.
Kähler, Hans. 1956. Grammatik der Bahasa Indonésia mit Chrestomathie
und Wörterverzeichnis. Wiesbaden: Harassowitz.
Labrousse, P. 1978. Méthode d’Indonésien. Paris: Asiathèque.
Moeimam, Susi dan Hein Steinhauer. 2004. Nederlands-Indonesisch
Woordenboek. Leiden: KITLV Uitgeverij
Nothofer, Bernd dan Karl-Heinz Pampus. 1988. Bahasa Indonesia.
Indonesisch für Deutsche. Heidelberg: Julius Groos.
Ophuijsen, Ch.A. van. 1901. Kitab logat melajoe: woordenlijst voor de
spelling der Maleische taal met Latijnsch karakter. Batavia:
Landsdrukkerij.
Ophuijsen, Ch.A. van. 1910. Maleische spraakkunst. Leiden:
Doesburgh.
~ 35 ~
Oplt, Miroslav.1966. Bahasa Indonesia. Učebnice indonéštiny. Indonesian
Language.
Praha: Státní Pedagogičké Nakladatelství [first edition 1960].
Steinhauer, Hein. 2001. Leerboek Indonesisch. Leiden: KITLV Uitgeverij
(cetakan ke-2, 2002; cetakan ke-3, 2005).
Teeuw, A. 1971. Leerboek Bahasa Indonesia. Groningen: Wolters-
Noordhoff.
Teselkin. A.S. 1960. Indonezijskij Jazyk. Moskva: Izdatel’stvo Vostočnoj
Literatury.

~ 36 ~
Lampiran:

Indonesian Linguistics Development Project (ILDEP)

Kerja Sama Antara:

Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia Tenggara dan Oseania,


Universitas Leiden dengan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional.

Tujuan:
Menggalakkan penelitian bahasa dan sastra Indonesia dan
daerah melalui penciptaan kemudahan seperti penataran,
pembangunan perpustakaan, penerbitan, penerjemahan,
beasiswa, dan program sandwich.

Lama Berlangsungnya:

Tahap prastruktural 1974-1976; tahap pertama: 1977-1985;


tahap kedua: 1988-1992; tahap penghabisan 1992-1994.

Hasilnya:

Lebih dari 30 peserta yang meraih gelar Dr di Indonesia,


sejumlah yang lulus S2, sekitar 300 peserta dari seluruh
Indonesia yang telah mengikuti berbagai penataran yang
intensif.
Lebih dari 100 publikasi (buku), 70 lebih dalam bahasa
Indonesia (karya asli dan karya klasik yang diterjemahkan
dari bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Rusia, Jerman).
Jaringan pakar bahasa dan sastra di seluruh Indonesia.
Perpustakaan Pusat Bahasa yang diremajakan.

~ 37 ~
Dibiayai Oleh:

Departemen Pendidikan Nasional RI


Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Belanda
Kementerian untuk Kerja Sama Pembangunan Belanda
(Sejak bulan April 1992) BAPPENAS dan Cultural Agreement
Indonesia-Belanda.

~ 38 ~
REVITALISASI PENGELOLAAN PENGAJARAN BIPA

Dr. Ida Rochani Adi

A.  Pendahuluan
Budaya kegiatan belajar mengajar di lingkungan kita adalah
hubungan antara guru dan murid. Hubungan seperti ini umumnya
dipraktikkan sebagai hubungan seperti atasan yang berhubungan
dengan bawahannya dan yang sering dirasakan mempunyai suasana
yang feodal. Akan tetapi, ketika kita mengacu orang asing, yang ada
dalam pikiran kita selalu suasana yang demokratis. Hal ini terlihat,
misalnya, beberapa lembaga yang mengajarkan bahasa Indonesia
bagi penutur asing. ”Di lembaga kami tidak ada sebutan Bapak dan
Ibu, tetapi Mbak dan Mas” begitu antara lain yang dikatakan oleh
pengelola.
Hal yang sama terlihat di salah satu perusahaan multinasional
IBM, misalnya. Dari observasi sederhana yang saya lakukan
terhadap mahasiswa Indonesia di program MM, saya mendapatkan
bahwa seorang Indonesia yang bekerja di perusahaan asing lebih
mempunyai rasa percaya diri yang lebih besar daripada mereka
yang bekerja di lingkungan yang hanya terdiri dari orang Indonesia.
Hal ini terlihat dari keberanian mereka mengemukakan pendapat
dan berbeda pendapat. Asumsi yang muncul kemudian adalah
suasana demokratis seperti itulah yang mungkin diinginkan oleh
penutur asing ketika mereka belajar bahasa Indonesia.
Suasana demokratis memang akan mendorong keberanian
berbicara lebih besar daripada suasana yang paternalistik. Karena
itulah sekarang, Universitas Gadjah Mada melakukan berbagai cara
dalam rangka mendorong mahasiswa lebih berani berbicara. Bahkan
di dalam salah satu kelas, di salah satu program profesi di sebuah
fakultas di UGM, terdapat suatu ungkapan, yang mungkin terasa
agak kasar, ”Otak dipakai untuk berpikir dan berpikir tidak dapat

~ 39 ~
berkembang tanpa perdebatan”. Dalam rangka mendorong
mahasiswa berbicara pula, berbagai metode pengajaran dibuat dan
dilatihkan kepada tenaga pengajar.
Aktivitas kelas pun menjadi kriteria yang cukup signifikan
terhadap nilai mahasiswa. Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan suasana demokratis mutlak diperlukan dalam
pengelolaan suatu lembaga yang bertujuan meningkatkan
kemampuan berkomunikasi terlebih apabila yang ditingkatkan
adalah orang-orang dari negara-negara asing. Pertanyaan yang
muncul adalah pengelolaan bagaimanakah yang dapat menciptakan
iklim demokratis tersebut?
”It is unwise to be too sure of one’s own wisdom. It is healthy to be
reminded that the strongest might weaken and the wisest might err” [tidak
bijaksana untuk terlalu yakin pada kebijaksanaan seseorang. Adalah
sehat untuk selalu mengingat bahwa yang terkuat dapat menjadi
lemah dan yang paling bijaksana dapat salah] demikian kata-kata
bijak dari Mahatma Gandhi. Ungkapan tersebut dapat menjadi dasar
pemikiran bahwa pengelolaan yang demokratis dapat unggul
terutama di lingkungan global sekarang ini karena ledakan era
informasi sebagai akibat majunya teknologi mengakibatkan
perkembangan berpikir yang sangat dahsyat.
Pekerja biasa sekarang dapat mengakses informasi yang
sangat luar biasa dengan mudah dan dapat menjadi sumber
informasi dan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dengan
demikian, iklim tradisional yang selalu mengandalkan saluran
informasi dari atas ke bawah dapat menjadi usang.
Pemikiran ini menjadi lebih kuat apabila kita mengacu pada
pemikiran Harris dan Moran (2000) yang membuat desain baru
dalam pengorganisasian yang disebut sebagai ”meta-industrial work
culture”. Menurut mereka, pola organisasi yang efektif dalam
menggerakkan suatu lembaga adalah dengan karakteristik sebagai
berikut.
1. pengendalian yang lebih baik di lingkungan kerja
2. partisipasi dan keterlibatan yang meningkat
3. komunikasi dan berbagi informasi yang tinggi
4. penekanan pada semangat kewirausahaan di lembaga
5. kinerja yang tinggi serta produktivitas yang lebih baik

~ 40 ~
Dengan tujuan menciptakan pengelolaan yang mempunyai
karakteristik seperti itulah pemikiran tentang bagaimana
merevitalisasi pengelolaan penyelenggaraan BIPA.
B. Struktur Pengelolaan
Struktur pengelolaan lembaga penyelenggara BIPA harus
ditujukan untuk memperbaiki pelayanan. Dengan tujuan tersebut,
struktur harus dibuat sedemikian rupa agar peserta kursus merasa
pelayanan yang kita berikan mempunyai kepastian karena tidak
membingungkan sehingga kita yang menyelenggarakan kegiatan
belajar mengajar ini dapat diandalkan. Akan tetapi, pada
kenyataannya terdapat berbagai cara dalam pelaksanaannya. Yang
umum berlaku dilingkungan kita adalah dengan struktur berjenjang
yang panjang. Hal ini sekarang memang sudah dirasakan tidak
efisien bagi banyak lembaga. Ketidakefisienan ini tentunya apabila
dilihat dari sudut pelayanannya.
Birokrasi yang panjang sudah banyak dipangkas.
Debirokratisasi terjadi di mana-mana. Kantor polisi yang dulu
sebagai sumber kebingungan orang dalam mencari surat izin
mengemudi, misalnya, sekarang sudah tidak demikian. Bahkan,
kantor-kantor kelurahan dan instansi-instansi pemerintah sudah
tidak seperti dulu lagi. Otonomisasi menjadi wacana panjang lebar
sebagai sistem yang lebih modern daripada sentralisasi. Sayangnya,
otonom sering diartikan salah oleh banyak orang.
Otonom sering diartikan dengan pendekatan kewenangan
padahal arti otonom sebenarnya lebih dekat dengan kemandirian
atau kemampuan untuk menanggulangi permasalahan sendiri tanpa
tergantung pada pihak lain. Hal-hal yang disebutkan di atas
menegaskan kepada kita untuk membuat struktur pengelolaan lebih
datar atau horizontal karena stuktur pengelolaan yang demikian
akan dapat menciptakan pelayanan yang tidak terasa aneh bagi
orang asing. Meskipun demikian, struktur yang diajukan ini tidak
berarti tidak ada prosedur di dalamnya.
Prosedur tetap diperlukan untuk kontrol, terutama dalam
administrasi. Akan tetapi, peluang komunikasi harus dibuka seluas-
luasnya agar setiap unsur dalam manajemen dapat berkomunikasi
secara cepat. Dengan demikian, partisipasi dan keterlibatan individu

~ 41 ~
meningkat, demikian juga dengan kemampuan berbagi informasi
serta semangat kewirausahaan tentunya akan meningkat juga.

C. Pengorganisasian
Pengelolaan, pengorganisasian, atau manajemen pada
umumnya mempunyai siklus yang berkesinambungan dari
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Semua orang tentunya
mengetahui hal ini dan menerapkannya dalam mengelola lembaga.
Meskipun demikian, yang biasa berlaku di lingkungan kita,
pengelolaan biasanya dilakukan dengan pendekatan kewenangan.
Seorang direktur, misalnya, mempunyai kewenangan untuk
menentukan perencanaan dan bawahan melaksanakan sesuai
dengan keinginan atasan. Memang benar bahwa seorang direktur
mempunyai kewenangan itu. Akan tetapi, pelaksanaannya akan
sangat berbeda apabila pengelolaan bukan didekati dengan
kewenangan melainkan dengan memakai pendekatan partisipatif.
Yang dimaksudkan dengan pendekatan partisipatif di sini adalah
cara mengorganisasi harus dengan berorientasi pada kerja, bukan
pada kewenangan.
Contoh yang mudah dilihat adalah evaluasi kinerja yang
dikenal dengan DP3. Mekanisme yang terjadi adalah atasanlah yang
menilai bawahannya. Padahal, mekanisme evaluasi sebenarnya
dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya dengan melakukannya
dengan lebih demokratis, dengan evaluasi yang lebih bersifat
terbuka dan bukan hanya evaluasi dari seseorang saja.
Orientasi kewenangan ini terlihat menonjol misalnya dalam
hal perencanaan. Sering terjadi perencanaan dilakukan dari atas.
Memang benar banyak atasan menganggap bahwa kebijakannya
berdasar pada perencanaan dan perencanaan ini dari masukan orang
banyak. Akan tetapi, yang terjadi adalah kebijakan biasanya dimulai
dari atas dan bawahan tinggal melaksanakannya.
Indikator model perencanaan dengan orientasi kewenangan
ini terlihat dari jarangnya terjadi revisi perencanaan apabila
kebijakan perencanaan sudah diputuskan oleh atasan. Hampir
jarang terjadi suatu kebijakan dibuat dan direvisi. Ini menunjukkan
kewenangan lebih dominan daripada partisipasi antaranggota
organisasi.
~ 42 ~
Berbeda dengan perencanaan dengan orientasi kewenangan,
perencanaan dengan orientasi partisipatif lebih mengutamakan
peran kolektif anggota. Hal ini tidak hanya akan mempertinggi
produktivitas individu dalam tim, tetapi juga dapat mendorong
partisipasi semua anggota lembaga untuk mencapai kinerja yang
tinggi. Dengan orientasi partisipatif, tidak ada istilah “pokoknya
begini” atau “Bapak direktur ingin begini” karena perencanaan
harus berdasar pada evaluasi bukan pada keinginan atasan. Tidak
ada pemaksaan suatu kebijakan di sini.
Hal ini berarti revisi perencanaan dapat terjadi apabila hasil
evaluasi menghendaki perubahan dalam perencanaan sepanjang
perencanaan tersebut dari hasil evaluasi yang objektif. Kita dapat
saja mengatakan bahwa kita telah melakukan hal yang demokratis
tersebut, tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Sebagai
contoh adalah tentang ketentuan jam mengajar bagi guru di SMU.
Aturan di SMU menunjukkan bahwa seorang guru tidak akan
disertifikasi apabila tidak memenuhi jam mengajar 24 jam. Yang
terjadi adalah tidak ada evaluasi yang menimbulkan revisi di
sekolah dalam menentukan siapa yang mengajar dan berapa jam dia
dapat mengajar. Seorang guru boleh saja mengajar untuk memenuhi
24 jam dengan tidak memperdulikan kemampuan dan kebutuhan.
Seharusnyalah orientasinya bukan pada kewenangan seperti
itu. Dengan kata lain, orientasi bukan hanya berdasar ketentuan,
tetapi juga berdasar kebutuhan. Hal penting yang harus kita
pertimbangkan adalah bahwa semua revisi perencanaan berdasar
pada pertimbangan peningkatan pelayanan dan akan menjadi lebih
mutlak apabila yang kita layani adalah orang asing.
Orientasi yang lebih demokratis tersebut di atas tentunya
akan menciptakan pelayanan yang lebih baik yang berorientasi pada
kepuasan peserta kursus. Kitalah yang pandai-pandai mengelola
dengan memadukan kebiasaan dengan tuntutan pelayanan.
Kebiasaan yang terjadi di sekeliling kita menciptakan persepsi
pelayanan yang sering tidak kompatibel dengan tuntutan orang
asing, peserta kursus kita. Dengan demikian, siklus dari
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, revisi rencana dan kembali pada
perencanaan diawali dari bawah yaitu dimulai dengan analisis

~ 43 ~
permasalahan kemudian analisis tujuan, baru kemudian dengan
analisis peran, bukan peran dulu baru membuat perencanaan.
Hal ini tidaklah sederhana mengingat kebiasaan yang terjadi
di sekeliling kita. Hal ini pulalah yang menimbulkan revisi-revisi
terhadap langkah-langkah yang telah ditempuh. Dengan demikian,
muncul suatu langkah yang bukan pengawasan, tetapi
pengendalian; bukan menghakimi, tetapi memperbaiki karena
konsep demokratis lebih berorientasi pada tujuan yaitu output,
outcome serta kepuasan peserta kursus
Ukurannya kemudian adalah kinerja, bukan karena
kedudukan. Penyeleksian dan kesejahteraan berorientasi pada
kinerja. Hal ini tidak berarti menafikan faktor-faktor senioritas, masa
kerja, dan tingkat pendidikan. Faktor-faktor tersebut tetap menjadi
pertimbangan.
Misalnya, kesejahteraan bagi tenaga pengajar diperhitungkan
dari tingkat kompetensinya dan faktor-faktor lain seperti tiga hal
yang tersebut di atas menjadi tunjangan yang melekat dengan
sendirinya sejalan dengan tingkat masa kerja dan pendidikan.
Pertimbangan pentingnya penghargaan yang diwujudkan pada
peningkatan kesejahteraan kepada pertimbangan ketiga faktor di
atas adalah karena mereka jugalah yang mengangkat performance
lembaga.
Dengan demikian, yang dipikirkan adalah bukan distribusi
kewenangan, tetapi distribusi kerja. Dapat juga distribusi
kewenangan, tetapi ukurannya adalah masalah tanggung jawab dan
produktivitas, bukan kekuasaannya. Orang punya kewenangan
paling tinggi karena mempunyai produktivitas dan tanggung jawab
yang tinggi.
Pendekatan kewenangannya adalah dari sisi pelayanan,
bukan kewenangan yang dibagi-bagi, tetapi tugas yang dibagi-bagi.
Karena orang aktif dan produktif, kewenangannya menjadi besar.
Dengan kata lain, yang dibahas adalah perannya bukan otoritasnya.
Jadi, dalam pengelolaan pendidikan, terlebih dalam
penyelenggaraan pendidikan untuk orang asing, kita dituntut tidak
hanya mengkomunikasikan pelayanan dengan lebih demokratis,
tetapi juga diharuskan mempunyai budaya demokratis dalam
menjalankan roda pengelolaan. Dengan demikian, akan tercipta

~ 44 ~
budaya organisasi baru yang menciptakan pengelolaan yang lebih
baik.

ENGAGING STUDENTS IN LANGUAGE STUDY

Dr. Ismet Fanany


Deakin University Melbourne, Australia
ismet.fanany@deakin.edu.au

How to make classroom language teaching both effective and


interesting to students is a question teachers have long faced. Many
aspects of learning a foreign language involve memorization and
practice, a thorough understanding of rules, experience with
syntactic structures that can only be gained through repetition, and
so forth. While important and vital to mastery, this may not make for
engaging classroom activity. Nonetheless, the importance of keeping
students interested and paying attention cannot be overestimated
and is worthy of continuing discussion and innovation.
An important part of effective and engaging language
teaching is good curriculum, the aim of which is to lay out and
specify exactly what students should be able to use language for at
any given point in their study. There have traditionally been three
approaches to curriculum design for language teaching. Which is
most popular at a particular time has tended to shift with changing
views in associated fields like linguistics and education.
The content model (Classical Humanism) focuses o what is to
be learned, or transmitted to, the student. In the Classical Humanist
tradition, content is valued cultural heritage that will benefit the
student in terms of overall intellectual development. This content is
supposed to be agreed upon in the society in question, unchanging
and clearly identifiable. This has been the dominant model in the
western educational system in general but has received considerable
challenge in recent decades. In the case of language teaching, it has
been suggested that this model is inadequate as a basis for
curriculum design because it does not take into account the abilities
~ 45 ~
and problems faced by individual students or the complexity of the
learning process. It may also be difficult in practice to identify what
constitutes universally agreed upon information in the language of
study. Since the development of the communicative approach to
language teaching, this method of curriculum design has fallen out
of favor. Associated as it is with the grammar structural approach to
language teaching, it rarely holds a prominent place in language
courses anymore (Yalden, 1987; Stubbs, 2000).
The objective model (Reconstructionism) focuses, not on
content, but on the objectives to be achieved in a language program.
Reconstructionism, whose aim is to use education to achieve some
kind of social change, derives from the scientific management of
education and the work of behavioral psychologists. This model
offers clarity of goal, ease of evaluation, and accountability but has
been strongly criticized in that it reduces students to automatons
who are trained to behave in certain ways, precluding autonomy,
self-fulfillment, and personal development. In language teaching,
there has been a largely negative reaction to the sue of this approach
which is associated with the notational-functional method and
emphasis on needs analysis and the end goals of language teaching
(Byram and Feng, 2004).
The process model (Progressivism) focuses on the progress of
the individual student towards self-fulfillment with the development
of understanding, not just the passive receipt of knowledge. Its goals
are defined in terms of processes, not outcomes, and content is based
on principles derived from research on learning development and
the purposes of the educational experience. This model is based on
the concept of learner needs, interests, and developmental processes.
It has been criticized in that there are highly subjective. Nonetheless,
this model has given rise to the learner-centered curriculum,
although this cannot be considered mainstream in language teaching.
The model is associated with the communicative approach, as a very
broad entity, even though this is defined in terms of what is not
communicative, rather than what is (Breen and Candlin, 1980;
Yalden, 1987).

~ 46 ~
A mixed focus curriculum has largely taken hold in language
teaching that draws on the strengths of previous models. Concepts
that remain central, however, include needs analysis, emphasis on
process as well as product, focus on learner and learning, evaluation
at every stage, the need for interaction between and integration of
the different aspects of the design and implementation process.
Regardless of the approach to curriculum chosen, suitable materials
are necessary for any good language program.
Most language educators are concerned with the quality of
commercially produced textbooks, especially at the lower levels of
education where texts are often prescribed. This is part of the
dilemma faced by teachers in trying to make their teaching more
learner-centered. There is little research, however, on the exact role
textbooks and other materials play in the language classroom, but
two main views on this have emerged. First, some observers believe
that the role of textbooks is to compensate for teachers’ deficiencies
and to ensure that the syllabus is covered using well-planned
exercises. This deficiency view is based on an assumption that ‘good’
teachers always know what materials will be best for a given class
and have access to, or can create, these materials. It also assumes that
commercial materials, such as might be available, are ‘correct,’ in
terms of standards of natural and colloquial language use, and were
prepared according to sound principles of design. The contrasting
view, the difference view, sees material as transmitting decisions
about what should be learned that were made by someone other
than the teacher because of differences in expertise. That is, textbooks
are held to be designed by experts in language (linguists) for use as a
tool by practitioners (teachers). Both these views have been strongly
criticized as devaluing the professionalism of the teacher but
nonetheless represent the two predominant views in this area
(Tomlinson, 1998; Kouritzin, 2005).
Another function of materials is often overlooked. Materials
structure the language class and language program. Communicative
language classes are inherently unpredictable and potentially
threatening to students such that it is important there be some sort of

~ 47 ~
easily recognizable structure. Materials and textbooks can provide
this structure by introducing a routine related to how the materials
will be used and what students will do with them. This will reduce
the unpredictability and stress of the language class. It is also the
case that materials may allow for greater learner autonomy by
enabling them to know what to expect and making them able to take
responsibility for their own learning (Fanany, 2003).
Effective teaching materials tend to comply with the following
principles:
1. Language is functional and must be contextualized:
materials can provide insight into a range of social
situations with participants with different characteristics
and roles. This allows students to understand the real
meaning of an interaction.
2. Language development requires learner engagement in
purposeful use of language: materials should focus on
whole language. Study of grammar, for example, should
be how texts use the system to express meaning and
achieve certain purposes. Learners require explicit
discussion of language, and materials must be able to serve
as references for students outside of class and without a
teacher present.
3. Language use should be realistic and authentic: Modern
understanding of language demands that the materials
used for teaching represent authentic usage, rather than
the contrived and artificial usage in traditional textbooks.
The problem with using authentic materials, though, is
that they tend not to support the learning process and
quickly become unmanageable to students. For this reason,
materials have to be designed to be authentic-like.
4. Classroom materials will usually have an audio-visual
component: This reflects changes in technology more than
anything else. It is now possible to have students see and
hear real language use to a degree that is much more
significant than at any time in the past. Intonation,

~ 48 ~
gestures, facial expressions, posture, and so forth are all
essential aspects of communication that can help students
understand the verbal language they accompany. This also
allows for cross-cultural comparison.
5. Language learners need to deal with written language as
well as spoken language: reading materials normally cover
a range of genres. These materials will serve as models
which help students become familiar with different text
types. Writing in a foreign language is very difficult and
generally more rigid in terms of expectations for
grammatical and structural usage. Materials should be
chosen to permit students to see examples and begin to
understand the requirements of various genres.
6. Effective materials support learner autonomy: language is
context-dependent, and it is not possible to predict all the
language needs students will face. Materials must be
flexible and designed to develop skills and strategies that
can be transferred to other contexts.
7. Materials must be flexible enough to accommodate
individual and contextual differences: Language learning
is a largely individual process where students must
integrate new information into their existing language
system. Materials must permit individual interpretation
and variation in use.
8. Learning must be both cognitive and affective: Language
learning requires students to integrate new knowledge
into their existing language system (cognitive) but also to
express their own meaning and interpretations (affective).
Materials should be a starting point for this from which the
teacher and students can improvise and adapt (Fanany,
2003).
Regardless of the particular approach to curriculum and
materials development chosen for a given instructional program,
effective and engaging language teaching must have a basis in
research. As we learn more about individual learning styles, personal

~ 49 ~
motivation on the part of students linguistic effects that relate to
language mastery, and myriad other issues that contribute to the
success or failure of a student’s efforts to master a new language, it
becomes apparent that no teaching approach is yet perfect and that
approaches that may have served in the past can become inadequate
as conditions and student characteristics change. Without turning to
current research as a basis for change, we cannot judge what will be
the most beneficial path to take.
Nonetheless, a language program is not guaranteed to be
effective and engaging simply because its curriculum and materials
conform to good design principles and have been prepared in light
of up-to-date findings about the nature of language learning. At least
two other factors are of prime importance in achieving the results we
desire. The first of these is the ability and personality of the teacher.
Students are deeply affected by teacher manner. A teacher
who seems uninterested, reads straight from the textbook, and
speaks in a flat monotone tells students indirectly that the subject is
uninteresting and not worthy of their full attention. A teacher who
seems angry or appears to dislike the class increases students’ self-
doubt and inhibits participation. A teacher who seems timid, as if
afraid of the class, is not taken seriously by students who may feel
emboldened not to respond at all, talk to other students, and ignore
teacher directions.
While it is easy to say that a language teacher should be
friendly, happy, and confident regardless of the composition of the
class, the nature of the materials to be covered, and the activities
scheduled, it is, in fact, necessary for teachers to train themselves to
act in this manner. No one is a natural language teacher. The
demands of teaching a foreign language are somewhat different from
other subjects whose language of instruction is the students’ first
language, and language teachers simply cannot react to students in
the way teachers of other subjects do when students understand
every nuance of the language of instruction and are equal to the
teacher in terms of capacity for expression. Many students do not
like to speak in class, even when they can speak in their first

~ 50 ~
language. Many are unprepared, and many find the study of a
foreign language extremely difficult. The language teacher must be
aware of these things and must strive to create a classroom
environment where students are confident enough to speak
regardless of the errors they might make and where they know they
will always receive encouragement. The teacher’s manner must
convey to students that they can learn the language and are, in fact,
succeeding to do so.
While many teachers are naturally outgoing and open in
terms of personality, there is a special burden on the language
teacher to maintain this demeanor regardless of the situation. A
language teacher has to sense what the best way of dealin with
individual students might be. There are those students who are
severely lacking in self-confidence and must be treated extremely
gently. There are others who can be joked with, and there are also
students who respond best to a teacher who is friendly but serious.
There are no guidelines for knowing when to act in a specific way,
but language teachers by the nature of their subject, cannot not
consider students’ interaction needs and learn to adapt their own
behavior to try to meet these needs (Fanany, 2002).
One of the most pressing challenges for the language teacher
is what to do about error correction. In the language classroom, it is
often the case that virtually everything students say is incorrect in
some way, particularly at the beginning levels. Student utterances
may contain grammatical mistakes, structural mistakes, or mistakes
in word use. Students may use incorrect intonation of either words
or sentences or make mistakes in pronunciation. In other subjects, it
is the content of student utterances that teachers are concerned with,
not in most cases with the language used to express that content,
except in relation to specialized terms. In the language classroom, the
opposite is true. Teachers usually do not care what the content of a
student utterance is beyond its appropriateness to the discourse
stream but are very concerned with the form of expression, both
linguistically and socially. Students are also aware of this distinction,

~ 51 ~
even if they cannot express it, ad do feel inhibited because of it
(Fanany, 2002).
Another special challenge language teaching presents is that
students are often required to talk about themselves and give (at
least in form) information that classmates and teachers would not
normally know. Speaking a foreign language always requires a
number of varieties of language for use in formal and informal
contexts, and this almost always includes giving and requesting
personal information. Needless to say, students do not have to tell
the truth (although many do so because they feel that creating
information is also difficult) and should be told this explicitly.
Teachers must always be aware, especially at the beginning levels, of
putting students on the spot by requesting information they may be
unwilling to give. Sometimes dealing with this is as simple as
changing topic, rather than pursuing some point when the teacher
senses student reticence. At higher levels, it is possible to discuss
even the most controversial topics (although there is usually little or
no justification for choosing topics of this kind for use in a language
class) by phrasing question in impersonal terms or discussing the
topic with reference to information presented in the material and not
in relation to students’ personal experience or opinions (Fanany,
2002).
An aspect of teachers’ contributions to interaction in the
language classroom that is often overlooked is the degree to which
value judgments of some type are presented along with the material
to be covered. This seems to occur more frequently in the teaching of
some languages than others, possibly because of the political or
social policies of the societies that speak the language in question
relative to the origins of the students. In many cases, students do not
have the experience and general knowledge to evaluate value
statements and to differentiate them from statements of fact. Some
teachers feel that the inclusion of views, whether their own personal
ones or ones they attribute to society in general, is part of teaching
students about the culture of the country whose language they are
studying. Here may be some justification for this view at very

~ 52 ~
advanced levels of language study when students have the capacity
to distinguish between fact and opinion and perhaps have gained
enough background knowledge of the culture of study to make
independent judgments. At lower levels of language competence,
however, and for students who are younger and less experienced in
general, the inclusion of value-laden material in language classes is
inappropriate and may produce unintended detrimental effects to
learning (Fanany, 2002).
The second factor that is required in an effective and engaging
language classroom is a method by which students can be
encouraged to take an interest in the material and be responsible for
their own learning. The best way to do this is through an integrated
regime that links preparation (students’ responsibility) with
classroom practice (teachers’ responsibilities) and ensures a student-
centered classroom.
In recent years, a great deal of attention has been paid to
developing a student centered approach that makes students the
focal point of the foreign language class, rather than the teacher. In
many cases, this has been interpreted as being a situation where
students choose what to learn, how to learn, where to learn, and in
what ways to learn. In others, the term student centered applies to a
situation where students are actively involved in language classes,
rather than simply passive recipients of information given to them by
a teacher (Nunan, 1999). Student responsibilities, in these cases,
center mainly on in-class activities and emphasize participation
(Jones, 2000). Despite criticisms (particularly skepticism toward the
suggestion that students know what they want to learn and can
make informed choices about it), many aspects of this approach have
been found to be beneficial for language study (Nunan, 1999) and
have much to offer both students and teachers.
Nonetheless, as important as in-class activities and practices
may be in the process of learning a foreign language, what students
do by themselves before coming to class is vital to their success and,
in fact, will determine whether classroom activities can take place as
planned. The level and quality of student preparation will almost

