Anda di halaman 1dari 57

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA

PADA ANAK PRASEKOLAH (STUDI KASUS)


DALAM TATARAN BUNYI DAN CAMPUR KODE (DWIBAHASA)

PROPOSAL PENELITIAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA
Yang dibina oleh Dr. Abdul Rani,M.Pd.

Oleh
Fa‟izatul Karimah
21601071097

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Januari 2019
KATA PENGANTAR

Rasa syukur dan terimakasih senantiasa kami haturkan kepada Tuhan YME
yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk menyelesaikan
proposal penelitian ini dengan judul “Kesalahan Berbahasa Anak Prasekolah
(Studi Kasus) Dalam Tataran Bunyi Dan Campur Kode (Dwibahasa)”,
juga terima kasih kepada kedua orang tua kami yang dengan sepenuh hati
mendukung serta mendoakan keberhasilan untuk segala hal yang kami tempuh.
Adalah suatu penghargaan bagi kami dapat menciptakan sebuah proposal
penelitian yang diharapkan dapat menjadi referensi terbaru serta dapat
memberikan pandangan-pandangan baru mengenai dunia kebahasaan khususnya
yang terdapat dalam iklan bahasa Indonesia di media masa. Selanjutnya kami
ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Yth, Bpk Dr.Abdul Rani,
M.Pd selaku dosen mata kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia yang
dengan sabar dan kesediaannya selalu membimbing kami hingga terealisasikanlah
sebuah proposal penelitian yang semoga berguna dan bermanfaat kedepannya.
Tidak lupa kami sampaikan pula terima kasih kepada seluruh sahabat yang
bersedia mendukung bahkan membantu proses pembuatan proposal penelitian ini,
kepada seluruh teman-teman kelas C dan seluruh teman PBSI UNISMA yang
telah banyak berkontribusi memberikan masukan dan bantuan kepada kami saat
proses pembuatan proposal penelitian berlangsung. Semoga dengan hadirnya
proposal penelitian ini di kancah akademisi, akan menerbitkan semangat baru bagi
seluruh penerus bangsa, dan semoga ini bukan menjadi karya terakhir dari kami.
Karena dari sini, kami berproses dan betul-betul merasakan manisnya perjuangan
sekalipun waktu yang tersedia sangat singkat. Kami menyadari pengembangan
proposal penelitian ini masih memliki kekurangan yang banyak dan masih
memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, berbagai masukan dan saran dari
pemerhati untuk penyempurnaan proposal penelititan ini sangat kami harapkan.

Malang, 09 Januari 2019


TIM Penulis

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | ii


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
1.3 Tujuan ........................................................................................................................... 6
1.4 Manfaat penelitian......................................................................................................... 7
1.5 Asumsi .......................................................................................................................... 8
1.6 Keterbatasan penelitian ................................................................................................. 8
1.7 Batasan Istilah ............................................................................................................... 9
BAB II............................................................................................................................... 11
KAJIAN PUSTAKA ......................................................................................................... 11
2.1 Teori Kesalahan Berbahasa......................................................................................... 11
2.2 Kajian Fonetik (Bunyi) .............................................................................................. 14
2.2 Kajian Kedwibahasaan............................................................................................... 15
2.3 Alih kode dan Campur Kode ..................................................................................... 17
2.4 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode .......................... 21
BAB III ............................................................................................................................. 22
METODE PENELITIAN .................................................................................................. 22
3.1 Jenis Penelitian............................................................................................................ 22
3.2 Kehadiran Peneliti ....................................................................................................... 23
3.3 Instrumen Penelitan .................................................................................................... 23
3.4 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 23
3.5 Data dan Sumber Data Penelitian ............................................................................... 24
3.6 Teknik Analisis Data................................................................................................... 24
3.7 Triangulasi Data .......................................................................................................... 25
DAFTAR RUJUKAN ....................................................................................................... 54

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | iii


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak prasekolah sering mengalami kesalahan saat berbahasa. Kesalahan-


kesalahan itu berupa kesalahan pengucapan bunyi, penyusunan struktur kalimat,
dan percampuran bahasa (pengggunaan dua bahasa) saat berbicara. Kesalahan-
kesalahan itu terjadi karena pengaruh faktor-faktor disekelilinngnya. Antara lain
ialah faktor yang berasal dari lingkungan. Bisa dari bahasa orang-orang di
sekelilingnya atau karena bahasa pada “mainan” mereka seperti gawai dan
televisi. Sebagai contoh, anak yang sering menonton film kartun “Ipin Upin”
bahasanya juga akan meniru “Ipin-Upin” seperti objek yang akan dikaji dalam
proposal ini. Selain itu, kesalahan berbahasa anak juga bisa terjadi karena
pengaruh bahasa Ibu yang masih melekat pada kehidupan anak bahkan yang
masih digunakan atau yang masih dibiasakan pada anak.
Input bahasa terutama dari lingkungan sosial pertama anak ialah Ayah
dan Ibu pada masa awal kehidupannya dinilai menentukan kemampuan bahasa
dan keterampilan sosial anak di kemudian hari. Tanpa adanya input bahasa, anak
tidak mendapat model bahasa dan perilaku interaksi bahasa, sehingga kemampuan
berkomunikasi tidak berkembang. Saat dilahirkan bayi memasuki dunia sosial
yang penuh suara, afeksi dan sentuhan, yakni dunia komunikasi.
Bayi tumbuh dan berkembang menjadi makhluk sosial dengan rekan
sosialisasi pertamanya adalah ayah dan Ibu atau siapapun yang berperan serupa
ayah dan Ibu. Dalam lingkungan sosial pertama ini, bayi terpajan bahasa, untuk
kemudian menggunakan bahasa itu.Bahasa yang dipajankan kepada bayi
membangun bagian-bagian dari komunikasi sehari-hari. Bahasa mengarahkan apa
yang harus dilakukan. Bahasa memberitahu anak tentang dunia, peristiwa,
tindakan dan objek, dan relasi antar keduanya.Pendek kata, bahasa adalah pusat
dari dunia sosial anak (Clark, 2009: 21). Melalui input bahasa lingkungan sosial
pertama (Ibu dan Ayah), anak tidak hanya memperoleh kosakata dan tata bahasa,

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 1


lebih dari itu anak mengetahui bagaimana merespon bahasa dan menggunakan
bahasa dalam situasi yang berbeda. Sehingga anak melatih keterampilan bahasa
dan komunikasi secara langsung dari Ibu dan Ayah. Dengan demikian,
perkembangan yang dialami anak bukan saja pada aspek bahasa tetapi juga
berbagai macam perilaku yang mengiringi bahasa. Input bahasa dari orang tua
(parental language input) tidak sekedar memberikan masukan bahasa, lebih dari
itu pemelajaran perilaku. Karena bahasa merupakan alat pemelajaran pada anak
bagaimana menjadi anggota masyarakat sosial.
Sebuah hal yang menarik mendapati bahwa seorang bayi mampu
memahami benda sepatu, penggunaannya di kaki, bahkan bisa memilih sepatu
mana yang ingin dipakai sebelum mampu mengucapkan kata /sepatu/ dengan
tepat seperti orang dewasa.Dalam pemerolehan bahasa, bayi melalui tahapan
komprehensi dan produksi (Dardjowidjojo, 2008: 7). Komprehensi merupakan
proses mental yang dilalui manusia (bayi) untuk menangkap apa yang dikatakan
orang dan memahami apa yang dimaksud; sementara produksi adalah proses
mental untuk membuat ujaran
Dikatakan bahwa perkembangan persepsi ujaran adalah proses interaksi
yang kompleks antara seorang anak dengan lingkungan bahasanya. Dan
perkembangan produksi ujaran ditempuh melalui serangkaian tahapan sejak
dekutan hingga ujaran panjang. Kedua proses, baik komprehensi maupun
produksi, dipengaruhi oleh pengalaman dan input bahasa dari dunia di luar diri
bayi. Proses produksi bahasa diperoleh setelah sebelumnya bayi telah mampu
memahami ujaran orang disekitarnya dan beriringan dengan fungsi kognitif
berpikirnya. Dasar semua bahasa adalah makna, tanpa ada ruang untuk mendengar
dan memahami kata, frase dan kalimat dalam konteks bermakna, anak tidak akan
mampu untuk menghasilkan ujaran yang bermakna. Anak perlu dihadapkan
dengan ujaran-ujaran yang memiliki koneksi yang jelas sebelum mereka mulai
mengartikulasikan ujaran tersebut. Hal ini dikarenakan anak terlahir tanpa
pengetahuan atas bahasa tertentu, mereka perlu terekspos sebuah bahasa untuk
dapat mempelajarinya. Namun demikian, ungkapan sederhana pun tidak cukup
untuk terjadinya pemerolehan bahasa. Ujaran yang diungkapkan kepada anak
haruslah berkaitan dengan objek, peristiwa, dan situasi dalam lingkungan

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 2


fisiknya.Bentuk-bentuk bunyi harus berasosiasi dengan sesuatu yang
bermakna.Tanpa, asosiasi makna-bunyi, ujaran dari bunyi-bunyi tersebut menjadi
komunikasi yang tidak signifikan. Terkadang anak mengulang-ulang kata atau
frase yang didengarnya, namun itu belumlah menjadi bukti bahwa dia sedang
belajar bahasa. Bahasa dapat dianggap telah diperoleh jika bunyi-bunyi bahasa
digunakan dalam konteks bermakna yang sesuai. Komprehensi ujaran mendahului
dan menjadi dasar produksi ujaran (Steinberg, Nagata dan Aline, 2001: 35)
dengan dua alasan: (1) pemelajar bahasa pertama harus mendengar bunyi bahasa
sebelum mengetahui (ditujukan) untuk apa bunyi tersebut dan (2) pemelajar harus
mendengar bunyi bahasa yang terkoordinasi dengan objek, situasi atau peristiwa
di lingkungan atau benaknya sebelum menentukan makna dari bunyi bahasa yang
didengarnya.
Anak menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Bahasa itu
sendiri mempunyai tugas guna memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia,
juga menghubungkan manusia satu dengan manusia lain di dalam peristiwa sosial
tertentu. Peran penting bahasa dalam kehidupan manusia saat ini disadari sebagai
kehidupan primer dalam kehidupan sosial manusia itu sendiri. Bahasa merupakan
sistem lambang bunyi yang sifatnya arbitrer (manasuka), yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan juga untuk
mengidentifikasikan diri (KBBI: 2007).
Keberhasilan anak dalam berbahasa adalah kefasihan dalam berbicara
yang banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Adapun cakupannya dalam
kategori lingkungan adalah peran aktif orang 67 tua, fasilitas pendukung dalam
pemerolehan bahasa (media televisi dan radio), orang-orang terdekat dengan anak,
misalnya baby sitter, kakak, kerabat dan saudara yang usianya di atas anak
tersebut. Bahasa anak terkadang sukar diterjemahkan, karena anak pada umumnya
masih menggunakan struktur bahasa yang masih kacau dan masih mengalami
tahap transisi dalam berbicara sehingga sukar untuk dipahami oleh mitra tuturnya.
Untuk menjadi mitra tutur anak dan untuk dapat memahami maksud dari
pembicaraan anak, mitra tutur harus menguasai kondisi atau lingkungan
sekitarnya. Ketika anak masih kecil berbicara mereka masih menggunakan media
di sekitar mereka untuk menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 3


mitra tuturnya di dalam berbicara. Dengan latar belakang hal di atas, maka
seorang Ibu perlu mengetahui sejauh mana perkembangan pemerolehan fonologi
bahasa anak agar sesuai dengan kondisi usianya.

