Anda di halaman 1dari 13

OBJECTOPHILIA DAN FALSAFAH CAHAYA

PADA TOKOH SAYA DALAM CERPEN “BOLA LAMPU”


KARYA ASRUL SANI

UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH PSIKOLOGI SASTRA
Yang dibina oleh Fiyan Ilman Faqih, M.Pd.

Penulis:
Fa’izatul Karimah
21601071097

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Juni 2018

1
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari karya sastra berbentuk cerpen misalnya, kita dapat membaca tokoh-
tokoh yang mengalami gangguan kejiwaan, yang akan mempengaruhi perjalanan
hidup selanjutnya, bahkan juga membahayakan orang lain yang ada di sekitarnya.
Untuk memahami tokoh tersebut, sering kali kita membutuhkan sejumlah
informasi yang berasal dari ilmu kejiwaan (psikologi), sehingga dapat
mengidentifikasi dan menjelaskan mengapa tokoh mengalami gangguan kejiwaan,
faktor-faktor apa yang menyebabkannya, serta bagaimana cara mengatasi masalah
yang dihadapinya. Dalam kasus ini kita akan menyadari bahwa untuk memahami
dan menganalisis sebuah karya sastra seorang kritikus atau ilmuwan sastra
membutuhkan bantuan teori psikologi. Oleh karena itu, maka lahirnya kajian
sastra yang melibatkan teori-teori psikologi, yang dikenal dengan psikologi sastra.
Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman
sastra karena adnya beberapa kelebihan seperti: pertama, pentingnya psikologi
sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan, kedua, dengan
pendekata ini dapat memberi umpan-balik kepada peneliti tentang masalah
perwatakan yang dikembangkan dan terakhir penelitian semacam ini sangat
membentuk untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah
psikologis (Endraswara, 2008:12).
Sebenarnya sastra dan psikologi dapat bersimbiosis dalam perannya
terhadap kehidupan, karena keduanya memiliki fungsi dalam hidup ini. Keduanya
sama-sama berurusandengan persoalan manusia sebangai makhluk induvidu dan
makhluk sosial. Keduanya memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan
pengalaman manusia sebagaibahan telaah. Oleh karena itu pendekatan psikologi
dianggap penting penggunaanya dalam penelitian sastra (Endraswara, 2008:15).
Karena karya sastra adalah ciptaan manusia, yang juga terinspirasi dari manusia
serta diciptakan juga untuk dikonsumsi manusia maka penelitian dapat dilakukan
kepada sudut pandang pengarang, sudut pandang pembaca, serta sudut pandang
karya sastra itu sendiri.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana objectophilia pada tokoh Saya dalam cerpen “Bola Lampu” karya
Asrul Sani?
2. Bagaimana dampak falsafah cahaya dalam cerpen “Bola Lampu” karya Asrul
Sani bagi pembaca?

1.3 Tujuan Penulisan


Artikel ini ditulis untuk memaparkan kondisi tokoh Saya dalam cerpen
“Bola Lampu” karya Asrul Sani dari segi psikologi karya sastra itu sendiri.
Sehingga dapa menjadi pengetahuan serta wawaasan baru bagi pembaca.

II. PEMBAHASAN

2.1 Biografi Asrul Sani Seorang Tokoh Sastra


Asrul Sani termasuk salah seorang sastrawan pelopor Angkatan '45.
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia dianggap sebagai trio pembaharu puisi
Indonesia. Di samping dikenal sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai penulis
esai yang andal pada tahun 1950-an. Asrul Sani lahir di Rao, suatu daerah di
sebelah utara Sumatra Barat, tanggal 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11
Januari 2003. Dia anak kedua, dari dua bersaudara, seorang raja yang bergelar
Sultan Marah Sani Syair Alamsyah yang Dipertuan Rao Mapat. Saudara
tunggalnya bernama Chairul Basri. Sebagaimana orang Minang pada umumnya,
Asrul Sani juga berasal dari keluarga yang berlatar belakang agama Islam. Meski
Asrul tidak pernah dipukul jika tidak sembahyang, bukan berarti pendidikan
agama diabaikan dalam keluarganya. Asrul Sani, bahkan disekolahkan secara
khusus di sekolah agama yang bernama Dar el Ashar. Pendidikan formalnya
dimulai di Hollands Inlandsche School (HIS) Bukittinggi, tahun 1933. Pada usia
yang sangat muda ini ia sudah harus meninggalkan orang tuanya di Rao (berjarak
kira-kira 100 km dari Bukittinggi) untuk tinggal di asrama bersama kakaknya,
Chairul Basri. Setelah tamat dari HIS Bukittinggi, ia melanjutkan sekolahnya ke
Jakarta. Dia masuk sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS) yang
terletak di Jalan Budi Utomo dengan masa belajar lima tahun. Namun, ia gagal