~ 53 ~
entirely determine how a language class will run and, more
importantly, what students will gain from it. The role student
preparation plays in the Indonesian language program at Deakin
University is a good example of the way in which preparation
outside of class can be combined with classrooms practices to
achieve an approach to language learning that is student centered
and extremely effective in developing fluency and facility in the
language. Equally important, student preparation that allows for the
most effective participation and the most beneficial experience in
terms of language learning also contributes very significantly to a
language class that is engaging and capable of holding students’
attention for its entire length.
Successful language learners have developed strategies to
help them master set material and are able to use these strategies in
their own study (Jones, et al, 1987). The use of learning strategies as
preparation in the study of Indonesian has been highly developed at
Deakin, and experience has shown that, without specific training in
the appropriate learning strategies for use in preparing for class,
students are unable to take maximum advantage of classroom
activities and will not be able to participate at the required level. For
this reason, the type of preparation described here is a required part
of Indonesian language study at Deakin and hence considerably
more than simply instruction in learning strategies, although this is
included.
Indonesian language study at Deakin consists of one lecture
and two tutorials per week at the first, second, and third year levels.
Each of these classes is fifty minutes long. In addition, every student
is required to spend an additional hour a week engaged in
interactive, on-line exercises developed to accompany the textbooks
that were written by Deakin staff. There is relatively little classroom
contact for Indonesia at Deakin, and the program operates on the
principle that only activities that cannot be done by students without
the assistance of the instructor will take place in class. Anything
students can do by themselves should not occupy limited class time.
For this reason, the preparation requirements for Indonesian are high

~ 54 ~
and very specific, and materials have been written to provide
students with maximum opportunities for self-assessment and
checking.
As noted, Indonesian instruction at Deakin involves lectures
that students attend on a weekly basis. The lecture class is where
grammar and other language issues are explained and the only time
that English is used. Explicit grammar instruction has been found to
contribute significantly to high linguistic competence (Pachler, 1999),
and a thorough knowledge of both grammar and structure are
required if students are to be able to use the language (Roberts, 1992).
Experience at Deakin supports this view but has also suggested that
preparation is required for students to benefit from grammar
instruction. This benefit consists, not only of familiarity with and
hence the potential to better master the material, but also a greater
sense of confidence and ability that comes from having studied the
material in advance. Further, preparation and better performance in
the lecture tends to lead to increased confidence in and a better
attitude toward tutorials as well.
Students are expected to prepare for the grammar lecture so
they will be familiar with terminology used and with the examples.
New words or phrases used in the dialog or reading for the lesson
are repeated in the grammar section in order to explain their
structure and use. Students should know them and be prepared to
ask any questions they might have, as this is the only time English is
used. While it is important to avoid generating resentment and
frustration in students by allowing them to use English as part of
their study (Klapper, 1998), they must be given the opportunity for
meaningful interaction in the language of study as much as possible
(Stern, 1992). At Deakin, this is the basis for the division of languages
between lectures and tutorials. While there is a great deal students
can do to further their language mastery on their own, they cannot
engage in conversation in Indonesian and so all tutorial times is
devoted to this. Preparation for lectures and attendance at them is
part of the way students prepare for tutorials, but there are

~ 55 ~
additional methods students are expected to use to take part in
tutorials in a meaningful way.
The most important part of preparation at the first and second
year levels is the learning of dialogs that are contained in the
textbooks for these levels and that are used as the basic materials in
tutorials. Each conversation is printed in the textbook with a
colloquial English translation opposite. Dialogs are also available
online linked to recordings of the Indonesian version. Students are
expected to prepare for class by memorizing the section of dialog for
the day’s class. As students progress, they may not need to memorize
word for word, but they are required to know and be able to use all
new vocabulary presented, even if they eventually reproduce
sentences that are different from the originals.
The purpose of this type of preparation s to provide students
with appropriate model sentences and phrases they can use in other
contexts. A large part of natural discourse consists of whole phrases
that are rearranged by speakers to create new utterances (Rubin and
Thompson, 1983; Lewis, 1996), and learners have to be provided with
these components. A second purpose of this preparation is to give
students the confidence required to speak and use language in class.
This psychological benefit of preparation is very important in
ensuring the classroom environment is interesting and even fun for
students. It also helps to mitigate the effects of differences in
language ability and background because all activities presuppose
only mastery of the material set for the day and covered up to that
point. There is no benefit for knowing extraneous vocabulary, for
example, a common occurrence among students who have studied
Indonesian in high school. Successful tutorial performance (and
hence high marks for continuous assessment) relate only to the
ability to use the current material interactively and in a way
replicating natural speech.
At the third year level, the textbook consists of reading
passages taken directly from the Indonesian press. Short stories are
also included to begin to familiarize students with modern literature.
At this level, no memorization is required but students must read the

~ 56 ~
passage before class and understand in a general way the content
and all the words and phrases used. Because the key to being able to
use a foreign language in a real context is the ability to make
educated guesses and apply inferential logic to unknown
expressions, (Rubin, 1987), students are discouraged from using
dictionaries and other aids, although a partial list of new vocabulary
is provided at the end of each reading. In class, students discuss the
material contained in the reading using language they already know
and are assisted to improve their understanding of nuance by the
instructor. Again, the level of preparation required ensures that
students will not be surprised by new material in tutorials, which
would be very detrimental to their confidence, and can expect that
classroom activities will be based on what they have prepared. This
allows them to enjoy the tutorial because they do not have to worry
about being unable to participate if they have prepared.
It is important to note, however, that classroom interaction
based on the kind of preparation described above seems completely
unplanned from the students’ point of view. Three types of
interaction are demanded in class: factual information, based on the
content of the material; comparison, based on the students’ own
experiences; and opinion where students must express their own
ideas and view on the topic at hand. Sample questions of all three
types are provided in the textbooks but these are intended as a guide
to preparation. Instructors are not permitted to use these exact
questions in class, and typically a high level of preparation is
required on their part as well.
The aim then of this significant responsibility on the part of
students is aimed at making them responsible for a large part of their
own learning and also at guaranteeing the class does not “get stuck”
because students cannot or will not participate. Even though they
exact nature of interaction in class is new to students, the format is
exactly what they have been told to expect and, equally important,
its content always coincides exactly with what they have been told to
prepare. If even once classroom activities vary from what students
have been led to expect, their confidence suffers and they may very

~ 57 ~
well become unwilling to talk. If, however, they find that their
language classes always correspond to what they have been told to
prepare and, as a result, are never behind if they have done the work
that was scheduled, language classes become fun, lively, and
entertaining. A frequent comment among Deakin students is that
Indonesian classes are the only ones they enjoy from among their
university subjects. This very high compliment reflects the engaging
nature of Indonesian classes, is made possible by the strict regime
linking before class preparation on the part of students with in class
instruction, and testifies to the fact that language classes do not need
to be boring, stressful, and repetitive.
There are many other aspects of the topics considered there
that might be discussed, and a great deal more can be said about
preparation that the present context does not permit. It should be
noted, however, that a successful language program with engaging,
successful classroom practices can come about only through an
appropriate combination of attention to curriculum, materials,
teaching staff, and teaching protocols. It is best, of course, if all of
these are designed specifically to meet the goals of the particular
language program and if they are coordinated for mutual
reinforcement. Nonetheless, even with off the shelf materials (if they
are of good quality) and in a relatively rigidly structured teaching
environment, a great deal can be achieved through attention to
instructor characteristics and student responsibilities. They key,
however, to creating and engaging language classroom is the
creation of an environment that maximizing students’ potential to
succeed. Success, defined in this case as the ability and desire to use
the language of study, comes through confidence and a knowledge
that mistakes will be corrected in an appropriate manner, that each
student has the ability to participate, and that each persons’
contribution will be taken as equally valid. The unique nature of
language teaching means that the design of teaching has to make
these things possible as they cannot be assumed, and a great deal of
responsibility falls to the instructor in this context. An equally great
responsibility lies with students in taking charge of their own

~ 58 ~
learning, but they cannot do this unless they are shown how. This
step, though complex, is what allows for the type of classroom
environment described and is required for the engaging language
classes we all strive to provide.
References

Breen, MP and Candlin, CN (1980) “The Essentials of a


Communicative Curriculum in Language Teaching,” Applied
Linguistics, 1 (2): 89-112.

Byram, M and Feng, A (2004) “Culture and Language Learning:


Teaching, Research, and Scholarship,” Language Teaching, 37:
149-168.

Fanany, R (2002) “Teachers and Students in Language Classrooms:


Promoting Effective Interaction,” paper presented at National
LOTE Conference 2002, Melbourne, October 27-28, 2002.

Fanany, R (2003) “Language Teaching Methodology in the 21 st


Century,” paper presented at The Malay and Indonesian
Professional Development Workshop, Deakin University,
Melbourne, December 4, 2003.

Jones, B et al (1987) Strategic Teaching and Learning: Cognitive


Instruction in the Context Areas, Association for Supervision
and Curriculum Development, Alexandria, VA.

Jones, J (2000) “Teaching and Learning Modern Foreign Languages


and Able Pupils,” in Field, K, ed, Issues in Modern Foreign
Languages Teaching, Routledge/Falmer, London and New
York, 101-117.

Klapper, J (1998) “Language Learning at School and University; The


Great Grammar Debate Continues,” Language Learning Journal,
16: 18-22.

~ 59 ~
Kouritzin, SG (2005) “Methodology and Materials Design in
Language Teaching: Current Perceptions and Practices and
their Implications,” Canadian Modern Language Review, 61 (3):
441-443.

Lewis, M (1996) “Implications of a Lexical View of Languages,” in


Willis, J and Willis, D, eds, Challenge and Change in Language
Teaching, Heinemann, Oxford, 10-16.

Nunan, D (1999) Second Language Teaching and Learning, Heinle &


Heinle, Boston.

Pachler, N (1999) “Teaching and Learning Grammar,” in Mortimer,


P, ed, Teaching Modern Foreign Languages at Advanced Level,
Routledge, London, 93-116.

Roberts, T (1992) Towards a Learning Theory in Modern Languages,


Occasional Paper No 2, Institute of Education, University of
London.

Rubin, J (1987) “Learner Strategies: Theoretical Assumptions,


Research History, and Typology,” in Wenden, A and Rubin, J,
eds, Learner Strategies in Language Learning, Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, NJ, 159-168.

Rubin, J and Thompson, I (1983) How to Be a More Successful Language


Learner, Heinle & Heinle, Boston.

Stern, HH (1992) Issues and Options in Language Teaching, Oxford


University Press, Oxford.

Stubbs, M (2000) “Society, Education, and Language: The Last 2000


(and the Next 20?) Years of Language Teaching,” in Trappes-

~ 60 ~
Lomax, H, ed, Change and Continuity in Applied Linguistics,
BAAL and Multilingual Matters, Clevedon, 15-34.

Tomlinson, B (1998) Materials Development in Language Teaching,


Oxford University Press, Oxford.

Yalden, J (1987) Principles of Course Design for Language Teaching,


Cambridge University Press, Cambridge.

PENINGKATAN MUTU PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN


BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA) YANG
PROFESIONAL

Khaerudin Kurniawan
FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

Ketika tingkat peradaban manusia sudah sedemikian maju


dan tingkat perhubungan antarbangsa sudah sedemikian erat, maka
luasnya pemakaian dan banyaknya jumlah pemakai bahasa
Indonesia tidak dengan sendirinya merupakan jaminan bahwa
bahasa Indonesia dapat tumbuh dan berkembang menjadi salah satu
bahasa modern di dunia. Keketatan persaingan yang
multidimensional di antara bangsa-bangsa seharusnya menjadi
pendorong dan sekaligus pemicu bagi tumbuhnya kesadaran kita
bersama, masih perlu adanya upaya-upaya yang direncanakan
secara matang agar bahasa Indonesia diberi peluang yang seluas-
luasnya menjadi salah satu bahasa modern di dunia.
Salah satu peluang yang cukup terbuka di antaranya adalah
pengajaran bahasa Indonesia di luar dan di dalam negeri. Lewat
dunia pendidikan, sudah sejak lama bahasa Indonesia diajarkan
pada sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Eropa, Amerika,

~ 61 ~
Australia, dan Asia Timur seperti Jepang, Cina, dan Korea Selatan.
Bahasa Indonesia yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi (PT)
di luar negeri itu memperlihatkan tradisi yang berbeda-beda sebagai
akibat tingkat kemajuan yang beragam. Di Australia, misalnya,
pengajaran BIPA tampak semakin semarak sehingga peluang yang
amat potensial itu benar-benar dimanfaatkan dan dioptimalkan
upaya pengembangannya agar bahasa Indonesia benar-benar
mampu menjadi salah satu bahasa modern di dunia.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar
memiliki potensi besar untuk menjadi tempat utama pemasaran
barang dan jasa dari berbagai negara, apalagi dengan dimulainya
perdagangan bebas di kawasan ASEAN (sejak Januari 2003).
Bersamaan dengan mengalirnya barang dan jasa ke Indonesia,
kedudukan bahasa Indonesia dalam percaturan bisnis akan menjadi
semakin penting. Orang-orang asing, -- yang demi keberhasilan
transaksi bisnisnya perlu menguasai bahasa dan budaya Indonesia,
akan semakin banyak. Di sisi lain, perkembangan industri di
Indonesia yang semakin maju, termasuk industri pariwisata, juga
akan meningkatkan jumlah orang asing yang terdorong untuk
mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Semakin banyaknya
orang asing yang mempelajari bahasa dan budaya Indonesia, juga
dimungkinkan oleh kepentingan studi, misalnya, orang-orang asing
yang akan studi di tingkat sarjana (S-1), magister (S-2), dan doktor
(S-3), termasuk juga mereka yang ingin meraih profesi tertentu,
misalnya, sebagai guru bahasa Indonesia sebagai bahasa asing di
negara mereka. Untuk itulah perlu dirancang ihwal peningkatan
pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) yang lebih
profesional.
Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII (1998)
merekomendasikan perguruan tinggi dan/atau lembaga yang
menyelenggarakan pengajaran BIPA perlu mengembangkan
program dan bahan BIPA, termasuk metodologinya sesuai dengan
perkembangan pengajaran bahasa asing.
Demikian pula simpulan dan saran-saran KIPBIPA III di UPI
Bandung (1999, ketika itu masih bernama IKIP) mencatat hal-hal

~ 62 ~
berikut: (a) mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing
tidaklah sederhana karena ia tidak saja mempersyaratkan berbagai
pengetahuan dan keterampilan khusus seperti keakraban dengan
sistem linguistik bahasa Indonesia, tetapi juga mempersyaratkan
pengetahuan detail tentang aturan sosial penggunaan bahasa
Indonesia dan metodologi pengajarannya, (b) mempelajari bahasa
Indonesia sebagai bahasa asing berarti mempelajari dan menghayati
perilaku dan nilai budaya bangsa Indonesia, yang keberhasilannya
mensyaratkan upaya sungguh-sungguh dan keterlibatan penuh, (c)
pengajaran BIPA perlu dikembangkan secara profesional melalui
berbagai kegiatan penelitian yang dipandu dengan kaidah-kaidah
keilmuan yang baku, dan (d) pengajaran BIPA dicirikan oleh
berbagai kekhasan, termasuk keunikan dalam metodologi
pengajaran, bahan ajar, evaluasi hasil belajar, dan dukungan sistem
yang diperlukannya.
Permasalahan
Sampai sekarang, pelaksanaan Pengajaran Bahasa Indonesia
bagi Penutur Asing (BIPA) dilakukan oleh siapa saja yang merasa
diri sebagai penutur bahasa Indonesia atau oleh penutur asing yang
telah mempelajari bahasa Indonesia. Kenyataan itu kurang tepat,
karena untuk memiliki hak dan kemampuan mengajarkan bahasa
Indonesia, seseorang seharusnya memiliki latar belakang ilmu
pengetahuan dan keahlian berbahasa, sastra, dan budaya Indonesia
yang diperolehnya dalam studi formal dan memiliki kewenangan
akta sebagai tenaga pengajar. Permasalahan seperti inilah yang
sampai saat ini belum dimiliki oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia (Diksatrasia), walaupun para pengajar berlatar
belakang formal pendidikan bahasa dan sastra Indonesia cukup
memadai. Permasalahan lain adalah belum adanya kurikulum,
bahan ajar, fasilitas pendukung, dan kerja sama. Demikian juga
Jurusan Diksatrasia FPBS UPI, misalnya, yang memiliki kewenangan
mengajarkan BIPA, sampai sekarang baru sebatas menerima
“titipan” mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia di UPI,
baik program Darmasiswa maupun orang asing yang mendaftarkan
diri ke UPI untuk belajar bahasa Indonesia. Dalam kurikulum UPI
~ 63 ~
(2006), terdapat 16 sks mata kuliah perluasan dan pendalaman yang
dapat dipilih oleh calon guru Bahasa Indonesia bagi penutur asing,
yaitu (1) Bahan Ajar BIPA 3 sks, (2) Strategi Belajar Mengajar BIPA 3
sks, (3) Media BIPA 3 sks, (4) Evaluasi BIPA 3 sks, dan (5) Seminar
Pengajaran BIPA 4 sks.
Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian ihwal
peningkatan mutu pengajaran BIPA yang profesional, yaitu: pertama
tujuan pengajaran. Tujuan penutur asing yang belajar bahasa
Indonesia berbeda-beda karena latar belakang bahasa dan
budayanya. Mereka ada yang belajar untuk kepentingan riset, untuk
bekerja pada perusahaan asing yang berdomisili di Indonesia, atau
hanya sekadar untuk berkomunikasi secara lisan yang sederhana.
Mereka yang datang ke Indonesia ada yang telah belajar bahasa
Indonesia secara formal dalam jangka waktu tertentu, ada juga
karena mereka anggota klub Indonesia, ada yang orang tuanya
orang Indonesia tetapi mereka tidak pernah berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia, dan ada juga mereka yang betul-betul mencintai
Indonesia dengan keanekaragamannya.
Melihat tujuan penutur asing belajar bahasa Indonesia yang
beragam itu, maka tujuan umum Pengajaran BIPA adalah agar
pembelajar diharapkan memiliki pengetahuan dan kemampuan
berbahasa dan berbudaya Indonesia. Secara khusus tujuan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pembelajar memiliki kemampuan berbahasa secara
reseptif (menyimak dan membaca) dan kemampuan
berbahasa secara produktif (berbicara dan menulis) dalam
bahasa Indonesia;
2. Pembelajar memiliki pengetahuan tentang budaya, adat-
istiadat, dan sistem sosial masyarakat Indonesia dengan
keanekaragamannya;
3. Pembelajar memiliki kemampuan berbahasa Indonesia
untuk kepentingan pengembangan ilmu, komunikasi,
bisnis, dan profesi yang ditekuninya.

~ 64 ~
Kedua, penyediaan tenaga pengajar yang berkualifikasi. Ada
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian ihwal tenaga pengajar
BIPA.
1. Idealnya, tenaga pengajar BIPA adalah orang yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) dasar keilmuan
bidangnya, (b) visi pengetahuan yang luas, (c) minat dan
kepedulian yang tinggi, (d) kemampuan dalam strategi
pembelajaran bahasa dan budaya, (e) status ketenagaan
yang mapan, dan (f) memiliki kode etik sebagai pengajar
BIPA.
2. Dari kelima ciri ideal tersebut, tenaga pengajar BIPA
seyogianya: (a) memiliki kualifikasi akademik atau
memiliki dasar keilmuan dalam bidang pendidikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa asing, (b) memiliki visi yang
luas, peka, serta mampu mengakomodasi perubahan dan
perkembangan dalam berbagai bidang, (c) memiliki minat
dan kepedulian yang tinggi terhadap segala hal yang
berhubungan dengan pengembangan program BIPA, (d)
memiliki kemampuan dalam bidang strategi
pembelajaran, (e) menjadi bagian dari sebuah sistem
institusi formal yang memiliki kewenangan
menyelenggarakan program BIPA, dan (f) patuh terhadap
kode etik profesinya.
3. Karena sampai saat ini belum ada tenaga yang
berkualifikasi akademik seperti itu, maka staf pengajar
Jurusan Diksatrasia bisa berperan di dalamnya. Demikian
pula pengajar yang berlatar belakang pendidikan bahasa
asing dan bahasa Inggris, serta pengajar yang
berkualifikasi akademik seni, sastra, budaya, dan
humaniora. Melihat kenyataan yang ada di institusi (baca:
FPBS UPI), maka perlu adanya kolaborasi antara pengajar
yang berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia,
bahasa asing/Inggris, dan seni.
Ketiga, tersedianya kurikulum yang relevan. Kurikulum
PBIPA selayaknya berpedoman pada tujuan yang telah ditetapkan.

~ 65 ~
Kurikulum untuk mencapai gelar akademik tertentu akan berbeda
dengan kurikulum untuk pendidikan nongelar. Contoh yang
memperlihatkan perbedaan muatan kurikulum yang kontras ini
mengisyaratkan betapa pentingnya mengetahui motivasi pembelajar
terhadap pengajaran BIPA. Oleh karena itu, perlu dirancang
kurikulum yang beragam sesuai dengan kebutuhan, tujuan, dan
motivasi pembelajar.
Penguasaan kemampuan berbahasa yang sesuai dengan
harapan pembelajar merupakan komponen utama yang harus
senantiasa dipedomani dalam mendesain kurikulum untuk setiap
jenjang dan program pengajaran BIPA. Komponen utama itu akan
memberi arah pada penguasaan keterampilan berbahasa
(mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis).
Pengembangan selanjutnya yang bermuara pada empat jenis
keterampilan berbahasa itu akan sepenuhnya ditentukan oleh
pilihan para pembelajar dalam merintis karier akademiknya. Jenis
keahlian ini ada yang keluar dari konteks BIPA, tetapi masih tetap
berada dalam bingkai keindonesiaan. Kasusnya tampak pada
pembelajar yang memilih bidang-bidang ilmu seperti kebudayaan,
antropologi, sejarah, politik Indonesia, dan lain-lain. Dengan
demikian, kepentingannya terhadap pengajaran BIPA ialah
dimilikinya penguasaan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang
memungkinkan yang bersangkutan dapat melakukan studi lebih
lanjut, termasuk melakukan riset dalam bidangnya di Indonesia.
Di samping itu, variabel lain yang dipandang signifikan
adalah bahwa pengajaran BIPA hendaknya memperlihatkan
keterkaitan dengan koneks budayanya. Dengan mempertimbangkan
variabel itu, maka kurikulum BIPA harus didesain dengan niat
bukan saja untuk memberikan kemampuan dan keterampilan
berbahasa Indonesia secara lisan dan tulisan, melainkan juga
membekali para pembelajar dengan pemahaman terhadap
kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia secara umum.
Mereka perlu dibekali wawasan yang memadai ihwal
kebhinnekatunggalikaan yang dikaitkan dengan aspek kehidupan
sosial budaya masyarakat Indonesia.

~ 66 ~
Keempat, tersedianya bahan ajar. Bahan ajar BIPA berbeda
dengan bahan ajar Bahasa Indonesia – terutama topik dan informasi
kulturalnya perlu dikembangkan. Bahasa tidak akan pernah
diajarkan sekaligus. Oleh karena itu, seleksi bahan ajar yang
didasarkan pada keperluan dalam menyusun silabus, gradasi –
misalnya dimulai dari hal-hal yang mudah ke hal-hal yang sulit –
sangat diperlukan.
Bahan ajar berupa buku merupakan sarana utama, sekaligus
dapat dijadikan alat ukur untuk mengetahui isi dan mutu
pengajaran BIPA. Ada buku yang sangat komprehensif, setiap
komponen kebahasaan termuat di dalamnya: bacaan, penjelasan
kosakata baru, istilah, uraian ketatabahasaan yang diperlukan, dan
bagian evaluasi untuk mengetahui tingkat kemampuan pembelajar
terhadap bacaan. Dalam buku itu, muatan sosial budaya secara
bertahap dapat diintegrasikan ke dalam teks/bacaan.
Di samping buku sebagai sarana utama, perlu disediakan
sarana pendukung seperti laboratorium bahasa dan perpustakaan
khusus yang mengoleksi buku yang erat kaitannya dengan
pengajaran BIPA. Surat kabar dan majalah terbitan Indonesia pasti
dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendukung yang amat berharga.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
(infokom), yang berupa sarana internet, akan makin mempermudah
dan mempercepat para pembelajar dalam mengakses informasi pada
media massa Indonesia itu. Hasil rekaman dalam bentuk kaset, CD,
atau VCD tentu akan lebih mendukung keberhasilan pengajaran
BIPA dalam hal penyediaan bahan ajar ini.
Kelima, perlu adanya jalinan kerja sama yang harmonis
dengan berbagai pihak. Kerja sama yang lebih permanen perlu
diupayakan antara penyelenggara BIPA, dalam hal ini Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI, misalnya,
dengan penyelenggara BIPA di luar Indonesia. Memorandum saling
pengertian sebaiknya terus dilakukan dengan berbagai institusi,
pemerintah, swasta, industri, dan lain-lain. Hal itu sangat diperlukan
agar pelaksanaannya – menyangkut manajemen, sarana, dan dana –
tidak menghadapi kendala birokratis yang berarti.

~ 67 ~
Mengingat prospek pengajaran BIPA yang semakin baik di
masa depan, diperlukan manajemen program yang profesional.
Salah satu alternatif manajemen yang dapat diupayakan dan
dikembangkan adalah yang berpola kerja sama. Dengan pola kerja
sama ini dimungkinkan diadakan koordinasi pengembangan dalam
berbagai aspek (kualifikasi pengajar, kurikulum, bahan ajar, sarana
pendukung, riset, dan lain-lain) – guna meningkatkan kualitas
program BIPA.
Langkah pertama dalam hal jalinan kerja sama ini adalah
diterbitkannya buku informasi dan leaflet berkaitan dengan
pengajaran BIPA. Di dalam buku informasi dan leaflet tersebut berisi
hal-ihwal BIPA, seperti tujuan pengajaran, kurikulum, materi/bahan
ajar yang dikemas dalam setiap jenjang pembelajaran, tenaga
pengajar, mahasiswa, proses pembelajaran, media yang digunakan,
penilaian, sampai dengan biaya per program atau jenjang. Buku
informasi dan leaflet tersebut seyogianya diterjemahkan ke berbagai
bahasa asing, mengingat banyak mahasiswa asing yang belajar di
jurusan Diksatrasia berasal dari berbagai negara. Ketika para
mahasiswa kembali ke negaranya diharapkan mereka dapat
membawa buku informasi dan leaflet tersebut. Mereka dapat
menginformasikan lebih jauh kepada sesama warga negara tempat
mereka tinggal. Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat
dijadikan pertimbangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
dalam pengajaran BIPA. Mudah-mudahan pikiran ini dapat
memotivasi kita untuk terus berpacu mengangkat citra bahasa dan
budaya Indonesia di tengah percaturan dunia yang semakin
mengglobal.