Selain karena pengaruh lingkungan, saat ini bahasa anak berkembang


bersamaan dengan melejitnya kegunaan teknologi.sehingga bahasa yang
dihasilkan tentu mendapat pengaruh dari teknologi. Hal itu juga bersamaan
denganmenggeloranya gaya hidup manusia termasuk para orang tua, sehingga
banyak orang tua yang memberikan edukasi kepada anaknya menggunakan alat-
alat dan cara-cara baru. Mereka cenderung berkomunikasidengan tidak lagi
menggunakan bahasa Indonesia melainkah bahasa asing. Banyak anak yang
memiliki bahasa Ibu bukan dari bahasa Indonesia tetapi bahasa asing. Itu sering
terjadi pada kalangan kaluarga menengah ke atas. Bagi kalangan keluarga
menengah ke bawah, bahasa Ibu yang diberikan dominan kepada bahasa daerah.
Sehingga pencapaian berbahasa Indonesia anak prasekolah sangatlah rendah.
Karena mereka terbiasa berbahasa menggunakan bahasa Ibu.
Selain dari bahasa Ibu, bahasa dari lingkungan juga berperan besar dalam
proses pemerolehan bahasa. Bahasa pengaruh lingkungan bisa timbul dari orang-
orang sekitar, juga bisa timbul dari berbagai media yang menghasilkan bahasa.
Seperti televisi, gawai, radio, dst. Karenanya, Jika hanya guru yang berperan
menghadapi ini, tujuan sepenuhnya bahwa anak akan berbahasa indonesia sesuai
kaidah baik dan benar akan sulit diraih. Karenanya, kerja sama antara guru dan
orang tua sangatlah penting.
Karakteristik berbahasa anak selalu beragam. Hal ini sering terjadi dan
rawan terjadi pada anak prasekolah. Sesuai masanya, anak masa prasekolah
memiliki kaidah tatanan bahasa yang belum sempurna. Terjadnya hal itu dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Baik faktor internal (keluarga) atau bahkan
faktor eksternal (lingkungan). Analisis kesalahan bahasa yang dilakukan terhadap
anak prasekolah ini bertujuan untuk membantu perkembangan anak dalam
berkomunikasi. Ucapan yang dihasilkan anak memiliki kaitan dengan kebiasaan
sehari-harinya. Sehingga dari analisis kesalahan berbahasa ini, dapat ditemukan
solusi untuk memperbaiki pola asuh dan pola pendidikan yang selama ini diterima
anak. Sebuah survei oleh Common Sense Media di Philadelphia mengungkapkan

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 4


bahwa anak-anak mulai usia 4 tahun sudah punya perangkat mobile sendiri tanpa
pengawasan orang tua. Survei ini diisi oleh 350 orang tua keturunan Afrika-
Amerika yang kebanyakan memiliki pendapatan rendah. Mereka mengisi
pertanyaan saat sedang mengunjungi Einstein Medical Center di Philadelphia.
Mengutip situs New York Times, 70 persen orang tua mengaku memang
mengizinkan anak-anak mereka yang usianya 6 bulan sampai 4 tahun bermain
perangkat mobile ketika mereka sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
serta 65 persen melakukan hal yang sama untuk menenangkan si anak saat berada
di tempat umum. (Fajrina, 2015). Lalu satu perempat orang tua mengaku
meninggalkan anak-anak mereka sendiri dengan gadget saat menjelang tidur,
padahal layar terang sebetulnya mengganggu tidur. "Mereka berusaha menidurkan
anak-anak di lingkungan yang malah membuat sulit untuk tidur," tutur salah satu
peneliti, Michael Rich dari Center on Media and Child Health di Boston
Children‟s Hospital. Kebanyakan orang tua juga menyatakan, anak-anak yang
usianya di bawah 1 tahun cenderung menggunakan gadget untuk bermain game,
menonton video, dan bermain aplikasi (Fajrina, 2015).
Yang jelas, sebanyak 72 persen anak usia 8 tahun ke bawah sudah
menggunakan perangkat mobile seperti smartphone, tablet, dan iPod sejak 2013,
di mana mayoritas usia 2 tahun lebih suka pakai tablet atau ponsel pintar tiap
harinya. Dibandingkan tahun 2011 angka tersebut masih berada di 38 persen.
Menurut profesor psikolog Temple University Kathy Hirsh-Pasek yang tidak
terlibat dalam penelitian, fenomena ini sungguh membahayakan. "Angka itu
sangat besar. Jika anak-anak tak bisa lepas dari 'permen digital', kami pun tak bisa
menakar kira-kira apa konsekuensinya terhadap perkembangan sosial mereka,"
ujarnya. Selain menganggap kebiasaan anak-anak yang lengket dengan gadget
sebagai hal berbahaya, tim peneliti juga menyayangkan sikap acuh tak acuh dari
orang tua. "Kurangnya pengawasan orang tua lebih mengkhawatirkan dibanding
penggunaan gadget oleh anak-anak usia muda," tulis tim peneliti (Fajrina, 2015).
Karenanya zaman milenial memang menghasilkan banyak generasi yang
ketergantungan gawai sehingga berdampak pada tingkat serta kualitas
komunikasi. Tak jarang anak yang tidak mau merespon ucapan orang tuanya
hanya karena sibuk bermain gawai. Hal itu merupakan dampak pembiasaan orang

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 5


tua dalam mendidik anak. Rendahnya tingkat dan kualitas komunikasi juga
berpengaruh pada pemerolehan bahasa sang anak. Ada beberapa anak yang
mengalami kesulitan berbahasa untuk mengungkapkan apa yang dirasakan, ada
juga anak yang bahkan tidak berbicara sesuai kenyataan karena terlalu sering
berimajinasi. Selain itu, dampak gaawai juga dapat memengaruhi kebahasaan
anak sehingga sering berbicara menggunakan dua bahasa atau yang bisa disebut
bilingual (dwibahasa). Jadi selain pengaruh bahasa Ibu, bilingual (dwibahasa)
bisa terjadi karena pengaruh lingkungan dan segala pembiasaan yang ada di
dalamnya. Berdasarkan penjabaran di atas, maka akan diteliti “Analisis Kesalahan
Berbahasa Pada Anak Prasekolah (Studi Kasus) Dalam Tataran Bunyi Dan
Campur Kode (Dwibahasa)”

1.2 Rumusan Masalah

1.1.1 Bagaimana kesalahan berbahasa pada anak prasekolah dalam tataran


bunyi?
1.1.2 Bagaimana kesalahan berbahasa pada anak prasekolah dalam campur kode
(dwibahasa)?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mendeskripsikan kesalahan berbahasa pada anak prasekolah dalam tataran


bunyi.
1.3.2 Mendeskripsikan kesalahan berbahasa pada anak prasekolah dalam alih
kode (dwibahasa).

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 6


1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


Dengan mengkaji kesalahan-kesalahan tersebut, setidaknya ada tiga
informasi yang diperoleh, yaitu:
 Sebagai umpan balik bagi guru, sampai sejauh mana kemajuan telah
dicapai siswa, sehingga materi-materi apa sajakah yang masih tersisa
dan harus dipelajari
 Sebagai bukti bagi peneliti tentang bagaimana seseorang memperoleh
dan belajar bahasa, dan
 Sebagai masukan bahwa kesalahan itu merupakan salah satu strategi
yang digunakan siswa dalam memperoleh bahasanya

1.4.2 Manfaat Praktis


Manfaat analisis kesalahan berbahasa ini tentu berbeda dengan
analisis yang pernah dilakukan terdahulu. Karena sebagian besar hanya
menganalisis untuk membantu anak mampu berbicara dengan baik dan
benar. Tetapi kali ini, analisis kesalahan berbahasa pada anak prasekolah,
selain bertujuan untuk membantu anak mampu berbicara baik dan benar,
juga bertujuan untuk membantu orang tua mengetahui kesalahan pola asuh
dan pola didik yang telah diterima anak, yang diketahui dari kesalahan
berbahasa sang anak. Dengan itu, orang tua mampu memperbaiki pola
didik dan pola asuh pada anak sehingga anak dapat menerima asuhan dan
didikan yang lebih baik yang kemudian akan dicerminkan melalui bahasa
yang diucapkan. Tentunya bahasa yang baik dan bahasa yang benar.
Bahasa yang baik ialah bahasa yang mudah dimengerti, dan bahasa yang
benar ialah bahasa yang strukturnya sesuai kaidah dan aturan yang
berlaku.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 7


1.5 Asumsi

Kesalahan merupakan sisi yang mempunyai cacat pada ujaran atau


tulisan para pelajar. Kesalahan tersebut merupakan bagian-bagian konversasi atau
bagian dari komposisi yang “menyimpang” dari norma baku atau norma terpilih
dari performansi bahasa orang dewasa. Para guru dan orang tua yang telah
bersabar terhadap kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa atau anak-anaknya
tiba pada suatu simpulan bahwa “berbuat kesalahan merupakan suatu bagian
belajar yang tidak terhindarkan”. Dengan kata lain, guru dan orang tua tidak perlu
menghindar dari kesalahan, tetapi justru harus menghadapi serta memperbaiki
kesalahan yang dilakukan oleh murid atau anak mereka. Kita hendaklah
benarbenar menyadari bahwa orang tidak dapat belajar bahasa tanpa sama sekali
berbuat kesalahan-kesalahan secara sistematis (Tarigan, 2011: 126).
Salah satu penyebab terjadinya campur kode (dwibahasa) pada bahasa
yang diucapkan anak ialah bahasa Ibu. Bahasa dari lingkungan juga berperan
besar dalam proses pemerolehan bahasa. Bahasa pengaruh lingkungan bisa
timbul dari orang-orang sekitar, juga bisa timbul dari berbagai media yang
menghasilkan bahasa. Seperti televisi, gawai, radio, dst. Karenanya, Jika hanya
guru yang berperan menghadapi ini, tujuan sepenuhnya bahwa anak akan
berbahasa indonesia sesuai kaidah baik dan benar akan sulit diraih. Karenanya,
kerja sama antara guru dan orang tua sangatlah penting.

1.6 Keterbatasan penelitian

Penelitian ini dibatasi pada objek anak prasekolah. Penelitian ini


mengacu pada tahap berbahasa anak dari segi kesalahan bunyi, dan campur kode
(dwibahasa) yakni anak yang berbahasa dengan menggunakan percampuran
antara 2 bahasa atau lebih.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 8


1.7 Batasan Istilah

1. Bahasa
Sistem lambang yang bersifat arbitrer (manasuka) yang dipergunakan
oleh masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
ahasa adalah alat komunikasi yang berupa system lambang bunyi yang
dihasilkan alat ucap manusia. Sebagaimana kita ketahui, bahasa terdiri atas
kata-kata atau kumpulan kata.