3
menyelesaikan sekolahnya. Ia menderita inferiority complex karena ia sama sekali
tidak berbakat dalam hal teknik. Kegemarannya mengutak-ngatik gramafone,
yang dikira ayahnya sebagai tanda-tanda awal menggemari masalah teknik,
kiranya hanya gejala umum seorang anak yang serba ingin tahu. Tahun 1942
Asrul pindah ke SMP Taman Siswa, Jakarta. Di sekolah inilah ia berkenalan
dengan Pramoedya Ananta Toer dan bersama-sama menjadi anggota kelompok
"Penggemar Sastra" di sekolah mereka. Setelah tamat SMP, Asrul masuk ke
Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Kedokteran Hewan (sekarang Institut Pertanian Bogor, IPB) hingga meraih gelar
kesarjanaannya tahun 1955.
Pekerjaannya sangat beragam. Dia dikenal sebagai sastrawan, penulis
skenario film, sutradara seni pentas dan film, Direktur Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Lembaga
Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), Anggota Badan Sensor Film
(BSF), Pengurus Pusat Nahdatul Ulama (NU), dan Anggota DPR-MPR (wakil
seniman) 1966—1982. Dari sekian banyak kegiatannya, hanya kegiatan yang
berhubungan dengan gelar kesarjanannya yang tidak terlihat. Asrul Sani menikah
dua kali. Pertama dengan Siti Nuraini, temannya sesama sastrawan, tanggal 29
Maret 1951, di Bogor. Dia dikaruniai tiga anak perempuan. Asrul Sani dan
Nuraini bercerai tahun 1961. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tanggal 29
Desember 1972, Asrul Sani menikah yang kedua kalinya dengan Mutiara
Sarumpaet. ia juga dikaruniai tiga anak, ketiga-tiganya laki-laki, yaitu Syauki,
Zaki, dan Gibran.
Minat Asrul pada bidang sastra bukanlah datang secara tiba-tiba. Bibitnya
sudah ditanamkan oleh ibu dan ayahnya sejak ia kecil. Bahkan, sebelum pandai
membaca, ia telah mendengar cerita "Surat kepada Radja" karangan Tagore yang
terkenal itu dari ibunya. Ibunya selalu membacakan cerita-cerita untuknya ketika
ia belum bisa membaca, sedangkan ayahnya kerap memanggil "tukang kaba"
(pendongeng yang menjajakan ceritanya berkeliling kampung) ke rumah mereka.
Setiap tukang kaba itu datang, Asrul merasa sangat senang dan mendengarkan
ceritanya dengan keingintahuan yang sangat besar. Minat Asrul dalam menulis
pertama kali muncul ketika ia membaca puisi yang ditulis oleh Sappho. Sappho