~ 68 ~
NATIONAL SECURITY LANGUAGE INITIATIVE

Marmo
U.S. Department of Education
U.S. Department of State
U.S. Department of Defense
Office of the Director of National Intelligence

The National Security Language Initiative is designed to


dramatically increase the number of Americans learning critical need
foreign languages such as Arabic, Chinese, Russian, Hindi, Farsi, and
others through new and expanded programs from kindergarten
through university and into the workforce. An essential component

~ 69 ~
of U.S. national security in the post-9/11 world is the ability to
engage foreign governments and peoples, especially in critical
regions, to encourage reform, promote understanding, convey
respect for other cultures and provide an opportunity to learn more
about America and its citizens. To do this, Americans must be able to
communicate in other languages, a challenge for which most citizens
are totally unprepared.
To address these needs, under the direction of the President of
the United States, the Secretaries of Education, State, and Defense,
and the Director of National Intelligence (DNI) have developed a
comprehensive national plan to expand U.S. foreign language
education beginning in early childhood (kindergarten) and
continuing throughout formal schooling and into the workforce with
new programs and resources.
A.  U.S. Department of Education Programs
The Department of Education and its partners will focus
resources toward educating students, teachers and government
workers in critical need foreign languages, such as Arabic, Chinese,
Japanese, and Korean, and increasing the number of advanced-level
speakers in those and other languages. The Department of
Education's FY 2007 budget proposal included $57 million for this
initiative, a $35 million increase over FY 2006.
1.  The Foreign Language Assistance Program
The Department of Education proposed $24 million to create
incentives to teach and study critical need languages in K-12 by
refocusing the Foreign Language Assistance Program (FLAP) grants.
The program will be redesigned to target critical needs languages
and replicate the spread of innovative foreign language programs in
critical needs languages, especially those that use technology.
1. Contact: Cynthia Ryan, OELA, (202) 245-7140,
cynthia.ryan@ed.gov
2. Visit: http://www.ed.gov/about/offices/list/oela/index.html
2.  Advancing America Through Foreign Language Partnerships

~ 70 ~
The Department of Education proposed $24 million to create
partnership programs with school districts and colleges and
universities to build continuous programs of study from
kindergarten through university. The program will develop models
for a fully articulated program of language study for K-16 programs
in critical needs languages.
1. Contact: Anne Campbell, OPE, (202) 219-7000,
anne.campbell@ed.gov
2. Visit: http://www.ed.gov/about/offices/list/ope/index.html?
src=oc
3.  Language Teacher Corps
The Department of Education proposed $5 million to create a
Language Teacher Corps with the goal of having 1,000 new foreign
language teachers in our schools before the end of the decade. The
program would offer Americans with proficiencies in critical
languages opportunities to serve the nation by teaching languages in
our nation's elementary and secondary schools.
1. Contact: Holly Kuzmich, OPEPD, (202) 401-4903,
holly.kuzmich@ed.gov
2. Visit:
http://www.ed.gov/about/offices/list/opepd/index.html?
src=oc

4.  E-Learning Language Clearinghouse


A proposed $1 million nationwide Department of Education
E-Learning Language Clearinghouse would deliver foreign language
education resources to teachers and students across the country. This
Clearinghouse would provide a central repository for schools,
teachers, and the public to find materials and web-based programs in
critical needs languages developed by national resource centers, K-12
instructional programs, institutions of higher education and agencies
of the federal government.
1. Contact: Anne Campbell, OPE, (202) 219-7000,
anne.campbell@ed.gov

~ 71 ~
2. Visit: http://www.ed.gov/about/offices/list/ope/index.html?
src=oc
5.  Teacher-to-Teacher Initiative
The Department of Education would expand Teacher-to-
Teacher seminars through a proposed $3 million effort to reach
thousands of foreign language teachers. The program will seek to
improve the quality of foreign language instruction in middle and
high schools by featuring accomplished classroom teachers and
language specialists who will provide instruction in research-based
strategies and promising practices.
1. Contact: Carolyn Snowbarger, OESE, (202) 260-2598
carolyn.snowbarger@ed.gov
2. Visit: http://www.ed.gov/about/offices/list/ope/index.html?
src=oc
U.S. Department Of State Programs
State Department programs will provide new opportunities
for American high school students, undergraduates and graduate
students to study critical need languages abroad, and will strengthen
foreign language teaching in the U.S. through exchanges and
professional development. President Bush has requested $114 million
in FY 2007 for the NSLI, of which $26.7 million will support
programs managed by the Department of State. State has
implemented several pilot NSLI activities with redirected FY 2006
funding.
6.  U.S. Fulbright Student Program
Provides up to six months of intensive critical language
training before the regular Fulbright grant period begins. This year,
forty awards were made for study in Arabic, Indic and Turkic
languages. In 2007, will expand to include Chinese, Korean, Russian
and Persian languages. Open to Americans applying for the
Fulbright student program in selected countries where critical need
languages are spoken.
1. Contact: Heidi Manley, (202) 453-8534, fulbright@state.gov
2. Visit: http://us.fulbrightonline.org or www.iie.org
7.  Intensive Summer Language Institutes

~ 72 ~
Awards scholarships for intensive overseas summer language
institutes. In this summer's pilot program, there were 4,200
applications for 167 critical language scholarships for beginning,
intermediate, and advanced study in Arabic, Indic and Turkic
languages. Institutes in Chinese, Korean, Russian and Persian will be
added in 2007. Open to American undergraduate and graduate
students.
1. Contact: Heidi Manley, (202) 453-8534, nsli@state.gov
2. Visit: http://www.caorc.org/language
8.  Gilman Scholarships
Provides financial support to pursue overseas study in critical
need language countries in semester or one-year programs for
college credit. Supporting more than 200 students in 2006-2007. Open
to American undergraduates who are Pell grant recipients
(financially-needy).
1. Contact: Coleen Gatehouse, (202) 453-8887, GatehouseCN@
2. Visit: www.iie.org//programs/gilman
9.  Fulbright Foreign Language Teaching Assistants
Provides teaching assistants in critical need languages to U.S.
universities, colleges and high schools by bringing native speaking
teachers to the United States for one academic year at the beginning
of their careers. More than 200 critical language teaching assistants
have been placed in U.S. classrooms in 2006.
1. Contact: Fayette Hermann, (202) 453-8531,
HermannFL@state
2. Visit: http://www.exchanges.state.gov or www.iie.org
10.  Teacher Exchange
Provides critical-need language teachers to U.S. secondary
schools by bringing native-speaking teachers to the United States for
one academic year. Ten Chinese teachers and two Arabic teachers are
participating during the 2006-2007 academic year, and these numbers
will increase slightly for the 2007-2008 academic year. Also in 2007,
there will be opportunities for American teachers of Chinese to
undertake intensive summer study abroad.
1. Contact: : Paul Schelp, (202) 453-8864, pschelp@state.gov

~ 73 ~
2. Visit: http://www.exchanges.state.gov
11.  Youth Exchanges
a.  Summer Language Institutes
Provides U.S. high school students the opportunity to study
foreign languages abroad in intensive six- to eight-week summer
institutes. In 2006, 46 American students studied Chinese and Arabic
in Beijing, Amman, and Cairo, with plans for expanding the program
in 2007.
b.  Academic Semester or Year Abroad
Will provide U.S. high school students the opportunity to
spend high school semester or year abroad studying critical need
languages in Russia, China, Turkey, India, and the Arab world.
1. Contact: Dan Neher, (202) 453-8173, NeherDE@state.gov
2. Visit:
http://exchanges.state.gov/education/citizens/students
U.S. Department of Defense Programs
12.  Expanding the National Flagship Language Initiative
National Flagship Programs, administered by the National
Security Education Program (NSEP) are strategic partnerships
between the federal government and U.S. Institutions of Higher
Education to implement programs of advanced instruction in critical
languages.
Flagship Programs represent a national model for developing
a workforce of professionals with superior level proficiencies in
critical languages.
1. NSLI calls for increase to 2000 students in 2009-2010.
2. Nine Flagship Programs are already operational: Arabic:
Georgetown University; University of Maryland, College
Park.   Chinese: Brigham Young University, Ohio State
University, University of Oregon. Korean: University of
California, Los Angeles; University of Hawaii, Manoa.
Persian: University of Maryland, College Park.    Russian:
Byrn Mawr College/American Councils of Teachers of
Russian.

~ 74 ~
3. Flagship programs are already graduating students at ILR
Level 3 (Superior)
B.  FY07 NSLI Expansion Plans
1. Additional Flagship Programs in Arabic and Chinese
2. New Flagship Programs in Hindi/Urdu and Central Asian
Languages
3. Expansion of Flagship Model to include additional
Flagship Universities throughout U.S.
4. Expansion of K-16 Pipeline model to two additional
national model programs; initiate first national K-16 model
for Arabic
5. Expanded strategic and business plan to leverage federal
funding with private funding in support of Flagship
programs.
6. Contact: Ms. Stacia Falat, NSEP, 703-696-1991,
falats@ndu.edu
7. Visit: http://www.casl.umd.edu/nfli
C.  Civilian Linguist Reserve Corps (CLRC)
NSLI establishes a three-year pilot program for the
development and implementation of a Civilian Linguist Reserve
Corps (CLRC).
The CLRC will become an integral component of a broader
National Language Service Corps.
The mission of the CLRC is to provide and maintain a readily
available civilian corps of certified expertise in languages determined
to be important to the security of the nation.
The Department of Defense/National Security Education
Program (NSEP) has completed:
1. Feasibility Study
2. Operational Plan
3. Implementation Plan
The three-year CLRC Pilot Program will conduct proof of
principle, identify and recruit no fewer than 1,000 Members in a
National and Dedicated organization across at least 9 critical
languages by no later than 2010.

~ 75 ~
1.  CLRC Will
1. Match federal language requirements with CLRC member
skills
2. Ensure CLRC responsiveness to sponsor operational
requirements
3. Certify language proficiencies of all CLRC members
4. Establish and maintain skill certification
5. Provide CLRC members will appropriate incentives and
compensation
6. Provide program long-term sustainment
7. Establish a cost-effective approach to CLRC management
and operations
8. Contact: Robert Slater, NSEP, 703-696-1991,
slaterr@ndu.edu
Office of the Director of National Intelligence
2. STARTALK–A New National Initiative in Summer Language
Education

1. The principal DNI Initiative under NSLI consists of


establishing summer language study “feeder” programs,
grants and initiatives with K-16 educational institutions.
The program is called STARTALK.
2. The emphasis of the program is on less commonly taught
languages, such as Arabic, Chinese, Russian, Hindi, and
Farsi.
3. STARTALK will provide summer student and teacher
immersion experiences, academic courses, curricula, and
other resources for foreign language education in less
commonly taught languages.
4. STARTALK will begin with summer camp programs for
400 high school students and 400 high school and college
teachers in 5 states in 2007.
5. STARTALK will evolve to encompass all grades, with the
goal of reaching 3,000 students and 3,000 teachers in all 50
states by 2011.
6. As the program grows, it will add grants for instructional
materials and student scholarships.
~ 76 ~
7. At all phases, the STARTALK Summer Language Camp
Program will leverage heritage community and
Intelligence Community staff expertise, including retirees.
8. The National Security Agency will serve as the Executive
Agent for the Intelligence Community. The bulk of
funding and direction will be provided by the DNI.
Once implemented, funding for the program is projected to
grow from $5 million in FY 2007 to $20 million per year in 2010.
3.  Summary of Plans for Fiscal Years 2006 and 2007 Efforts
1. In FY 2006, formalize planning and preparation ($2.3M);
and
2. In FY 2007, implement STARTALK Summer Language
Camps for 400 high school learners and 400 high
school/college teachers in 5 states ($5M).
Back to the top
This site is maintained by the Bureau of Educational and
Cultural Affairs, U.S. Department of State. Links to other sites should
not be construed as an endorsement of the views contained therein.

PERAN LEMBAGA PERWAKILAN INDONESIA  DI LUAR


NEGERI DALAM PENGEMBANGAN BIPA DENGAN
PENDEKATAN BUDAYA

Nandang Aradea dan Wan Anwar *)


 
Mengapresiasi tema Menggalang Citra Indonesia Melalui BIPA
dalam Semiloka Internasional Pengajaran BIPA yang digagas Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional kali ini, nampak kental
dengan beban politisnya. BIPA diposisiskan sebagai mediasi
diplomasi kebudayaan dalam strategi membangun citra Indonesia .
Bagaimana melalui BIPA, buruk rupa wajah Indonesia yang
disebabkan krisis ekonomi 1997-1998, situasi politik kerusuhan Mei
1998, krisis Timor Timur, isu terorisme, Tsunami Aceh, gempa Nias
~ 77 ~
dan Yogya, pembunuhan Munir, ketidakpastian hukum, sebuah
negera  terkorup di dunia, bencana lumpur Lapindo, tayangan atau
pemberitaan Indonesia  yang menyudutkan oleh media massa di
dunia, ---dapat melakukan opersi wajah  untuk dicitrakan sebagai
wajah yang cantik dan memiliki pesona.
Padahal di satu sisi, keadaan sulit demikianlah yang membuat
BIPA tidak berkembang. Budayawan Ajip Rosidi yang memiliki
banyak pengalaman mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di
Jepang, mengatakan bahwa pengaruh ekonomi sutau negara
berperan besar terhadap minat seseorang untuk mempelajari bahasa
dan budayanya[1]. Dia mencontohkan, dalam dekade sekarang ini
perekonomian RRC kian menguat, minat mempelajari bahasa dan
kebudayaan Cina kian besar pula, terbukti dengan berbagai
universitas-universitas di seluruh  dunia memperbesar lembaga
untuk bidang telaah kecinaan. Begitu pun ketika perekonomian
Jepang mengagumkan, untuk mempelajari bahasa Jepang dan
budayanya pun berkembang dengan hebat.
Lebih jauh, hubungan ekonomi dengan keeksistensian suatu
program studi keindonesiaan di negara-negara maju pun
menghadapi sejumlah masalah. Ajip menuturkan bahwa bukan saja
ambruknya ekonomi  kita, tetapi disebabkan pada tahun 1990-an itu,
perekonomian negar-negara maju pun mengalami resesi ekonomi
dan berdampak pada pemangkasan  anggaran untuk perguruan-
perguruan tinggi di negara-negara tersebut, dan telaah
keindonesiaan tentu saja program yang pertama kena gusur,
ditutup.
 Selain ekonomi, menurut para ahli BIPA seperti Ismet Fanani,
Widodo Hs., dan Nyoman Riasa dalam Konferensi Internasional
Pengajaran BIPA (KIPBIPA) VI, 11-14 Juli 2006 di Banten, kian
membesarnya  isu terorisme di Indonesia telah menimbulkan
persepsi  negatif pada siswa tentang Indonesia. Para siswa
memandang bangsa Indonesia adalah bangsa yang biadad dan keji,
mereka tidak bisa melihat manfaatnya lagi belajar bahasa Indonesia ,
baik dari sudut pandang ekomomi maupun budaya. Demikianlah,
faktor jaminan keamanan sebuah negara telah menambah 

~ 78 ~
problematik kebipaan kita, di samping masalah internal dalam BIPA
itu sendiri.
 BIPA dengan sejumlah masalah internal dan eksternalnya,
kali ini kita hadapkan kembali pada beban politik. Pada tataran ini
nampak lebih ideoligis, yakni bagaimana BIPA menjalankan
diplomasi kebudayaan. Pemikiran ini, sebenarynya sudah
diapungkan dan menjadi wacana sejak Menteri Luar Negeri Mochtar
Kusumahatmaja. Tengok saja dalam Diskusi Panel Diplomasi
Kebudayaan di TIM yang dilaporakan Kompas beserta  tajuknya
(Jumat, 28 Agustus 1987). Menurut Muchtar dalam diskusi tersebut,
untuk melaksanakan diplomasi kebudayaan yang lebih mendasar
dan berjangka panjang, perlu ada kegiatan-kegiatan yang mendasar.
Salah satunya adalah pengajaran bahasa Indonesia melalui
perwakilan-perwakilan tertentu untuk masyarakat setempat.
Alasannya, karena bahasa Indonesia selain sebagai alat komunikasi,
bahasa juga sebagai jiwa budaya sebuah bangsa[2].
Masih dalam laporan Kompas, panelis diplomat Ilen
Surianegara, menuturkan bahwa bahwa gambaran diplomasi
kebudayaan Indonesia tak sekedar pengiriman  rombongan kesenian
atau pameran kebudayaan ke luar negeri. Untuk melaksanakan
diplomasi kebudayaan, terlebih dulu dirumuskan politik
kebudayaan, ini menjadi peluang dan tantangan bagi daya cipta
budayawan. Berdasarkan politik kebudaytaan itu, disusun badan
yang bertugas untuk menangani seluk beluk kebudayaan luar
negeri. Salah satu tugasnya melatih tenaga-tenaga pengembangan
kebudayaan. Bahkan, pendekatan kebudayaan dalam politik luar
negeri memerlukan diplomat yang bukan hanya cerdas, lincah, dan
menguasai bahasa asing, melainkan peka terhadap terhadap hakikat
kehidupan. Yakni mereka yang sadar bahwa kebudayaan adalah
jawaban terhadap kebutuhan paling luhur manusia. Demikian, Ilen
berargumen lebih jauh tentang esensi diplomasi kebudayaan.
Masalah diplomat ini, mendapat kritikan tajan, Ajip Rosidi
memberikan pandangan bahwa pada umumnya diplomat kita buta
budaya dan tidak menaruh perhatian sedikit pun akan

~ 79 ~
perkembangan bahasa dan sastra atau pun kesenian bangsa—seperti
umumnya para pejabat kita yang lain[3].
Sementara itu, menurut panelis berikutnya, menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan (Kompas, 28 Agustus 1987)
mengatakan wujud yang diharapkan dari sebuah diplomasi
kebudayaan adalah sebuah pertemuan budaya antar bangsa. Dengan
pertemuan dua budaya itu, terjadinya saling kenal, saling
menghormati dan saling mempercayai. Karena selama ini lanjut
Fuad, terkesan kuat bahwa banyak tegangan antar bangsa dan
sengketa internasional disebabkan karena saling tak percaya dan
saling curiga. Bahkan seringkali salah paham karena persepsi yang
berangkat dari stereotif persepsi dan serba prasangka. Dengan
pemikiran itu, diplomasi kebudayaan dapat disimpulkan adalah
semacam pendekatan yang secara berangsur akan mengubah dan
menciptakan tatanan  baru dalam hubungan internasional.
Sebagai warga dunia yang hidup di kampung global, yang
hidup dijagat yang saling terkait, pendekatan kultural menjadi ajang
untuk saling menyayangi, menghormati, saling membantu dan
menghargai. Ini penting, sebab globalisasi telah mengkontruksi kita
untuk saling mengekspoitasi. Dan, dengan pendekatan budaya,
situasi kehidupan multikultiural telah menjadi bagian penting dalam
tuntutan kehidupan kamanusiaan masa kini, baik dalam lingkungan
lokal, nasional ataupun global. 
Beberapa contoh pelakonan khasanah produk-produk seni
budaya merupakan formula  yang kongkrit dalam keluhuran nilai-
nilai budaya lawan kekerasan manusia. Perdana Menteri Sutan
Sjahrir menggelar pameran seni rupa ketika terjadi perlawanan yang
menggemparkan dan terbunuhnya Jendral Mallabay dalam revolusi
fisik mempertahankan kemerdekaan, pikiran-pikiran budaya C.
Snouck Hurgronje dimanfaatkan pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia. Bahkan lebih dari itu, kehebatan politik kolonialisme
Belanda mengoprasikan diplomasi budayanya, rakyat dibutakan
melalui dari kebudayaan sekolah, menjalankan penjajahan dan
eksploitasi  tanpa mengagetkan nilai-nilai budaya asli. Dalam

~ 80 ~
konteks ini Dami N. Toda melihat, bagaimana falsafah keprihatinan
Jawa berhasil dijadikan keprihatinan menderita hidup layak
“sebenggol sehari” di bawah kebijakan kolonialisme. Kehebatan
budaya Jawa dan keunggulan raja-rajanya, berhasil dijinakan.
Jelas sekali, diplomasi budaya merupakan langkah-langkah
strategis yang sudah lama dipraktekan dan diyakini sebagai langkah
strategis dan sudah seharusnya. Tulisan ini  difokuskan pada hasil
amatan penulis pada strategi diplomasi budaya pada Perwakilan
Indonesia (KBRI Moskow --Rusia) ketika berperan dengan beberapa
perguruan tinggi di negara Federasi Rusia, semisal bersama: Institut
Asia Afrika, Institut Hubungan Internasional, Institut Ketimuran dan
Institut St. Petersburg. Bagaimana kreativitas KBRI Moskwa
melakukan peran diplomasi budaya ketika bersinggungan dengan
program studi telaah keindonesiaan di berbagai Institut atau
Universitas di Moskwa, Federasi Rusia.
A. Hubungan Budaya Indonesia-Rusia
Di masa lampau, kedua bangsa memiliki hubungan kultural
yang tak terbantahkan. Tengok saja misalnya, sastrawan Ivan
Goncharov telah menulis tentang Jawa dalam salah satu bab
karyanya, “Friggate Pallada”. Begitu pun deretan sastrawan abad XX
seperti Ivan Bunin, Valery Bryusov, Konstantin Balmont
menorehkan eksotisme budaya Nusantara dalam karya-karyanya.
Borobudur,gamelan, tarian sampai pantun menjadi idiom dalam
puisi-puisi mereka.
Selain sastrawan, beberapa ilmuawan Rusia pun telah
mememberikan pemahaman tentang Indonesia kepada masyarakat
Rusia, sekedar menyebut beberapa nama Laksamana I.F Kruzhenten
dan V. Tatarinov memperkenalkan tentang temuan kepulauan
Nusantara, N. Niklokho Maklay melakukan penelitian tentang
biologi dan spesies tumbuhan di Papau, dan hasilnya menjadi
rujukan ilmuawan Rusia hari ini.
Pemahaman tentang Indonesia tak bisa lepas dari sejarawan,
A.A. Guber. Menurut Dr. V. Pogadaev, Guber merupakan sejarawan
Rusia yang secara khusus menulis tentang Indonesia. “Guber bukan
~ 81 ~
saja memebrikan arah kepada penyelidikan Indonesia di Rusia tetapi
juga mendidik ahli-ahli baru… yang meneruskan jejaknya dan
menghasilkan banyak karya penting tentang sejarah, politik,
ekonomi, bahasa dan budaya Indonesia”.[4]  
 Hubungan pada wilayah politik, Uni Soviet mengakui
kedarulatan RI pada tangal 26 Januari 1950 dan bukan hubungan
diplomatik awal tahun 1954. Ini sebagai awal simapati masyarakat
Rusia terhadap NKRI. Dukungan ril bangsa Rusia di forum
Internasional dalam sidang DK PBB, 7 Februari 1946 bahwa
persoalan Indonesia adalah persoalan internasional, yang sementara
itu Belanda dan Inggris memandang bahwa masalah Indonesia
adalah masalah dalam kerajaan Belanda.
 Dalam kunjungan pertama Soerkarno ke Uni Soviet selama 14
hari menghasilkan dukungan konsep ko-eksistensi damai Uni Soviet
sebagai landasan hubungan bilateral kedua negara. Dukungan Uni
Soviet tidak hanya politik tetapi juga militer, terutama ketika operasi
pembebasan Irian Barat dari Belanda. Berbagai perlengkapan perang
bantuan Uni Soviet besar-besaram dengan syarat pengembalian yang
lunak.
Tragedi 30 September, memposisikan hubungan Indonesaia
Rusia pada titik yang paling rendah. Kebijakan RI selama Orde Baru
menjadikan trauma histories-ideologis sebagai garis batas hubungan
kedua bangsa. Pengkajian ulang kebuntuan hubungan kedua bangsa
mencair kembali ketika Gorbachev mengggulirkan glasnost dan
perestroika. Menjelang rezim Orba tumbang, Soehartio sempat
berkunjung ke Moskwa untuk merencanakan membeli pesawat Su-
30K dan helikopter. Bantuan urung akibat kriris ekonomi yang juga
melengserkan Soeharto.
 Pasca Orde Baru, pemerintah Indonesia dari sejak Habibie,
Gus Dur, Megawati dan SBYmenunjukan hubungan kedua negara
kian meningkat. Habibie pernah berdebat dengan ahli teknologi
Rusia, Gus Dur memberikan kebijakan untuk para eksil bisa kembali
ke Indonesia, Megawati membeli pesawat Sukhoi, Demikian juga
rencana SBY untuk memborong perlengkapan militer dari Rusia.

~ 82 ~
Politik, ekonomi, turisme, kegiatan seni dan budaya yang kondusif
dan produktif, jumlah mahasiswa yang berminat pada telaah
keindonesiaan pun kian meningkat.
Dewasa ini kaum intelektual Rusia yang mempelajari
Indonesia dan pakar kebipaan tersebar dalam berbagai disiplin ilmu.
Nama-nama seperti Prof. V. Tsyiganov, Prof Oglobin, Dr. Viktor
Pogadaev sangat aktifdalam penelitian-penelitian sejarah. Ahli-ahli
bahasa dan sastra seperti Prof. Teselkin, Prof. Sikorsky, dan Dr.
Lyudmila Demidyuk, Dr. Swetlana V. Banit, Dr. Veronika
Novoseltseva dan lain-lain. Di bidang ekonomi dan politik, juga kita
temukan Prof. I Efimova dan Dr. Yuri Drugov.
Para Indonesianis inilah yang  mewariskan pemahaman
Indonesia kepada generasi baru Rusia.
Untuk memahami peran Lembaga Perwakilan Indonesia di
Luar Negeri, dalam tulisan ini dipetakan berbagai program yang
sudah dilakukan oleh  Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
Moskwa dengan beberapa perguruan tinggi di negara Federasi
Rusia, semisal: Institut Asia Afrika, Institut Hubungan Internasional,
Institut Ketimuran dan Institut St. Petersburg.
Menurut pengakuan Indonesianis, Prof. Drugov disela-sela
Orasi Budaya pada Agustus 2002 di Gedung Persahabatan Bangsa-
Bangsa (Druzba), hubungan Indonesia-Rusia, baik secara politik atau
pun ekonomi mulai “intim kembali” di tangan Duta Besar Rachmat
Witoelar (1993-1997). Sekalipun periode Rachmat masih  zaman
Orde Baru, tetapi dia sudah membaca tanda-tanda perubahan politik
di Indonesia dan Rusia, dia melakukan terobosan-terobosan yang
dibantu istrinya, Erna Witoelar. Ia  mengadakan berbagai  strategi
kebudayaan dalam bentuk kegiatan yang disinergiskan dengan
universitas-universitas dan institut yang membuka program Studi
Kajian Indonesia. Hubungan initim ini, dari tahun ke tahun
mendongkrak kian bertambahnya jumlah mahasiswa yang berminat
pada telaah keindonesiaan, sementara di Belanda dan Jepang
menurut Ajip Rosid kian berkurang bahkan banyak yang ditutup
(2006:101).[5]

~ 83 ~
Diplomasi budaya yang dirintis Rachmat Witoelar sebagai
Duta Besar dan dilanjutkan tiga Duta Besar berikutnya (Tjahjono,
Jhon Ario Katili dan Susanto Pudjomartono), benar-benar dapat
mengingatkan kembali orang-orang Rusia tentang Indonesia.
B.   Program KBRI Moskwa
Beberapa program KBRI Moskwa yang menunjukan
bersentuhan langsung dengan para mahasiswa yang  sedang
mempelajari telaah keindonesiaan. Program-program tersebut
adalah berikut ini.
1.   Pekan Budaya Indonesia
Untuk memperingati 17 Agustus, selain agenda jamuan
diplomatik, secara rutin tiap tahuan diadakan Pekan Budaya
Indonesia . Kegiatan ini  berupa pembacaan karya sastra, pemutaran
film, festival makanan Indonesia, festival batik, peragaan busana,
pameran pengobatan herbal, festivak teh, pameran seni rupa,
pertunjukan tari, pertunjukan musik tradisi dan populer. Para
mahasiswa telaah keindonesiaan dilibatkan sebagai peserta atau
panitia. Dengan keterlibatan mahasiswa seperti ini dapat membantu
penguasaan bahasa dan wawasan keindonesiaan secara langsung.

2. Kajian Keilmuan dan Budaya


Pada tahun 2000 KBRI menyelenggarakan seminar yang
bertajuk, Seminar Sejarah 50 Tahun Hubungan Indonesia Rusia. Seminar
ini sangat monumental dan berdampak luas, terbukti dengan
banyaknya para Indonesianis dan mahasiswa kajian Indonesia
banyak terlibat sebagai pembicara dan peserta. Selain itu, para pakar
Rusia yang berasal dari Indonesia tak ketinggalan diundang sebagai
pembicara. Diskusi bulanan dan orasi ilmiah budaya menjadi
peristiwa rutin dalam mengambil momentum peringatan hari-hari
nasional.
3.  Pelatihan dan Workshop Seni Tradisi

~ 84 ~
Pada awal tahun 2004 KBRI mengundang  4 orang seniman
tradisi (gamelan, tari, silat) yang berasal dari ISI Yogya. Kempat
seniman itu memberikan pelatihan dan workshop bagi para
mahasiswa kajian Indonesia dari Institut Asia Afrika  selama 6 bulan.
Mereka belajar di ruang latihan KBRI setelah perkuliahan atau
terkadang pada hari Sabtu dan Minggu. Hasil latihan ini
ditampilkan dalam festival seni tradisi musim panas di Tchaikovsky
Conservatory. Dalam kelas-kelas latihan ini secara tidak langsung
para mahasiswa mengenal dan belajar bahasa Indonesia yang
beragam dialeknya ketika terjadi komunikasi dengan para instruktur
workshop
4.  Lomba Menulis tentang Indonesia
Pemenang lomba menulis ini tentang Indonesia ini dikirim ke
Indonesia untuk mengadakan kunjungan singkat (satu bulan)
dengan difasiltasi kedutaan. KBRI bekerja sama dengan traveling
Indonesia untuk tiket dan akomodasinya. Selama kunjungan di
Indonesia mahasiswa diberi program untuk mengunjungi sebuah
universitas dan sebuah sanggar  seni. Dalam kunjungan itu
mahasiswa mempelajari sebuah karya seni, tari misalnya.
Sekembalinya ke Institut di Moskwa, mahasiswa tersebut
memberikan pengalaman belajarnya kepada mahasiswa lainnya.
5.  Penilaian dan Penghargaan Mahasiswa Berprestasi
Di akhir tahun pelajaran mahasiswa di uji kompetensi
berbahasanya. Bentuk ujian itu berupa tampilan mahasiswa, yang
dikemas dengan istilah Malam Indonesia . Mereka membaca puisi,
berpidato, bermain drama, memainkan gamelan. Penampil terbaik
mendapat penghargaan dari KBRI. Duta Besar atau Kabid
Pensosbud terlibat langsung dalam memutuskan untuk memilih
penampil terbaik itu.dan memberikan penghargaan. Dengan
penghargaan ini,  para mahasiswa dapat termotivasi untuk
menunjukan hasil terbaik belajarnya.
6.  Open House

~ 85 ~
Perayaan hari-hari besar seperti Idul Fitri dan resepsi
diplomatik 17 Agustus para mahasiswa diundang untuk beramah
tamah dan mencicipi berbagai jenis masakan Indonesia . Tradisi ini
memperkaya para mahasiswa dalam tradisi hari besar Indonesia
dengan berbagai jenis makanannya.
7.  Festival Seni Tradisi Rusia
KBRI sering diundang dalam festival seni Foklor Rusia.
Dalam kegiatan ini para mahasiswa kajian Indonesia dilibatkan,
terutama mereka yang sudah mengikuti workshop-workshop seni
yang diprogramkan KBRI. Sampai sekarang memiliki kalender
tampil rutin di Tjaikovsky Conservatory dengan tajuk seni tradisi.
8.  Penerjemahan Karya Sastra Indonesia
Karya sastra yang menjadi canon karya sastra Indonesia
diterjemahkan. Prof. Sikorsky sangat produktif menerjemahkan
karya-karya sastra Indonesia , baru-baru ini ia menerjemahkan sajak-
sajak Rendra.. Dalam peluncuran hasil terjemahannya KBRI
dilibatkan.
9.  Penerbitan Buku dan Jurnal Bulanan
Makalah-makalah hasil Seminar 50 tahun Hubungan
Indonesia Rusia dijadikan buku.Para mahasiswa lulusan terbaik
diminta terlibat untuk menjadi pembicara dan menuliskan
makalahnya. Jurnal Indonesia adalah jurnal bulanan yang terbit
dalam dua bahasa, Indonesia dan Rusia. Para mahasiswa sebagai
pelanggan rutin pembaca jurnal ini.
10.  Perpustakaan
Perpustakaan KBRI kian lengkap setelah Dubes Susasnto
mendatangkan buku berkontener-kontener. Dia memiliki jaringan
yang kuat dengan beberapa penerbit Indonesia . Bahkan Dubes
Susanto menyumbang ribuan judul untuk perpustakaan Biblioteka
Lenina. Selain buka juga berbagai koleksi film Indonesia dan film
documenter berbagai budaya lokal Indonesia , seperti pembuatan

~ 86 ~
gamelan, pembuatan gerabah, tentang tumbuhan dan satwa tropis,
dan sebagainya. Perpustakaan menjadi pusat belajar kedua para
mahasiswa di luar kampus.
 Usaha-usaha KBRI Moskwa melaului program-program di
atas, baik langsung atau pun tidak langsung dapat membantu para
mahasiswa secara alami dan praktis mempelajari bahasa dan budaya
Indonesia . Sekalipun modusnya terbilang tradisional, tetapi
program-program tersebut dapat tergambarkan bagaimana konsep,
kebijakan dan strategi kebudayaan dapat dijadikan gerakan politik
kebudayaan Indonesia pada tingkat dunia. Pemberian pengalaman
ekspresif, kreatif, estetik dan kultural secara langsung dapat
meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam minciptakan tatanan
kehidupan Indonesia yang multikultural. Belajar bahasa Indonesia
merupakan realitas sosial bahwa pluralisme masyarakat Indonesia
berbicara bahasa Indonesia dengan pola pikir, pola hidup, dan
berdasar nilai etnisitas yang menunjukan sifat-sifat komunikasi
keindonesiaan berbasis ragam etnis. Keragaman suku di Indonesia
dapat dilihat sebagai perbedaan, yang masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Perbedaan itulah yang dipelajari secara
silang budaya agar mahasiswa melihat nilai-nilai psikologi
masyarakat Indonesia . Dengan pendekatan budaya, mendekatkan
mahasiswa pada persoalan sosok manusia Indonesia dengan segala
problematika kehidupannya.
Tata pergaulan antar bangsa dan antar budaya yang makin
cepat, bebas dan terbuka tidak dapat dielakan lagi. Konsep,
kebijakan dan strategi kebudayaan Indonesia di luar negeri
berdasarkan konsep budaya yang multicultural, kebijakan
kebudayaan yang berhubungan dengan negara dan masyarakat
tanpa eksploitasi, dan strategi kebudayaan yang dapat dijadikan
pendekatan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi
dan politik dalam berbangsa dan pergaulan antrabangsa.
Usulan kehadiran lembaga kebudayaan dalam Kongres
Kebudayaan tahun 1951, Mohammad Yamin pernah mengusulkan
tiga model atau bentuk kelembagaan, yaitu (1) dilakukan oleh

~ 87 ~
kelembagaan pemerintah, (2) dilakukan oleh kelembagaan di
masyarakat, dan (3) dilakukan oleh lembaga campuran antara
masyarakat dan dan pemerintah. [6] Inisiatif pendirian pelembagaan
kebudayaan ini, di KBRI Moskwa, pernah digagas Waklil Dubes,
Nuracham Oerip,  pada tahun 2004 dengan semangat
dipersiapkannya pendirian Pusat Kebudayaan Indonesia Soekarno-
Hatta.  Masalah kebudayaan Indonesia di luar negeri sampai saat ini,
Indonesia dengan  37 negara sahabat terikat untuk mengadakan
kerja sama kebudayaan melalui Lembaga Perwakilan Bidang
Kebudayaan di Luar Negeri, yang menjadi rtanggung jawab Atase
Penididikan dan Kebudayaan atau Kabid Penerangan, Pendidikan,
Sosial dan Budaya (Pensosbud) KBRI.
***
*)   Penulis adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
 
[1]
Ajip Rosidi. 2006. Korupsi dan Kebudayaan: Bahasa Indonesia
Masuk Pasar Bebas? (halaman 101-105) Jakarta : Pustaka Jaya.