2. Fonetik
Fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi
fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari
cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan
penggunaan bahasa.

3. Kedwibahasaan

Kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian, atau


kemampuan seseorang dalam menguasai dua bahasa. kedwibahasaan atau yang
dikenal dengan istilah bilingualisme dapat didefinisikan sebagai suatu
kemampuan individu dalam menguasai dua bahasa dalam komunikasinya.
Berdasarkan KBBI (2007), kedwibahasaan dapat didefinisikan sebagai suatu
perihal mengenai pemakaian atau penguasaan dua bahasa (seperti penggunaan
bahasa daerah di samping bahasa nasional); bilingualisme.

4. Kode atau tanda

Berbagai aspek kebahasaan yang meliputi bahasa, dialek, laras tutur


(speech style), dan aras tutur (speech level). Menurut KBBI (2007), dijelaskan
bahwa dalam istilah linguistik, kode mempunyai arti sebagai: a. tanda (kata-
kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu; b. kumpulan dari
peraturan yang bersistem; dan c. kumpulan prinsip yang bersistem.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 9


5. Campur Kode
Dalam peristiwa tutur, pembahasan mengenai alih kode, biasanya diikuti
pula dengan pembicaraan mengenai campur kode. Peristiwa campur kode
terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia
memasukkan unsurunsur bahasa daerah ataupun bahkan memasukkan unsur-
unsur bahasa asing ke dalam pembicaraan bahasa Indonesianya tersebut. dalam
bagian campur kode, terdapat pula istilah yang hampir sama yakni alih kode
yang berarti penggunaan bahasa lain atau variasi bahasa lain untuk
menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain ataupun dikarenakan adanya
partisipan yang lain. Appel (dalam Chaer dan Agustina: 40 2004)
mengemukakan bahwa alih kode merupakan suatu gejala peralihan pemakaian
bahasa karena berubahnya situasi. Gejala peralihan bahasa yang dimaksud
tentulah melibatkan lebih dari dua bahasa yang digunakan dalam tindak
komunikasi.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 10


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Kesalahan Berbahasa

Kesalahan merupakan sisi yang mempunyai cacat pada ujaran atau


tulisan para pelajar. Kesalahan tersebut merupakan bagian-bagian konversasi atau
bagian dari komposisi yang “menyimpang” dari norma baku atau norma terpilih
dari performansi bahasa orang dewasa. Para guru dan orang tua yang telah
bersabar terhadap kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa atau anak-anaknya
tiba pada suatu simpulan bahwa “berbuat kesalahan merupakan suatu bagian
belajar yang tidak terhindarkan”. Dengan kata lain, guru dan orang tua tidak perlu
menghindar dari kesalahan, tetapi justru harus menghadapi serta memperbaiki
kesalahan yang dilakukan oleh murid atau anak mereka. Kita hendaklah
benarbenar menyadari bahwa orang tidak dapat belajar bahasa tanpa sama sekali
berbuat kesalahan-kesalahan secara sistematis (Tarigan, 2011: 126).

Sementara itu di lain pihak, Dulay menggunakan istilah “goofs” pada


kesalahan yang dilakukan anak-anak di dalam proses pemerolehan bahasa. Istilah
kesalahan yang oleh Tarigan (2011: 303) berasal dari bahasa Inggris „errors‟ yang
selanjutnya bersinonim dengan „mistakes‟ dan „goofs‟, yang di dalam bahasa
Indonesia kita mengenal kata “kekeliruan” dan “kegalatan.” Kesemua kata di atas
tidak asing bagi mereka yang mempelajari bahasa, baik bahasa pertama (B1),
maupun bahasa kedua (B2), yang selanjutnya dikenal sebagai istilah “kesalahan
berbahasa.”

Kesalahan berbahasa di dalam pembelajaran bahasa merupakan suatu hal


yang tidak bisa kita hindari. Kesalahan seseorang dalam berbahasa dapat menjadi
masalah jika orang tersebut mengerti tentang konsep kesalahan itu sendiri, namun
sebaliknya bisa menjadi hal sederhana jika orang tersebut tidak menyadari akan
kesalahannya di dalam bertindak tutur atau berbahasa. Menurut Tarigan (2011)
bahwa kesalahan berbahasa tidak hanya dibuat oleh siswa yang mempelajari

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 11


bahasa kedua (B2), tetapi juga oleh siswa yang mempelajari bahasa pertamanya
(B1). Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan berbahasa itu erat kaitannya dengan
pembelajaran bahasa, baik pembelajaran bahasa pertama (B1) maupun bahasa
kedua (B2). Oleh karena itu, kesalahan-kesalahan yang terjadi itu perlu diketahui
dan dikaji secara mendalam, sebab kesalahan tersebut merupakan bagian integral
dari proses belajar bahasa.

Beberapa konsep atau teori tentang kesalahan berbahasa yang


dikemukakan oleh para ahli, di antaranya Corder yang menggunakan istilah errors
dan mistakes untuk membatasi kesalahan berbahasa. Secara khusus Corder
menjelaskan bahwa errors dan mistakes masuk dalam ranah kesalahan berbahasa,
dengan rincian sebagai berikut:

1). Errors adalah kesarlahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau aturan
tata bahasa (breaches of code). Kesalahan ini terjadi akibat penutur sudah
memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda dari tata bahasa yang lain,
sehingga itu berdampak pada kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan
penutur. Hal tersebut berimplikasi terhadap penggunaan bahasa, terjadi kesalahan
berbahasa akibat penutur menggunakan kaidah bahasa yang salah.

2). Mistakes adalah kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam memilih
kata atau ungkapan untuk suatu situasi tertentu. Kesalahan ini mengacu kepada
kesalahan akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah yang diketahui benar,
bukan karena kurangnya penguasaan bahasa kedua (B2).

Errors (kesalahan) dan mistakes (kekeliruan) yang oleh Corder (dalam


Rusminto: 2011) dinyatakan sebagai dua hal yang berbeda. Ditambahkan bahwa
errors (kesalahan) sebagai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi secara
sistematis dan konsisten, dan disebabkan oleh belum dipahaminya sistem
linguistik bahasa yang digunakan.

Sementara itu, mistakes (kekeliruan) adalah penyimpangan yang tidak


sistematis dan konsisten. Meskipun begitu, dalam uraian selanjutnya dinyatakan
bahwa untuk menentukan apakah suatu penyimpangan yang dibuat oleh siswa itu
sebagai suatu kesalahan (errors) atau kekeliruan (mistakes) merupakan

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 12


permasalahan yang sulit dan memerlukan pengkajian lebih lanjut (Corder dalam
Richards, 2004). Pendapat lain yang berbeda sebagaimana dikatakan oleh Jain
(dalam Richards, 2004: 206) yang mengunakan istilah slip of tongue or slip of pen
sebagai suatu kesalahan berbahasa (errors) yang tidak hanya terjadi pada
seseorang yang mempelajari bahasa kedua, tetapi bisa terjadi pada mereka penutur
asli. Kesalahan ini oleh Jain disebut sebagai kesalahan yang tidak sistematis
(unsystematic errors).

Kesalahan jenis ini terjadi bisa karena faktor psikologis, seperti capai
atau kelelahan, berubah dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi yang
lain. Kesalahan yang sistematis dilakukan seseorang di dalam berbahasa jika tidak
segera diidentifikasi dan dibetulkan, akan mengakibatkan kesalahan yang
berkelanjutan sehingga mengakibatkan kesalahan berbahasa yang dapat
berpengaruh pada hal-hal lain, seperti guru, lingkungan sekolah, perangkat
pengajaran, hingga bahan ajar itu sendiri. Kesemuanya memberi kontribusi
terhadap kegagalan siswa di dalam pembelajaran bahasa (sebagai akibat dari
kesalahan berbahasa yang mereka lakukan (Jain dalam Richards, 2004: 207).

Identifikasi dan pembetulan yang sistematis terhadap kesalahan


berbahasa yang dilakukan siswa perlu segera dilakukan agar pemilihan strategi
pembelajaran bahasa dapat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai pada
pembelajaran bahasa tersebut. Namun, Kachru (dalam Richards, 2004: 85)
menggunakan istilah yang sedikit berbeda dengan pakar lain. Dia menggunakan
istilah “deviations” (penyimpangan) dan ”mistakes” (kesalahan). Selanjutnya,
menurut temuan kajian dalam bidang psikologi kognitif, setiap anak yang sedang
memperoleh dan belajar bahasa kedua (B2) selalu membangun bahasa melalui
proses kreativitas. Jadi, kekhilafan adalah hasil atau implikasi dari kreativitas,
bukan suatu kesalahan berbahasa. Kekhilafan adalah suatu hal yang wajar dan
selalu dialami oleh anak (siswa) dalam proses pemerolehan dan pembelajaran
bahasa kedua. Hal itu merupakan implikasi logis dari proses pembentukan kreatif
siswa (anak). Kekhilafan berbahasa bukanlah sesuatu yang semata-mata harus
dihindari, melainkan sesuatu yang perlu dipelajari. Berdasarkan pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa yang

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 13


menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku dalam suatu bahasa. Oleh karena
itu, kesalahan berbahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa Indonesia, secara
lisan maupun tulis, yang berada di luar 16 atau menyimpang dari faktor-faktor
komunikasi dan kaidah kebahasaan dalam bahasa Indonesia (Tarigan, 2011).

2.2 Kajian Fonetik (Bunyi)

Menurut Kridalaksana dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang


dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
(Muslich 2008:7) mengatakan fonologi adalah kajian mendalam tetang bunyi-
bunyi ujaran. Secara singkat mengatakan fonologi adalah kajian linguistik yang
menelahan struktur bunyi. Fonologi mempunyai dua cabang kajian. Pertama,
fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah
bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ
tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. (Chaer,
2007:20) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis
fonetik, yaitu: fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi,
mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam
menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan,
fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena
alam (bunyibunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan
intensitasnya), dan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme
penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita (Dew dan Jensen, 1997: 3 dalam
Muclich, 2008: 8-10). Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan
dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang
berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau
diucapkan manusia.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 14


2.2 Kajian Kedwibahasaan

Secara sederhana, kedwibahasaan atau yang dikenal dengan istilah


bilingualisme dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan individu dalam
menguasai dua bahasa dalam komunikasinya. Berdasarkan KBBI (2007),
kedwibahasaan dapat didefinisikan sebagai suatu perihal mengenai pemakaian
atau penguasaan dua bahasa (seperti penggunaan bahasa daerah di samping
bahasa nasional); bilingualisme.

Kedwibahasaan dipandang sebagai wujud dalam suatu peristiwa kontak


bahasa. Dijelaskan bahwa istilah kedwibahasaan merupakan istilah yang
pengertiannya bersifat nisbi atau relatif. Hal tersebut dikarenakan pengertian dari
kedwibahasaan berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan yang dimaksud
dipengaruhi dengan adanya sudut pandang atau dasar pengertian dari bahasa itu
sendiri yang berbeda-beda. Lebih lanjut, kenisbian yang dimaksud terjadi karena
batas seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan itu bersifat arbitrer atau
hampir tidak dapat ditentukan secara pasti.

