Anda di halaman 1dari 67

TUGAS BAHASA INDONESIA

Kelompok 4:

1. Filza Syafiqa Putri Estiko


2. Hannaah Dzuhry Tsaniah
3. Zailah Aisyah Meinaty Abdillah
4. Rosman Riak Lukman
5. Alfaathir Hidayat
BIOGRAFI SASTRAWAN TERKENAL
1.) Chairil Anwar

Chairil Anwar adalah seorang penyair yang berasal dari Indonesia.


Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan
tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia
20 tahun. Ia juga dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” dalam karya-
nya, yaitu "Aku". Ia telah menulis sebanyak 94 karya, termasuk 70
puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B.
Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern
Indonesia. Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada
26 Juli 1922. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan
Saleha, ayahnya berasal dari Taeh Baruah. Ayahnya pernah menjabat
sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri, Riau. Sedangkan ibunya berasal
dari Situjug, Limapuluh Kota Ia masih punya pertalian kerabat dengan
Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Ia dibesarkan
dalam keluarga yang terbilang tidak baik. Kedua orang tuanya
bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di
Medan, sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman
akrab yang cukup mengesankan dalam hidupnya. Kepedihan mendalam
yang ia alami pada saat neneknya meninggal dunia. Chairil Anwar
bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar
untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia
kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda,
tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja,
tetapi tidak satupun puisi yang berhasil ia buat yang sesuai dengan
keinginannya. Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya,
tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia, ia mengisi waktunya
dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama,
seperti : Rainer Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish,
Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Ia juga
menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan
Jerman. Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra
setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942,
pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali
mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak
yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis. Hampir semua
puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Puisinya beredar di
atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang
tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Kumpulan puisinya antara lain:
Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru
Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman
Pelopor Angkatan 45 Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang
Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste,
kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara
(1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini
Binatang Jalang (1986).
2.)Asrul Sani

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, pada 10 Juni 1926. Ia


merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan
Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao
Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di
daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang
keturunan Mandailing.

Asrul Sani memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche


School (sekolah dasar bentukan pemerintah kolonial Belanda) di Bukit
Tinggi pada 1936. Lalu ia melanjutkan SMP di SMP Taman Siswa,
Jakarta pada 1942. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Sekolah
Kedokteran Hewan, Bogor. Akan tetapi, minatnya akan Sastra sempat
mengalihkan perhatiannya dari kuliah kedokteran hewan sehingga
Asrul sempat pindah ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan,
dengan beasiswa Lembaga Kebudayaan Indonesia- Belanda, mengikuti
pertukaran ke Akademi Seni Drama, Amsterdam pada 1952 walaupun
akhirnya kembali melanjutkan kuliah kedokteran hewan hingga
memperoleh gelar dokter hewan pada 1955. Pada masa kuliah itu juga
Asrul sempat mengikuti seminar kebudayaan di Harvard
University pada 1954. Setelah tamat kedokteran hewan, Asrul
kembali mengejar hasratnya akan seni sastra dengan melanjutkan
kuliah dramaturgi dan sinematografi di South California
University, Los Angeles, Amerika Serikat (1956) dan kemudian
membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Menurut Ajip Rosidi, ia dapat berbicara dalam
Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman.
Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang
pelopor Angkatan ’45. Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak
ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku
kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu
sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang
mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak
dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang
sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar
mempopulerkan mereka.
Selain itu, ia pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga
Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan
pimpinan umum Citra Film (1981-1982).
Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai
penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang
berjudul Sahabat Saya Cordiaz dimasukkan oleh Teeuw ke
dalam Moderne Indonesische Verhalen dan
dramanya Mahkamah mendapat pujian dari para kritikus. Di samping
itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik
tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah Surat
atas Kertas Merah Jambu (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda).
Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai
mengarahkan langkahnya ke dunia film. Garapan pertamanya di bidang
film adalah skenario Pegawai Tinggi (1953). Debut pertama
penyutradaraan filmnya adalah Titian Serambut Dibelah
Tudjuh (1959). Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul
Sartre dan Burung Camar karya Anton P., dua dari banyak karya yang
lain. Skenario yang di tulisnya untuk Lewat Djam Malam (mendapat
penghargaan dari FFI 1955) Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (mendapat
Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut
Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan namanya pada jajaran
sineas hebat Indonesia.Ia juga menyutradarai film Salah
Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di Atas Kuburan
(1973), dan sederet judul film lainnya. Salah satu film karya Asrul
Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah Nagabonar
yang dibuat sekuelnya, Nagabonar Jadi 2 oleh sineas
kenamaan Deddy Mizwar.
Selain menulis puisi, cerpen, esai, naskah teater, dan skenario film,
dia banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara.
Sementara bergiat di film, pada masa-masa kalangan komunis aktif
untuk menguasai bidang kebudayaan, Asrul, mendampingi Usmar
Ismail, ikut menjadi arsitek lahirnya LESBUMI (Lembaga Seniman
Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh partai politik Nahdhatul
Ulama, yang mulai berdiri tahun 1962, untuk menghadapi aksi seluruh
front kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi Ketua Umum, Asrul
sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi
penerbitan LESBUMI, Abad Muslimin.
Memasuki Orde Baru, sejak tahun 1966 Asrul menjadi
angota DPR mewakili NU, terpilih lagi pada periode 1971-1976
mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara itu sejak
tahun 1968 terpilih sebagai anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta).
Pada tahun 1976-79 menjadi Ketua DKJ. Sejak tahun 1970 diangkat
menjadi salah satu dari 10 anggota Akademi Jakarta. Pernah menjadi
Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), kini
bernama Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pernah beberapa kali
duduk sebagai anggota Badan Sensor Film, tahun 1979 terpilih
sebagai anggota dan Ketua Dewan Film Nasional, Sejak tahun 1995
menjadi anggota BP2N (Badan pertimbangan perfilman nasional).
Karya :