[2]
  Kompas (Jumat, 28 Agustus 1987), Tujuan Utama Dilpomasi
Kebudayaan Indonesia adalah membangun Citra Indonesia.

[3]
  Ajip Rosdi.Korupsi dan Kebudayaan: Bahasa Indonesia Masuk
Pasar Bebas halaman 104. Jakarta : Pustaka Jaya.

[4]
KBRI Moskow, Seminar Sejarah 50 Tahun Hubungan Indonesia-Rusia,
Moskow:2000, hlm: 107-108.

[5]
  Ajip Rosidi. 2006. Korupsi dan Kebudayaan: Bahasa Indonesia
Masuk Pasar Bebas? (halaman 101-105) Jakarta: Psutaka Jaya.

[6]
Nunus Supardi. 2007. Kongres Kebudayaan (1918-2003). Yobyakarta:
Ombak. Hal 430.
 

~ 88 ~
METODE PENGUATAN DAN PENGULANGAN DALAM
KURSUS INTENSIF ADF SCHOOL OF LANGUAGES

Novy Arnost *
Australian Defence Force School of Languages

A. Pendahuluan

*
Novy Arnost adalah dosen Bahasa Indonesia di Pusat Bahasa
Angkatan Bersenjata Australia Sejak tahun 1995. Alamat Kantor:
ADF School of Languages, RAAF Williams, Laverton, Australia,
(61-3) 9256-2207; novy.arnost@.defence.gov.au. Alamat Rumah:
60 Irving Road, Toorak, Melbourne Australia.
~ 89 ~
Bahasa Indonesia telah diajarkan di Pusat Bahasa (Pusbasa) AB
Australia sejak tahun 1957, tetapi baru selama dua dasawarsa
terakhir ini menjadi salah satu bahasa asing yang jumlah siswanya
cukup banyak. Jumlah siswa Bahasa Indonesia di kalangan
Angkatan Bersenjata Australia terus meningkat dan jumlah ini
meggeser jumlah siswa bahasa asing yang lainnya seperti bahasa
Jepang (bahasa utama pada tahun 40an), bahasa Cina dan Rusia
(pada tahun 50an), dan bahasa Vietnam (pada tahun 60an).
Sekarang, bahasa asing yang diajarkan di ADF LANGS adalah
Bahasa Jawa/ bagian dari Departemen bahasa Indonesia, Bahasa
Melayu, Vietnam, Khmer, Muangthai, Cina, Jepang, Korea, Pisin
(PNG/Solomons), Fiji, dan Prancis. Kemudian sekitar tahun 1999
didirikan Departemen Timor Timur (Bahasa Tetum) , kemudian
Pada tahun 2003 Departemen Bahasa Arab didirikan, siswa di
departemen ini cukup banyak dan terus berkembang sampai tahun
ini (2007), bersamaan pada waktu itu(2003) juga didirikan
Departemen Bahasa Persia, kemudian menyusul bahasa Dari dan
Pashtu t (2005), yang merupakan bagian dari bahasa Parsi. Bisa
dikatakan kebanyakan siswa di ADF School of Languages adalah
anggota Militer Australia, atau petugas instansi pemerintah seperti
Deplu, Bea Cukai, Polisi dan sebagainya.
Sampai sekarang (hampir selama empat dasa warsa) boleh
dikatakan sebagian materi pengajaran Bahasa Indonesia yang kami
ajarkan di ADF School of Languages terpaksa kami kembangkan
sendiri – bukan hanya karena materi yang ada di pasaran umum di
Australia tidak banyak yang sesuai dengan kebutuhan sekolah kami,
tetapi juga juga karena bahan kami harus disesuaikan dengan
ketrampilan yang dibutuhkan oleh siswa, kadang-kadang bahan
yang mereka pelajari harus disesuaikan dengan penugasan mereka
nantinya, yaitu setelah menyelesiakan menyelesaikan pendidikan
dari sekolah kami.Jadi bahannya harus bersifat khusus, bahkan
kadang-kadang kami harus mengajarkan bahan yang bersifat militer
atau mengandung istilah atau kosa kata militer. Selain bahannya
yang bersifat khusus dalam waktu yang singkat kami juga harus
melatih siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran pada tingkat

~ 90 ~
yang tertentu. Karena itu kursus yang kami selenggarakan benar-
benar intensif.
Dalam menjalankan kursus bersifat sangat intensif, dan
mengingat latar belakang siswa yang sudah dewasa dan tentu saja
dengan displin yang sangat tinggi. Maka kami selain harus
menyesuaikan bahan yang kami sajikan, kami juga harus
mengembangkan metoda pengajaran sendiri yang mungkin sedikit
berbeda dengan metoda yang dipakai di Sekolah Bahasa yang
lainnya. Metoda pelatihan yang kami berikan juga harus
berdasarkan pertimbangan tugas yang akan dijalankan siswa, selain
kami juga harus mengingat waktu yang sangat terbatas di mana
dalam waktu yang singkat siswa harus bisa mencapai tujuan
pengajaran yang cukup tinggi.
Dalam makalah ini saya aakan menguraikan segi-segi
keunikan ADF School of Languages baik dari segi materi pengajaran
yang kami gunakan, maupun metoda atau pedekatan yang kami
gunakan untuk menjalankan pelatihan bahasa tersebut yang intensif
tersebut. Mudah-mudahan makalah bisa bermanfaat untuk para
pengajar BIPA yang lain.
B. Latar Belakang – Penjelasan tentang ADF LANGS
Pusbasa AB Australia didirikan pada tahun 1944 berdasarkan
pengalaman AB pada masa Perang Dunia II, di mana AB menyadari
betapa pentingnya pengetahuan bahasa asing, khususnya bahasa
Asia (misalnya bahasa Jepang),pada waktu itu dibutuhkan untuk
langsung menunjang operasi militer. Tetapi selama 55 tahun
belakangan ini, Australia (sudah tentu termasuk ABnya) semakin
menyadari betapa pentingnya mendidik anggotanya untuk bisa
berbahasa Asing hal ini penting bukan saja untuk menunjang operasi
militer secara langsung, tapi juga dalam mejalankan kepentingan
nasional pada umumnya misalnya dapat mendengarkan ,
memehami dan menganalisa berita ataupun laporan dari luar negri .
Tentu saja pemahan tersebut harus akurat.
Kepentingan nasional tersebut juga tercermin dalam kegiatan
AB: yaitu dengan ditandatanganinya Pakta Keamanan antara
Indonesia dan Australia, maka kedua belah pihak baik TNI maupun
~ 91 ~
Angkatan Bersenjata Australia semakin banyak mengadakan
pertukaran personil, atau kunjungan timbal-balik, dan bantuan
pendidikan militer.Selama berpuluh-puluh tahun, khususnya sejak
15 tahun yang lalu - sampai beberapa tahun belakangan ini,
Angkatan Bersenjata Australia sangat membutuhkan personil yang
mampu berbahasa Indonesia pada tingkat yang cukup tinggi, dan
membutuhkannya dalam jumlah yang cukup besar. Karena
kebutuhan yang sedemikian besarnya tidak mungkin hanya direkrut
dari lulusan perguruan tinggi atau akdemi saja, maka AB Australia
sendiri harus mengurus pendidikan untuk personilnya untuk bisa
memiliki ketrampilan Bahasa Indonesia.
Mengapa kursus yang diadakan oleh ADF LANGS bersifat
intensif karena kami harus menjalankan pendidikan bahasa asing
dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu satu-satunya cara adalah
menyelenggarakan kursus yang betul-betul intensif. Kursus singkat
dan intensif ini sudah kami jalankan sejak berdirinya ADF LANGS.
Karena itu, kursus di ADF LANGS tergolong yang paling intensif di
dunia: 6 x 50 menit per hari, 5 hari per minggu (belum terhitung
kewajiban siswa sesudah jam pelajaran di kelas yaitu mereka masih
harus belajar sendiri selama 2-4 jam per malam, termasuk harus
mengerjakan PR, ditambah 6-10 jam pada akhir minggu), selama 40
minggu atau lebih. Keintensifan itu juga terlihat dalam
perbandingan guru/siswa*: dalam departemen BI, biasanya 1:12 (2-3
jam pelajaran per hari), dan sering-sering 1:6 (2-3 jam pelajaran per
hari) 12Selain penyediaan tenaga pengajar yang cukup kami juga
menyediakan fasilitas yang memadai misalnya kami mempunyai
dua laboratorium bahasa dilengkapi dengan komputer multi-
media,di setiap kelas ada TV, DVD player dan tape deck, di setiap
departemen kami juga mempunyai lightpro, bahkan di Departemen

12*
Perbandingan guru/siswa yang sekecil itu memerlukan jumlah guru
yang memadai: umpamanya, untuk kursus 20 – 25 siswa biasanya
diperlukan 5 – 6 tenaga pengajar. Juga, di semua departemen
LANGS sudah lama ada kebiasaan (yang hampir menjadi kebijakan
resmi) bahwa sedikit-dikitnya separuh dari jumlah guru adalah
penutur asli dari bahasa yang bersangkutan. Guru lainnya biasanya
lulusan LANGS (purnawirawan atau masih dinas militer) yang sudah
berpengalaman ‘di lapangan’. Kombinasi ini terbukti efektif sekali.
~ 92 ~
Bahasa Indonesian kami sudah mempunyai smart board
Kecuali para personil yang ditunjuk untuk jabatan tertentu di
mancanegara (mis. atase pertahanan di Kedubes, atau personil yang
mengikuti program SESKO), semua calon siswa harus menempuh
test bakat (aptitude test) yaitu test yang menilai apakah mereka cukup
berbakat untuk mempelajari bahasa, dan pada umumnya hanya
mereka yang hasilnya di atas tingkat rata-rata bisa belajar di LANGS.
Kurikulum kursus intensif yang kami rancang memang ditujukan
untuk siswa yang memiliki bakat bahasa. Sampai sekarang boleh
dikatakan kami tidak mengalami banyak kesulitan dalam
mengembangkan ketrampilan siswa kami. Faktor pengembangan
ketrampilan ini tentu saja tidak lepas dari motivasi siswa itu sendiri
dalam belajar. Karena hampir semua siswa adalah anggota militer
maka motivasi mereka dan dispilin mereka cukup tinggi, dan hal ini
sangat mempermudah kami dalam menjalankan proses
pembelajaran di LANGS. Faktor yang lain yang memudahkan proses
pembelajaran tersebut adalah adanya kaitan hasil dari pendidikan
kami dengan karier mereka dan juga setelah mereka menyelesaikan
pendidikan dan mencapai hasil yang diharapkan mereka akan
memperoleh insentif (berupa uang) dari Departemen Pertahanan, ini
berarti menambah penghasilan mereka. Untuk mempertahankan
insentif tersebut setiap 2 tahun mereka harus mengikuti test kembali
(kami namakan Qualifying Test) untuk tetap medapatkan insentif
tersebut.
C.  Tahap Pengajaran
Dalam makalah ini kami akan memusatkan perhatian pada
Kursus Umum /General Course (kursus 40 minggu). Pada akhir
Kursus Umum/General Course ini siswa diharapkan bisa mencapai
tingkat 'intermediate'. Dalam menjalankan kursus ini kami
membaginya dalam tiga tahap yaitu tahap permulaan saya sebut
saja tahap dasar pertama. . Kami harapkan setelah tahap dasar
pertama selama 12 minggu siswa bisa mencapai ketrampilan dasar
pertama Bahasa Indonesia. Untuk mengukur kemampuan siswa
kami menggunakan test kemampuan /ketrampilan (proficiency test)
. Test ini kami namakan ADLPRS (Ausralian Defence Force

~ 93 ~
Language Proficiency Assessment). Untuk tingkat dasar pertama
kami harapkan siswa bisa mencapai tingkat 1+ dalam bidang
ketrampilan membaca, mendengarkan, menulis dan berbicara
(macroskills). Setelah tahap pertama selesai mereka libur 1 minggu
(term breakI), kemudian kami menyajikan materi tingkat dasar kedua
selama 12 minggu. Dalam tahap menengah ini kami juga
mengajarkan kerampilan menerjemahkan dari Bahasa Indonesia ke
dalam Bahasa Inggris, dan juga ketrampilan juru bahasa. Untuk
keempat ketrampilan (membaca, menulis,
mendengarkan/makcroskills) diharapkan setelah 24 minggu
pengajaran mereka akan mencapai tingkat 2. Sedangkan ketrampilan
yang baru yaitu Menerjemahkan dan Juru Bahasa, siswa dalam
waktu 12 minggu bisa mencapai tingkat 1+. Setelah itu mereka libur
selama satu minggu (term break II).
Dan tahap ketiga atau tingkat intermediate kita mulai pada
minggu ke 27.Tahap terakhir ini kami adakan selama 13 minggu.
Pada minggu ke 32 siswa dikirim ke Indonesia untuk belajar Bahasa
Indonesia (program ini kami namakan In Country Training /ICT)
dalam program ini kami bekerja sama dengan Universitas yang ada
di Indonesia (saat ini kami bekerja sama dengan UPI/ Universitas
Pendidikan, di Bandung.). Tujuan dari ICT adalah siswa bisa secara
langsung mempraktekkan ketrampilan mereka dan sekaligus mereka
berkesempatan meningkatkan ketrampilan mereka. Pada akhir tahap
ini siswa diharapkan bisa mencapai 'intermediate level' yaiu tingkat
2+ untuk keempat ketrampilan (macroskills) dan tingkat 2 untuk
ketrampilan menerjemahkan dan ketrampilan Juru Bahasa.
D.  Bahan-bahan Pelajaran
Sejak dini kami sudah mengenalkan bahan-bahan yang
mengandung unsur militer (mis untuk Topik Salam - ‘Selamat pagi,
Kapten Herman’). Tujuannya adalah selain kami mengajarkan
bagaimana mengucapkan dan memahami fungsi Salam dalam
bahasa Indonesia, kami juga mengajarkan istilah kepangkatan di
Indonesia. Selain bahan umum, kami juga mengajarkan bahan yang
kami beri kode DEF (Defence) yaitu bahan-bahan yang bersifat
militer dan tentu saja banyak mengendung kosa kata militer
~ 94 ~
misalnya bahan DEF2-10 dengan judul bahan Angkatan Darat dan
Perlengkapannya, dan sebagainya.. Oleh sebab itu bahan-bahan yang
kami sajikan di sekolah kami harus kami tulis sendiri, karena harus
kami sesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Topik-topik pengajaran yang kami sajikan kepada siswa
adalah:
Unit 1: Pengucapan/Pelafalan dan Salam
Unit 2: Perkenalan
Unit 3:Hari, tanggal, bulan,angka, jam,etc
Unit 4:Memberi petunjuk jalan dan arah
Unit 5:Makanan dan minuman termasuk rasa dan warna
Unit 6:Hubungan keluarga dan berbelanja
Unit 7:Penyakit dan Kesehatan
Unit 8:Ciri-Ciri Manusia
Unit 9:Waktu Senggang dan Perjalanan
Unit 10:Sistim Komunikasi
Unit 11:Sistim dan fasilitas Kesehatan di Indonesia.
Unit 12:Unit Revisi (Mengulang semua bahan tingkat dasar
sebelum mengijak ke tingkat menengah/Intermediate)
Unit 13:Modul Sejarah Infonesia dan Sejarah Militer
Unit 14:Modul Kondisi Sosial
Unit 15:Modul Agama
Unit 16:Modul Politik
Unit 17:Modul Hukum
Unit 18:Modul Hubungan Indonesia dan Australia
1.  Tahap Pengajaran untuk Setiap Unit:
1. Tahap dasar pertama Unit 1 sampai 6 disajikan dalam
waktu 12 minggu - bahan dan kosa kata disesuaikan atau
menuju ke arah tingkat 1+
2. Tahap dasar kedua Unit 7 sampai 12 disajikan dalam
waktu 12 minggu bahan dan kosa-kata disesuaikan atau
menuju ke arah kebutuhan tingkat 2
3. Tahap menengah Unit 13 sampai 18. Tahap ini agak
berbeda dari kedua tahap dia atas – Karena itu Unit 13
sampai 18 kami sebut 'Modul', karena bahan yang
~ 95 ~
diajarkan dalam tahap ini selain bertujuan untuk
memperkaya kosa-kata siswa, juga bertujuan menambah
latar belakang pengetahuan siswa (misalnya dalam modul
Sejarah siswa selain mempelajari kosa-kata yang ada
dengan hubungan denga istilah sejarah, mereka sekaligus
mempelajari sejarah Indonesia itu sendiri)
2.  Pengajaran Budaya
Dalam mempelajari bahasa orang tidak dapat terlepas dari
mempelajari budaya bangsa pengguna bahasa tersebut, di sekolah
kami selain ada kuliah budaya kami juga mengajarkan secara praktis
kepada siswa dengan mempraktekannya dalam kegitan sehari-hari
di kelas atau di sekolah misalnya untuk memanggil para
dosen/instruktur mereka harus memakai kata sapaan Bapak/Pak dan
Ibu/Bu, Semua siswa juga diberi nama Indonesia dan diajarkan sopan
santun ala Indonesia. Pengenalan dan pemahaman budaya kami
lakukan sejak awal kursus misalnya pada awal kursus kami
mengadakan acara Selamatan. Dalam acara ini selain kami
menerangkan (dalam bentuk kuliah) makna dari Selamatan itu
sendiri, kami juga mengadakan acara Selamatan dalam rangka
pembukaan kursus dan pemberian nama Indonesia kepada siswa.
Tujuan dari acara ini selain siswa bisa memahami makna Selamatan
itu sendiri mereka juga mengetahui secara langsung bagaimana
acara Selamatan itu diadakan.
E.  Metoda Pelatihan dan Penyampaian Bahan
Bahan tahap dasar kami sajikan dengan sistem atau metoda
yang kami sebut penguatan dan pengulangan. Mengapa kami memakai
istilah tersebut karena dalam penyajian satu bahan baru kami
menyajikannya minimal 4-5 kali misalnya:
1.  Bahan Baru yang Berkode A
Bahan baru yang berkode A (misalnya dengan kodea 2-01A)
Bahan baru ini berupa percakapan(dialog) atau bacaan. Tujuan dari
bahan baru ini adalah mengajarkan fungsi bahasa dan
mememperkenalkan kosa kata baru sesuai dengan topiknya. Dalam
bahan baru ini kami sertakan catatan yang ada hubungannya dengan
~ 96 ~
mungkin tata bahasa, atau (kalau ada) juga unsur budaya. Bahan
baru ini kami sajikan dalam kelas di mana jumlah siswanya kira-kira
10-15. Bahan itu akan kami sajian selama satu jam pelajaran (50
menit lamanya),Setelah siswa mempelajarinya kami berikan latihan
yang ada hubungannya dengan bahan 2-01A yaitu Latihan yang
berkode B
2.  Latihan yang Berkode B
Latihan yang berkode B pada bahan yang berkode misalnya
2-01B bahan ini biasanya kami sajikan pada hari berikutnya.
Mengapa kami sajikan pada hari berikutnya karena kami berharap
siswa sudah mempelajari bahan baru tersebut pada malam hari atau
sesudah jam belajar di sekolah. Latihan yang kami berikan
mengadung berbagai unsur yaitu selain penguatan dan pengulangan
kosa-kata, serta fungsi bahasa, kami juga menekankan pemahaman
dan penggunaan tata-bahasa yang ada dalam bahan baru tersebut
(jadi kami mengajarkan tata-bahasa sesuai dengan konteksnya).
Kegiatan latihan ini bisanya kami lakukan di kelompok kecil yaitu
satu guru dengan 5 – 6 siswa. Setelah itu siswa akan mendengarkan
bahan 2-01A tersebut dalam kegitan laboratorium bahasa biasanya
bahan yang sama tapi kami beri kode C adalah kode untuk kegiatan
laboratorium.

3.  Kegiatan Laboraturium Bahasa dengan Kode C


Kegiatan laboraturium bahasa dengan kode C pada bahan
yang misalnya berkode 2-01C. Dalam kegiatan laboraturium bahasa
ini pada tahap pemula siswa harus melakukan kegiatan dalam
bentuk pengulangan kata atau kalimat. Tujuannya adalah siswa
mampu mendengarkan dan kemudian mengucapkan kembali
dengan baik dan benar. Kegiatan yang lain adalah menulis apa yang
mereka dengar/ transkripsi (transcription exercise). Tujuannya
adalah siswa mampu mendengar kemudian menuliskannya dengan
benar dan dengan ejaan yang baik dan benar.
4.  Kegiatan yang Lainnya

~ 97 ~
Kegiatan yang lainnya adalah - siswa mempraktekan apa saja
yang sudah dipelajari dari bahan baru A dalam bentuk baik kelas
percakapan maupun dalam bentuk 'Role Play' sandiwara kecil.
Kegiatan atau bahan untuk kegiatan ini kami beri kode D (2-01D).
Kegitan ini kami lakukan dalam kelompok kecil yaitu satu guru
dengan 5-6 siswa. Tujuannnya adalah siswa langsung
mempraktekkan dalam bentuk lisan kosa-kata dan fungsi bahasa
yang sudah dipelajarinya.
5.  Pekerjaan Rumah
Pekerjaan rumah (mis, dengan kode 2-01PR) dikerjakan
sesudah jam pelajaran sekolah. Tujuannya untuk menguatkan
kembali pemahaman siswa sekaligus untuk mengetahui seberapa
jauh pemahaman dan pengertian siswa. Pekerjaan Rumah ini
diberikan setiap hari dan di bahas keesokan harinya dalam
kelompok kecil sehingga pengajar bisa memastikan semua siswa
memahami materi yang sudah diajarkan dan kalau ada kesalahan
bisa diperbaiki secara langsung.
Pada sekitar minggu ke 17 atau 18 siswa (pertengahan tahap
dasar kedua) mulai dikenalkan atau diberi bahan asli (authentic
material) misalnya kami ambil dari internet, surat kabar atau majalah.
Untuk bahan mendengarkan kami mengambil dari siaran Televisi
Indonesia (biasanya dari acara 'Berita', kami memiliki saluran satelit
dari Indonesia). Bahan-bahan ini kami sesuaikan dengan topik yang
mereka pelajari saat itu atau atau kami sesuaikan dengan topik yang
sudah pernah mereka pelajari. Bahan asli ini kami olah menjadi
bahan A (bahan baru, biasanya dalam bentuk bacaan) dari bahan A
kami olah menjadi latihan B (latihan – bisa berupa pemahaman
bacaan, perluasaan kosa kata, ataupun penerjemahan artikel
kedalam bahasa Inggris). Kemudian kalau ada berita TV dengan
topik yang sama kami rekam dan siswa harus mendengarkan di
laboratorium bahasa, dan mereka harus belajar memahami isi berita.
Tujuan dari kegiatan ini siswa mampu memahami isi berita dan bisa
menerangkan atau melaporkan isi / inti berita tersebut dalam bahasa
Inggris. Setelah itu pada kegiatan D siswa membicarakan/
mendiskusikan topik yang mereka baca atau dengarkan dalam
~ 98 ~
kelompok kecil dalam bahasa Indonesia, latihan ini untuk
meningkatkan ketrampilan berbicara. Kemudian untuk pekerjaan
rumah siswa harus menulis hal-hal yang ada hubungannya dengan
topik tersebut. Hasil tulisan itu dibicarakan dalam kelompok kecil
hari berikutnya. Tujuan pemberian bahan asli (authentic) ini adalah
selain memperkaya kosa-kata, sertamemahami bahan-bahan yang
diterbitkan media Indonesia, juga untuk menambah pengetahuan
mereka dan meningkatkan ketrampilan bahasa mereka dengan lebih
cepat.
F.  Evaluasi
Untuk memperkuat dan mengetahui sejauh mana siswa
memahami dan mampu mengingat kosa kata- setiap minggu kami
mengadakan test kosa-kata. Dan untuk mengetahui seberapa jauh
siswa mengerti TOPIK yang sudah dipelajari setiap akhir unit kami
mengadakan Test yang kami namakan Konsolidasi Tertulis. Di mana
dalam test ini kami menguji pemahaman siswa akan topik yang
sudah dipelajari. Kami menguji baik pemahaman kosa-kata/ kalimat
maupun struktur kalimat. Kedua test ini kami sebut Formative Test.
Dalam test siswa harus mendapatkan nilai di atas 80%.
Setiap akhir setiap UNIT/TOPIK kami mengadakan test
ketrampilan yaitu test menulis, membaca, mendengarkan dan
berbicara misalnya setelah Unit 5/Topik Makanan. Dalam test
menulis siswa diberi tugas untuk menulis tentang tentang topik
makanan yang mereka sukai dalam tugas menulis ini siswa tidak
diijinkan untuk menggunakan kamus. Test Membaca kami berikan
bacaan dengan topik mis, "Rumah Makan" dan siswa harus
memahami isi bacaan tersebut dan menjelaskan isinya secara tertulis
dalam bahasa Inggris. Kemudian dalam test berbicara siswa
berbicara satu persatu dengan guru, topik yang dibicarakan
berhubungan dengan makanan atau rumah-makan. Bahan test
mendengarkanpun kami rekam sendiri dengan topik yang sama
(tentang makanan) dan tugas siswa adalah memahami dan
melaporkan kembali apa yang telah mereka dengarkan, laporan
tersebut dalam bahasa Inggris.
Kemudian Pada akhir semester (term) Siswa menempuh Test
~ 99 ~
ADLPRS tujuannya untuk mengukur ketrampilan mereka
berdasarkan Australian Defence Force Language Proficiency
Assessment. Pada tahap dasar pertama (akhir term 1) siswa diuji
tingkat 1+, tahap dasar kedua (akhir term 2) siswa diuji tingkat 2,
kecuali ketrampilan Menerejamahkan (Ind-Ing) dan Juru Bahasa
tingkat 1+. Pada akhir kursus siswa diuji tingkat 2+ (macroskills)
ketrampilan Menerjemahkan (Ind-Eng) dan Juru Bahasa tingkat 2.
G.  Kesimpulan
Dalam makalah ini kami ingin menjelaskan bahwa dengan
memilih siswa yang berbakat, dengan motivasi dan disiplin siswa
yang tinggi, serta menggunakan metoda penguatan dan
pengulangan. Dalam waktu yang singkat (40 minggu). Siswa
mampu mencapai tingkat intermediate. Dalam disrkriptor ADLPRS
kami menyebutkan:
1. Dalam ketrampilan Berbicara siswa mampu memberikan
sambutan /pidato, siswa mampu berdiskusi dengan baik
mengenai bermacam-macam topik, mereka juga mampu
memberi briefing (keterangan singkat), dan mampu
melakukan perundingan. Bahkan mereka mampu menjadi
Juru Bahasa.
2. Dalam ketrampilan Menulis siswa mampu menulis
laporan dalam bahasa Indonesia, mampu menulis surat
resmi dan tidak remi dalam bahasa Indonesia.
3. Dalam kerampilan Membaca siswa mampu memahami isi
berita dari surat kabar maupun media cetak lainnya.
4. Dalam ketrampilan Mendengarkan isi mampu
memahami isi warta berita, mengerti isi pidato/briefing
atau kuliah dalam bahasa Indonesia.
5. Dalam ketrampilan Menerjemahkan (dari Bahasa
Indonesia - bahasa Inggris) siswa mampu
menerjemahkan artikel dari surat kabar dan media cetak
lainnya.
Dan dari tahun ke tahun sejak berdirinya Depatemen Bahasa
Indonesia – setelah belajar 40 minggu secara intensif lulusan kami
pada umumnya mampu mencapai ketrampilan yang kami harapkan.
~ 100 ~
----------------------------
Sumber-sumber Makalah:
Australian Defence Force School of Languages
–Curriculum/Indonesian General Course (Ver: Jan 06).