4
dalam puisinya itu menyanjung-nyanjung seorang courtisan yang berjalan dengan
sandal beludru. Sebagai pemula, tentu saja, Asrul belum bisa menangkap makna
puisi itu. Akan tetapi, kesan yang satu itu, "Courtisan yang berjalan dengan sandal
beludru", sangat terkesan di hatinya. Setelah selesai membaca puisi itu, ia merasa
ada dorongan yang kuat sekali di dalam dirinya untuk menulis. Tulisan
pertamanya yang berbentuk puisi yang berjudul "Kekasih Pradjurit", dimuat
dalam surat kabar Pemandangan tahun 1943, ketika Asrul duduk di kelas dua
SMP Taman Siswa. Sesuai dengan zamannya, sajak itu bercerita tentang prajurit
pembela tanah air. Setelah itu, bermunculan puisi dan cerpennya di berbagai
media massa, antara lain, di majalah Siasat, Kisah, Konfrontasi, dan Gema
Suasana serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raja. Chairil Anwar
adalah nama yang selalu terkait erat dengan Asrul Sani. Mereka bersahabat.
Keakraban mereka membuat mereka, secara tidak sadar, saling mempengaruhi.
Pengaruh itu dapat dilihat dari puisi mereka yang berjudul "Cerita buat Dien
Tamaela" (Chairil Anwar) dan "Mantera" (Asrul Sani). Sumber inspirasi mereka
sama, yakni laut. Hanya bedanya, laut bagi Chairil Anwar merupakan "sesuatu
yang romantis", sedangkan bagi Asrul Sani merupakan "suatu misteri". Bersama
Chairil Anwar jugalah, ditambah dengan Rivai Apin, ia menerbitkan buku
kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1950). Judul Tiga Menguak
Takdir ditafsirkan orang bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai
usaha mereka memberontak "Takdir" (Sutan Takdir Alisjahbana), tokoh Pujangga
Baru yang dilambangkan sebagai satu tembok yang kokoh dan ada pula yang
menafsirkannya sebagai usaha mereka untuk mencoba membuka, memahami, dan
mengerti "takdir' (nasib) manusia.
Setelah menerbitkan buku kumpulan puisi bersama yang dirancang selama
satu setengah tahun itu, mereka bertiga mengeluarkan "Surat Kepercayaan
Gelanggang". Gelanggang itu sendiri sebenarnya adalah ruang budaya dalam
majalah Siasat yang mereka kelola. Melalui "Gelanggang" inilah, mereka banyak
menyatakan ide, gagasan, dan cita-cita kepengarangan. Meski lebih banyak
menggeluti film, terutama pertengahan tahun 1950-an, Asrul Sani mempunyai
peranan cukup penting di dalam peta kehidupan sastra di Indonesia. Prof. Dr. A.
Teeuw mengatakan bahwa Asrul Sani adalah salah seorang yang terpenting dan

5
menjadi harapan pada angkatan sesudah perang. Karya-karya yang dihasilkannya,
antara lain, Tiga Menguak Takdir (buku kumpulan puisi bersama Chairil Anwar
dan Rivai Apin, 1950), Mantera (kumpulan puisi, 1975), Dari Suatu Masa dari
Suatu Tempat (kumpulan cerpen, yang berisi, antara lain, cerpen "Museum" dan
"Sahabat Saya Coriaz", 1972), Mahkamah (drama, 1988), dan esai-esai yang
tersebar di berbagai media, antara lain berjudul "Catatan atas Kertas Merah
Jambu" yang kemudian dikumpulkan dan diedit Ajip Rosidi dengan kata
pengantar Taufik Abdullah. Selain itu, ia juga menulis ratusan karya terjemahan
yang meliputi puisi, cerpen, novel, dan drama, serta puluhan naskah skenario film.
Ajip Rosidi dalam kata pengantar untuk esai-esai Asrul Sani yang dieditnya
dengan judul Surat-Surat Kepercayaan menyatakan bahwa sumbangan Asrul
dalam dunia sastra lebih banyak berbentuk esai dan yang lebih nyata lagi adalah
posisi Asrul sebagai konseptor "Surat Kepercayaan Gelanggang". Karena
banyaknya esai yang ditulisnya, agar tidak muncul anggapan bahwa dasawarsa
1950-an penulis esai itu sedikit, Asrul menggunakan beberapa nama samaran
seperti Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Emran, Fajria Novari, dan F.
Anwar. Taufik Abdullah menyebut Asrul sebagai salah seorang pemikir
kebudayaan modern yang cukup penting dalam sejarah pemikiran kita.
(Fathurrohman, 2017)

2.2 Objectophilia Pada Tokoh Saya dalam Cerpen “Bola Lampu” Karya Asrul
Sani
Hal yang paling menarik dalam cerpen “Bola Lampu” ini adalah tingkah
laku tokoh Saya yang memilliki kelainan psikologi objectophilia karena obsesi
kepada benda mati. Analisis psikologi karya sastra ini ditujukan pada kondisi
tokoh Saya yang memiliki kelainan psikologi tersebut. Hal tersebut membuat
cerpen ini cocok untuk dianalisis karena kondisi kejiwaan tokoh Saya di
dalamnya.
Objectophila (seksualitas objek atau seksualitas objectum) dapat
didefinisikan sebagai keinginan emosionnal dan romantis terhadap objek atau
benda. Mereka dapat merasakan ketertarikan, cinta, dan bahkan dapat
berkomitmen padaobjek dan mitra mereka. Beberapa orang yang ada di dunia ini