Sedangkan Mackey (dalam Aslinda dan Syafyahya: 2007), mengatakan


bahwa dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti
masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode,
interferensi, dan integrasi. Dari pendapat tersebut, penulis menggaris bawahi
bahwa dalam dunia kedwibahasaan seseorang ataupun kedwibahasaan pada guru,
pastilah dijumpai beberapa pengertian yang setidaknya mengenai pertukaran
bahasa atau alih kode dan percampuran bahasa atau campur kode yang secara
mendasar akan diberikan definisi serta tipologi dari kedua masalah tersebut pada
bagian selanjutnya.

Jadi, pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa kedwibahasaan itu


pada dasarnya merupakan kemampuan dari seseorang, baik individu ataupun
masyarakat, yang menguasai dua bahasa dan mampu untuk menggunakan kedua
bahasanya tersebut dalam melakukan komunikasi sehari-hari secara bergantian
dengan baik. Sedangkan seseorang yang terlibat dalam kegiatan atau praktik

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 15


menggunakan dua bahasa secara bergantian itulah yang disebut dengan
bilingualnya atau yang kita kenal dengan istilah dwibahasawan.

Dilihat dari tingkat kedwibahasaannya, terdapat jenis kedwibahasaan


tingkat minimal dan maksimal. Pada kedwibahasaan tingkat minimal menganggap
individu sudah dinyatakan sebagai individu yang dwibahasawan apabila individu
itu mampu untuk melahirkan tuturan yang berarti dalam bahasa lain. Selanjutnya,
kedwibahasaan maksimal menganggap bahwa individu adalah dwibahasawan
apabila individu itu mampu untuk melahirkan tuturan dalam dua bahasa secara
memuaskan. Menurut lanjutan tentang pendapat tentang jenis kedwibahasaan
tersebut, Kamaruddin (dalam Santosa: 2005) mengemukakan pula bahwa seorang
dwibahasawan juga bisa pasif dalam artian mampu untuk memahami. Akan tetapi,
seorang dwibahasawan tersebut tidak mampu secara aktif untuk memproduksi
tuturan dalam bahasa target. Selanjutnya, apabila dilihat dari hubungan ungkapan
dengan maknanya, kedwibahasaan yang dimiliki seseorang bisa berbentuk
kedwibahasaan koordinat, kedwibahasaan majemuk, dan kedwibahasaan
subordinat. Kedwibahasaan koordinat terjadi bilamana terdapat dua sistem bahasa
atau lebih yang masing-masing berbeda. Dalam kedwibahasaan majemuk terdapat
ungkapan yang menggabungkan satu satuan makna dengan dua satuan ungkapan
pada setiap bahasanya. Sedangkan kedwibahasaan subordinat adalah dimana
satuan makna pada bahasa pertamanya berhubungan dengan satuan ungkapan
serta sama dalam satuan ungkapan pada bahasa keduanya.

Salah satu penyebab terjadinya alih kode (dwibahasa) pada bahasa yang
diucapkan anak ialah bahasa Ibu. Bahasa dari lingkungan juga berperan besar
dalam proses pemerolehan bahasa. Bahasa pengaruh lingkungan bisa timbul dari
orang-orang sekitar, juga bisa timbul dari berbagai media yang menghasilkan
bahasa. Seperti televisi, gawai, radio, dst. Karenanya, Jika hanya guru yang
berperan menghadapi ini, tujuan sepenuhnya bahwa anak akan berbahasa
indonesia sesuai kaidah baik dan benar akan sulit diraih. Karenanya, kerja sama
antara guru dan orang tua sangatlah penting.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 16


2.3 Alih kode dan Campur Kode

Berkaitan dengan definisi dan tipologi dari kedwibahasaan yang telah


dikemukakan sebelumnya, yaitu setelah menengok kembali pendapat dari Mackey
dan Fishman (dalam Chaer dan Agustina: 2004), bahwa secara sosiolinguistik,
secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Oleh
karena itu, dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian,
seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran bahasa atau alih kode, percampuran
bahasa atau campur kode, interferensi, dan integrasi.

Dari pendapat yang telah dikemukakan Mackey dan Fishman tersebut,


terdapat dua hal yang perlu dibahas bahwa dalam dunia kedwibahasaan seorang
individu ataupun kedwibahasaan pada guru, pastilah dijumpai beberapa
pengertian tentang fenomena bahasa pada masyarakat yang multilingual.
Beberapa pengertian yang dimaksud setidaknya mengenai pertukaran bahasa atau
alih kode dan percampuran bahasa atau campur kode.

Variasi bahasa biasanya terjadi pada para dwibahasawan atau


anekabahasawan. Kontak dari penggunaan bahasa dalam guyup tutur
dwibahasawan atau anekabahasawan akan memunculkan suatu proses yang saling
mempengaruhi dari satu kode ke kode yang lainnya, yang mana kesemuanya itu
dapat terwujud dalam bentuk alih kode ataupun campur kode. Sedangkan
penjabaran dari kedua istilah tersebut (alih kode dan campur kode) adalah sebagai
berikut yang diawali dengan definisi dan tipologi kode sebagai dasar pijakan
penjelasan selanjutnya tentang alih kode dan campur kode.

Kode

Menurut KBBI (2007), dijelaskan bahwa dalam istilah linguistik, kode


mempunyai arti sebagai: a. tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk
maksud tertentu; b. kumpulan dari peraturan yang bersistem; dan c. kumpulan
prinsip yang bersistem. Kode siartikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan
unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri yang khas sesuai dengan latar belakang

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 17


penutur, kesetaraan penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur yang ada. Dalam
suatu kode terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata,
morfem, dan fonem. Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara
riil atau secara nyata digunakan untuk berkomunikasi anggota-anggota suatu
masyarakat bahasa. Bagi masyarakat multilingual, inventarisasi kode menjadi
lebih luas dan mencakup varian-varian dua bahasa atau lebih. Kode-kode yang
dimaksud dengan sendirinya mengandung arti yang sifatnya menyerupai arti
unsur-unsur bahasa yang lain. Jadi, dari beberapa definisi kode tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa pemakaian kode tidak lepas dari fenomena penggunaan
bahasa oleh manusia di dalam masyarakat. Tidak semua bahasa mempunyai kosa
kode yang sama dalam inventarisasinya.

Kode akan banyak ditemukan pada bahasa yang mempunyai macam


dialek yang banyak, tingkat undha-usuk atau tindak tutur yang kompleks, dan
dipakai sebagai bahasa pengantar kebudayaan yang mempunyai banyak ragam.
Lebih lanjut, dikatakan pula bahwa kode selalulah mempunyai suatu makna.
Dalam bahasa Jawa, tingkat undha-usuk krama mempunyai makna sopan.
Sedangkan tingkat ngoko mempunyai makna yang tidak santun.

Alih Kode

Berdasarkan KBBI (2007), alih kode adalah penggunaan bahasa lain atau
variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain ataupun
dikarenakan adanya partisipan yang lain. Appel (dalam Chaer dan Agustina: 40
2004) mengemukakan bahwa alih kode merupakan suatu gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Gejala peralihan bahasa yang
dimaksud tentulah melibatkan lebih dari dua bahasa yang digunakan dalam tindak
komunikasi.

Hymes (dalam Chaer dan Agustina: 2004) menyatakan lain tentang alih
kode seperti halnya dikemukakan oleh Appel yang menyatakan bahwa peristiwa
alih kode itu terjadi antarbahasa. Namun, Hymes menyatakan bahwa alih kode itu
bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan dapat terjadi pula antara ragam-ragam
atau gaya-gaya yang terdapat di dalam satu bahasa. Secara lengkapnya, Hymes

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 18


(dalam Chaer dan Agustina, 2004: 108), mengatakan ”code switching has become
a common term for alternate us of two or more language, varieties of language, or
even speech styles”.

Dari pendapat kedua tokoh tersebut di atas, Appel dan Hymes, jelas bagi
kita bahwa pengalihan bahasa (B1 ke B2) yang dilakukan adalah berkenaan
dengan berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal, ragam santai
ke ragam resmi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini dapat diketahui pula bahwa
alih kode akan terjadi antar bahasa atau dalam bahasa satu ke bahasa kedua,
misalnya peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Prancis, bahasa Jawa ngoko
ke bahasa Jawa krama, dan lain sebagainya. Gejala peralihan pemakaian bahasa
dalam suatu tindak komunikasi ditentukan oleh penutur dan mitra tutur, kehadiran
P3, dan pengambilan keuntungan. indakan komunikasi seorang dwibahasawan
dalam mengalihkan pemakaian bahasa ini dilakukan dengan adanya kesadaran
dari si pemakai bahasa tersebut. Dengan demikian, alih kode itu sendiri
merupakan suatu gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena
berubahnya situasi.

Suwito (dalam Aslinda dan Syafyahya: 2007) membedakan alih kode


atas dua macam, yaitu alih kode internal dan alih kode eksternal. Alih kode
internal terjadi antarbahasa itu sendiri, misalnya komunikasi bahasa Jawa yang
beralih ke bahasa Indonesia, atau sebaliknya. Sementara itu, pada alih kode
eksternal terjadi antarbahasa itu sendiri dan bahasa asing, misalnya komunikasi
bahasa Jawa yang beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya, maupun komunikasi
bahasa Indonesia yang beralih ke bahasa Prancis atau sebaliknya.

Campur Kode

Dalam peristiwa tutur, pembahasan mengenai alih kode, biasanya diikuti


pula dengan pembicaraan mengenai campur kode. Peristiwa campur kode terjadi
apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-
unsur bahasa daerah ataupun bahkan memasukkan unsur-unsur bahasa asing ke
dalam pembicaraan bahasa Indonesianya tersebut. Dengan kata lain, seseorang
yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang mempunyai fungsi

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 19


keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah atau bahasa asing yang terlibat
dalam kode utama tersebut merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau
keotonomian sebagai sebuah kode (Aslinda dan Syafyahya: 2007).