Makalah "Pengembangan Kurikulum BIPA yang Intensif Dan


Terpadu" oleh DEVID DECK

PENINGKATAN MUTU PROGRAM BIPA:


PENYELENGGARAAN BIPA DI TENGAH KEGALAUAN HATI13

Nyoman Riasa14
APBIPA Bali

13
Makalah ini disampaikan dalam Semiloka Internasional BIPA di
Hotel Grand Melia Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 18-20 Juli
2007
14
Drs. Nyoman Riasa, M.Ed. adalah Koordinator Program APBIPA
Bali di Denpasar.
~ 101 ~
Abstrak
Fragmentasi program BIPA di Indonesia pada tingkat mikro
sudah mengalami kemajuan jika dilihat dari jumlah siswa BIPA yang
datang ke Indonesia (terutama sebelum krisis) dan keragaman
program yang ditawarkan di Indonesia. Akan tetapi, secara
fundamental mutu penyelenggaraan BIPA di Indonesia belum
mengalami kemajuan seperti yang diharapkan banyak pihak. Hal ini
dapat dilihat dari keberadaan program BIPA di Indonesian yang
masih lebih banyak menyelenggarakan kursus-kursus BIPA semata
dibandingkan dengan penyelenggaraan program BIPA yang lebih
strategis seperti program peningkatan mutu berbagai sumber daya
dan penyebaran informasi kebipaan kepada kalangan non-BIPA
yang belum merata. Bahkan akronim ‘BIPA’ itu sendiri belum cukup
membumi di Indonesia. Satu-satunya program yang bersifat strategis
di tingkat nasional adalah penyelenggraan KIPBIPA setiap dua
tahun.
Upaya peningkatan mutu penyelenggaraan program BIPA
tidak semata-mata menjadi tugas guru dan/atau lembaga
penyelenggara BIPA, tetapi seharusnya menjadi perhatian setiap
warga negara. Seluruh komponen bangsa seyogyanya harus mulai
berbenah untuk memiliki kesadaran BIPA yang cukup, karena pada
dasarnya satu-satunya alat pemersatu bangsa yang sesungguhnya
saat ini adalah bahasa Indonesia. Selanjutnya dari kesadaran inilah
kita mulai melakukan berbagai pembenahan. Dalam rangka
peningkatan mutu program, makalah ini akan membahas berbagai
aspek BIPA (sumber daya manusia, program, promosi, dan
manajemen) dan non-BIPA (perkembangan kondisi keamanan,
kenyamanan, dan kondisi sosial ekonomi) yang terjadi di seluruh
pelosok tanah air.
A.  Pendahuluan
Ketika kita berbicara tentang perjalanan profesi dan segala hal
yang berhubungan dengan BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing) yang terjadi di Indonesia kita tidak bisa lepas dari apa yang
sudah dicapai dan apa yang perlu diraih lagi oleh program dan
~ 102 ~
penyelenggara BIPA di tanah air. Kita tahu bahwa sudah banyak
prestasi yang sudah dicapai dalam BIPA seperti pengenalan
berbagai program yang pernah diselenggarakan di Indonesia
sebagai wujud nyata kerjasama BIPA di luar negeri dengan
penyelenggara BIPA di tanah air. Beberapa contoh program kerja
sama BIPA yang pernah berjalan dengan sangat baik adalah
Universitas Tasmania Australia dengan Universitas Negeri Padang
(yang dulu bernama IKIP Padang), Universitas Kristen Satyawacana
di Salatiga dengan Universitas Sydney, Universitas Gajah Mada di
Yogyakarta dengan Universitas Monash.
Selanjutnya di kawasan Indonesia Timur (Makassar dan
Manado) pernah juga berjalan sebuah program kerja sama dengan
pihak Amerika di bawah bendera COTI (Consortium of Teaching
Indonesia) yang belakangan berubah menjadi COTIM karena
program sempat diselenggarakan di negara tetangga. Di tingkat
provinsi (Bali) kini masih berlangsung tiga jenis program pertukaran
dengan pihak Australia. Salah satu dari program itu adalah program
pertukaran guru Sekolah Menengah yang dikelola oleh Dinas
Pendidikan Provinsi Bali dengan Departemen Pendidikan Australia
Utara.
Sudah barang tentu masih banyak lagi program serupa
bertebaran di berbagai kota dan daerah dengan sifat dan tujuan
program BIPA yang beraneka ragam. Dengan demikian, kita bisa
mengatakan bahwa di tingkat mikro program BIPA di Indonesia
sudah mengalami kemajuan terutama juga jika dilihat dari jumlah
siswa BIPA yang pernah datang ke Indonesia (sebelum krisis) dan
keragaman program yang ditawarkan di Indonesia. Sayangnya
kemajuan itu masih bersifat sporadis, fragmental dan tidak
terkoordinasi dan bersinergi dengan program-program lain karena
berbagai alasan pragmatis.
Secara fundamental koordinasi pengembangan dan
penyelenggaraan BIPA di Indonesia masih memerlukan
pembenahan serius. Satu-satunya forum koordinatif yang
berlangsung secara konsisten dan reguler adalah KIPBIPA
(Konferensi Internasional Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing)

~ 103 ~
yang diselenggarakan oleh APBIPA atas komitmen yang cukup
tinggi dari Pusat Bahasa.
Di tingkat daerah atau provinsi kegiatan serupa belum
pernah terdengar atau tidak dipublikasikan secara luas. Pertanyaan
yang selalu muncul dari KIPBIPA yang pertama 1994 di Salatiga
sampai dengan yang ke enam di Serang (Anyer) Banten 2006 lalu
adalah, “Bagaimana bentuk kurikulum/silabus, bahan ajar program
BIPA yang standar? Di mana kami bisa memperoleh bahan dan
silabus tersebut? Apa yang harus diajarkan di tingkat pemula?” dan
masih banyak pertanyaan semacam ini yang ditanyakan peserta
konferensi.
Setidaknya pertanyaan semacam ini menyiratkan dua hal
pokok. Pertama, sosialisasi program BIPA belum membumi di
kalangan guru (bahasa) di Indonesia. Bahkan pada sebuah
Lokakarya Regional Bali tentang Metodologi Pengajaran BIPA salah
seorang peserta adalah guru matematika dari sebuah SMA Negeri.
Peserta ini bingung mengapa ia ditugaskan untuk mengikuti
kegiatan ini. Ada dugaan kuat, setelah dilakukan penelusuran secara
informal, bahwa kepala sekolah tersebut mengira kalau BIPA itu ada
kaitannya dengan Bidang Studi IPA.
Alasan yang kedua adalah bahwa cara berpikir kita sebagai
penyelenggara BIPA masih berada pada tataran yang sangat mikro
atau korpus dan pengajaran (Alwasilah, 2006). Menurut Alwasilah
pegiat BIPA masih lebih banyak mengamati hal-hal di seputar ejaan,
kosakata, tata bahasa, bahan ajar, metode dan media pembelajaran.
Kebanyakan guru BIPA belum bisa melihat langsung kaitan
antara peristiwa non-BIPA dengan BIPA itu sendiri. Pada akhir
tahun 1990-an atau awal 2000-an ketika saya mengirimkan berita
penutupan program Indonesian Studies di Universitas Wellington,
Selandia Baru kepada teman-teman di Indonesia, hampir tidak ada
yang memberikan tanggapan. Pada hal pada saat itu teman-teman di
sana dan Australia sedang menggalang petisi agar program itu
dapat dipertahankan. Satu-satunya email yang saya terima hanya
berbunyi “Wah, kasihan sekali mereka.”

~ 104 ~
Peristiwa terbakarnya pesawat Garuda beberapa bulan lalu di
Yogyakarta tidak disikapi secara serius oleh pegiat BIPA di
Indonesia bahwa hal semacam itu merupakan ‘ancaman’ serius bagi
BIPA. Pada hal saat ini kita baru beranjak dari masalah keamanan
yang selama ini dijadikan alasan orang untuk tidak datang ke
Indonesia, tiba-tiba kita dikejutkan lagi oleh peristiwa kecelakaan
transportasi laut, udara, dan darat yang terjadi secara bertubi-tubi.
Rupanya para kolega kita di luar negeri lebih peka terhadap
dampak yang lebih luas terhadap peristiwa-peristiwa semacam ini
seperti kekhawatiran dan kekecewaan yang diungkapkan oleh Prof.
David Hill (2004: 33) bahwa:
… language proficiency, requiring many years’ committed
study, is not a fast-track to a well-paid career. … it is
disheartening to see smaller higher-level units pruned to cut
costs, severely restricting the range of linguistic skills
developed.
… Universities, increasingly forced to function as businesses,
are unlikely to make altruistic decisions to subsidise a
discipline that may have national strategic value but is not
currently ‘self-sufficient’.
… Australia needs a national blueprint for the maintenance
and future development of Indonesian language proficiency.
Sebaliknya, di Indonesia banyak lembaga penyelenggara
BIPA masih sibuk menjaga program mereka agar tidak diketahui
oleh lembaga penyelenggara BIPA yang lain karena takut ditiru.
Maklum kita memang terkenal paling berbakat kalau urusan meniru
termasuk pula dalam urusan BIPA. Menariknya lagi adalah bahwa
ketakutan semacam ini justru lebih banyak diderita oleh lembaga-
lembaga BIPA yang sudah tergolong mapan.
Salah satu faktor pendorong utama yang menimbulkan cara
berpikir seperti ini adalah adanya anggapan bahwa BIPA atau
kursus BIPA sama dengan komoditas ekonomi yang dapat
dimonopoli oleh kelompok tertentu. Pada hal, tanpa kita sadari cara
berpikir atau perilaku seperti ini dapat menyiratkan arogansi
kelembagaan bagi pihak lain. Akibatnya, bagi para penyelenggara

~ 105 ~
BIPA yang masih baru atau bahkan calon penyelenggara BIPA akan
memiliki anggapan kalau lembaga yang sudah mapan itu dianggap
tidak mampu menjadi pembina.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sebuah lembaga
pada dasarnya adalah benda mati dan tidak bisa berpikir. Artinya
bahwa sifat-sifat kelembagaan (yang terbuka, tertutup, pelit atau
murah hati) sangat dijiwai oleh karakter manajer atau pimpinan
lembaga atau program BIPA yang bersangkutan. Seandainya,
pimpinan atau manajer tersebut memiliki kemampuan yang handal
dan rasa percaya diri yang lebih baik, maka ketakutan-ketakutan
semacam itu tidak perlu terjadi. Memang kode etik dan rahasia
lembaga perlu ditaati, tetapi ketakutan yang berlebihan dapat
menimbulkan berbagai penafsiran yang negatif tentang lembaga,
program, serta pihak-pihak yang duduk di belakang lembaga atau
program tersebut.
Kita tentu tidak bisa memaksakan diri untuk diberikan
kesempatan melihat penyusunan, pelaksanaan, dan pengembangan
program BIPA yang dikelola oleh sebuah lembaga. Mereka memiliki
hak prerogatif penuh untuk menutup pintu rapat-rapat, membuka
seluruhnya, setengah atau seperempat pintu BIPA mereka bagi
pihak luar.
Mengingat begitu hiruk-pikuknya kegalauan
penyelenggaraan BIPA saat ini, setiap orang sepertinya perlu
berusaha sendiri untuk mengembangkan program mereka secara
sistematis dan strategis. Pengembangan semacam ini perlu
dilakukan agar mutu perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, dan
pengembangan program BIPA dapat berjalan dengan seimbang,
Apa pun yang dilakukan saat ini, pengembangan program
BIPA di dalam negeri tidak bisa dipisahkan dengan berbagai isu
yang sangat dilematis serta sejumlah faktor risiko dan protektif yang
dimiliki oleh Indonesia sebagai sebuah bangsa dan komunitas yang
kondisi ekonomi, politik, dan sosialnya selalu bergerak dengan
sangat dinamis. (lihat Riasa, 2006).
Analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman) perlu dilakukan sebelum membuka atau mengembangkan

~ 106 ~
program BIPA. Analisis yang dilakukan dengan sungguh-sungguh
merupakan titik awal keberhasilan pengembangan program yang
bermutu. Mengingat kondisi saat ini yang penuh dengan tantangan
yang secara langsung berdampak terhadap program BIPA, hal
terpenting yang perlu dimiliki oleh seorang insan BIPA adalah
kegigihan, semangat tidak mudah menyerah, dan pemikiran positif
bahwa hari esok akan lebih baik. Orang dan pengamat terutama
para ahli yang belajar tentang Indonesia dari buku dan tidak berani
naik pesawat Indonesia, bisa berkata apa saja tentang BIPA, tetapi
sebagai insan BIPA kita harus punya keyakinan yang positif tentang
diri kita.
Dalam rangka pengembangan mutu penyelenggaraan
program BIPA, ada sejumlah bidang kunci yang perlu dibenahi saat
ini. Bidang-bidang ini adalah SDM (sumber daya manusia),
kelembagaan dan organisasi, program, bahan ajar, penelitian dan
pengembangan, serta promosi dan diplomasi.
B.  Sumber Daya Manusia
Ada dua tataran pokok yang perlu kita teropong ketika kita
berbicara tentang pengembangan mutu SDM (sumber daya manusia)
BIPA. Yang pertama adalah tataran makro yang meliputi perubahan
paradigma berpikir insan dan praktisi BIPA. Tataran yang kedua
berada di tingkat mikro yaitu segala hal yang berada pada tataran
program, kelembagaan, dan manajemen.
Perlunya pembinaan dan peningkatan mutu sumber daya
manusia tidaklah berarti bahwa BIPA tidak atau belum memiliki
sumber daya memadai dan handal. BIPA di tanah air memiliki SDM
yang sangat handal tersebar di berbagai lembaga mulai dari
lembaga perguruan tinggi negeri dan swasta, lembaga
penyelenggara dan penyedia program BIPA sampai pada praktisi
BIPA yang bekerja secara independen lewat jalur-jalur informal.
Keragaman program yang ditawarkan juga menunjukkan
bahwa potensi SDM BIPA di dalam negeri sudah sangat bagus baik
dari segi jumlah maupun mutu. Persoalannya adalah kegiatan
mereka tidak terkoordinasi secara sistematis dan strategis.

~ 107 ~
Koordinasi antarlembaga masih memerlukan kerja keras. Hal
ini disebabkan karena BIPA masih dianggap sebagai sebuah produk
dan komoditas yang jika dikembangkan akan mendatangkan
keuntungan. Sayangnya keuntungan itu hanya dilihat dari sisi
material atau keuangan saja dan bukan dari sisi yang lebih
substansial. Lalu siapa yang harus melakukan koordinasi. Barangkali
tidak banyak di antara kita yang menyadari bahwa koordinasi
hanyalah jargon karena dalam kenyataannya, para pihak sangat sulit
(tidak mau) dikoordinasikan.
Paradigma berpikir segenap SDM BIPA di Indonesia harus
lebih banyak mencermati dan menyoroti BIPA sebagai bidang
keilmuan yang perlu dikembangkan untuk tujuan-tujuan
pengembangan keilmuan itu sendiri, dan tidak semata-mata melihat
BIPA sebagai sebuah komoditas ekonomi. Dengan paradigma
berpikir keilmuan tersebut maka kerjasama dan koordinasi akan
lebih mudah dilakukan.
Paradigma berpikir keilmuan ini juga dapat mempertemukan
berbagai perbedaan sehingga bidang kebipaan akan semakin kaya.
Hal ini juga akan mendorong pengembangan dan penyebaran
informasi ilmiah ke seluruh lapisan masyarakat (akademis).
Sebaliknya jika BIPA hanya dicermati dari sisi bisnis, maka
penyebaran informasi kepada pihak lain yang membutuhkan oleh
mereka yang memiliki informasi tersebut akan sangat terhambat.
Akibatnya, pemahaman kita tentang BIPA tidak akan pernah
komprehensif demikian juga dengan pengembangannya.
Sampai beberapa waktu terakhir kita masih menerima
sinyalemen bahwa di tingkat mikro (program BIPA) ternyata
koordinasi itu belum berjalan dengan baik. Contoh yang sangat
klasik yang sebenarnya cukup menggelikan dari segi keilmuan
adalah masih ada pengajar BIPA (senior) yang merasa enggan untuk
berbagi materi dengan pengajar BIPA yang lain (junior) dalam satu
lembaga BIPA yang sama. Dua kemungkinan yang menyebabkan hal
ini. Pertama, pengajar senior tersebut merasa kalau materi mereka
sudah sangat bagus dan tidak rela jika diakses oleh teman sejawat

~ 108 ~
mereka sendiri yang notabene sesama guru BIPA. Istilah populernya
adalah bahwa materi itu ibarat istri kedua mereka!
Kemungkinan yang kedua adalah bahwa guru senior
semacam itu merasa tidak percaya diri untuk memperlihatkan
materi yang mereka gunakan dan yang mereka klaim sebagai materi
buatan sendiri. Ada dua alasan untuk hal ini: 1). materi itu bukan
buatan mereka sendiri alias diambil dari sumber lain; dan/atau 2).
materi itu ternyata bukan merupakan bahan ajar yang cukup
menarik.
Sebagai akademisi kita sangat menyadari hal-hal seperti ini.
Tetapi, jika paradigma berpikir kita diubah dari paradigma berpikir
senior vs. junior, belum berpengalaman vs. lebih berpengalaman
menjadi paradigma saling berbagi demi pengembangan BIPA yang
lebih komprehensif, sesungguhnya menggunakan sumber lain
sebagai bahan ajar dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan kode
etik keilmiahan yang berlaku, serta saling berbagi materi justru akan
menimbulkan peluang dan kesempatan bagi setiap orang (termasuk
guru senior tadi) untuk belajar lebih banyak agar menjadi orang
yang lebih senior lagi.
Hal yang paling mendesak untuk dibenahi saat ini adalah
metodologi pengajaran, pengembangan bahan ajar, dan silabus
acuan. Urgensi kebutuhan pengembangan ini disebabkan karena
permintaan kursus-kursus BIPA di dalam negeri terus bertambah
setiap hari tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari kursus privat,
kelas kecil, kelas besar, kursus BIPA bidang khusus sampai dengan
program akreditasi.
Kelemahan yang paling mendasar yang terjadi pada hampir
setiap kelas bahasa (termasuk BIPA) adalah teknik mengajar yang
monoton, satu arah, dan tidak terprogram. Tidak banyak yang
menyadari dan melakukan mengembangkan sistem pengajaran
secara konsisten bahwa setiap siswa BIPA menuntut kegiatan belajar
(bukan kegiatan mengajar) yang menarik dan bermakna. Kegiatan
belajar yang menarik saja tidak cukup jika keterampilan dan
pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak bermakna.
Sebaliknya, walaupun pengetahuan yang diajarkan dan

~ 109 ~
keterampilan yang dilatihkan sangat penting dan bermakna, tetapi
jika dilakukan dengan cara yang tidak menarik bagi siswa, lambat
laun hal ini akan menimbulkan kegiatan belajar yang tidak efektif.
Untuk menjawab tantangan ini penyelenggaraan program
pelatihan metodologi pengajaran BIPA sangat diperlukan. Pelatihan
ini harus berfokus pada satu bentuk pelatihan untuk meningkatkan
keterampilan mengajar yang sesuai dengan karakter siswa BIPA
rata-rata dan perkembangan metodologi pengajaran bahasa
mutakhir. Pusat Bahasa sudah memulai langkah ini dengan melatih
sejumlah staf Balai Bahasa yang tersebar di berbagai ibukota provinsi
di Indonesia dalam sebuah kursus kilat selama satu minggu untuk
angkatan bulan Januari dan Februari 2007.
Sehubungan dengan lemahnya metode pengajaran bahasa
asing secara umum, dalam Konferensi Internasional Lembaga
Bahasa dan Pendidikan Profesional (LBPP) Lembaga Indonesia
Amerika (LIA) yang diselenggarakan pada 22 Maret 2005 Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) Satryo Soemantri Brodjonegoro di Jakarta
mengisyaratkan bahwa rendahnya mutu pengajaran bahasa Inggris
dipacu oleh rendahnya kualitas tenaga pengajar serta rendahnya
metode pengajaran diterapkan oleh guru. Hal ini menghambat
proses dan pencapaian hasil belajar secara maksimal. Sinyalemen ini
juga berimplikasi pada program BIPA karena banyak guru BIPA
adalah juga guru bahasa Inggris.
Sekarang, pertanyaan besar yang menggantung adalah apa
yang harus dilakukan saat ini oleh para penyelenggara BIPA dalam
rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan program BIPA
mengingat kondisi sosiopolitik di Indonesia belum dianggap
seluruhnya kondusif untuk menyelenggarakan BIPA bagi orang
asing yang hendak datang ke Indonesia? Apakah kita sudah
memiliki rencana strategis untuk mengisi waktu ini?
C.  Kelembagaan BIPA
Krisis multidimensional yang diawali oleh krisis moneter
menjelang akhir tahun 1990-an merupakan titik tolak kebangkitan
kesadaran BIPA secara lebih strategis dan fundamental di berbagai
~ 110 ~
daerah. Program BIPA di sejumlah lembaga penyelenggara BIPA
cukup mengalami kemajuan, seperti Universitas Negeri Jakarta kini
memiliki program yang cukup mantap, Universitas Terbuka dengan
BIPA jarak jauhnya, Pusat Bahasa dengan unit BIPAnya yang sudah
menerbitkan buku ajar Lentera 1-3 dan menyelenggarakan pelatihan
guru BIPA Gelombang I dan II seperti yang diuraikan di atas.
Akan tetapi, sampai saat ini baru ada satu lembaga yang
dipandang memiliki peluang dan ruang yang lebih netral untuk
melakukan langkah-langkah koordinatif-strategis terhadap berbagai
kegiatan BIPA. Lembaga ini adalah APBIPA yang diharapkan
mampu menjadi jembatan penghubung antara lembaga
penyelenggara BIPA di dalam maupun di luar negeri. Namun,
karena berbagai keterbatasan, lembaga ini belum berfungsi secara
maksimal.
Secara kasat mata, APBIPA belum mampu menelorkan
program-program strategis untuk pengembangan BIPA yang dapat
dirasakan oleh kalangan BIPA. Sejak pembentukannya pada
tahun1999 setelah KIPBIPA III di Bandung, APBIPA baru bisa
menyelenggarakan KIPBIPA (Konferensi Internasional Penganjaran
BIPA) setiap dua tahun.
Setiap penyelenggara KIPBIPA yang mendapat dukungan
dari Pusat Bahasa memiliki satu kewajiban utama setelah
penyelenggaraan konferensi, yaitu menerbitkan prosiding makalah
yang disajikan selama konferensi. Akan tetapi, prosiding untuk
KIPBIPA V yang diselenggarakan di Makassar 2004 sampai saat ini
belum berhasil diterbitkan.
Ke depan APBIPA diharapkan mampu membuat berbagai
program pengembangan yang tidak terlalu muluk-muluk, namun
cukup strategis bagi pengembangan BIPA di tanah air. Misalnya,
dengan melakukan berbagai kegiatan pelatihan yang mendorong
dan membantu para pihak yang hendak membuka program BIPA
seperti memberikan kerangka acuan silabus dan bahan ajar, jika
memang diperlukan. APBIPA juga harus bisa menjadi rujukan bagi
calon penyelenggara program BIPA mengenai berbagai hal termasuk
bahan ajar, silabus, administrasi, dan manajemen BIPA.

~ 111 ~
Kerja sama dengan pihak luar perlu digagas, misalnya dengan
ASILE di Australia dan berbagai asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia
yang tersebar di setiap negara bagian di benua tersebut. Kerja sama
juga perlu digalang dengan lembaga penyelenggara Studi Indonesia
di luar negeri seperti Jepang, Amerika, dan Eropa. Perlu
digariswabahi bahwa jika kelak kerja sama semacam itu dapat
direalisasikan seyogyanya hal itu dapat dinikmati dan dirasakan
oleh setiap individu yang merasa menjadi anggota atau bagian dari
APBIPA.
Kita tahu bahwa lembaga-lembaga penyelenggara BIPA yang
ada sekarang belum terhimpun dalam wadah kegiatan bersama
untuk memajukan BIPA. Mereka masih berjalan sendiri-sendiri
sesuai dengan misi dan visi kelembagaan mereka. Padahal kita tahu
pada keseluruhan lembaga ini terhimpun satu kekuatan BIPA yang
luar biasa dengan pengalaman dan jam terbang yang bukan main,
yang seandainya bisa bersinergi akan melahirkan sebuah bentuk
kerjasama lembaga kebipaan dalam format program BIPA yang
handal.
D. Diversifikasi Program
Sebagian besar program BIPA yang ada sekarang masih
terkonsentrasi pada penyediaan layanan kursus bahasa dan sedikit
program kajian budaya. Di sejumlah lembaga penyelenggara BIPA
sudah terdapat berbagai program dengan spesialisasi yang cukup
menarik. Di samping bahasa Indonesia yang bersifat umum (General
Indonesian), kini sudah terdapat berbagai program kursus bahasa
Indonesia untuk tujuan khusus seperti Bahasa Indonesia untuk
Pertambangan, HIV/AIDS, Tujuan Akademis, atau Diplomat. Dan
sejak bencana tsunami melanda Aceh dan beberapa daerah di
Sumatera Utara dan Yogyakarta, sejumlah praktisi independen di
Bali telah merintis program yang mereka sebut Bahasa Indonesia
untuk Relawan (Indonesian for Relief Workers).
Program budaya yang ditawarkan di berbagai lembaga masih
bersifat turistik. Kegiatan ini berupa kunjungan lapangan, dengan
mengajak siswa BIPA mengunjungi sanggar tari, pusat kerajinan
rakyat, atau tempat-tempat wisata lainnya. Dalam kegiatan ini siswa
~ 112 ~
terlibat untuk belajar berbagai keterampilan budaya seperti menari,
memasak, mengenakan pakaian adat daerah atau bermain gamelan.
Program semacam ini cocok bagi mereka yang hendak
mengetahui bagaimana penduduk lokal menguasai suatu
keterampilan budaya (menarik, memasak, bermain musik
tradisional, dsb.). Kendala yang dihadapi dalam program semacam
itu adalah, kurangnya kemampuan fasilitator untuk menjelaskan
unsur-unsur budaya filosofis terhadap keterampilan tersebut. Di
samping itu, banyak fasilitator yang tidak terbiasa dengan cara
mengajar atau melatih siswa asing (BIPA). Akibatnya, metode dan
teknik pengajaran mereka tidak sesuai dengan cara belajar siswa
BIPA.
Di samping memperkenalkan keterampilan budaya praktis,
pengenalan budaya kepada siswa BIPA bisa digarap secara lebih
substansial yang mengedepankan budaya itu sendiri sebagai materi
ajar. Karenanya, guru BIPA yang kebanyakan hanya berbasis pada
keterampilan bahasa dan linguistik bukanlah merupakan orang yang
paling tepat untuk mengasuh bidang ini. Mereka perlu menjalin
kerja sama dengan para ahli di bidang antropologi, sejarah, dan
bahkan para akademisi dan pemerhati bidang sosial politik. Dengan
demikian, program BIPA tidak semata-mata hanya mengajarkan
keterampilan bahasa dan ihwal kebahasaan semata.
Semuanya ini hanya bisa terlaksana jika ada kerjasama yang
baik antarlembaga penyelenggara BIPA atau antara lembaga
penyelenggara BIPA dengan para pihak yang berkompeten dalam
bidang kajian lain yang dimintai pembelajar. Kini sudah saatnya kita
menghentikan pola pikir bahwa BIPA adalah milik atau dominasi
kelompok, kalangan atau jurusan tertentu, tetapi kita harus mulai
mengembangkan paradigma berfikir yang lebih komprehensif dan
inklusif bahwa setiap orang bisa berperan maksimal untuk
mengembangkan BIPA sesuai dengan kapasitas bidang keilmuan,
tugas, dan tanggung jawab mereka.
Untuk mendorong semangat semacam ini, APBIPA perlu
menjadi jembatan terhadap penyelenggaraan studi komparatif.
Melalui kegiatan ini satu lembaga penyelenggra BIPA bisa

~ 113 ~
mengunjungi lembaga lain untuk saling bertukar fikiran tanpa perlu
ada rasa curiga bahwa program mereka akan ditiru oleh lembaga
lain.
Program strategis lainnya yang bisa dilaksanakan adalah
program beasiswa BIPA bagi pembelajar atau pengajar BIPA di luar
negeri. APBIPA bisa menjadi penggerak program ini dengan
menggalang sumber-sumber daya yang ada untuk membiayai
program ini dan bekerja sama dengan berbagai lembaga luar negeri
yang memiliki visi dan misi yang tidak jauh berbeda dengan
APBIPA. Atau kerja sama ini bisa dibuat dengan pemda setempat
yang hendak mengembangkan industri pariwisata mereka.
E. Sumber Daya Pembelajaran
Walaupun kegiatan guru di dalam kelas pada dasarnya
adalah mengajar, namun fokus perhatian mereka harus tertuju pada
proses pembelajaran dan bukan pada proses pengajaran itu sendiri.
Peningkatan proses pengajaran harus secara langsung berdampak
pada peningkatan efektivitas pembelajaran. Sehubungan dengan hal
ini Sekjen Depdiknas Dodi Nandika (Suara Karya edisi 25 Oktober
2005) menandaskan bahwa mutu pengajaran (bahasa Indonesia) pun
harus terus ditingkatkan karena pada akhirnya peningkatan mutu
pengajaran bahasa Indonesia akan meningkatkan mutu pendidikan
secara nasional.
Ironis sekali memang bahwa untuk mendapatkan buku ajar
BIPA yang baik sangat sulit di Indonesia. Kesulitan itu berpangkal
pada dua hal: pertama karena kelangkaan dan kedua karena harga
yang tidak terjangkau oleh kebanyakan guru BIPA.
Buku-buku BIPA yang ada sekarang terbitan dalam negeri
masih bisa dihitung dengan jari. Saya yakin bahwa setiap lembaga
penyelenggara BIPA telah menyusun membuat bahan ajar atau buku
ajar BIPA, tetapi masih ada keengganan untuk menerbitkannya
karena berbagai sebab seperti yang diuraikan di atas.
Buku-buku yang kini banyak beredar di toko buku di
Indonesia tidak sesuai dengan kebutuhan siswa BIPA. Kebanyakan
buku tersebut disusun untuk kebutuhan wisatawan atau oleh
wisatawan sendiri yang sudah berkeliling ke berbagai wilayah di
~ 114 ~
Indonesia. Mereka ingin membantu pengunjung yang lain sesuai
dengan kebutuhan mereka: berwisata. Padahal, banyak siswa BIPA
yang datang khusus ke Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia
tidak semata-mata untuk berwisata. Mereka memiliki tujuan-tujuan
lain seperti tujuan akademis, ingin menjadi diplomat untuk negara
mereka atau ingin bekerja pada perusahaan negara mereka yang
memiliki kantor di Indonesia. Siswa BIPA dengan tujuan semacam
itu akan merasa tidak cukup jika hanya mengandalkan buku ajar
untuk tujuan berwisata.
Ada banyak buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa
Indonesia yang beredar di berbagai toko buku. Buku-buku ini bisa
menjadi sumber pembelajaran yang menarik. Akan tetapi, untuk
dapat digunakan oleh siswa BIPA, bahan-bahan dalam buku
tersebut harus diolah terlebih dahulu.
Misalnya, buku-buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa
Indonesia biasanya menampilkan arti berbagai imbuhan dengan
tidak banyak membahas proses bagaimana sebuah imbuhan cocok
untuk kata tertentu dan tidak sesuai untuk kata yang lain. Misalnya
mengapa kita bisa menambahkan imbuhan ber pada kerja tetapi
bukan pada kata tidur atau duduk?
Pemajanan yang begitu tinggi, tidak membuat siswa
Indonesia mengalami kesulitan dalam menentukan penggunaan
imbuhan yang tepat. Sebaliknya, siswa BIPA akan lebih berfokus
untuk memilih imbuhan yang tepat dibandingkan dengan mencari
arti imbuhan itu sendiri. Bagi mereka kemampuan untuk
menentukan jenis imbuhan yang sesuai untuk sebuah kata dasar
lebih penting daripada mengetahui arti imbuhan itu sendiri. Mereka
beranalogi bahwa jika mereka bisa menentukan imbuhan yang tepat
untuk sebuah kata dasar, pada saat yang sama mereka dapat
menentukan arti imbuhan tersebut.
Untuk mengolah sumber-sumber pembelajaran semacam itu
diperlukan kemampuan dan pengalaman yang memadai untuk
mengembangkan bahan ajar yang cocok dengan kebutuhan siswa
BIPA. Ke depan kita berharap bahwa akan ada lembaga yang
bersedia menerbitkan bahan ajar mereka, sehingga dengan