6
mempercayai sebuah istilah animisme dan menganggap bahwa entitas non
manusia adalah makhluk spiritual. Mereka tidak menggambarkan diri mereka
sebagai fethistis karena mereka tidak menggunakan objek untuk meningkatkan
seksual mereka, objek adalah satu-satunya hal yang mereka inginkan dan mereka
jatuh cinta terhadap mereka. (Andrea, 2011)
Sama halnya dengan pernyataan tersebut, bahwa jatuh cinta kepada objek
(benda mati) ini yang dirasakan oleh tokoh Aku dalam cerpen “Bola Lampu”.
Tokoh Saya dalam cerpen ini mengaku sangat tertarik dengan lampu. rasa sangat
tertariknya bisa disebut dengan cinta. Itu juga menjadi salah satu hal yang
dirasakan oleh tokoh Saya. Hal ini dijelaskan dalam kutipan:

“Penyakit cinta lampu saya lebih berat: Dan saya tidak menyangka-
nyangka bahwa ia akan berkesudahan dengan kecewa, geram, malu. Begini
jalannya.”

Tokoh Saya mengungkapkan perkataannya seolah-olah lampu ialah manusia


lawan jenisnya. Yang sama halnya, ketika mencintai seseorang maka ia akan
merasakan kecewa, geram, dan malu. Namun bedanya ini kepada lampu. sebuah
benda mati yang mampu menerangi kegelapan. Dan kutipan selanjutnya
menegaskan apa alasan tokoh Saya mencintai bola lampu:

“Waktu itu, kalau saya melihat lampu terang, terus timbul rasa sentimentil,
agak-agak rindu dendam dalam hati saya. Kepada orang saya tanyakan, kalau-
kalau mereka ada yang mempunyai lampu yang terang di rumah. Kalau dijawab
ada, saya terus iri hati. Inilah orang yang paling berbahagia. Saya maklum apa
sebabnya orang-orang yang tinggal di Jalan Madura misalnya berbahagia besar
kelihatannya. Semata-mata karena mempunyai lampu yang terang, paling kurang
60 lilin. Filsafat hidup saya berputar sekeliling lampu. Lampu mengenakkan
makan, menyehatkan otak, dan barangkali juga memperenak tidur”

Dari ungkapan tersebut, benarlah bahwa memang tokoh Saya tidak bisa
hidup tanpa lampu. lampu yang memberinya kebahagiaan. Sayang, Ia tak punya.
Jika ada orang yang memiliki lampu maka Ia akan mendendam, iri, dan dengki.

7
Ketika itu obsesi tentang Lampu menjadi begitu besar dan berlanjut. Ia ingin
sekali memiliki lampu yang banyak. Pada akhirnya Ia memiliki kesempatan untuk
dapat melihat dan menghampiri lampu-lampu yang banyak. Saat itu, gairahnya
muncul (tidak murung, tidak sedih, melainkan bergembira) seperti dalam kutipan:

“Rumahnya baik, lampunya besar hingga saya katakana kepadanya bahwa


saya iri hati benar melihat kebahagiaannya. Lalu ia bertanya mengapa begitu
benar. Saya katakan bahwa saya tidak mempunyai lampu sebesar punya mereka.
Ayahnya berkata: "Datang-datanglah kemari kalau begitu. Di sini lampu terang."

Namun, tidak disangka bahwa nyatanya penyakit cinta lampunya perlahan


pudar. Sehingga tak lagi diidapnya objectophilia. Cintanya beralih pada sosok
gadis yang setiap hari dikunjunginya. Gadis pemilik lampu terang yang Ia
inginkan, lampu yang Ia cintai. Seperti pada kutipan:

“Sesudah itu saya datang sekali seminggu. Gadis itu makin lama makin
cantik kelihatannya, makin banyak aksi, makin "panas".Saya makin kerap kali
datang, sampai tiap malam. Setiap datang saya membawa buku untuk dibaca
sampai sekarang belum juga tamat. Akhimya saya rasa bahwa saya datang ke
rumah itu bukan karena melihat lampu terang. Saya datang karena dia ada di
situ. Tetapi meskipun begitu, setiap, saya datang saya berkata: "Ah, alangkah
senangnya hati jika mempunyai lampu seterang itu."