Secara sederhana, campur kode diartikan sebagai suatu gejala


pencampuran pemakaian bahasa karena berubahnya situasi tutur. Dalam KBBI
(2007), campur kode adalah: 50 a. penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke
bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa ataupun ragam bahasa,
pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan lain sebagainya; dan b. interferensi.
Sementara itu, Aslinda dan Syafyahya (2007) mengemukakan bahwa ciri yang
menonjol dalam peristiwa campur kode adalah terjadi pada ragam kesantaian atau
situasi informal. Dalam situsi berbahasa formal, sangatlah jarang terjadi campur
kode dalam peristiwa tuturnya. Kalaupun ada peristiwa campur kode dalam
keadaan tersebut, hal itu dikarenakan tidak adanya kata atau ungkapan yang tepat
untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakainya. Sehingga perlu memakai
kata ataupun ungkapan dari bahasa daerah atau bahkan bahasa asing

Seorang yang dwibahasawan misalnya, dalam berbahasa Indonesia


banyak menyelipkan bahasa asing, maka penutur yang dwibahasawan tersebut
dapat dikatakan telah melakukan pencampuran kode. Sebagai akibatnya, muncul
satu ragam bahasa Indonesia yang kebarat-baratan. Lain halnya kalau seorang
menyelipkan bahasa daerahnya, bahasa Jawa misalnya, ke dalam komunikasi
bahasa Indonesianya. Akibatnya, akan muncul pula satu ragam bahasa Indonesia
yang kejawa-jawaan. Peristiwa campur kode dapat terjadi pada serpihan bahasa
pertama pada bahasa kedua, misalnya bahasa Indonesia yang diselingi oleh kata-
kata dari bahasa Inggris, bahasa Prancis, ataupun bahasa Cina. Penggunaannya
pun ditentukan oleh penutur dan mitra tuturnya di tempat tertentu dan dilakukan
dengan kesadaran. Sebagai contoh peristiwa campur kode, perhatikan percakapan
berikut ini yang dilakukan oleh para penutur dwibahasawan Indonesia-China
Putunghoa di Jakarta.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 20


2.4 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode

Ketika kita hendak menelusuri faktor-faktor penyebab terjadinya alih


kode, maka harus kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti
yang dikemukakan Fishman (dalam Chaer dan Agustina: 2004), yaitu tentang
“siapa berbicara, dengan bahasa apa berbicara, kepada siapa berbicara, kapan
berbicara, dan dengan tujuan apa berbicara” tersebut. Dalam berbagai kepustakaan
linguistik secara umum, faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode disebutkan
antara lain adalah sebagai berikut (Chaer dan Agustina: 2004): 1. Pembicara atau
penutur. 2. Pendengar atau lawan tutur. 3. Perubahan situasi dengan hadirnya
orang atau pihak ketiga. 4. Perubahan dari situasi formal ke situasi informal atau
sebaliknya. 5. Perubahan topik pembicaraan. Seorang penutur seringkali
melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindak
komunikasinya. Mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode,
misalnya dengan alasan si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si
mitra tutur. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si mitra tutur kurang
karena memang mungkin bukan merupakan bahasa pertamanya (Chaer dan
Agustina: 2004).

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 21


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskripsi


kualitatif. Menurut Nazir (1988), metode deskriptif merupakan suatu metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antarfenomena yang diselidiki. Sedangkan menurut Sugiyono (2005)
menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan
untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Menurut Whitney (1960), metode
deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.
Adapun masalah yang dapat diteliti dan diselidiki oleh penelitian
deskriptif kualitatif ini mengacu pada studi kuantitatif, studi komparatif
(perbandingan), serta dapat juga menjadi sebuah studi korelasional (hubungan)
antara satu unsur dengan unsur lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi
pengumpulan data, analisis data, interprestasi data, dan pada akhirnya dirumuskan
suatu kesimpulan yang mengacu pada analisis data tersebut.
Setiap penelitian tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda,
termasuk juga penelitian deskriptif kualitatif ini. Tujuan dari dilakukannya
penelitian ini adalah tidak hanya untuk menjelaskan secara menyeluruh masalah
yang akan diteliti dan diamati saja, namun juga ada tujuan lainnya. Tujuan dari
penelitian deskriptif kualitatif akan menjadi pedoman bagi kita ketika akan
melakukan suatu penelitian.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 22


3.2 Kehadiran Peneliti

Dalam meneliti 3 objek penelitian, peneliti terjun ke lapangan guna


mengambil data. Peneliti melibatkan diri bercakap dengan objek yang akan di
teliti. Darinya peneliti memahami situasi dan kondisi yang terjadi kepada objek
serta segala hal yang terjadi di lapangan. Hal ini memudahkan peneliti untuk
mengambangkan serta memaparkan penjelasan dalam penelitian ini.
Untuk 2 objek lainnya, peneliti tidak terjun ke lapangan karena objek
yang akan di teliti terbatas. Karenanya peneliti memanfaatkan teknologi yang ada
saat ini karena bersifat memudahkan. Sehingga peneliti mengambil video dari
media sosial. Meski begitu, peneliti memiliki identitas diri yang lengkap
mengenai objek yang diambil melalui media sosial. Selain itu, meski peneliti
mengambil data melalui media sosial, topik yang terjadi atau dilakukan objek
tidak menyimpang dengan topik yang telah ditentukan.

3.3 Instrumen Penelitan

Instrumen penelitian dengan pendekatan kualitatif untuk mengumpulkan


data pada umumnya terbatas pada alat bantu. Dalam penelitian ini, peneliti
menjadi instrumen utama. Kemudian peneliti juga menggunakan alat bantu yaitu
gawai sebagai alat perekaman data. Kemudian digunakan alat penyimpanan data
berupa flashdisk.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan perekaman


iklan berbahasa Indonesia pada radio saat radio mengudara. Selanjutnya dilakukan
teknik simak untuk mendapatkan hasil transkrip naskah iklan. Kemudian
dilakukan tahap pencatatan (transkrip) sehingga data yang semula berwujud lisan
menjadi data berwujud tulis. Proses transkrip ini berlangsung pada tanggal 25
Desember 2018-11 Januari 2019, tepat 1 hari setelah proses perekaman.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 23


Kemudian yang terakhir ialah tahap pendataan atau pendaftaran klasifikasi data
sebelum dianalisis.

3.5 Data dan Sumber Data Penelitian

Data yang dianalisis dalam penelitian ini ialah tuturan-turan anak


prasekolah yang berusia 3-5 tahun. Data dikumpulkan pada 25 Desember 2018-11
Januari 2018. Terdapat beberapa tuturan dari 5 anak prasekolah yang masing-
masing membicarakan topik berbeda, akibatnya data yang didapat sangat
beragam. Berikut adalah daftar nama objek penelitian yang menjadi sumber
pengumpulan data:

Tabel 3.5.1 daftar sumber data penelitian

NO Nama Anak Umur Alamat


1 Salma Salila 4th Sidodadi, Singosari, Malang
2 M. Faruq Al-Huda 5th Sidodadi, Singosari, Malang
3 Ummi Sakina 3,5th Ngenep, Karangploso, Malang
4 Mayesa Hafsah Kirana 4th Muscat, Oman
5 Gempita Noura Marteen 4th Rempoa, Tangerang Selatan

3.6 Teknik Analisis Data

Langkah-langkah analisis ini sejalan dengan kajian analisis deskriptif.


Analisis deskriptif ialah analisis dengan merinci dan menjelaskan selengkap-
lengkapnya terhadap data yang diteliti . Berikut langkah-langkahnya:

a. Tahap Transkrip Data

Pada tahap ini, data yang berupa tuturan dalam rekaman ditraskrip
menjadi wujud tulisan sekaligus pengkodifikasian. Kodifikasi hanya
diterapkan pada tuturan anak prasekolah.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 24


b. Tahap Identifikasi Data
Pada tahap ini data diidentifikasi dengan mengelompokkan mana tuturan
yang memiliki kesalahan bunyi dan mana tuturan yang memiliki campur kode
(dwibahasa).

c. Tahap Penafsiran Data


Pada tahap ini data ditafsirkan sesuai dengan teori.

d. Tahap Pelaporan Analisis Data


Hasil analisis data dilaporkan dengan simpulan yang sesuai ke dalam
bentuk paragraf.

3.7 Triangulasi Data


 Transkrip Data ke-1
Nama: Salma Salila
Umur: 4th
Alamat: Singosari Malang

1. Salma: “Nama saya upin dan ipen! Saya wingi di Miami, sa....ngat suka..! Ada
mainaan, saye masak, daan macem-macem. Udaah! Masak ayam
gore....ng! Silakan dimaka......n di.... Miami.....! ayam, pakek topi..,
kayak baju itu, tus di ambil ayamnya, tyus di tepung-tepung dicup di
airl itu.. sampe tidak netes. Trus di tepung, uda dehh!
Kakak: “Trus digoreng..?”

2. Salma: “Iy..a dibawak pula..ng!, kenape ituh! O,.. ade mai..na..n.., kere..ta,
ku..da, da....n dan mainan bone..ka, dapat es, gem-geman, suke.. sekali.
Ade lagu-lagu.. a tidak tau lah... ade, ade, dijak menari da..n berjoget-
joget. Daaah! Su.. eh. Kalo masak-masakan, saye lagi suka nih...”

Kakak: “Kalo masak sungguhan?”


3. Salma: “Masak sungguhan itu apasih?”

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 25


Kakak: “Masak sungguhan itu masak beneran di dapur..”
4. Salma: “Adu.. tidak berlani do..ng,.. u,u.. u,u..”
Kakak: “Kenapa?”
5. Salma: “A.. soalnya kan kompor itu ada apinya deh.. kan ada el-pi-ji..”
Kakak: “Terus? Takut kebakaran?”
6. Salma: “Iyaa. Kalo rumahnya kebakarlan, bagaimana...?”
Kakak: “Kalo.. motong-motong, bisa?”
7. Salma: “E... kalo motong brambang goreng tidak bise,. Kalo motong, kalo
motong, kalo motong kentang bise.”
Kakak: “Pake apa kalo motong kentang?”
8. Salma: “Pakek.. pakek lading..”
Kakak: “Pakek lading., bisa..?”
9. Salma: “Bissa dooong.”

 Identifikasi Data ke-1

Tabel 3.7.1 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

NO Bentuk Tuturan Bahasa yang Sebenarnya

1. Ipen Ipin
2. Saye Saya
3. Macem-macem Macam-macam
4. Udah Sudah
5. Pakek Pakai
6. Teyus Terus
7. Tus Terus
8. Sampek Sampai
9. Dibawak Dibawa
10. Kenape Kenapa
11. Ituh Itu
12. Ade Ada
13. Suke Suka
14. Berlani Berani
15. Kebakarlan Kebakaran
16. Kalo Kalau

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 26


Tabel 3.7.1 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah
NO Bentuk Tuturan Asal Bahasa
1. Wingi Jawa
2. Dicup Indonesia + Jawa diplesetkan
3. Brambang Jawa
4. Lading Jawa

 Penafsiran Data ke-1

Tabel 3.7.1 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

 No.1
Ipin menjadi Ipen

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “i” yang diganti


menjadi bunyi vokal “e”. Karena ini adalah nama orang, apabila digunakan
untuk memanggil orang yang dituju bisa saja orang tersebut tidak memberi
respon. Sehingga akibat dari pergantian bunyi ini adalah berubahnya makna
kata yang semula Ipin menjadi Ipen. Namun karena konteks pengucapan ini
bermula dari penutur yang menirukan logat melayu pada sinema kartun Ipin
dan Upin, dan tidak dimaksudkan memanggil orang, maka perubahan bunyi
tersebut tidak merubah makna.