~ 115 ~
penyesuaian di sana-sini calon guru BIPA akan segera dapat
memanfaatkannya di dalam kelas mereka.
Di samping isi, tampilan juga merupakan faktor penting yang
perlu diperhitungkan dalam setiap lembar bahan ajar BIPA. Satu
buku ajar mungkin mengandung pelajaran yang sangat penting dan
bermanfaat bagi siswa. Akan tetapi, jika materi tersebut ditampilkan
dengan cara yang tidak menarik dan menantang minat belajar siswa,
bahan-bahan itu menjadi tidak berfungsi efektif. Isi dan daya tarik
bahan ajar perlu selalu dipertimbangkan jika guru BIPA ingin
siswanya terus mau belajar darinya.
F. Promosi dan Diplomasi
Untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan program BIPA
kita tidak bisa mengabaikan fungsi promosi program. Kegiatan
promosi yang gencar dan bertanggung jawab pada akhirnya mampu
menempatkan sebuah program atau lembaga penyelenggara BIPA
pada peta BIPA berskala lebih luas. Sebagai sebuah lembaga
penyelenggara BIPA yang sudah sangat mapan kita bisa
beranggapan bahwa promosi program tidak lagi diperlukan. Akan
tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa ada begitu banyak lembaga yang
gencar mempromosikan program mereka.
Persaingan dalam promosi itu penting karena pada akhirnya
hal ini akan menguntungkan siswa itu sendiri. Jika siswa
diuntungkan maka BIPA secara keseluruhan akan diuntungkan juga.
Persaingan yang sehat akan mampu meningkatkan mutu dan
penyelenggaraan program. Mutu yang baik akan mampu menarik
minat calon siswa BIPA yang bermutu dan selanjutnya akan
mendorong peningkatan penguatan dan pemberdayaan BIPA itu
sendiri. Sebaliknya, promosi yang tidak bertanggung jawab tidak
saja akan merugikan program atau lembaga itu, tetapi juga BIPA
secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal ini Ansari (2006)
menandaskan bahwa BIPA dapat berfungsi sebagai media promosi
yang efektif atas citra Indonesia yang kebanyakan digambarkan dari
sisi buruknya oleh media internasional dengan syarat
profesionalisme pengajaran BIPA di tanah air harus digarap dulu
secara serius.
~ 116 ~
Promosi adalah ajang untuk menggalang kepercayaan atau
‘trust’ tetapi jika dilakukan dengan tidak bertanggung jawab
promosi yang berlebihan akan menimbulkan ketidakpercayaan
atapun ‘distrust’. Salah satu kunci utama dalam promosi yang
bertanggung jawab yang akan mendongkrak citra program BIPA
adalah dengan memberikan atau menyediakan apa yang tertulis di
dalam brosur. Misalnya, jika dikatakan bahwa semua ruangan ber-
AC, memang benar semua ruangan memiliki pengatur suhu udara
dan semuanya berfungsi dengan baik.
Promosi lain yang cukup strategis yang tidak banyak
dilakukan oleh kalangan BIPA, setidaknya berdasarkan pengamatan
dari KIPBIPA II sampai dengan VI, adalah presentasi makalah yang
dilakukan oleh dua orang dari lembaga penyelenggara BIPA. Di
berbagai forum akademis di luar negeri ‘joint presentation’ semacam
ini sudah merupakan hal yang biasa.
Sebagai negara yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa,
kita tidak cukup gencar mempromosikan bahasa Indonesia di luar
negeri. Komponen bangsa kita masih lebih gencar mempromosikan
kebudayaan daerah (dan bukan kebudayaan Indonesia) kepada
dunia luar. Bukankah bahasa dan budaya itu selalu berjalan
beriringan mesra? Sehubungan dengan kurangnya promosi bahasa
ini Moeliono (1998) mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah
mengalpakan suatu kewajiban untuk mempromosikan bahasa
Indonesia di luar negeri seperti yang dilakukan oleh bangsa lain
seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang. Bahkan setelah (62
tahun) kemerdekaan bangsa Indonesia masih tetap sibuk dengan
dirinya sendiri.
Kini sudah saatnya APBIPA atau unit BIPA hadir di sejumlah
kantor perwakilan negara RI di luar negeri. Mereka tidak saja akan
memberikan dukungan bagi pengembangan pengajaran bahasa
Indonesia di negara yang bersangkutan, tetapi juga membantu
pemerintah untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat dan
diperlukan oleh komunitas yang tertarik dengan Indonesia tidak
melalui diplomasi politik, melainkan diplomasi budaya dan
kebahasaan.

~ 117 ~
Kurangnya promosi di tengah-tengah gencarnya perhatian
pers internasional terhadap Indonesia dengan pemberitaan yang
serba negatif juga dirasakan oleh Pamela Davies (2003: 400), seorang
guru Bahasa Indonesia yang mengajar di St Clare of Assisi Primary
School. Dia mengeluhkan bahwa:
We frequently feel isolated. We teach a subject that is outside
the understanding of many or our professional peers. Unlike
the other languages, it fraught with current political
overtones.
G. Penelitian dan Pengembangan
Dari analisis seluruh makalah pada KIPBIPA I (1994) sampai
dengan - KIPBIPA III (1999) penyelenggaraan penelitian kebipaan
masih sangat kecil. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar makalah yang disampaikan masih bersifat kajian
kepustakaan (Alwasilah, 2000: 124-127).
Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa tidak banyak
penelitian BIPA yang bisa dilaksanakan. Faktor yang pertama adalah
kurangnya kerja sama antarlembaga penyelenggara BIPA. Hal ini
menyulitkan, misalnya ketika sebuah tim peneliti dari sebuah
universitas hendak mengadakan penelitian pada sebuah lembaga
BIPA lain. Kedatangan mereka ke lembaga tersebut bisa jadi
ditafsirkan macam-macam seperti yang telah diuraikan di atas.
Kedua, kesinambungan program BIPA pada satu lembaga
masih terhambat terutama sejak krisis multidimensional ini. Hal ini
menyulitkan untuk melakukan penelitian secara tuntas terhadap
satu kelompok siswa BIPA, misalnya, siswa BIPA tingkat sekolah
menengah atau sekolah dasar.
Alasan yang ketiga adalah lembaga-lembaga penyelenggara
BIPA non-perguruan tinggi tidak berminat untuk melakukan
penelitian karena adanya anggapan bahwa hal itu bukan merupakan
tugas dan tanggung jawab lembaga mereka. Mereka lebih terfokus
untuk mengembangkan bahan ajar atau mencari siswa sebanyak-
banyaknya. Dalam hal ini perguruan tinggilah yang memiliki
peluang paling besar untuk melakukan penelitian. Selain meneliti
merupakan salah satu dari tri dharma (tugas pokok) mereka,
~ 118 ~
perguruan tinggi juga memiliki kapasitas dan sumber daya untuk
melakukan kegiatan ini.
Namun demikian, sebagai lembaga pendidikan
(penyelenggara) BIPA yang bertanggung jawab, setiap
penyelenggara BIPA harus mulai memikirkan untuk melakukan
penelitian kecil, setidaknya semacam penelitian tindakan kelas
(classroom action research), untuk pengembangan SDM mereka.
Dengan demikian mereka tidak hanya sekedar menjadi ‘tukang’
mengajar, tetapi juga menjadi ‘peneliti’ atau setidaknya sebagai
pengamat.
H. Simpulan
Di samping mengembangkan program kursus BIPA seperti
yang sudah berjalan selama ini, para penyelenggara dan lembaga
kebipaan terkait diharapkan juga untuk mengembangkan program-
program yang lebih strategis bagi masa depan BIPA di dalam dan
luar negeri.
Di dalam negeri perhatian harus lebih banyak dicurahkan
untuk mengembangkan program seperti pengembangan sumber
daya manusia, meningkatkan kesadaran BIPA yang lebih
komprehensif serta mendorong lahirnya para penyelenggara BIPA
yang baru dengan lebih mengoptimalkan peran APBIPA sebagai
organisasi profesi kebipaan.
Untuk meningkatkan mutu, BIPA tidak saja menjadi urusan
guru BIPA dan/atau lembaga penyelenggara BIPA, tetapi seharusnya
menjadi perhatian setiap warganegara dan aparat. Jika kita tidak
ingin semua siswa-siswa sekolah menengah di Australia pergi ke
negara tetangga untuk belajar bahasa Indonesia, seperti yang
dipromosikan sekarang oleh salah satu agen perjalanan yang
berbasis di Melbourne, maka seluruh komponen bangsa harus mulai
berbenah untuk memiliki kesadaran BIPA yang cukup, kecuali jika
hal-hal seperti ini kita anggap sebagai lelucon belaka.
Di dalam negeri, promosi BIPA harus diupayakan agar setiap
warganegara menyadari bahwa satu-satunya perekat bangsa yang
sesungguhnya dan masih utuh sampai saat ini adalah bahasa
Indonesia dan ternyata ada begitu banyak siswa asing yang tertarik
~ 119 ~
untuk mempelajarinya. Selanjutnya dari kesadaran inilah kita mulai
melakukan berbagai pembenahan termasuk peningkatan layanan
akademis yang menjadi tugas dan tanggung jawab guru dan
lembaga penyelenggara BIPA. Di samping itu, peningkatan
pemberian layanan non-akademis bagi siswa BIPA juga tidak kalah
pentingnya termasuk layanan keimigrasian dan kepolisian serta
pemerintahan. 
Daftar Rujukan:
Alwasilah, A. Chaedar 2006 “Dosen BIPA Buta Politik?: Analisis Isi
Prosiding KIPBIPA” makalah yang disajikan dalam sidang
pleno KIPBIPA VI di Anyer, Banten 11-14 Juli 2006.

Alwasilah, A. Chaedar, MA., Ph.D. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa


Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global Andira,
Bandung.

Ansari, Khairil. 2006. “Profesionalisasi Pembelajaran BIPA untuk


Peningkatan Citra dan Reputasi Indonesia” makalah yang
disajikan dalam sidang pleno KIPBIPA VI di Anyer, Banten
11-14 Juli 2006.

Davies, Pamela. 2003. ‘Raising the Profile of Indonesian in Primary


Schools – A Framework for Actions’ dalam Nyoman Riasa
dan Denise Finney (editor) Prosiding KIPBIPA IV, Denpasar:
IALF Bali dan Pusat Bahasa

Hill, David, Prof. 2004. “Language divide widens” dalam The


Australian, Supplement edisi 15 September.

Moeliono, Anton M. 1998. ‘Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


dalam Era Globalisasi” makalah yang disampaikan dalam
Kongres Bahasa Indonesia VII di Jakarta 26-30 Oktober 1998

~ 120 ~
Riasa, Nyoman 2006. “Kondisi Dilematis Kebipaan di Tanah Air:
Faktor Risiko dan Protektif” makalah yang disajikan dalam
sidang pleno KIPBIPA VI di Anyer, Banten 11-14 Juli 2006.

__________ 2005. ‘Rendah, Mutu Pengajaran Bahasa Inggris di


Sekolah-Sekolah’ dalam Media Indonesia edisi 24 Maret 2005.

~ 121 ~
PROGRAM PELATIHAN BAHASA DAN LINTAS BUDAYA
DI PT NEWMONT NUSA TENGGARA

Ir. Rajulisman
Saktiawan Harapan S.Pd.
PT Newmont Nusatenggara
Sumbawa - Indonesia

A. Pendahuluan
1.  Latar Belakang
PT Newmont adalah Industri pertambangan khususnya
Tambang Bijih Terbuka yang berlokasi di barat daya Pulau
Sumbawa, Nusa tenggara Barat. Perusahaan ini lebih dikenal dengan
nama Tambang Batu Hijau yang mulai berproduksi pada kuartal ke
tiga th 1999 dengan hasil akhir berupa konsentrat tembaga, emas dan
perak. PT Newmont Nusa Tenggara merupakan investasi asing di
Indonesia yang mempekerjakan lebih dari 8000 karyawan yang
terdiri dari karyawan permanen dan kontraktor baik lokal, nasional
maupun internasional. Bangsa, etnis, dan bahasa pun beragam
antara lain; Amerika, Kanada, Jepang, Australia, Peru, dan Indonesia
sebagai mayoritas atau lebih dari 95% dari total populasi.
Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris merupakan bahasa
resmi untuk komunikasi bisnis baik lisan maupun tulisan yang
merupakan kebutuhan mendasar baik ditempat kerja maupun di
kegiatan sosial dikala senggang atau diluar jam kerja. Semua
komunikasi resmi termasuk prosedur dan peraturan dibuat dalam
dua bahasa Indonesia dan Inggris.
PT Newmont sebagai perusahaan Multi Internasional yang
tidak hanya berkomitmen dalam pengembangan industrinya juga
mempunyai tanggung jawab sosial untuk beroperasi yang senantiasa
selaras dengan Visi perusahaan yaitu: “menciptakan dan
memaksimalkan nilai aset PTNNT dengan menetapkan dan mencapai
standar terbaik dalam semua aspek bisnis”

~ 122 ~
Dalam usaha mencapai tujuan tersebut pengembangan
karyawan dan alih tehnologi serta integrasi budaya menjadi tugas
yang terintegrasi dan tidak terpisahkan. Sebagai wujud komitment
untuk menjadi tetangga yang baik dan sebagaimana tercantum
dalam salah satu nilai-nilai Newmont yaitu: “melanjutkan komitmen
pada pengembangan sumber daya manusia melalui alih teknologi,
partisipasi aktif serta integrasi budaya”
2.  Tujuan
Untuk menunjang terwujudnya keinginan tersebut, PT
Newmont melalui department pelatihan dan pengembangan yang
bertanggung jawab terhadap pengembangan SDM juga menerapkan
pembelajaran bahasa dan budaya bagi karyawan asing termasuk
juga anggota keluarganya. Adapun pembelajaran tersebut meliputi:
1. Bahasa Indonesia; Khusus bagi karyawan asing
diantaranya adalah program
a. Kelas Intensive 5 hari (bagi pendatang baru, tiga bulan
pertama)
b. Level #4, #3, #2 dan #1 (sesi regular lanjutan, setelah
tiga bulan pertama)
c. Orientasi tempat kerja
d. Mengacu kepada kurikulum BIPA
2. Bahasa Sumbawa; diperuntukkan bagi karyawan bukan
Sumbawa dan bekerja dilingkungan masyarakat atau
hubungan eksternal.
3. Program Lintas Budaya; Lokakarya satu hari bagi
karyawan asing termasuk anggota keluarga dewasa
dimaksudkan agar karyawan asing memahami pola
budaya dan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat
Indoensia pada umumnya. Pelatihan ini wajib diikuti dan
diselesaikan dalam periode 3 bulan pertama di Indonesia.
Ketiga kegiatan diatas dilaksanakan dan diharapkan untuk
menjamin tercapainya pengembangan dan pembelajaran bahasa
Indonesia bagi karyawan asing dan karyawan Indonesia, serta
terjadinya integrasi budaya yang pada akhirnya meningkatkan
unjuk kerja, produktifitas serta terjalinnya alih teknologi di
~ 123 ~
lingkungan industri pertambangan khususnya di Tambang Batu
Hijau.
Peningkatan kualitas pengajar dan perangkat penunjang
sangatlah penting, pemanfaatan teknologi komputer dengan CBT
diimplementasikan dan mulai mengacu kepada kurikulum UKBI.
Pengajaran dan pengujian berbahasa Indonesia merupakan
bagian dari penyusunan level bahasa menurut struktur jabatan dan
tanggung jawab dan mengacu kepada kualifikasi nasional ataupun
internasional. Bahasa sebagai media komunikasi senantiasa
berkembang seiring dengan perkembangan industri pada umumnya.
B.  Program Pelatihan Bahasa dan Lintas Budaya
Pelatihan Bahasa adalah salah satu dari Pelatihan-pelatihan
wajib di PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT), program ini
ditangani oleh unit tersendiri yang meliputi pelatihan bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, bahasa daerah dan lintas budaya.
Program ini bertujuan untuk menunjang proses alih teknologi
(Indonesianisasi), meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dalam bidang kebahasaan khususnya bahasa Indonesia bagi pekerja
asing, serta memberikan wawasan dalam hal budaya khususnya
tradisi yang berkembang dan dianut oleh karyawan Indonesia dan
masyarakat sekitar pada umumnya.
Program bahasa dan budaya menawarkan porgam bahasa
dan budaya yang relevan bagi kebutuhan para karyawan untuk
mendukung mereka di tempat kerja dan untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi perusahaan. Pendekatan-pendekatan dari
Program di PT Newmont Nusa Tenggara ini menggunakan
metodologi komunikatif dan mengacu kepada tujuan pembelajaran
yang berkatian langsung dengan situasi-situasi yang mereka hadapi
dalam keseharian di tempat kerja.
1.  Bahasa Indonesia
a.  Kurikulum
Pelatihan bahasa Indonesia mengacu ke Indonesian Language
Workplace Training Framework (ILWTF) yang dikembangkan secara
internal dan dikombinasikan dengan International Second Language
~ 124 ~
Proficiency Ratings (ISLPR). Kerangka ini terdiri dari beberapa
standar yang diambil dan diakui di Australian Vocational Training
System. Program bahasa Indonesai ini merupakan pelatihan berbasis
kompetensi yang memfokuskan pada pengembangan dari
kterampilan dan pengetahuan bahasa indonesia dan pemahaman
yang dibutuhkan di tempat kerja . Program ini juga melibatkan
proses konsultasi berkesinambungan agar sejalan dengan kebutuhan
kebutuhan yang selalu berubah-ubah ditempat kerja.
b.  Kerangka (Framework)
ILWTF merupakan sebuah model pelatihan bahasa Indonesia
di tempat kerja. Model ini menerapkan pendekatan berbagai situasi,
sumber, dan proses asli dan nyata di tempat kerja yang
mempercepat penguasaan bahasa indonesai melalui pencapian
kompetensi
Berikut adalah simpulan beberapa elemen kunci dari
Indonesian Language Training Workplace Framework (ILTWF):
c.  Kriteria Kinerja
Kriteria kinerja digunakan untuk membantu para pengajar
dan siswa untuk menilai apakah siswa tersebut telah mencapai
setiap kompetensi bahasa Indonesia.
d.  Struktur
Perpaduan antara ILWTF dan ISLPR menghasilkan 5 level.
Level V adalah level paling dasar (beginner proficiency leve)l. Level
satu adalah level yang mendekati level penutur asli dalam cakupan
modul dan topik.
Lampiran A adalah tabel dari level, proses pembelajaran,
kompetensi dan modul-modul yang mendukung setiap level dalam
program pelatihan bahasa Indonesia. Karakter penting dalam pola
dan kaslian dari porgram ini yaitu memungkinaknya mengkaji
secara terus menerus dan memperbaharui untuk memenuhi
kebutuhan para karyawan di tempat kerja
2.  Program Pelatihan Intensif Bahasa Indonesia 5 Hari

~ 125 ~
Bagi karyawan asing yang ditugaskan di PT Newmont Nusa
Tenggara diberikan pelatihan bahasa tingkat dasar selama 5 hari
penuh sebelum mereka bekerja di tempat kerja mereka. Tabel
dibawah ini menunjukkan program yang berjalan selama 2007

Tabel 10. Program yang Berjalan Selama 2007

C.  Lintas Budaya

Program ini bertujuan untuk membantu para peserta untuk


lebih jauh mengembangkan pemahaman mereka tentang budaya
Indonesia agar lebih efektif berpartisipasi di tempat kerja dan di
lingkungan sosial.
Dalam pelatihan lintas budaya untuk penutur asing ini
menggunakan beberapa sesi diskusi. Pertama kali peserta melihat
pengaruh-pengaruh pada budaya indonesia. Kemudian mereka
mempelajari dan menelaah nilai-nilai dan kepercayaan tersirat dan
terkandung pada masyarakat Indonesia dan tercermin dalam dalam
diri masyarakat indonseia dalam keseharian mereka di tempat kerja.
Para peserta porgam ini juga berkesempatan untuk mempraktekkan
pengetahuan mereka mengenai budaya Indonesia dengan
membahas studi kasus yang berhubungan dengan lingkungan bisnis
dan sosial. Peserta membahas tentang kesalah pahaman budaya
yang menjadi kendala dan yang mengakibatkan kurang efektif

~ 126 ~
dalam bekerja serta tentang cara menghadapi kendala-kendala
tersebut.
Program telah dikembangkan dilaksanakan dari tahun 1998,
tepatnya pada saat dimulainya tahap kontsruksi di proyek Tambang
Batu Hijau. Program ini wajib diikuti oleh semua pekerja asing di PT
Newmont Nusa Tenggara baik yang sudah punya pengalaman
bekerja maupun yang baru pertama kali mengenal dan mendapat
tugas di Indonesia. Tahun ini, beberapa program telah berlangsung
seperti tabel di bawah ini yang menunjukkan jumlah program yang
telah berlangsung pada tahun 2007 dan hasil evaluasi akan reaksi
dan peningkatan pengetahuan dengan menggunakan level 1 dan
level 2.
Tabel 11. Hasil Evaluasi Program yang Berjalan Selama 2007

Topik bahasan dari program lintas budaya ini antara lain


terdiri dari;
Geography
1. Sumbawa, Lombok and NTB population
2. People
3. Climate & Main crop
4. Ethnicity & Religion
Government at a glance
1. The Indonesian presidents
2. Elections & Political parties

~ 127 ~
3. Representative assembly (DRP) & Consultative assembly
(MPR)
4. Flag ceremony
Culture Discussion
1. The national symbol and philosophy
2. Intercultural value discussion
3. Indonesian language culture
4. Non verbal & Social dimension of communication
5. Case studies and critical incidents
6. Common Indonesian values
7. Some possible problems in expatriate-Indonesian working
relationship
8. Western versus Indonesian Communication style
9. Local people – routine and habits
Religions
1. Hindu
2. Buddha
3. Christian (Catholic and Protestant)
4. Muslim
D.  Portfolio Penilaian Terhadap Kompetensi
1.   Matrik Kompetensi
PT Newmmont Nusa Tenggara secara internal
mengembangkan kompetensi bahasa yang mengacu dan relevan
dengan kebutuhan-kebutuhan di tempat kerja. Para siswa
diharapkan mencapai setiap kompetensi yang ditetapkan.
Pencapaian kompetensi bahasa ini dilakukan dengan menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan di dalam kelas ataupun dengan
pelaksaan mantour ke tempat kerja para siswa.
Lampiran B lebih rinci menjelaskan setiap kompetensi beserta
bagian-bagian yang ada di dalamnya .
2.  Kompetensi dan Portofolio
Portofolio Penilaian ini adalah catatan mengenai pelatihan
dan kerja yang harus disimpan oleh peserta pelatihan dalam
Sertifikat Pelatihan Kejuruan Bahasa Indonesia (Pertambangan),
~ 128 ~
portofolio memuat catatan mengenai kompetensi yang dicapai.
Apabila semua kompetensi telah diselesaikan dengan baik dan
ditandatangani oleh supervisor atau penilai maka peserta pelatihan
harus menyerahkan Portofolio Penilaian mereka kepada manajer
Training and Development Department.
Peserta pelatihan menggunakan Portofolio Penilaian ini untuk
mencatat pencapaian kompetensi dalam pelatihan ini. Peserta
pelatihan perlu mengetahui persyaratan untuk setiap unit
kompetensi, waktu untuk melakukan penilaian yang akan dilakukan
oleh supervisor harus dibicarakan terlebih dahulu. Supervisor akan
menandatangani pencapaian kompetensi jika standar (kompetensi)
telah terpenuhi.
Portofolio in sangat terkait dengan proses ROI yakni
pengukuran dari sejauh mana penggunakan pengetahuan dan
keterampilan yang telah dipelajari oleh para siswa yang mengikuti
program pelatihan bahasa indonesia
Pencapaian kompetensi akan dinilai melalui beberapa cara,
antara lain:
1. simulasi
2. main peran
3. peragaan
4. pertanyaan, dan
5. penyelesaian tugas dan ujian singkat.
Penilaian akan dilakukan sepanjang pelatihan. Peserta
pelatihan harus selalu menyimpan Portofolio Penilaian di tempat
kerja. Saat penilaian, peserta pelatihan harus selalu membawa
Portofolio Penilaian mereka.
3.  Kompetensi dan Judul Modul
a.  Unit Kompetensi
Kompetensi adalah keterampilan dan pengetahuan yang
diidentifikasi untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan standar
yang memuaskan. Contoh kompetensi bahasa adalah sebagai
berikut: Mampu melakukan interpretasi teks:

~ 129 ~
Standar yang diperlukan untuk memperagakan kompetensi
ini diidentifikasi dalam Kriteria Kinerja dan kesulitannya akan
meningkat seiring dengan bertambahnya level. Pada level dua,
Kriteria Kinerja untuk kompetensi Mampu melakukan interpretasi
teks dijelaskan di bawah ini.
b.  Kriteria Kinerja
1. Peserta pelatihan akan mampu:
2. mengidentifikasi ide utama
3. mengidentifikasi informasi khusus yang mendukung atau
menjelaskan ide utama.
c.  Ketentuan
Dalam Ketentuan dijelaskan mengenai cakupan atau
kondisi di mana unit kompetensi ini dapat dilakukan dan
dinilai. Ketentuan untuk kompetensi di atas meliputi:
1. topik yang sudah dikenal atau relevan
2. durasi teks kira-kira 5 menit
3. pertemuan monologis – hanya satu pembicara
4. pembicara yang fasih
5. pembicara langsung, radio atau kaset
6. hanya dengan satu pendengaran
7. pertanyaan yang diberikan kepada peserta pelatihan sebelum
mendengarkan
8. tanggapan tidak harus benar secara tata bahasa atau dalam
bentuk kalimat asalkan tidak bertentangan dengan arti.
Portofolio Penilaian ini memberikan informasi tersebut.
Peserta pelatihan dan instruktur bahasa akan mempersiapkan
penilaian.
Beberapa kompetensi telah diikutsertakan lebih dari satu kali.
Peserta pelatihan hanya perlu memperagakan kompetensi sebanyak
satu kali. Jika unit kompetensi diulang dalam modul, dan peserta
pelatihan telah berhasil menyelesaikannya, maka hal ini harus
diketahui sebelum pembelajaran agar penilaian tidak diulangi.