“Ia tersenyum mendengar perkataan saya. Apa maksudnya, entahlah.


Penyakit saya tidak hilang. Dahulu saya berpenyakit "cinta lampu". Sekarang
nama penyakit saya cinta "bola lampu".

“Cinta Lampu” ialah sebutuan cinta kepada lampu (benda mati) yang
membuatnya dapat disebut objectophilia. Sedang “Cinta Bola Lampu” ialah cinta
kepada gadis pemilik lampu terang. Matanya, dan segala yang ada didirinya
diibaratkan sebagai sebuah bola. Keberadaannya mampu menyinari hati tokoh
Saya yang dulunya temaram, atau bahkan gelap. Sinar itu ialah sebuah kebaikan
yang selama ini ditujukan kepada tokoh Saya. Sehingga berubahlah penyakit
“Cinta Lampu” menjadi “Cinta Bola Lampu”.
Namun, tidak sampai disitu. “Bola Lampu” yang Ia anggap sangat baik
menjadi sosok yang jahat karena telah mempermalukan tokoh Saya. Dibuktikan
dengan tindakannya yang mengirimkan lampu kepada tokoh Saya:

8
“Suatu kali saya mendapat kiriman dari gadis sahabat saya itu.
Bungkusannya besar dan bagus dan di sampingnya ada lagi sepucuk surat
bersampul biru. Waktu bungkusan itu saya buka, saya temui di dalamnya bola
lampu 60 lilin. Hilang akal saya melihat bola lampu itu, Apa maksudnya?
Dalam suratnya tertulis, "Sahabat senang benar hati saya, dapat mengirim
engkau bola lampu ini".

Tokoh Saya merasa sangat malu karena dikirimi lampu. batinnya berbicara
bahwa Gadis itu memberikan lampu ini agar tokoh Saya tidak sering-sering
kerumahnya. Perasaan malu dan kecewanya ditunjukkan pada kutipan berikut ini:

“Semenjak itu tidak pemah lagi saya datang ke rumah gadis itu. Kamar
saya tetap gelap. Bola yang 60 lilin itu juga tidak -saya pasang, karena jumlah
watt untuk menghidupkannya tidak cukup.”

Selain malu dan kecewa, tokoh Saya juga sedih, karena mendapat kiriman
bola lampu (yang asli) maka ia tidak dapat melihat bola lampu yang nyata hidup.
Ialah gadis pemilik bola lampu. seperti kutipan dibawah ini:

“Demikianlah, karena tak ada lampu, saya beroleh penyakit cinta lampu.
Lalu saya beroleh kiriman bola lampu. Karena kiriman ini saya kehilangan "bola
lampu" yang lain, yang menurut pikiran saya tidak akan kurang dari 200 lilin
cahayanya. Dalam cahaya yang besar ini rasanya akan dapat saya mengarang
sebuah cerita yang 300 halaman tebalnya.”

2.3 Bagaimana Dampak Falsafah Cahaya Dalam Cerpen “Bola Lampu” Karya
Asrul Sani Bagi Pembaca

Dalam cerpen ini, dikatakan bahwa tokoh Saya memiliki rasa cinta atau
ketertarikan kepada lampu karena pada saat itu tokoh Saya tidak memiliki lampu
yang terang untuk menemani kegiatannya diwaktu malam. Dengan keberadaan
lampu yang menghaslkan cahaya segala aktivitas dapat dilakukan dengan mudah
dibanding tanpa cahaya.
Karena itulah, tokoh Saya memutuskan bahwa dirinya mencintai lampu,
membutuhkan lampu, dan tidak bisa hidup tanpa lampu. ketertarikannya membuat
pembaca menganggap bahwa tokoh Saya memiliki kelainan psikologis sebagai
penjangkit objectophilia karena tingkah dan dialog yang diceritakan di dalam
cerpen “Bola Lampu” karya Asrul Sani.