 No.2
Saya menjadi Saye

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “a” yang diganti


menjadi bunyi vokal “e”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena penutur
yang menirukan logat melayu pada sinema kartun Ipin dan Upin. Maka
meskipun terdapat perubahan bunyi vokal pada kata Saya menjadi Saye,
perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 27


 No.3
Macam-macam menjadi Macem-macem

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “a” yang diganti


menjadi bunyi vokal “e”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena penutur
menirukan logat melayu pada sinema kartun Ipin dan Upin. Maka meskipun
terdapat perubahan bunyi vokal pada kata macam-macam menjadi macem-
macem, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.4
Sudah menjadi Udah

Ucapan tersebut mengalami pelesapan huruf konsonan “s” sehingga


kata Sudah menjadi Udah .Pelesapan bunyi ini disebabkan karena faktor usia
penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa mengucapkan huruf s, r,
dst sebab dirassa terlalu berat. Namun meski begitu, perubahan bunyi akibat
pelesapan huruf konsonan “s” dari kata sudah menjadi udah tersebut tidak
merubah makna.

 No.5
Pakai menjadi Pakek

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi diftong “ai” yang


diganti menjadi gabungan bunyi vokal dan konsonan “ek”. Perubahan bunyi
ini disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur,
yakni bahasa jawa. Karenanya logat jawa yang digunakan menyebabkan
terjadinya pergantian bunyi diftong “ai” pada kata pakai menjadi gabungan
vokal dan konsonan “ek” pada kata pakek. Namun meski begitu, perubahan
bunyi tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 28


 No.6
Terus menjadi Teyus

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi konsonan “r” yang


diganti menjadi bunyi vokal “y”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat. Namun meski
begitu, pergantian bunyi konsonan “r” pada kata terus yang diganti menjadi
bunyi vokal “y” pada kata teyus tersebut tidak merubah makna.

 No.7
Terus menjadi Trus

Ucapan tersebut mengalami pelesapan huruf vokal “e” sehingga kata


Terus menjadi Trus .Pelesapan bunyi ini disebabkan karena faktor usia
penutur yang dalam vase ini memang belum stabil, sehingga berbicara dengan
jeda yang tidak teratur kadang lamban kadang cepat. Sehingga pada saat
berbicara dengan cepat, terdapat bunyi yang dilesapkan. Namun meski
begitu, perubahan bunyi akibat pelesapan huruf vokal “e” dari kata terus
menjadi trus tersebut tidak merubah makna.

 No.8
Sampai menjadi Sampek

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi diftong “ai” yang


diganti menjadi gabungan bunyi vokal dan konsonan “ek”. Perubahan bunyi
ini disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur,
yakni bahasa jawa. Karenanya logat jawa yang digunakan menyebabkan
terjadinya pergantian bunyi diftong “ai” pada kata sampai menjadi gabungan
vokal dan konsonan “ek” pada kata sampek. Namun meski begitu, perubahan
bunyi tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 29


 No.9
Dibawa menjadi Dibawak

Ucapan tersebut mengalami penambahan huruf konsonan “k” pada


akhiran kata dibawak. Penambahan bunyi ini disebabkan karena pengaruh
bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa jawa. Karenanya
logat jawa yang digunakan menyebabkan terjadinya penambahan huruf
konsonan “k” pada akhiran kata dibawak. Namun meski begitu, perubahan
bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.10
Kenapa menjadi Kenape

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “a” pada kata


kenapa yang diganti menjadi bunyi vokal “e” kenape. Perubahan bunyi ini
disebabkan karena penutur menirukan logat melayu pada sinema kartun Ipin
dan Upin. Maka meskipun terdapat perubahan bunyi vokal pada kata Kenapa
menjadi Kenape, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.11
Itu menjadi Ituh

Ucapan tersebut mengalami penambahan huruf konsonan “h” pada


akhiran kata itu. Penambahan bunyi ini disebabkan karena pengaruh faktor
usia penutur yang dalam vase ini memang belum stabil, sehingga berbicara
dengan jeda yang tidak teratur kadang lamban kadang cepat. Sehingga pada
saat berbicara dengan cepat, terdapat bunyi yang dihasilkan dari desahan
napas akibatnya menimbulkan penambahan huruf “h” pada kata itu menjadi
ituh. Namun meski begitu, perubahan bunyi akibat penambahan huruf
konsonan “h” tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 30


 No.12
Ada menjadi Ade

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “a” pada kata ada
yang diganti menjadi bunyi vokal “e” ade. Perubahan bunyi ini disebabkan
karena penutur menirukan logat melayu pada sinema kartun Ipin dan Upin.
Maka meskipun terdapat perubahan bunyi vokal pada kata ada menjadi ade,
perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.13
Suka menajdi Suke

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “a” pada kata


suka yang diganti menjadi bunyi vokal “e” suke. Perubahan bunyi ini
disebabkan karena penutur menirukan logat melayu pada sinema kartun Ipin
dan Upin. Maka meskipun terdapat perubahan bunyi vokal pada kata suka
menjadi suke, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.14
Berani menjadi Berlani

Ucapan tersebut mengalami penambahan huruf konsonan “l” pada


kata yang semula berani menjadi berlani. Penambahan bunyi ini disebabkan
karena pengaruh faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum
terbiasa mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat. Karena itu
kemampuan pengucapan huruf “r” masih bellum dimiliki secara sempurna
sehingga terdapat penambahan bunyi konsonan “l” pada kata yang semestinya
diucapkan berani menjadi berlani. Namun meski begitu, penambahan bunyi
konsonan tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 31


 No.15
Kebakaran menjadi Kebakarlan

Ucapan tersebut mengalami penambahan huruf konsonan “l” pada


kata yang semula kebakaran menjadi kebakarlan. Penambahan bunyi ini
disebabkan karena pengaruh faktor usia penutur yang dalam vase ini memang
belum terbiasa mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat.
Karena itu kemampuan pengucapan huruf “r” masih bellum dimiliki secara
sempurna sehingga terdapat penambahan bunyi konsonan “l” pada kata yang
semestinya diucapkan kebakaran menjadi kebakarlan. Namun meski begitu,
penambahan bunyi konsonan tersebut tidak merubah makna.

 No.16
Kalau menjadi Kalo

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi diftong “au” yang


diganti menjadi gabungan bunyi vokal “o”. Perubahan bunyi ini disebabkan
karena pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa
Jawa. Karenanya logat jawa yang digunakan menyebabkan terjadinya
pergantian bunyi diftong “au” pada kata kalau menjadi buni vokal “o” pada
kata kalo. Namun meski begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah
makna.

Tabel 3.7.1 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah

 No.1
Wingi

Kata wingi ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata kemarin. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat
penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa seperti
ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang sekaligus
menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara
menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata
dari bahasa Jawa.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 32


 No.2
Dicup (Di+Cup)

Kata dicup ini sebenarnya terpisah. “di” berasal dari bahasa


Indonesia, dan kata “cup” yang berasal dari bahasa Inggris. Namun, penutur
sebenarnya ingin mengucapkan kata” dicelup”. Sehingga terdapat plesetan
kata yang seharusnya diucapkan dengan sebutan “celup” menjadi “cup”.
Kejadian ini disebabkan karena bahasa sehari-hari yang digunakan, yakni
bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, sebutan “celup” sering diucapkan dengan
kata “cup”. Karenanya, penutur mengalami peristiwa campur kode.

 No.3
Brambang

Kata brambang ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa
Indonesia diucapkan dengan kata Bawang merah. Kata ini terucap secara
tidak sengaja saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa
Indonesia. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan
bahasa Jawa yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang
dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba
muncul kosakata dari bahasa Jawa.

 No.4
Lading

Kata lading ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata Pisau. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat
penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa seperti
ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang sekaligus
menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara
menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata
dari bahasa Jawa.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 33


 Pelaporan Data ke-1
Pada data pertama ini, penutur berusia 4th. Setelah dianalisis, ucapan penutur
banyak mengalami pergantian bunyi “a” menjadi “e”. Pergantian bunyi tersebut
disebabkan karena penutur sering melihat sinema kartun Ipin-Upin dan menirukan
logat ipin-Upin.

Selain itu, penutur juga mengalami peristiwa campur kode saat berbicara.
Campur kode disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari yang
digunakan, yakni bahasa Jawa. Sehingga saat mencoba berbicara menggunakan
bahasa Indonesia, kosakata bahasa Jawa akan nampak beberapa.

 Transkrip Data ke-2


Nama: M. Faruq Al-Huda
Umur: 5th
Alamat: Singosari Malang

1. Faruq: “Namanyaa Bu Badiah. Aku di cetol-cetol


teros. Terus.. kepala bapakku bunda..r
teros adekku itu sangat-sangat ngamok di
rumah. Aku kan, apa itu.. namanya. Aku
kan nggudo-nggudo Adekku ya. Moro-moro
adekku ngamo..k seperti anjing. terus,
Ibukku sangat-sangat nyetol sampai aku
gatel. Lihat! Terus Bapakku kepalanya
bundar punya uang kaya sekali. Terus
Mbak Salma ituh punya perhiasan. Liat.
Ini, ini!. Kalo sekolah, saya sukanya tela..t
terus. Sampek aku dimarai sama Ibukku
yang duduk di samping kamu itu! Yang
pake kerodong merah itu, yang kuncitan
itu. Hahahaha..”

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 34


 Identifikasi Data ke-2

Tabel 3.7.2 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

NO Bentuk Tuturan Bahasa yang Sebenarnya

1. Badiah Badriah
2. Teros Terus
3. Gatel Gatal
4. Ituh Itu
5. Sampek Sampai
6. Kerodong Kerudung

Tabel 3.7.2 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah
NO Bentuk Tuturan Asal Bahasa
1. Cetol-cetol Jawa
2. Ngamok Jawa
3. Moro-moro Jawa
4. Nggudo-nggudo Jawa
5. Nyetol Jawa
6. Kuncitan Jawa

 Penafsiran Data ke-2


Tabel 3.7.2 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

 No.1
Badriah menjadi Badiah

Ucapan tersebut mengalami pelesapan huruf konsonan “r” sehingga


kata yang mulanya Badriah menjadi Badiah. Pelesapan bunyi ini disebabkan
karena faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum stabil,
sehingga berbicara dengan jeda yang tidak teratur kadang lamban kadang
cepat. Sehingga pada saat berbicara dengan cepat, terdapat bunyi yang
dilesapkan. Selain itu juga disebabkan karena faktor usia penutur yang dalam
vase ini memang belum terbiasa mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa
terlalu berat. Namun meski begitu, pelesapan bunyi konsonan “r” pada kata
yang mulanya Badriah menjadi Badiah tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 35


 No.2
Terus menjadi Teros

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “u” yang diganti


menjadi bunyi vokal “o”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena pengaruh
bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa jawa. Karenanya
logat jawa yang digunakan menyebabkan terjadinya pergantian bunyi vokal
“u” pada kata terus menjadi bunyi vokal “o” pada kata teros. Namun meski
begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.3
Gatal menjadi Gatel

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “a” yang diganti


menjadi bunyi vokal “e”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena pengaruh
bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa jawa. Karenanya
logat jawa yang digunakan menyebabkan terjadinya pergantian bunyi vokal
“a” pada kata gatal menjadi buni vokal “e” pada kata gatel. Namun meski
begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.4
Itu menjadi Ituh

Ucapan tersebut mengalami penambahan huruf konsonan “h” pada


akhiran kata itu. Penambahan bunyi ini disebabkan karena pengaruh faktor
usia penutur yang dalam vase ini memang belum stabil, sehingga berbicara
dengan jeda yang tidak teratur kadang lamban kadang cepat. Sehingga pada
saat berbicara dengan cepat, terdapat bunyi yang dihasilkan dari desahan
napas akibatnya menimbulkan penambahan huruf “h” pada kata itu menjadi
ituh. Namun meski begitu, perubahan bunyi akibat penambahan huruf
konsonan “h” tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 36


 No.5
Sampai menjadi Sampek

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi diftong “ai” yang


diganti menjadi gabungan bunyi vokal dan konsonan “ek”. Perubahan bunyi
ini disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur,
yakni bahasa jawa. Karenanya logat jawa yang digunakan menyebabkan
terjadinya pergantian bunyi diftong “ai” pada kata sampai menjadi gabungan
vokal dan konsonan “ek” pada kata sampek. Namun meski begitu, perubahan
bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.6
Kerudung menjadi Kerodong

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “u” yang diganti


menjadi gabungan bunyi vokal “o”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa jawa.
Karenanya logat jawa yang digunakan menyebabkan terjadinya pergantian
bunyi vokal “u” pada kata kerudung menjadi bunyi vokal “o” pada kata
kerodong. Namun meski begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah
makna.