~ 130 ~
Pastikan peserta pelatihan menuliskan namanya pada
Portofolio Penilaian dan mencari lokasi untuk menyimpannya
dengan aman.
d.  Mencatat Kompetensi
Pencapaian kompetensi dicatat oleh peserta pelatihan dalam
tabel berikut. Pencapaian ini harus ditandatangani dan di beri
tanggal oleh instruktur bahasa atau supervisor yang berwenang
untuk melakukan penilaian. Pada akhir setiap modul terdapat suatu
formulir yang harus ditandatangani dan diberikan kepada
superintendent Language Unit untuk pencatatan pada database
sistem pelatihan perusahaan.
Setelah semua unit kompetensi dalam pelatihan ini
diselesaikan dengan baik, maka peserta pelatihan harus
menyerahkan lembar halaman terakhir kepada manajer Training and
Development. Peserta pelatihan akan diberi penghargaan berupa
Sertifikat I Pelatihan Kejuruan Bahasa Indonesia (Pertambangan).
Setelah semua unit kompetensi diselesaikan maka lembar ini
harus diserahkan kepada Manajer Training and Development. Peserta
pelatihan yang telah menyelesaikan pelatihan akan menerima
Sertifikat II Pelatihan Kejuruan Bahasa Indonesia (Pertambangan).
Lampiran C secara rinci menjelaskan tiap-tiap kompetensi
beserta ketentuan dan kriteri penilaian dari masing masing modul
dan topik yang dipelajari.
E.  Dampak Bahasa Indonesia dalam Produktifitas
1.  Bahasa Menunjang Aktifitas di Tempat Kerja
Pelatihan bahasa Indonesia di tempat kerja dapat
mempengaruhi produktifitas di tempat kerja dalam beberapa hal.
Pertama, dengan adanya pelatihan bahasa Indonesia di tempat kerja,
khususnya untuk para pekerja asing akan mempermudah mereka
berkomunikasi dengan anak buah atau rekan kerja yang bertutur
dalam bahasa Indonesia. Hal ini akan mengurangi kesalahpahaman
dalam berkomunikasi mengenai masalah-masalah yang
berhubungan dengan pekerjaan. Sehingga masalah kerja atau

~ 131 ~
pekerjaan yang dibebankan dapat diselesaikan secara efektif dan
efisien. Kedua, pelatihan bahasa Indonesia  akan dapat mengetahui
cara memberikan informasi yang tepat dan jelas kepada sesama
penutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini penerima dan pemberi
informasi telah memahami penggunaan bahasa Indonesia, sehingga
distorsi informasi dapat dihindari dan meningkatkan penyampaian
informasi tersebut.
2.  Kalkulasi Dampak Pelatihan Bahasa Terhadap Peningkatan
Kinerja

a.  Tujuan Evaluasi Program Bahasa Indonesia


ROI analisa digunakan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh dari pelatihan bahasa terhadap kinerja karyawan yang
mengikuti program pelatihan bahasa yang berdampak terhadap
produktifitas di perusahaan PT Newmont Nusa Tenggara. Menurut
level yang ditawarkan oleh The Kirkpatrick-Phillips Evaluation
Levels ada lima level evaluasi dalam ROI. Namun demikian,
Penilaian ROI terhadap program pelatihan bahasa Indonesia hanya
difokuskan pada level 1-– 4 yakni level 4 menilai dampak pelatihan
terhadap bisnis yang sedang dijalankan.

b.  Proses ROI
Dalam mengetahui dampak bisnis dari program pelatihan
Bahasa Indonesia, Departemen Pelatihan dan pengembangan PT
Newmont Nusa Tenggara menggunakan sebuah proses evalusai
yang komprehensif yang disebut Proses ROI. Proses ROI
menawarkan 6 jenis data:
1. Reaksi dan kepuasan
2. Pembelajaran
3. Penerapan/implementasi
4. Dampak bisnis
5. ROI
6. Intangible Measures

~ 132 ~
Gambar 1. Model Proses ROI

Gambar 1. menggambarkan proses ROI yang digunakan yang


dimulai dengan rincian tujuan untuk pembelajaran, penerapan, dan
dampak. Rencana pengumpulan data dan analisa ROI
dikembangkan terlebih dahulu sebelum pengumpulan data dimulai.
Empat jenis level data yang berbeda dikumpulkan yang mewakili 4
jenis data pertama seperti dijelaskan diatas. Proses ini juga
mencakup metode mengisolasi dampak-dampak dari program dan
teknik untuk mengubah data ke nilai/harga moneter. ROI
terkalkulasi ketika membuat perbandingan antara keuntungan
moneter dengan biaya dari program.
3.  Rencana Pengumpulan Data
Tabel 12. menunjukkan rencana pengumpulan data untuk
program pelatihan bahasa. Tujuan umum secara rinci dijelaskan
dengan lima level evaluasi yang mewakili lima jenis data pertama
yang dikumpulkan dari program bahasa Indonesia. Seperti terlihat
~ 133 ~
dalam tabel, data kepuasaan dan reaksi dikumpulkan pada akhir
pelatihan oleh intruktur . Tujuan pembelajaran tertuju pada lima
area utama dari program ini: membuat tujuan karyawan, meyiapkan
umpan balik dan memotivasi para karyawan, mengukur kinerja para
karyawan, dan memecahkan masalah, Pengukuran pembelajaran
diperoleh melalui observasi dari instruktur pada saat mereka
mempraktekan keterampilannya.
Tabel 12. Rencana Pengumpulan Data: Program Pelatihan
Bahasa 1 Level, Tujuan Program, dan Pengukuran

Leve
Tujuan Program Pengukuran
l
1 SATISFACTION/ Skala 4 dari skala 5 rating
PLANNED ACTION
 Reaksi siswa.
 Gagasan dalam peningkatan
2 LEARNING Minimum 60% pencapaian
dalam Post test .
Meningkatkan Pengetahuan dan
keterampilan di topik yang
ditargetkan
3 APPLICATION/ Menggunakan portfolio
IMPLEMENTATION kompetensi bahasa
 Penggunakan keterampilan dan
pengetahuan dengan rekan kerja
dalam rutinitas kerja
 Frekwuensi digunakan
keterampilan
4 BUSINESS IMPACT
 Keuntungan yang diperoleh di  Pengukuran kinerja dari
pekerjaan dimana Siswa bekerja kerja siswa
atau terlibat  PMT Siswa dan beberapa
 Ada peningkatan secara fungsional business plan yang siswa
disebabkan siswa meenggunakan rencanakan
keterampilan di tempat kerja  .

~ 134 ~
Tabel 13. Rencana Pengumpulan Data: Program Pelatihan Bahasa
1 Level, Metode Pengumpulan Data, Sumber Data, Waktu, dan
Tangguung Jawab

Leve Metode Pengumpulan Sumber


Waktu Tanggung Jawab
l Data Data
1 Level-1 kwesioner Siswa Setiap akhir Instruktur
standar sesi kelas

2 5 – 10 soal tertulis Siswa Setiap akhir Instruktur


pelajaran
3  Observasi ke tempat  Siswa Mingguan  Supervisor
kerja langsung  Rekan Bahasa
 Materi autentik dari kerja  Supervisor
peserta siswa siswa
 Atasan  Instruktur
siswa bahasa
4  Indikator kinerja  Siswa  30 – 90  Supervisor
keuangan dari  Atasan hari Bahasa
proyek presentasi siswa setelah  Instruktur
 Wawancara dengan  Rekan pengajar
para Siswa kerja an
 Wawancara dengan siswa materi
atasan siswa
 Wawancara dengan
rekan kerja siswa

4.  Analisa ROI
Analisa ROI menunjukkan bagaimana data diproses dan
dilaporkan. Data yang berdampak pada bisnis dimasukan daftar dan
membantuk dasar untuk sisa analisa. Metode yang digunakan untuk
mengisolasi dampak dari program bahasa Indonesia adalah estimasi
dari para siswa. Metode untuk mengubah data menajdi nilai
moneter menggunakan tiga teknik: nilai standard (jika ada),
masukan para ahli , atau estimasi para siswa. Rencana Analisa ROI
pada dasarnya mewakili pendekatan ke data dampak bisnis proses
untuk mengembangkan Analisa ROI dan mendapatkan data yang
intangible.
~ 135 ~
Tabel 14. Rencana Analisa ROI Program: Bahasa Indonesia
Tanggung Jawab:_______________ Tanggal:_____________

Tandatangan klien : ________________ Tanggal:__________________

5.  Hasil
Hasil-hasilnya dilaporkan dalam enam kategori yang
dikembangkan oleh Proses ROI diawali dengan reaksi dan berlanjut
ke ROI dan intangibles (abstrak). Tiap katergori dilaporkan sesuia
penjelasan di bawah beriktu ini dengan penjelasan tambahan
mengenai bagaimana beberapa data diproses.
6. Reaksi dan Pembelajaran
Data reaksi dikumpulkan pada akhir program pelatihan
menggunakan standar kwesioner (lihat lampiran). Figure 6 shows a
summary of the reaction data.
Peningkatan pembelajaraan diukur di akhir program dengan
menggunakan penilaian-diri dan penilaian instruktur. Meskipun
pengukuran ini sifatnya subyektif, namun pengukuran ini
memberikan sebuah indikasi akan peningkatan dalam belajar. Pada
umumnya sebuah program pelatihan, peningkatan yang signifikan
dalam penilaian-diri dan instruktur biasanya dilaporkan. Dalam
studi ini, data penilaian instruktur menjelaskan bahwa seluruh sai
keterampilan pada level yang memuaskan.

~ 136 ~
7. Aplikasi dan Implementasi
Untuk menentukan tingkat dimana keahlian-keahlian
dimanfaatkan sebenarnya dan untuk memeriksa kemajuan rencana
tindakan, suatu kuesioner disebarkan dalam waktu 3 bulan
mengikuti keikutsertaan dalam program. Dua halaman kuesioner
yang bersahabat terhadap pengguna ini meliputi area-area berikut:
1. Penggunaan keahlian
2. Frekuensi keahlian
3. Hubungan dengan ukuran-ukuran menyimpan
4. Rintangan-rintangan pelaksanaan
5. Yang memungkinkan pelaksanaan
6. Kemajuan dengan rencana tindakan
7. Kualitas dukungan dari manajer
8. Keuntungan-keuntungan abstrak (intangible) tambahan
9. Rekomendasi-rekomendasi untuk program kemajuan
Kemajuan dilaporkan di tiap area dengan para peserta yang
menunjukkan mereka telah mendayagunakan keahlian-keahlian
mereka bahkan melebihi proyek-proyek yang terkait dengan
rencana-rencana tindakan. Lagipula, para peserta pelatihan store
manajer menunjukkan hubungan program ini dengan banyak
ukuran menyimpan melebihi ketiga ukuran yang dipilih untuk
perencanaan tindakan. Rintangan-rintangan khusus dari
pelaksanaan dilaporkan yaitu termasuk kurangnya waktu,
kekurangan tenaga staf, perubahan kebudayaan, dan kurangnya
input staf. Yang memungkinkan pelaksanaan adalah dukungan dari
store manajer dan kesuksesan awal dengan pelaksanaan rencana
tindakan. Kuesioner yang ditindaklanjuti ini memperbolehkan
manajer peserta pelatihan mendapatkan suatu kesempatan untuk
merangkum kemajuan sesingkatnya dengan rencana tindakan.
Intinya, ini berlaku sebagai pengingat untuk melanjutkan rencana
sebaik proses pemeriksaan untuk melihat isu-isu yang mungkin
diselidiki. Manajer peserta pelatihan juga memberikan store manajer
nilai sangat tinggi dalam hal dukungan untuk program. Beberapa
saran dibuat untuk kemajuan kecil-kecil dan ini secara rutin
dilaksanakan jika mereka dianggap sebagai perubahan-perubahan

~ 137 ~
penambah nilai. Keuntungan-keuntungan intangible tambahan
diidentifikasi dan dilaporkan pada seksi berikutnya.
7.  Pengaruh Bisnis
Data pengaruh bisnis khususnya bagi manajer peserta
pelatihan dan dikumpulkan melalui rencana tindakan. Meskipun
rencana tindakan berisi data aplikasi Level 3 (sisi kiri formulir), nilai
utama rencana tindakan merupakan pengaruh bisnis yang
didapatkan dari dokumen2 yang direncanakan.
Penindaklanjutan dalam jangka waktu 6 bulan direncanakan
dan peserta-peserta diharapkan menyediakan 5 barang.
1. Perubahan nyata dalam ukuran basis bulanan termasuk
dalam bagian D dari rencana tindakan. Nilai ini digunakan
untuk mengembangkan kemajuan tahunan (tahun
pertama).
2. Cara yang paling mudah untuk memisahkan pengaruh-
pengaruh program adalah dengan mendapatkan suatu
perkiraan langsung dari para peserta. Setelah mereka
mengawasi ukuran-ukuran bisnis dan mengamati
perkembangan mereka, para peserta mungkin mengetahui
pengaruh-pengaruh yang sebenarnya mengarahkan
ukuran tertentu–setidaknya sebagian dari perkembangan
yang berhubungan langsung dengan tindakan-tindakan
mereka, yang dijelaskan dalam rencana tindakan.
Menyadari bahwa faktor-faktor lain mungkin dapat
mempengaruhi perbaikan, manajer peserta pelatihan
ditanya untuk memperkirakan persen perbaikan yang
dihasilkan dari aplikasi keahlian-keahlian yang
dibutuhkan dalam program pelatihhan (langkah2 tindakan
pada rencana tindakan). Tiap manajer peserta pelatihan
diminta untuk bersikap konservatif dengan perkiraan dan
mengungkapkannya dalam prosentase (bagian E pada
rencana tindakan).
3. Mengenali bahwa nilai diatas merupakan perkiraan,
manajer peserta pelatihan diminta untuk menunjukkan
tingkat kepercayaan diri pada alokasi kontribusi mereka
~ 138 ~
pada program ini. Ini meliputi bagian F pada rencana
tindakan, menggunakan 100% kepastian dan 0% untuk
tanpa kepercayaan diri. Ini menyiratkan derajat
ketidakpastian dalam nilai dan sebenarnya menyusun
jangkauan kesalahan sebagai perkiraan.
4. Para peserta diminta untuk menyediakan input pada
ukuran-ukuran yang tidak tampak yang diamati atau
diawasi selama 6 bulan yang berhubungan langsung
dengan program ini.
5. Para peserta diminta menyediakan komentar-komentar
tambahan termasuk penjelasan-penjelasan.
Tabel 15 menunjukkan rencana tindakan yang terlaksana
sepenunya yang digunakan untuk program ini. Contoh memusatkan
langsung pada absennya peserta nomor tiga. Peserta ini memiliki
rata-rata absen mingguan 8% dengan suatu tujuan untuk
menguranginya menjadi 5%. Langkah-langkah tindakan khusus
ditunjukkan pada sisi kiri formulir. Nilai sebenarnya adalah $41
untuk tiap absent. Ini menggambarkan nilai standard. Perubahan
sebenarnya pada basis bulanan adalah 2,5%, sedikit dibawah target.
Peserta memperkirakan bahwa 65% perubahan berperan secara
langsung terhadap program ini dan perkiraan kepercayaan dirinya
80%. Perkiraan kepercayaan diri menyusun jangkauan kesalahan
bagi 65% alokasi, membiarkan +/- 20% kemungkinan penyesuaian
pada perkiraan. Untuk menjadi konservatif perkiraan disesuaikan
pada sisi bawah, membawa rata2 kontribusi bagi program ini
dengan pengurangan absent 52%.
65% X 80% = 52%
Lokasi khusus ini, yang diketahui karena identitas manajer
penyimpanan peserta pelatihan, mempunyai 40 pegawai. Juga, para
pekerja bekerja rata2 220 hari. Nilai perbaikan actual untuk contoh
ini bias dihitung sebagai berikut :
40 Employees x 220 Days x 2.5% x $41 = $9,020
Ini adalahh perbaikan total tahun pertama sebelum
penyesuaian. Tabel 15 menunjukkan nilai-nilai perbaikan tahunan
pada ukuran pertama hanya untuk 14 peserta pada kelompok ini.

~ 139 ~
(Perhatikan bawa peserta nomor 5 tidak mengembalikan rencana
tindakan sehingga data orang tersebut dihilangkan dari analisa).
Tabel serupa dibuat untuk ukuran-ukuran kedua dan ketiga. Nilai-
nilai disesuaikan dengan perkiraan kontribusi dan perkiraan percaya
diri. Pada contoh absent, $9,020 disesuaikan dengan 65% dan 80%
untuk menghasilkan $4,690. Penyesuaian yang sama ini dibuat
untuk tiap nilai, dengan total nilai disesuaikan pada tahun pertama
pada ukuran pertama $68,240. Proses yang sama diikuti ukuran-
ukuran kedua dan ketiga kelompok, menghasilkan total $61,525 dan
$58,713, berturut-turut.
Tabel 15. Data Pengaruh Bisnis

Perkiraan
Perbaik Kontri-
Perkiraa
Pesert an busi dari
Ukuran n Percaya
a (Dlm Manajer Diri
dollar) Peserta
Pelatihan
1 $5,500 Tabungan 60% 80%
Pekerja
2 15,000 Pergantian 50% 80%
3 9,020 Angka 65% 80%
Ketidakhadiran
4 2,100 Kekurangan 90% 90%
5 0 -------
6 29,000 Pergantian 40% 75%
7 2,241 Inventaris 70% 95%
8 3,621 Prosedur 100% 80%
9 21,000 Pergantian 75% 80%
10 1,500 Jatah makanan 100% 100%
11 15,000 Tabungan Pekerja 80% 85%
12 6,310 Kecelakaan 70% 100%
13 14,500 Angka 80% 70%
Ketidakhadiran
14 3,650 Produktifitas 100% 90%
Total Laba Tahunan untuk ukuran pertama $68,240

~ 140 ~
Total Laba Tahunan untuk ukuran kedua $61,525
Total Laba Tahunan untuk ukuran ketiga $58,713
8.  Biaya Program
Tabel 8 menjelaskan biaya program yang menyiratkan profil
biaya muatan sepenuhnya. Biaya perkiraan kebutuhan berdasarkan
prorate selama program berjalan, yang diperkirakan antara 3 sampai
10 sesi per tahun. Biaya Program pengembangan diprorata selama
program berjalan. Materi-materi program dan biaya pengajuan
merupakan biaya-biaya langsung. Biaya-biaya fasilitasi dan
koordinasi diperkirakan. Cuti menunjukkan hilangnya kesempatan
dan dihitung dengan menjumlahkan 5 hari kali biaya-biaya gaji yang
disesuaikan untuk factor laba pekerja 30%. Pelatihan dan pendidikan
didepan diperkirakan. Biaya-biaya langsung actual untuk evaluasi
termasuk. Biaya-biaya total ini $47,242 menunjukkan pendekatan
yang sangat konservatif pada akumulasi biaya.
Tabel 16. Rangkuman Biaya Program

Kebutuhan Penilaian (Prorata lebih dari 30 sesi) $1,500


Program Pembangunan (Prorata lebih dari 30 sesi) 1,700
Materi2 Program – 14 @ $40 560
Perjalanan & Pengajuan – 14 @ $900 12,600
Fasilitasi & Koordinasi 8,000
Fasilitas & Penyegaran – 5 hari @ $350 1,750
Gaji Peserta dan laba – 14 @ 521 x 1.3 9,482
Pelatihan & pendidikan (Alokasi) 900
Evaluasi ROI 10,750
$47,242

9.  Analisa ROI
Total laba keuangan dihitung dengan menambahkan nilai-
nilai tiga ukuran, total $188,478. Ini meninggalkan rasio laba ke
biaya (BCR) dan ROI sebagai berikut :
BCR = $188,478 / $47,242 = 3.98

~ 141 ~
ROI = ($188,478 - $47,242) / $47,242 = 298%
Nilai ROI ini hampir 300% sebagian besar melebihi 25% nilai
target. Nilai ROI dianggap meskipun sangat tinggi. Kredibilitasnya
ada pada prinsip-prinsip dimana studi didasarkan.
1. Data yang datang langsung dari para peserta sehubungan
dengan manajer persediaan mereka
2. Sebagian besar data bisa diaudit untuk melihat jika
perubahan-perubahan terjadi
3. Untuk menjadi konservatif, hanya tahun pertama
perbaikan yang digunakan. Dengan perubahan yang
dilaporkan dalam rencana tindakan, sebaiknya ada
beberapa nilai kedua dan ketiga yang telah dihilangkan
dalam perhitungan.
4. Perkembangan keuangan telah dikurangi akibat
pengaruh-pengaruh lain. Singkatnya, para peserta
mengambil kredit hanya untuk bagian perbaikan yang
terkait program.
5. Ini memperkirakan kontribusi terhadap program
disesuaikan dengan kesalahan perkiraan ditambah
pendekatan konservatif.
6. Biaya-biaya dimuat sepenuhnya untuk mencakup biaya
langsung dan tak langsung.
7. Hanya data bagi individu-individu yang menyelesaikan
dan mengambalikan rencana-rencana tidakan yang
dimanfaatkan. Misalnya, pada tabel gambar 10 peserta no.
5 tidak mengembalikan rencana tindakan sehingga
datanya dihilangkan dari analisa.
8. Pengaruh bisnis tidak mencakup nilai yang didapat
dengan menggunakan keahlian-keahlian untuk
menghadapi masalah-masalah lain atau mempengaruhi
ukuran-ukuran lain. Hanya nilai-nilai dari 3 ukuran yang
diambil dari proyek perencanaan tindakan yang
digunakan dalam analisa.
Proses ROI membangun data yang sangat meyakinkan yang
terhubung langsung untuk operasi-operasi penyimpanan. Dari sudut

~ 142 ~
pandang kepala petugas keuangan, data bias diaudit dan diawasi.
Hal ini sebaiknya menampilkan perbaikan yang actual di toko-toko.
secara keseluruhan, hasil-hasil dianggap credible dan didukung
sepenuhnya oleh tim manajemen.

10.  Data Intangible (Abstrak)


Sebagai bagian akhir dari penyelesaian profil data, laba-laba
intangible dipila-pilah. Para peserta menyediakan input pada
ukuran-ukuran intangible pada penyusunan dua waktu. Penindak
lanjutan kuesioner menyediakan kesempatan bagi para peserta
pelatihan untuk menunjukkan ukuran-ukuran intangible yang
mereka anggap menampilkan suatu laba yang berhubungan
langsung dengan program ini. Rencana tindakan juga menyediakan
kesempatan bagi para peserta pelatihan untuk menambah
keuntungan-keuntungan intangible tambahan. Bersama-sama, tiap
manfaat berikut didaftar paling sedikit dua individu.
1. Hasrat pencapaian
2. Kepercayaan diri yang meningkat
3. Kepuasan kerja yang membaik
4. Promosi ke manajer persediaan
5. Pengurangan stress
6. Tim kerja yang membaik
Bagi beberapa eksekutif ukuran-ukuran intangible ini sama
pentingnya dengan pembayaran gaji keuangan.
11.  Pembayaran Gaji: Data Penyeimbang
Program ini mengarah pada 6 jenis data : kepuasan,
pembelajaran, aplikasi, pengaru bisnis, ROI, dan keuntungan
intangible. Keenam jenis data bersama-sama menyediakan suatu
sudut pandang yang seimbang dan credible terhadap kesuksesan
program.
12.  Strategi Komunikasi

~ 143 ~
Tabel 10 menunjukkan strategi komunikasi untuk hasil-hasil
komunikasi dari studi. Semua pemegang kunci mendapatkan
informasi. Komunikasi menjadi rutin dan meyakinkan. Informasi
bagi manajer-manajer persediaan dan manajer regional membantu
membangun percaya diri dalam program. Data yang disediakan bagi
para peserta di masa yang akan datang memotivasi dan membantu
memilih ukuran-ukuran bagi rencana-rencana tindakan.

Tabel 17. Rencana Tindakan Strategi Komunikasi


Waktu Metode Komunikasi Kalayak Target
Dalam waktu Pengaruh studi detil (125 Para peserta program:
satu bulan hal) Staf Badan Hukum Universitas
tindak lanjut  Bertanggung jawab
terhadap program ini dalam
beberapa hal
 Terlibat dalam evaluasi
Dalam waktu Rangkuman eksekutif Eksekutif Badan Hukum dan
satu bulan  Mencakup operasi regional
tindak lanjut pengaruh data bisnis
Dalam satu Laporan hasil (1 hal) Manajer-manajer toko
bulan tindak  Majalah manajer
lanjut dalam toko
Setelah Laporan hasil (1 hal) Para peserta di masa yang akan
registrasi  Materi pra-kerja datang

13.  Pelajaran-pelajaran yang Dipelajari


Sangatlah penting membangun evaluasi dalam program,
meletakkan rencana tindakan sebagai alat aplikasi selain alat koleksi
data. Pendekatan ini membantu mengamankan komitmen dan
kepemilikan bagi proses. Ini juga mengangkat banyak tanggung
jawab untuk evaluasi bagi para peserta karena mereka
mengumpulkan data, memisahkan akibat2 program, dan mengubah
data ke nilai-nilai keuangan, tiga langkah paling kritis dalam proses
ROI. Biaya-biaya mudah didapatkan dan laporannya mudah dibuat
dan dikirim ke beragam khalayak target.
Pendekatan ini memiliki keuntungan tambahan mengevaluasi
program-program dimana beragam ukuran-ukuran terpengaruh.
Situasi ini adalah khas kepemimpinan, pembangunan tim, dan

~ 144 ~
program-program komunikasi. Aplikasi dapat sangat bervariasi dan
ukuran bisnis aktual yang dituju dapat bervariasi bagi tiap peserta.
Perbaikan-perbaikan diintegrasikan setelah diubah ke nilai
keuangan. Sehingga, nilai umum ukuran-ukuran merupakan nilai
moneter yang mewakili nilai perbaikan.
Pertanyaan Diskusi
1. Apakah pendekatan ini kredibel? Jelaskan.
2. Apakah nilai ROI realistis?
3. Bagaimana sebaiknya hasil-hasil ditampilkan pada tim
senior?
4. Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi
tantangan perngubahan data kedalam nilai-nilai moneter?
5. Bagaimana proses perencanaan tindakan diletakkan
sebagai alat aplikasi?
6. Jenis program apa yang cocok atau tepat untuk
pendekatan ini?
F.  Penutup
PT Newmont Nusa Tenggara merupakan perusahaan yang
berorientasi pada bisnis maka segala kegiatan atau program yang
dilaksanakan sepatutnya mengacu kepada dampak produktifitas
yaitu; efisiensi, efektifitas, dan kemajuan secara keseluruhan. Hal ini
tercantum dalam misi persuahaan; Menciptakan dan memaksimalkan
Nilai-nilai asset PT NEWMONT NUSA TENGGARA dengan
menetapkan dan mencapai standar terbaik di dalam semua aspek usah.
Pelatihan bahasa Indonesia dan budaya merupakan salah satu
program yang dikembangkan oleh perusahaan untuk menunjang
pencapaian visi perusahaan. Dari proses penilaian dari dampak
program pelatihan Bahasa Indonesia dan lintas budaya
menggunakan proses ROI, terdapat beberapa damapk positif terjadi
terhadap produktifitas di tempat kerja antara lain:
1. Mempermudah komunikasi antara pekerja asing dengan
anak buah atau rekan kerja penutur bahasa Indonesia
2. Mengurangi distorsi informasi dan mempercepat
penyampaian informasi tersebut
3. Meningkatkan kemampuan pekerja asing dalam
memberikan kalimat perintah Bahasa Indonesia kepada

~ 145 ~
Mekanik di Workshop Departemen Proses PT Newmont
Nusa Tenggara.
4. Meningkatkan Pemahaman Budaya Indonesia bagi
Karyawan asing di PT Newmont Nusa Tenggara di
Lingkungan Kerja PT Newmont Nusa Tenggara
5. Terciptanya hubungan kerja yang harmonis antara
Karyawan National dan Expatriates di Lingkungan kerja PT
Newmont Nusa Tenggara
6. Mempermudah dan mempercepat transfer ilmu dan
tekhnologi terhadap karyawan National PT Newmont
Nusa Tenggara.
MERANCANG BIPA TUNTUTAN PELANGGAN YANG
SANGAT BERAGAM DALAM PROGRAM
PERTUKARAN MAHASISWA

Samuel Gunawan
BIPA FS-UK Petra

Abstrak
Makalah ini didasarkan pada pengalaman praktis dalam
merancang program BIPA yang lebih ditekankan pada penciptaan
situasi pengajaran dan pembelajaran formal-fungsional untuk
memenuhi permintaan pelanggan yang sangat beragam yang
berkaitan dengan program pertukaran mahasiswa. Beberapa
pertimbangan dasar seperti: tujuan, pembelajar, pengajar dan
bahasa pengantar, pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang
dianut, pengembangan bahan ajar, aspek bahasa dan budaya, dll.
diharapkan melahirkan rancangan dan realisasi pengajaran dan
pembelajaran yang lebih sesuai dengan tuntutan pasar yang
beragam tersebut.
Kata-kata Kunci: rancangan BIPA, BIPA sesuai permintaan pasar yang
beragam, BIPA dalam program pertukaran
A.  Pendahuluan
Dalam konteks Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, kita
saksikan gegap gempitanya upaya masing-masing Perguruan Tinggi

~ 146 ~
dalam negeri (PTDN) untuk mendunia. Beberapa upaya yang
berkaitan dengan itu ialah, antara lain, adanya usaha membangun
jejaring kelembagaan dan penggiatan program pertukaran, baik
mahasiswa maupun dosen, dengan Perguruan Tinggi di luar negeri
(PTLN). Di sisi lain, untuk kemandirian PT-PT, mereka juga
ditantang untuk membuka diri seluas-luasnya terhadap pasar, baik
dalam maupun luar negeri. Posisi terakhir inilah yang kadang, kalau
tidak dikatakan seringkali, memperhadapkan suatu PT dengan
permintaan kegiatan pengajaran dan pembelajaran BIPA bagi
pembelajar yang yang sangat beragam.

B.  Fokus Permasalahan
Secara lebih terfokus makalah ini menyoroti peran yang
dimainkan oleh PT / tuan rumah penyelenggara program BIPA
berkenaan dengan permintaan yang sangat beragam akan BIPA
terkait program pertukaran mahasiswa. Makalah ini ingin menyoroti
beberapa permasalahan berupa, antara lain: tujuan, pembelajar,
pengajar dan bahasa pengantar, pendekatan pengajaran dan
pembelajaran yang dianut, pengembangan bahan ajar, aspek bahasa
dan budaya dalam konteks melayani kebutuhan pelanggan yang
sangat beragam.
Di depan telah disinggung bahwa upaya membuka diri dari
suatu PT ke dunia internasional antara lain juga melahirkan
permintaan yang beragam berkaitan dengan BIPA.Tergantung dari
visi dan misi PT yang bersangkutan apakah permintaan serupa akan
ditanggapi dan ditangani secara serius. Sebagian mungkin, tak dapat
dipungkiri, menimbang-nimbang terlebih dahulu untung-ruginya.
Adalah sangat bagus kalau ada PTDN, tanpa menimbang-nimbang
untung-ruginya (tetapi sebisa-bisa dikelola sedemikian rupa
sehingga tidak merugi) merasa terpanggil: permintaan BIPA yang
ada dipandang sebagai kehormatan dan kesempatan untuk ikut
mengharumkan nama bangsa melalui usaha nyata mempromosikan
bahasa dan budaya Indonesia.