9
Namun mengutip pendapat Suhrawardi dalam (Sofy, 2011: 6) bagi
Suhrawardi Tuhan adalah cahaya. Menurutnya hal ini sejalan dengan Qs. An-Nur
ayat 35 disebutkan: “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” Selain itu, penyebutan
cahaya terasa lebih tepat daripada penyebutan lain. Karenanya bola lampu disini
bisa disebut sebagai simbol cahaya dalam kegelapan yang saat itu dirasakan oleh
tokoh Saya.
Jika kegelapan disini diceritakan sebagai kemiskinan sehingga harus hidup
tanpa keberadaan cahaya di malam hari karena tak kuat membeli lampu, maka
sebenarnya keelapan ini simbol dari kegersangan hati atau kegelapan dalam diri
seorang Saya dalam cerpen “Bola Lampu”. Dan ketika menemukan cahaya
berada disekitarnya, Ia sangat senang dan merasa jatuh cinta terus menerus ingin
bersama dengan cahaya; Tuhan.

“Sesudah itu saya datang sekali seminggu. Gadis itu makin lama makin
cantik kelihatannya, makin banyak aksi, makin "panas".Saya makin kerap kali
datang, sampai tiap malam. Setiap datang saya membawa buku untuk dibaca
sampai sekarang belum juga tamat. Akhimya saya rasa bahwa saya datang ke
rumah itu bukan karena melihat lampu terang. Saya datang karena dia ada di
situ. Tetapi meskipun begitu, setiap, saya datang saya berkata: "Ah, alangkah
senangnya hati jika mempunyai lampu seterang itu."

“Ia tersenyum mendengar perkataan saya. Apa maksudnya, entahlah.


Penyakit saya tidak hilang. Dahulu saya berpenyakit "cinta lampu". Sekarang
nama penyakit saya cinta "bola lampu".

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa nyatanya timbul pergolakan batin


mulai terjadi saat ternyata tokoh Saya tertarik dengan cahaya yang lain. Jika pada
awalnya cahaya ialah sebagai simbol Tuhan, maka bagi tokoh Saya ada simbol
cahaya yang lain, yaitu Perempuan. Perempuan yang jika dilihat membuat dirinya
berbinar-binar dan senang, namun membuatnya lupa akan tujuannya dan cintanya
kepada cahaya yang pertama. Cahaya yang sebenarnya; Tuhan.

“Demikianlah, karena tak ada lampu, saya beroleh penyakit cinta lampu.
Lalu saya beroleh kiriman bola lampu. Karena kiriman ini saya kehilangan "bola
lampu" yang lain, yang menurut pikiran saya tidak akan kurang dari 200 lilin
cahayanya. Dalam cahaya yang besar ini rasanya akan dapat saya mengarang
sebuah cerita yang 300 halaman tebalnya.

Dari kutipan tersebut tersirat makna bahwa tokoh Saya merasakan


kegundahan serta penyesalan saat apa yang dipikirkannya salah. Mengira
cahaya;perempuan dapat memberikan penerangan dan semangat sehingga ia dapat
mengarang sebuah cerita yang 300 halaman tebalnya. Nyatanya sia-sia perempuan

10
yang membuatnya tertarik tidak memiliki ketertarikan yang sama. Maka sadarlah
bahwa cahaya yang sebenarnya ialah Tuhan yang akan selalu mengasihi kita.

11
KESIMPULAN

Objectophilia ialah sebuah kelainan psikologis kepada seseorang yang


memiliki ketertarikan kepada benda mati. Ketertarikan yang sangat berpengaruh
bagi proses psikologis dan aktivitasnya. Tokoh Saya pada cerpen “Bola Lampu”
memiliki ketertarikan yang sangat dalam teradap lampu. sehingga ketika
mengetahui orang lain memiliki lampu yang besar, tokoh Saya merassa cemas,
dan kesal. Ia juga ingin memiliki lampu yang besar.
Dampak falsafah cahaya dalam cerpen “Bola Lampu” pada pembaca
memberikan pesan yang sangat baik bagi pembaca, yakni cahaya tertinggi ialah
cahaya tuhan, tuhan akan selalu menyayangi siapa yang mengutamakan diri-Nya.

12
DAFTAR RUJUKAN

Andrea. (2011, Juni Minggu, 19). Objectophilia- Cinta dengan Objek. Corious
Tendency.

Endaswara Suwandi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Jakarta.


PT.BUKU KITA

Fathurrohman, M. N. (2017, Maret Senin, 6). Inseklopedi Sastra Indonesia.


Biografi Asrul Sani - Pelopor Sastrawan Angkatan 45 dan Sutradara Film.
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Asrul_Sani |

Sofy, L. (2011). Suhrowardi Filsafat Islam. Suhrowardi Filsafat Islam, 6.

13

Anda mungkin juga menyukai