Tabel 3.7.2 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah

 No.1
Cetol-Cetol

Kata cetol-cetol ini adalah reduplikasi dari bahasa Jawa yang dalam
bahasa Indonesia diucapkan dengan kata cubit. Kata ini terucap secara tidak
sengaja saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia.
Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa
Jawa yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang
dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba
muncul kosakata dari bahasa Jawa.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 37


 No.2
Ngamok

Kata ngamok ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa
Indonesia diucapkan dengan kata mengamuk. Kata ini terucap secara tidak
sengaja saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia.
Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa
Jawa yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang
dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba
muncul kosakata dari bahasa Jawa.
 No.3
Moro-moro

Kata moro-moro ini adalah reduplikasi dari bahasa Jawa yang dalam
bahasa Indonesia diucapkan dengan kata tiba-tiba. Kata ini terucap secara
tidak sengaja saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa
Indonesia. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan
bahasa Jawa yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang
dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba
muncul kosakata dari bahasa Jawa.

 No.4
Nggudo-nggudo

Kata nggudo-nggudo ini adalah reduplikasi dari bahasa Jawa yang


dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan kata menggoda. Kata ini terucap
secara tidak sengaja saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa
Indonesia. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan
bahasa Jawa yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang
dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba
muncul kosakata dari bahasa Jawa.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 38


 No.5
Nyetol
Kata nyetol ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata mencubit. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat
penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa seperti
ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang sekaligus
menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara
menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata
dari bahasa Jawa.

 No.6
Kuncitan

Kata kuncitan ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa
Indonesia diucapkan dengan kata mengikat rambut. Kata ini terucap secara
tidak sengaja saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa
Indonesia. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan
bahasa Jawa yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang
dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih
banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba
muncul kosakata dari bahasa Jawa.

 Pelaporan Data ke-2

Pada data kedua ini, penutur berusia 5th. Setelah dianalisis, ucapan
penutur banyak mengalami pergantian bunyi “u” menjadi “o”. Selain itu,
penutur juga mengalami peristiwa campur kode saat berbicara. Pergantian
bunyi dan campur kode tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan
bahasa sehari-hari yang digunakan, yakni bahasa Jawa. Sehingga saat
mencoba berbicara menggunakan bahasa Indonesia, kosakata bahasa Jawa
akan nampak beberapa.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 39


 Transkrip Data ke-3
Nama: Ummi Sakina
Umur: 3th
Alamat: Ngenep, Malang

1.Ummi: “Aya, seewa, saya ke Taman Dola..n, belena..ng, sama Ibuk sama bapak
sama mbak lahma sama mbak umi. Saya beli
bakso,lapal banget, sama buah.”

Ibu: “Ngapain ke Taman Dolan?”

2.Ummi: “Bayal,gak naik apa-apa, butan takut, melbu thok. naik sepeda.”

Ibu:” Kemaren kemana mbak Umii?”

3.Ummi: “Mbak Umi ke rumahnya Cak Junet. Kesiapa disana, ndek Cak Junet
ada siapa, ada Bude Mun, ada Adek bayi, enten Mbak Yati, Adek
bayinya sudah keluar, lucu banget.”

 Identifikasi Data ke-3

Tabel 3.7.3 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

NO Bentuk Tuturan Bahasa yang Sebenarnya


1. Aya Saya
2. Seewa Senang
3. Belenang Berenang
4. Ibuk Ibu
5. Lahma Rahma
6. Lapal Lapar
7. Bayal Bayar
8. Butan Bukan
9. Adek Adik

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 40


Tabel 3.7.3 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah
NO Bentuk Tuturan Asal Bahasa
1. Gak Jawa
2. Melbu Thok Jawa
3. Cak Jawa
4. Ndek Jawa
5. Enten Jawa

 Penafsiran Data ke-3

Tabel 3.7.3 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

 No.1
Saya menjadi Aya

Ucapan tersebut mengalami pelesapan bunyi konsonan “s”. Pelesapan


bunyi ini disebabkan karena faktor usia penutur yang dalam vase ini memang
belum terbiasa mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat.
Namun meski begitu, pelesapan bunyi konsonan “s” pada kata saya yang
menjadi aya tersebut tidak merubah makna.

 No.2
Senang menjadi Seewa

Ucapan tersebut mengalami pergantian kata senang menjadi seewa.


Peristiwa ini disebabkan karena faktor usia yang berdampak pada
ketidaksiapan atau ketidaksempurnaan artikulator penutur dalam
mengucapakan kata yang ingin diucapkan. Sehingga terpeleset kepada kata
lain. Peristiwa ini tentu merubah makna, namun karena penuturnya masih
menginjak usia prasekolah hal semacam inimemang sering terjadi dan pasi
diterima oleh mitra tutur.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 41


 No.3
Berenang menjadi Belenang

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi konsonan “r” yang


diganti menjadi bunyi konsonan “l”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat. Namun meski
begitu, pergantian bunyi konsonan “r” pada kata berenang yang diganti
menjadi bunyi vokal “l” pada kata belenang tersebut tidak merubah makna
jika mitra tuturnya memahami keadaan penutur yang belum mampu
mengucapkan bunyi “r”.

 No.4
Ibu menjadi Ibuk

Ucapan tersebut mengalami penambahan bunyi konsonan “k” pada


kata Ibuk. Penambahan bunyi ini disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan
bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa jawa. Karenanya logat jawa yang
digunakan menyebabkan terjadinya penambahan bunyi “k” diakhir kalimat.
Namun meski begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

 No.5
Rahma menjadi Lahma

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi konsonan “r” yang


diganti menjadi bunyi konsonan “l”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat. Namun meski
begitu, pergantian bunyi konsonan “r” pada kata Rahma yang diganti menjadi
bunyi vokal “l” pada kata Lahma tersebut tidak merubah makna jika mitra
tuturnya memahami keadaan penutur yang belum mampu mengucapkan
bunyi “r”.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 42


 No.6
Lapar menjadi Lapal

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi konsonan “r” yang


diganti menjadi bunyi konsonan “l”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat. Namun meski
begitu, pergantian bunyi konsonan “r” pada kata lapar yang diganti menjadi
bunyi vokal “l” pada kata lapar tersebut tidak merubah makna jika mitra
tuturnya memahami keadaan penutur yang belum mampu mengucapkan
bunyi “r”.

 No.7
Bayar menjadi Bayal

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi konsonan “r” yang


diganti menjadi bunyi konsonan “l”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat. Namun meski
begitu, pergantian bunyi konsonan “r” pada kata bayar yang diganti menjadi
bunyi vokal “l” pada kata bayal tersebut tidak merubah makna jika mitra
tuturnya memahami keadaan penutur yang belum mampu mengucapkan
bunyi “r”.

 No.8
Bukan menjadi Butan

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi konsonan “k” yang


diganti menjadi bunyi konsonan “t”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf k secarasempurna sebab dirassa terlalu berat. Sehingga
terdapat penambahan bunyi konsonan “k” menjadi bunyi konsonan „t” pada
kata yang semestinya diucapkan bukan menjadi butan. Namun meski begitu,
penambahan bunyi konsonan tersebut tidak merubah makna jika mitra

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 43


tuturnya memahami keadaan penutur yang belum mampu mengucapkan
bunyi “k”.

 No.9
Adik menjadi Adek

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi vokal “i” yang diganti


menjadi gabungan bunyi vokal “e”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa jawa.
Karenanya logat jawa yang digunakan menyebabkan terjadinya pergantian
bunyi vokal “i” pada kata adik menjadi buni vokal “e” pada kata adek.
Namun meski begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

Tabel 3.7.3 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah

 No.1
Gak
Kata gak ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata tidak. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat
penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa seperti
ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang sekaligus
menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara
menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata
dari bahasa Jawa.

 No.2
Melbu Thok
Kata melbu thok ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa
Indonesia diucapkan dengan kata masuk saja. Kata ini terucap secara tidak
sengaja saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia.
Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa
Jawa yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang
dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 44


banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba
muncul kosakata dari bahasa Jawa.

 No.3
Cak
Kata cak/ cacak ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa
Indonesia diucapkan dengan kata kakak. Kata ini terucap secara tidak sengaja
saat penutur mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa
seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang
sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara
menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata
dari bahasa Jawa.

 No.4
Ndek
Kata ndek berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata di. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat penutur
mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa seperti ini
terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang sekaligus
menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara
menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata
dari bahasa Jawa.

 No.5
Enten
Kata enten ini berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata ada. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat penutur
mencoba berbicara menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa seperti ini
terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang sekaligus
menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 45


 Pelaporan Data ke-3

Pada data kedua ini, penutur berusia 3th. Setelah dianalisis, penutur
banyak mengucapkan kata-kata yang mengalami pergantian bunyi “r” menjadi
“l”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena faktor usia penutur yang dalam vase
ini memang belum terbiasa mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu
berat. Selain itu, penutur juga mengalami peristiwa campur kode saat berbicara.
Pergantian bunyi dan campur kode tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa
Ibu dan bahasa sehari-hari yang digunakan, yakni bahasa Jawa. Sehingga saat
mencoba berbicara menggunakan bahasa Indonesia, kosakata bahasa Jawa akan
nampak beberapa.