~ 147 ~
Permintaan yang beragam akan BIPA berkaitan dengan
internasionalisasi PTDN melalui program pertukaran mahasiswa
dapat diidentifikasi antara lain:
1. Permintaan Akan Survival Indonesian
Kebutuhan Bahasa Indonesia (BI) di sini terbatas pada taraf
pemahaman (mungkin kurang tepat kalau disebut penguasaan) BI
yang pokok-pokok untuk kepentingan perhubungan atau pun
kepentingan aktivitas sehari-hari yang sangat praktis dan terbatas.
Biasanya si pembelajar sudah cukup puas dan merasa memadai
kalau hanya paham kosa kata dan ungkapan-ungkapan praktis yang
sangat diperlukan dalam aktivitas sehari-hari. Kebutuhan aspek
fungsional terbatas lebih utama dibanding kebutuhan aspek formal
BI.
2. Permintaan Pengenalan BI Taraf Dasar
Dibanding butir 1) di atas, kebutuhan BIPA dalam golongan
ini bisa disebut berupa kebutuhan akan penguasaan BI pada taraf
dasar. Kebutuhan penguasaan aspek formal cukup kentara karena
kebutuhan penguasaan sistem BI taraf dasar dirasakan. Aspek
fungsionalnya membantu pembelajar memahami terapannya dalam
realita situasi pemakaian bahasa.
3. Permintaan Penguasaan BI Secara Penuh
Pada penggolongan ini pembelajar membutuhkan
penguasaan BI secara utuh dari tingkat pemula, tingkat menengah
sampai tingkat lanjutan sehingga pembelajar mampu menggunakan
BI dalam pelbagai situasi komunikasi.
C.  Tujuan
Bagaimana pengajaran dan pembelajaran BIPA itu dirancang
dan dilaksanakan terkait erat dengan apa yang menjadi tujuan
permintaan pembelajaran BIPA tersebut.
1.  Pengajaran dan Pembelajaran Survival Indonesian
Bilamana permintaan para pembelajar asing hanya sebatas
memperkenalkan mereka dengan survival Indonesian, tentunya
~ 148 ~
pendekatan fungsional praktis perlu lebih dikedepankan daripada
pendekatan formal. Dengan kata lain, pembelajar cukup
diperkenalkan kepada BI yang praktis-praktis yang akan mereka
temukan di seputar kegiatan utama selama mereka melaksanakan
aktivitasnya di Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu yang ada
bisa disiapkan semacam ”Buku Pintar BI sehari-hari”. Sebagai contoh
di U.K. Petra misalnya setiap tahun diselenggarakan kegiatan KKN
yang dikenal dengan nama ”COP” (Community Outreach Program)
yang diikuti oleh para mahasiswa beberapa PTLN dari Korea,
Jepang, Hongkong, Singapore, Belanda, dsb. yang berbaur dengan
para peserta dari U.K. Petra sendiri dalam kegiatan pengabdian
kepada masyarakat di desa binaan. Rentang waktu kegiatan COP
tersebut adalah antara 6 – 8 minggu. Sudah barang tentu yang
diperlukan oleh para mahasiswa asing tersebut adalah pengenalan
budaya masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedesaan
tempat lokasi COP mereka dan pengetahuan BI praktis seperlunya
(survival Indonesian).
2. Pengajaran dan Pembelajaran Pengenalan BI Taraf Dasar
Mahasiswa program pertukaran umumnya datang untuk
jangka waktu yang berbeda-beda-beda. Kalau mereka datang untuk
pengumpulan kredit (credit earning) dalam jangka waktu yang
memadai, umumnya tidaklah menyulitkan bagi perancangan dan
penyelenggaraan kegiatan pengajaran dan pembelajaran BIPA. Bila
mereka datang untuk jangka waktu yang singkat, misalnya 1
semester atau bahkan lebih singkat dari itu, tentu BIPA yang mereka
dapat ikuti akan sangat terbatas karena kendala keterbatasan waktu
untuk mengikuti BIPA tersebut terkait adanya kewajiban
pengumpulan kredit untuk beberapa mata kuliah lainnya. BIPA
yang dapat dipelajari paling-paling hanya pada tingat pemula saja.
Sekadar gambaran berikut adalah susunan mata ajar tingkat pemula
khusus ini:
BIPA 1 (TINGKAT PEMULA KHUSUS)
Lama Belajar 10 minggu

Jam Pertama (90 menit) Jam Kedua (90 menit)


~ 149 ~
Membaca Intensif A Menyimak A
Tata Bahasa Percakapan A
Membaca Intensif B Percakapan B
Percakapan C Menyimak B
Mengarang Terbimbing (Narasi) Praktikum Terpadu
----------------------- Wisata Budaya ---------------------------------

3. Pengajaran dan Pembelajaran Penguasaan BI Secara Penuh


Permintaan BIPA dalam golongan ini ialah penguasaan BI
secara penuh, utamanya sistem formal kebahasaannya di samping
juga disertai aspek fungsional pemakaiannya secara kontekstual.
Tujuan pengajaran dan pembelajaran ini tentunya memungkinkan
pengembangan rancangan pengajaran dan pembelajaran BIPA secara
berjenjang yang lazim dikenal dalam pengajaran bahasa asing pada
umumnya seperti: tingkat pemula, tingkat menengah dan tingkat
lanjutan. Berikut adalah susunan mata ajar dalam penjenjangannya
(Tingkat pemula khusus dengan tingkat pemula dalam golongan ini
pada prinsipnya sama):
BIPA 1 (PEMULA)
Lama Belajar 10 minggu

Jam Pertama (90 menit) Jam Kedua (90 menit)

Membaca Intensif A Menyimak A


Tata Bahasa Percakapan A
Membaca Intensif B Percakapan B
Percakapan C Menyimak B
Mengarang Terbimbing (Narasi) Praktikum Terpadu
----------------------- Wisata Budaya ------------------------------
BIPA 2 (MENENGAH)

Membaca Intensif A Tata Bahasa


Menyimak (Video) A Mengarang
Deskripsi
~ 150 ~
Membaca Intensif B Menyimak (Video) B
Presentasi Praktikum Terpadu A
Membaca Ekstensif Praktikum Terpadu
B
------------------------ Wisata Budaya -------------------------------
BIPA 3 (LANJUTAN)

Menyimak (Video) A Ceramah Aspek


Budaya
Mengarang Esai Diskusi
Tata Bahasa Membaca Intensif
Terjemahan Membaca Ekstensif
Menyimak (Video) B Praktikum Terpadu
-------------------------- Wisata Budaya ---------------------------------
D. Pembelajar, Pengajar, dan Bahasa Pengantar
Penanganan BIPA juga dipengaruhi oleh faktor siapa yang
belajar dan dalam tingkat penguasaan BI yang mana si pembelajar
itu. Kalau pembelajar masih dalam tingkat awal belajar BI dan yang
bersangkutan kurang mahir dalam bahasa Inggris, biasanya
sebaiknya pengajar mereka adalah para guru BIPA yang juga
menguasai bahasa pertama para pembelajar. Kalau para pembelajar
itu cukup mahir berbahasa Inggris walaupun berasal dari latar
belakang bahasa pertama yang berbeda-beda, tidak terlalu masalah
kalaulah diajar oleh guru BIPA dengan menggunakan Bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar seperlunya. Pengalaman praktis yang
kami hadapi di lapangan menunjukkan kalau pembelajar itu berasal
dari Eropa (yang tidak berbahasa ibu / berbahasa pertama Bahasa
Inggris), biasanya tidak banyak kesulitan bilamana Bahasa Inggris
dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Hal serupa belum tentu
terjadi bila pembelajar berasal dari negara-negara di Asia yang
bukan berbahasa Inggris.
E.  Pendekatan Pengajaran dan Pembelajaran yang Dianut
Pengajaran dan pembelajaran BIPA dalam arti yang
sesunguh-sungguhnya dengan rentang waktu yang memadai terjadi

~ 151 ~
biasanya untuk memenuhi permintaan golongan 2) dan 3) yang saya
sebut terdahulu: permintaan pengenalan BI tingkat dasar dan
permintaan penguasaan BI secara penuh. Sedangkan permintaan
golongan 1) biasanya cukup sampai tingkat tahu BI sepotong-potong
untuk konteks situasi terbatas tertentu.
Tidak dipungkiri bahwa pendekatan pengajaran dan
pembelajaran yang bertujuan penguasaan kompetensi komunikatif
kini sudah banyak diikuti. Namun perlu dicamkan apa tujuan utama
pembelajar BIPA itu. Kalau kebutuhan pembelajar pertukaran lebih
banyak ke arah pemahaman survival Indonesian, tentunya aspek
pemahaman ragam fungsional bahasa ujar lebih penting daripada
ragam bahasa tulis. Sebaliknya jika tujuan pembelajar pertukaran
lebih banyak ke arah pengenalan BI taraf dasar dan taraf penguasaan
BI secara penuh, tentunya penyelenggaran pengajaran dan
pembelajaran BIPA harus memperhatikan aspek formal-
fungsionalnya
Pendekatan komunikatif tidaklah berarti ”pokoknya bisa
berkomunikasi” dalam bahasa target tanpa memperhatikan
penguasaan aspek formal sistem bahasanya. Dalam pengalaman
praktis saya perihal penguasaan aspek formal bahasanya, saya
cermati ada manfaatnya secara ekletik meminjam dari pendekatan
lain dalam hal membangun pembiasaan diri (habit build up) dalam BI
berupa antara lain memperkenalkan pola-pola kalimat BI yang
frekuensi pemakaiannya sangat tinggi. Pengenalan suatu pola
kalimat kemudian dikaitkan dengan latihan produksi kalimat-
kalimat baru berdasarkan pola kalimat utama diajarkan / dilatihkan
melalui mekanisme substitusi. Saya tidak sepakat bahwa aktivitas
demikian disebut ”pembiasaan membeo” bilamana latihan-latihan
dilakukan dengan menggunakan materi ajar yang bermakna dan
relevan secara situasional. Penguasaan pembelajar akan pola-pola
kalimat bermakna secara fungsional dan situasional dan
kemampuan memproduksi kalimat-kalimat baru sesuai makna /
pesan yang ingin disampaikan sangat membantu percaya diri
pembelajar dalam menggunakan BI.
F.  Aspek Bahasa dan Budaya

~ 152 ~
Aspek bahasa dan budaya dalam konteks melayani
kebutuhan pelanggan yang sangat beragam dalam program
pertukaran perlu diperhatikan. Pemilihan materi ajar yang berkaitan
dengan realitas budaya yang hidup dan bagi pembelajar bersifat
”eksotik” dapat membantu meningkatkan daya tarik mereka
terhadap materi ajar tersebut.
Karena permintaan BIPA dalam kaitannya dengan program
pertukaran mahasiswa sangat beragam, sebaiknya aspek-aspek
budaya dalam materi ajar hendaknya sesuai dengan corak
kebutuhan pembelajar asing yang beragam tersebut. Mulai
munculnya beberapa buku ajar BIPA (misalnya ”Sehari-hari dengan
Bahasa Indonesia” dari BIPA-FIB UI) sangatlah mengembirakan
disamping buku-buku ajar terbitan dalam maupun luar negeri
lainnya. Namun yang ingin saya katakan walaupun hal tersebut
sangat penting, khusus untuk menjawab permintaan pasar yang
sangat beragam, saya cenderung sependapat dengan Abdul-Hamied,
bahwa faktor guru BIPA adalah sangat penting. Guru BIPA, yang
dalam hal ini bisa juga diperankan oleh penyelenggara BIPA yang
profesional, akan mampu membuat rancangan-rancangan yang
sesuai permintaan pasar yang beragam. Di U.K. Petra misalnya
perpustakaannya mempunyai situs yang dikenal dengan ”surabaya
memory” (www.petra.ac.id/surabaya-memory) yang berisi sejarah
dan dokumen perkembangan kota Surabaya. Teks-teks BI yang ada
di situs tersebut mungkin bisa dimanfaatkan untuk materi ajar yang
bernuansa realitas budaya Indonesia yang hadir di Surabaya. Teks-
teks yang berbahasa Inggris yang bisa diakses dalam situs tersebut
mungkin juga bisa dipilih dan dimanfaatkan sebagai materi ajar
dalam Praktikum Terpadu ataupun Terjemahan pada kelas tingkat
menengah maupun tingkat lanjutan. Kekayaan sumber materi ajar
otentik yang melimpah akan terasa apa lagi kalau kita menelusuri
Link situs tersebut dengan situs-situs lainnya.
Di samping diajarkannya BI ragam baku, ragam-ragam BI
lainnya yang hidup di masyarakat tempat penyelenggara BIPA perlu
juga mendapat tempat dalam materi ajar BIPA. Dengan demikian
diharapkan tidak akan terjadi kesenjangan antara penguasaan

~ 153 ~
kompetensi BI baku yang ideal dan BI dalam ragam-ragamnya yang
hidup dan dipakai di masyarakat. Dengan keseimbangan
proporsional antara penguasaan kompetensi BI ragam baku dn BI
ragam regional diharapkan tidak akan ada lagi pembelajar asing
yang berkomentar: ”orang Indonesia berbicara BI yang berbeda dari
BI yang saya pelajari”. Materi-materi BI yang terkait dengan BI
ragam regional di Surabaya dan sekitarnya misalnya dengan sangat
mudah bisa didapat di website Jawa Pos Online, surat kabar yang
terbit di Surabaya (www.jawapos.co.id).
G.  Kesimpulan
Sajian saya dalam rangka berbagi pengalaman praktis
mengenai penyelenggaraan BIPA terkait program pertukaran
mahasiswa dapat diringkas sebagai berikut:
1. Program pertukaran mahasiswa antara PTDN dan PTLN
membuka peluang akan permintaan penyelenggaraan
BIPA.
2. Permintaan BIPA dari pelanggan sebagai bagian dari
program pertukaran mahasiswa sifatnya sangat beragam.
Oleh sebab itu permintaan dari pelanggan yang beragam
tersebut harus direspon dengan cara dan pendekatan
yang beragam pula.
3. Bahasa Inggris bisa dipakai sebagai bahasa pengantar
seperlunya bagi kelas BIPA tingkat pemula bilamana
pembelajar asing mempunyai kompetensi Bahasa Inggris
yang cukup baik. Kalau tidak, hendaknya diusahakan
pengajar BIPA yang menguasai bahasa ibu / bahasa
pertama pembelajar asing.
4. Penguasaan pola-pola kalimat dasar bermakna yang
frekuensi pemakaiannya tinggi dan kemampuan
memproduksi kalimat-kalimat baru secara fungsional-
situasional dan sesuai dengan kebutuhan ekpresi
pembelajar asing dapat membantu pembelajar
meningkatkan kompetensi komunikatifnya.
5. Aspek budaya hendaknya terintegrasi dengan sempurna
di dalam materi ajar BIPA.
~ 154 ~
6. Disamping BI ragam baku, BI ragam regional hendaknya
mendapat tempat secara proporsional di dalam materi
ajar BIPA.
7. Banyak sumber-sumber materi ajar otentik di situs internet
yang bisa dipilih dan dipilah untuk materi ajar BIPA.
))0((
Daftar Kepustakaan
Basuki, S. (..) Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa Indonesia untuk
Orang Asing: Berbagai Masalah. BIPA Volume I/1.

Bundhowi, M. (..). Komponen Budaya dalam Pengajaran BIPA. BIPA


Volume I/1.

Dardjowidjojo, S. (1996). Metode dan keberhasilan Pengajaran


Bahasa. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II
Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA
II). IKIP Padang.

Abdul-Hamied, F. (..). Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur


Asing: Isu dan realita. BIPA Volume I/1.

Lapoliwa, H. (1996). BIPA dan Pembinaan Citra Bahasa Indonesia.


Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP Padang.

Puspitorini, D. (1996). Bahasa Indonesia yang Baku dan Nonbaku


dalam Pengajaran BIPA di FSUI. Makalah dalam Konferensi
Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing (KIPBIPA II). IKIP Padang.

Riasa, N. (..). Rancangan Pembelajaran Bahasa Indonesia Sebagai


Bahasa Asing. BIPA Volume I/1.

Sudaryono. ( ...). Pemakaian “Autentic Materials” dalam Pengajaran


Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. BIPA Volume I/5.
~ 155 ~
PEMBERDAYAAN PERAN STRATEGIS ATASE PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DALAM PROGRAM BIPA15

Drs. Suwartono, M. Hum.


Universitas Muhammadiyah Purwokerto

A. Pendahuluan
Walaupun penguasaan bahasa asing dunia dipandang perlu
guna menjawab persaingan global, dan penggunaan bahasa adalah
soal pilihan, tidak ada alasan bagi kita bangsa Indonesia untuk
meninggalkan bahasa Indonesia dan menggantikannya dengan
bahasa asing di wilayah Indonesia. Sebisa mungkin orang asing yang
berada di wilayah Indonesia juga menggunakan bahasa Indonesia
sebagai alat komunikasi. Penguasaan bahasa asing, terutama bahasa
dunia semata sebatas untuk melengkapi diri bila situasi benar-benar
menuntut kita menggunakannya (umpamanya praktik di dalam
kelas bahasa asing, untuk keperluan berlatih, atau memang tidak ada
pilihan lain). Artinya, kita harus memberikan prioritas terhadap
penggunaan bahasa Indonesia. Sudah semestinya bangsa Indonesia
15
Makalah dipresentasikan pada Semiloka Internasional BIPA Pusat
Bahasa Depdiknas di Hotel Grand Melia, Jakarta (18-20 Juli, 2007)
~ 156 ~
merasa lebih bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai bagian dari
budaya dan sebagai identitas bangsa sendiri. Untuk bisa seperti itu,
tentu diperlukan sikap bahasa dan budaya yang positip pada diri
bangsa Indonesia, yang dapat dikawal pembudayaannya melalui
pendidikan.
Guna mengangkat pamor budaya bangsa di mata dunia,
sebisa mungkin bahasa Indonesia juga dikenal, dipelajari, dan/atau
digunakan di mancanegara. Terkait dengan hal ini, kita patut
bersyukur karena oleh sebagian masyarakat dunia di luar Indonesia
bahasa Indonesia telah mulai diperhitungkan. Buktinya, bahasa
Indonesia diajarkan di negara-negara seperti Amerika Serikat,
Jepang, Australia, dan Jerman (Hamied, http://www.ialf/bipa). Di
Australia, bahkan pengajaran bahasa Indonesia dinilai sebagai
investasi jangka panjang terutama untuk kepentingan hubungan dan
kerjasama luar negeri negara itu, sehingga diajarkan pada berbagai
jenjang pendidikan di sana (Kantor Berita “Antara”,
http://www.antara.co.id). Terlalu disayangkan bila capaian ini tidak
dipertahankan. Memang, eksistensi sebuah bahasa dalam jajaran
bahasa-bahasa di dunia tidak dapat dipisahkan dari situasi politik
dan ekonomi negara-negara penggunanya (lihat saja daya pikat
bahasa Cina Mandarin, atau bahasa Jepang akhir-akhir ini), namun
bukan berarti kita harus menunggu hingga kondisi politik dan
ekonomi menjadi ideal. Sebaliknya, kerja keras perlu dilakukan
secara terus menerus.
Para pihak terkait, terutama Pusat Bahasa di Indonesia dan
Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di luar negeri sesuai
dengan tugas masing-masing perlu meningkatkan dan menjaga
kinerja mereka. Mengingat posisi (lebih dekat dengan publik negara
lain) dan misinya (membidangi masalah pendidikan dan
kebudayaan termasuk bahasa), Atase Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia (selanjutnya disingkat Atdikbud) di luar negeri dapat
dinilai paling strategis dalam pengembangan program bahasa
Indonesia bagi penutur asing (BIPA) di luar negeri, khususnya, dan
pemasyarakatan bahasa Indonesia di luar negeri pada umumnya.
Oleh karena itu, tepat sekali Konggres Bahasa Indonesia yang lalu

~ 157 ~
juga merekomendasikan agar Kantor Perwakilan Rl di luar negeri
lebih aktif lagi dalam mengembangkan bahasa Indonesia bagi
pemelajar asing di luar negeri dan menyebarkan informasi tentang
program BIPA yang dikembangkan di Indonesia (Depdiknas,
http://www.depdiknas.go.id/). Dalam hal ini pemakalah berasumsi
Atdikbud telah berbuat sesuatu terkait dengan bahasa Indonesia di
negara mereka masing-masing bertugas. Selanjutnya, makalah ini
berkonsentrasi pada pertanyaan: Apa sajakah yang idealnya
dilakukan oleh Atdikbud dalam rangka menyukseskan program
BIPA? Untuk hal ini, ada baiknya kita tengok terlebih dulu manfaat
program BIPA dan apa saja tugas-tugas Atdikbud RI.

B. Meng-go internasional-kan Bahasa Indonesia


Makalah dan kegiatan Semiloka ini ada karena dipandang
perlu membangun pamor Indonesia di mata dunia. Salah satu upaya
ke arah itu adalah promosi bahasa Indonesia. Bila upaya ini berhasil
maka (1) masyarakat mancanegara yang menjadi pemelajar
dan/atau pengguna bahasa Indonesia akan lebih mudah dalam
mengakses informasi tentang Indonesia, (misalnya melalui buku-
buku dan media massa, internet) sehingga informasi yang lengkap,
akurat, dan lebih bisa dipercaya lebih mudah didapatkan; (2) akan
meningkat popularitas negara dan bangsa Indonesia; (3) meningkat
harapan bahasa Indonesia untuk menjadi sejajar dengan bahasa-
bahasa dunia, dan (4) akan terfasilitasi pembangunan ekonomi
negara yang pernah jaya di masa lalu ini.
Walaupun pemelajar dan/atau pengguna bahasa Indonesia di
mancanegara belum sebanyak pemelajar dan/atau pengguna bahasa-
bahasa dunia setidak-tidaknya dapat diharapkan dari mereka untuk
tidak bersikap etnosentrisme – memandang bangsa lain, dalam hal
ini bangsa Indonesia lebih rendah dibandingkan bangsa mereka
sendiri. Dan, juga perlu dicatat bahwa bahasa-bahasa dunia
senantiasa bergeser. Bahasa Inggris yang kini dipandang sebagai
bahasa nomor wakhid, sebenarnya telah menggeser kedudukan yang
sama dari dominasi bahasa Perancis, yang sebelumnya juga telah
~ 158 ~
menggeser bahasa lain lagi, yaitu bahasa Latin. Jadi, entah kapanpun
harapan bahasa Indonesia akan menjadi media penting komunikasi
antarbangsa, sekurang-kurangnya, sejajar dengan bahasa-bahasa
dunia masih tetap ada. Bila harapan ini gagal terpenuhi setidak-
tidaknya bahasa Indonesia tidak termasuk yang terancam mati
sebagaimana diprakirakan futuris bahwa separuh dari 5000 hingga
6700 bahasa yang kini masih digunakan oleh penuturnya akan
menghilang dari muka bumi setelah tahun 2100 (Sagart, 2001).
C.  Tugas-tugas Atdikbud RI
Sebagai staf yang diperbantukan di Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) terkait, tugas yang diemban Atdikbud dari Menteri
Pendidikan Nasional (yang pelaksanaannya di bawah
kepemimpinan Duta Besar) adalah:
1. Menjajaki kemungkinan untuk meningkatkan kerja sama
di bidang pendidikan dan kebudayaan antara Indonesia
dan pemerintah negara setempat;
2. Membina masyarakat Indonesia di luar negeri, khususnya
pelajar, mahasiswa, pegawai tugas belajar Indonesia di
wilayah akreditasinya;
3. Melakukan pengamatan atas usaha-usaha pendidikan dan
kebudayaan di negara tempat bertugas serta melaporkan
perkembangannya untuk diambil manfaatnya bagi usaha
perkembangan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia ;
4. Menyesuaikan setiap kegiatan dengan dana yang tersedia
dengan mengikuti ketentuan yang berlaku tentang
pelaksanaan APBN;
5. Membina sekolah Indonesia yang telah ada dan menjajagi
kemungkinan didirikan sekolah Indonesia yang baru;
6. Mengikuti pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan
pendidikan dan kebudayaan;
7. Mengembalikan benda-benda sejarah dan kebudayaan
Indonesia yang mungkin masih ada di Negeri Belanda,
sebagai tugas tambahan bagi Atdikbud KBRI Den Haag;
8. Memperlancar hubungan dengan SEAMEC dan UNESCO
Regional Office for Education in Asia, dan Sekretariat
~ 159 ~
Nasional ASEAN setempat, sebagai tugas tambahan bagi
Atdikbud KBRI Bangkok;
9. Menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan.
Dari deskripsi tugas pokok di atas masing-masing Atdikbud
mengaktualisasikannya dalam berbagai program dan kegiatan.
Terkait dengan bahasa Indonesia Atdikbud RI di Kairo (Mesir),
misalnya, antara lain berpartisipasi dalam:
1. Pameran Buku Indonesia pada Cairo International Book Fair
2005 dan 2006;
2. Pameran Lukisan
3. Cairo International Festival For Experimental Theatre;
4. Peningkatan Kursus Bahasa Indonesia
5. Peningkatan budaya Sekolah Indonesia melalui Televisi
Mesir;
6. Dan beberapa event lain di Kairo dan kota-kota lain.
Indonesia mempunyai 13 Kantor Atdikbud pada KBRI di luar
negeri, yaitu (1) Bangkok, Thailand, (2) Berlin, Jerman, (3) Cairo,
Mesir, (4) Canberra, Australia, (5) Den Haag, Belanda, (6) Kuala
Lumpur, Malaysia, (7) London, Inggris, (8) Manila, Filipina; (9) Paris,
Perancis, (10) Port Moresby, PNG, (11) Riyadh, Saudi Arabia, (12)
Tokyo, Jepang, (13) Washington, DC, Amerika Serikat. Bila
dicermati, ada beberapa hal yang masih perlu dioptimalkan oleh
Atdikbud-Atdikbud RI di luar negeri dalam rangka menyukseskan
program BIPA.
D. Kreativitas dalam Program
Program dan kegiatan dijabarkan dari tugas-tugas Atdikbud
terkait dengan promosi bahasa Indonesia di negara ia bertugas.
Selanjutnya, implementasi program dan kegiatan perlu dievaluasi
efektivitasnya dan diperlukan inovasi-inovasi. Kegiatan-kegiatan
yang diprogramkan terkait dengan pengembangan BIPA dan
pemopuleran bahasa Indonesia di luar negeri mungkin implisit
(covert) mungkin eksplisit, mungkin formal mungkin juga kurang
formal, dan bahkan informal, melalui, misalnya, mengadakan makan
malam bersama tokoh masyarakat Indonesia dan pribumi negara
setempat, pementasan tari bersama kedua negara, pengadaan kursus
~ 160 ~
singkat bahasa Indonesia gratis secara berkala dan berkelanjutan,
pengadaan buletin berbahasa Indonesia, dan lainnya sehingga terasa
adanya “greget” pemasyarakatan bahasa Indonesia.
E.  Pengadaan Dialog dengan Khalayak Strategis Setempat
Yang dimaksudkan dengan khalayak strategis setempat di
sini adalah kelompok masyarakat, baik yang berkewarganegaaan
Indonesia ataupun nonIndonesia, yang kiranya paling berpeluang
mampu melanjutkan secara mandiri program-program Atdikbud,
misalnya mahasiswa Indonesia di negara bertugas atau masyarakat
setempat yang pernah tinggal di Indonesia. Diharapkan di negara
tempat Atdikbud bersangkutan bertugas mereka ini bisa menjadi
iklan pemasaran gratis bagi program BIPA. Komunikasi yang terjalin
melalui forum-forum dialogis dengan kelompok-kelompok
masyarakat di wilayah tugasnya di luar negeri, baik masyarakat
Indonesia maupun masyarakat pribumi, selain mencerminkan
kepedulian dan kedekatan pihak Atdikbud terhadap publik
setempat, juga akan mampu menyerap aspirasi mereka dan
mengikuti perkembangan sosial, serta membantu meyakinkan
masyarakat setempat ketika terjadi gejolak di dalam negeri
Indonesia, yang mungkin bisa mempengaruhi apresiasi dan minat
mereka terhadap bahasa Indonesia.
F.  Silaturrahmi dengan Pejabat Setempat
Guna melicinkan berbagai program yang dirancang Atdikbud
RI di luar negeri masih perlu lebih banyak untuk melakukan
pendekatan pribadi yang simpatik dengan para pejabat terkait
setempat. Hal ini sangat penting, mengingat Atdikbud berada dalam
wilayah otoritas mereka. Sebaik apapun program yang telah
dirancang sulit kiranya untuk direalisasikan tanpa dukungan
penguasa setempat.
G.  Relawan dari Lembaga Pendidikan Tinggi Indonesia
Saya pernah membaca sebagian dosen kita ditugaskan di luar
negeri, misalnya di Bangkok dibayar (?) Ada baiknya Atdikbud
menawarkan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi

~ 161 ~
di Indonesia untuk membantu rekruitmen relawan, yang sasaran
utamanya para dosen bahasa. Umpamanya, setelah memenuhi
persyaratan-persyaratan atau rekomendasi lembaga pendidikan
terkait, mereka yang terjaring ditugaskan di negara-negara yang
telah ditentukan selama 1 hingga 2 tahun, dengan pengurusan
administrasi, biaya transportasi dan tinggal di luar negeri didukung
sepenuhnya oleh Atdikbud. Uang saku, bila memungkinkan,
dibantu lembaga pendidikan tempat dosen berasal. Masing-masing
pihak kiranya diuntungkan dengan kerjasama ini. Bagi relawan,
mereka memperoleh banyak pengalaman hidup, umpamanya
bergaul dengan masyarakat dalam perspektif global, tinggal di
lingkungan asing, budaya baru, mempraktikkan keterampilan dan
keahlian yang dimiliki di tengah-tengah masyarakat yang berbeda.

H.  Kesimpulan
Atdikbud memainkan peranan strategis dalam
pemasyarakatan Bahasa Indonesia di publik internasional, dengan
berbagai konsekuensi positipnya bagi bangsa dan negara. Karena
peranannya ini diharapkan Atdikbud tetap jauh dari sikap dan
perilaku status quo dalam program-programnya, termasuk
pemasyarakatan bahasa Indonesia di tempat mereka masing-masing
bertugas.

~ 162 ~
Rujukan
Sagart, Laurent, “Languages: A Heritage to be Preserved”, Keys to
the 21st Century, Berghahn Books & UNESCO Publishing, 2001

Depdiknas (2001), Diakses pada tanggal 14 Mei 2007 dari


http://www.depdiknas.go.id/publikasi/Buletin/Pppg_Tertulis/
08_2001/Kongres_Bhs_Indonesia_VII.htm

Hamied, F.A. “Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing:


Isu dan Realita”. Diakses pada tanggal 5 Januari 2007 dari
http://www.ialf/bipa/april2001/pembelajaranbahasa
indonesia.htm

Kantor Berita “Antara” (2007). Diakses pada tanggal 14 Mei 2007 dari
http://www.antara.co.id/arc/2007/3/30/pengajaran-bahasa-
indonesia-investasi-jangka-panjang-australia

~ 163 ~
~ 164 ~
A L
Abdul-Hamied, 152, 154 Labrousse, 26, 35
Ajip, 77, 79, 83, 87, 88 Lapoliwa, 154
Alwasilah, 103, 117, 119 Lewis, 56, 59
Ansari, 115, 119
M
B Moeimam, 21, 34, 35
Basuki, 153 Moeliono, 116, 119
Breen, 46, 58
Bundhowi, 153 N
Byram, 46, 58
Nothofer, 26, 35
Nunan, 53, 59
D Nunus, 88
Dardjowidjojo, 154
Davies, 117, 119 O
Depdiknas, 8, 109, 113, 155, 156, 162
Drewes, 26, 35 Ophuijsen, 23, 35
Oplt, 27, 36
F
P
Fanany, 45, 48, 49, 51, 52, 59
Pachler, 54, 60
Praha, 36
H
Hamied, 10, 155, 162 R
Hill, 104, 119
Riasa, 78, 101, 106, 119, 120, 154
Roberts, 54, 60
J Rubin, 56, 60
Johns, 26, 27, 35
Jones, 53, 54, 59 S
Sagart, 157, 162
K Steinhauer, 21, 34, 35, 36
Kähler, 35 Stern, 55, 60
KBRI, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 157, 158, Stubbs, 46, 60
159 Sudaryono, 154
Klapper, 55, 59
Kompas, 78, 79, 87 T
Kouritzin, 47, 59
Teeuw, 26, 27, 34, 36
Teselkin, 27, 36, 82
Tomlinson, 47, 60

~ 165 ~
Y Yalden, 46, 60

~ 166 ~

Anda mungkin juga menyukai