 Transkrip Data ke-4


Nama: Mayesa Hafsah Kirana
Umur: 4th
Alamat: Muscat Oman

1. Kirana: “Brain itu di dalam kepala kita”


Ibuk : “Untuk apa?”
2. Kirana: “Biar untuk something-something apa. Kalo.. kalo.. kalo.. kalo kalo
gelap a tell sama brain”
Ibuk : “Tell nya apa?”
3. Kirana: “Tellnya, ini gelap sekali ya...!”
Ibuk : “Trus?”
4. Kirana: “Trus kata brainnya oke, aku please lihghtnya on”
Ibuk : “O.. gitu..”

 Identifikasi Data ke-4

Tabel 3.7.4 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah


NO Bentuk Tuturan Bahasa yang Sebenarnya
1. Kalo Kalau

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 46


Tabel 3.7.4 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah

NO Bentuk Tuturan Asal Bahasa

1. Something-something Inggris
2. Tellnya Inggris+Indonesia
3. Please Inggris
4. Lihghtnya Inggris+Indonesia
5. On Inggris

 Penafsiran Data ke-4


Penafsiran Tabel 3.7.4 Data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah
 No.1
Kalau menjadi Kalo

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi diftong “au” yang


diganti menjadi gabungan bunyi vokal “o”. Perubahan bunyi ini disebabkan
karena bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa indonesia yang tidak sesuai
dengan kaidah (asal ucap). Karenanya penggunaan bunyi diftong pada
kalimat kalau tidak ditekankan melainkan dirubah menjadi bunyi “o”‟.
Peristiwa ini selain dialami penutur juga dialami oleh Ibu dari penutur.
Sehingga penuturpun mengikuti bahas yang diucapkan Ibunya. Namun meski
begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

Penafsiran Tabel 3.7.4 Data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak
prasekolah
 No.1
Something-something

Kata something berasal dari bahasa Inggris yang dalam bahasa


Indonesia diucapkan dengan kata sesuatu. Namun meski kata ini berasal dari
bahasa Inggris, penutur mengucapkannya menggunakan kaidah bahasa
Indonesia yakni reduplikasi dalam kategori menyatakan sesuatu itu banyak.
Terbukti dengan tuturan something-something yang diulang sebanyak dua
kalli.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 47


Kata ini terucap secara tidak sengaja saat penutur berbicara. Peristiwa
seperti ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan
campur kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak
berbicara menggunakan bahasa Inggris saat berbicara dan tiba-tiba muncul
kosakata serta kaidah dari bahasa Indonesia.

 No.2
Tellnya

Kata tell berasal dari bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata berbicara/bercerita. Namun meski kata ini berasal dari
bahasa Inggris, penutur mengucapkannya dengan menggabungkan kata
tersebut menggunakan kata nya yang berasal dari Indonesia sehingga menjadi
tellnya.
Penggabungan kata ini terucap secara tidak sengaja. Peristiwa seperti
ini terjadi karena penutur terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang
sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur
kode,dwibahasa, atau bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara
menggunakan bahasa Inggris saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata
serta kaidah dari bahasa Indonesia.

 No.3
Please

Kata please berasal dari bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata mohon. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat
penutur berbicara. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si
penutur. Inilah yang dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual.
Karena penutur lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Inggris saat
berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata dari bahasa Indonesia.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 48


 No.4
Lightnya

Kata lightnya berasal dari bahasa Inggris yang dalam bahasa


Indonesia diucapkan dengan kata lampu. yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata berbicara/bercerita. Namun meski kata ini berasal dari
bahasa Inggris, penutur mengucapkannya dengan menggabungkan kata
tersebut menggunakan kata nya yang berasal dari Indonesia sehingga menjadi
lightnya.
Kata ini terucap secara tidak sengaja saat penutur mencoba berbicara
menggunakan bahasa indonesia. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur
terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang sekaligus menjadi bahasa Ibu
bagi si penutur. Inilah yang dinamakan campur kode,dwibahasa, atau
bilingual. Karena penutur lebih banyak berbicara menggunakan bahasa
Inggris saat berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata serta kaidah dari bahasa
Indonesia.

 No.5
On

Kata on berasal dari bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia


diucapkan dengan kata nyala/hidup. Kata ini terucap secara tidak sengaja
saat penutur berbicara. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si
penutur. Inilah yang dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual.
Karena penutur lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Inggris saat
berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata dari bahasa Indonesia.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 49


 Pelaporan Data ke-4

Pada data keempat ini, penutur berusia 4th. Setelah dianalisis, penutur
banyak mengalami peristiwa campur kode saat berbicara. campur kode tersebut
disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari yang digunakan,
yakni bahasa Indonesia. Namun penutur juga dilatih untuk berbicara
menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya.

Sehingga saat mencoba berbicara menggunakan bahasa Indonesia,


kosakata bahasa Inggris akan nampak beberapa. Sebaliknya, saat menggunakan
bahaa Inggris kosakata dan kaidah bahasa indonesia juga akan dominan lebih
nampa karena bahasa Indonesia menjadi bahasa Ibu bagi penutur. Karenanya
penutur mengalami campur kode dengan menggunakan dua bahasa yakni bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia.

 Transkrip Data ke -5
Nama: Gempita Noura Marteen
Umur: 3th
Alamat: Rempoa, Tangerang Selatan

Mama : “Kalo lampu merah apa?”


1. Gempita : “Stop. Kalo.. lampu kuning.., an boleh jalan tapi hati-hati..”
Ibu : “Trus kalo lampunya apa lagi..?”
2. Gempita: “Hijau.”
Mama : “Apa artinya”
3. Gempita: “Go...!”
Mama : “Trus apalagi gem? Kalo Pak Imam nyetir.,. ada tanda S dicoret. Berati
nggakboleh apa?”
4. Gempita: “Gakboleh stop.... halus jalan..”
Mama : “Kalo tulisan P dicoret?”
5. Gempita: “Gakboleh pa...rkir.”
Mama : “Harus?”
6. Gempita: “Halus.. go!”

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 50


 Identifikasi Data Penafsiran Data ke-5

Tabel 3.7.45 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

NO Bentuk Tuturan Bahasa yang Sebenarnya

1. Kalo Kalau
2. Halus Harus

Tabel 3.7.5 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah

NO Bentuk Tuturan Asal Bahasa

1. Stop Inggris
2. Go Inggris
3. Gakboleh Jawa+Indonesia

 Penafsiran Data ke-5

Tabel 3.7.4 data kesalahan bunyi pada tuturan anak prasekolah

 No.1
Kalau menjadi Kalo

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi diftong “au” yang


diganti menjadi gabungan bunyi vokal “o”. Perubahan bunyi ini disebabkan
karena bahasa sehari-hari penutur, yakni bahasa indonesia yang tidak sesuai
dengan kaidah (asal ucap). Karenanya penggunaan bunyi diftong pada
kalimat kalau tidak ditekankan melainkan dirubah menjadi bunyi “o”‟.
Peristiwa ini selain dialami penutur juga dialami oleh Ibu dari penutur.
Sehingga penuturpun mengikuti bahas yang diucapkan Ibunya. Namun meski
begitu, perubahan bunyi tersebut tidak merubah makna.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 51


 No.2
Harus menjadi Halus

Ucapan tersebut mengalami pergantian bunyi konsonan “r” yang


diganti menjadi bunyi konsonan “l”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat. Pergantian bunyi
konsonan “r” pada kata harus yang diganti menjadi bunyi vokal “l” pada kata
halus tersebut mengubah makna, namun dalam konteks percakapan ini
tuturan tersebut tidak merubah makna jika mitra tuturnya memahami keadaan
penutur yang belum mampu mengucapkan bunyi “r”.

Tabel 3.7.2 data tuturan campur kode (dwibahasa) pada anak prasekolah

 No.1
Stop
Kata stop berasal dari bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata berhenti. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat
penutur berbicara. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si
penutur. Inilah yang dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual.
Karena penutur lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Inggris saat
berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata dari bahasa Indonesia.

 No.2
Go
Kata go berasal dari bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia
diucapkan dengan kata berhenti. Kata ini terucap secara tidak sengaja saat
penutur berbicara. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia yang sekaligus menjadi bahasa Ibu bagi si
penutur. Inilah yang dinamakan campur kode,dwibahasa, atau bilingual.
Karena penutur lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Inggris saat
berbicara dan tiba-tiba muncul kosakata dari bahasa Indonesia.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 52


 No.3
Gakboleh

Kata gakboleh adalah gabungan kata gak+boleh yang berasal dari


bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Namun kebanyakan orang yang
berbahasa Indonesia dari lahir juga mengucapkan kata gak sebagai pengganti
kata tidak. Sehingga perubahan bunyi dari tidak menjadi gak ini dianggap
lumrah.
Peristiwa yang dialami penutur disebabkan karena bahasa sehari-hari
penutur, yakni bahasa indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah (asal ucap).
Karenanya penggunaan bunyi diftong pada kalimat kalau tidak ditekankan
melainkan dirubah menjadi bunyi “o”‟. Peristiwa ini selain dialami penutur
juga dialami oleh Ibu dari penutur. Sehingga penuturpun mengikuti bahas
yang diucapkan Ibunya. Namun meski begitu, perubahan bunyi tersebut tidak
merubah makna.

 Pelaporan Data ke-5

Pada data kelima ini, penutur berusia 3th. Setelah dianalisis, penutur
banyak mengalami peristiwa campur kode saat berbicara. campur kode
tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Ibu dan bahasa sehari-hari yang
digunakan, yakni bahasa Indonesia.

Namun penutur juga dilatih untuk berbicara menggunakan bahasa


Inggris dalam kesehariannya. Sehingga saat mencoba berbicara menggunakan
bahasa Indonesia, kosakata bahasa Inggris akan nampak beberapa.
Sebaliknya, saat menggunakan bahaa Inggris kosakata dan kaidah bahasa
indonesia juga akan dominan lebih nampa karena bahasa Indonesia menjadi
bahasa Ibu bagi penutur. Karenanya penutur mengalami campur kode dengan
menggunakan dua bahasa yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Selain itu, penutur banyak mengucapkan kata-kata yang mengalami


pergantian bunyi “r” menjadi “l”. Perubahan bunyi ini disebabkan karena
faktor usia penutur yang dalam vase ini memang belum terbiasa
mengucapkan huruf s, r , dst sebab dirassa terlalu berat.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 53


DAFTAR RUJUKAN

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Arend, Richard I. 2004. Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill Companies.
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT
Refika Aditama
Budi Purbayu Santosa dan Ashari.2005.Analisis Statistik dengan Microsoft
Axcel& SPSS.Yogyakarta. :Andi Offset
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum, cetakan ketiga. Jakarta: Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Fajrina, H.N.2015. Tingkat Kecanduan Gadget di Usia Dini Semakin
Mengkhawatirkan. CNN Indonesia
Muslich, Masnur. (2008). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Rusminto, Nurlaksana Eko. 2010. Memahami Bahasa Anak-anak: Sebuah Kajian
Analisis Wacana Panduan Bagi Guru, Orang Tua dan Mahasiswa Jurusan
Bahasa. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan.2011.Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa.Bandung: Angkasa Bandung.
Whitney, F. 1960. The Element Of Research. New York :Prentice-Hall, Inc

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA | 54

Anda mungkin juga menyukai