Sastra
 Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil
Anwar dan Rivai Avin, 1950)
 Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)
 Mantera (kumpulan sajak, 1975)
 Mahkamah (drama, 1988)
 Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988)
 Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997)

Film
 Titian Serambut Dibelah Tudjuh, 1959
 Pagar Kawat Berduri (1963)
 Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1970)
 Jembatan Merah (1973)
 Salah Asuhan (1974)
 Bulan di Atas Kuburan (1976)
 Kemelut Hidup (1978)
 Di Bawah Lindungan Ka'bah (1981)
3.) W.S Rendra

Bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, beliau lahir di Solo


tanggal 7 November 1935. Beliau adalah penyair ternama yang kerap
dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di
Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok.
Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di
berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng
Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah
seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik,
Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah
penari serimpi di keraton Surakarta.

Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah


menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di
Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia
pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah
Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti
untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam
bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American
Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang
kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP.
Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi,
cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya
menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan
beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang
sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa
pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun
lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah,
Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti
terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama
majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan


“Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat
penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di
SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof.
A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989),
berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra
tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti
Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya
terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Penghargaan WS Rendra
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di
luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia
juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The
Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki
International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte
Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988),
Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal
(1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival
(1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak
penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari
Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta
(1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari
Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975);
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996)
dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti
Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra
mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana,
Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah
Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton
Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di
Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya,
antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi


istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan
yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari
Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan
putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal
itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan
mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban
Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada
hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq
Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti
Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut,
Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya
sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah
Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan
yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan
pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual
sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan
pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai,
katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih
dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan
dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar
popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja.

Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun


Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak
berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-
bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat
padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas
Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung
Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting
Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan
Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama
sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan
Sunarti tak lama kemudian.

Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra

 Jangan Takut Ibu


 Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
 Empat Kumpulan Sajak
 Rick dari Corona
 Potret Pembangunan Dalam Puisi
 Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
 Nyanyian Angsa
 Pesan Pencopet kepada Pacarnya
 Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
 Perjuangan Suku Naga
 Blues untuk Bonnie
 Pamphleten van een Dichter
 State of Emergency
 Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
 Mencari Bapak
 Rumpun Alang-alang
 Surat Cinta
 Sajak Rajawali
 Sajak Seonggok Jagung
4.) AHMAD TOHARI

dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Pernah bekerja


sebagai redaktur majalah Keluarga dan Amanah. Karya-karyanya:
Kubah (1980; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama 1980),
Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985),
Jantera Bianglala (1986; meraih hadiah Yayasan Buku Utama 1986),
Di Kaki Bukit Cibalak (1986; pemenang salah satu hadiah Sayembara
Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1979), Senyum Karyamin
(1989), Bekisar Merah (1993), Kiai Sadrun Gugat (1995), Lingkar
Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (2000).
Novelis yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa asing ini adalah salah seorang alumnus International Writing
Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan pada 1985
dianugerahi SEA Write Award.

Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur


harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya
di Jakarta. Dalam karier kepengarangannya, penulis yang berlatar
kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita
pendek. Beberapa karya fiksinya antara lain trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk telah terbit dalam edisi jepang, jerman, belanda dan Inggris.
Tahun 1990 pengarang yang punya hobi mancing ini mengikuti
International Writing Programme di Iowa City, Amerika Serikat dan
memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa.[3]
Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah
tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil, Dukuh Paruk pada
masa pergolakan komunis. Karyanya ini dianggap ke kiri-kirian oleh
pemerintah Orde Baru, sehingga Tohari diinterogasi selama
berminggu-minggu. Hingga akhirnya Tohari menghubungi sahabatnya
Gus Dur, dan akhirnya terbebas dari intimidasi dan jerat hukum.[4]
Bagian ketiga trilogi, berjudul Jantera Bianglala, diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dan cuplikannya dimuat dalam Jurnal Manoa
edisi Silenced Voices terbitan Honolulu University tahun 2000,
termasuk bagian yang disensor dan tidak dimuat dalam edisi bahasa
Indonesia.[5]
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini
juga difilmkan oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang
Penari (2011). Tohari memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para
pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan jadi dokumentasi
visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana dalam
film-film sebelumnya.[6] Pada bulan Desember 2011, Ahmad Tohari
mengungkapkan bahwa dirinya berencana untuk melanjutkan
Triloginya
5.) Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20


Maret 1940; umur 78 tahun) adalah
seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap
dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. SDD dikenal melalui
berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna
kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di
kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Masa mudanya dihabiskan
di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA
Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini, SDD sudah menulis
sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya
menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa
Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi
direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah
sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra
(sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini
telah pensiun. SDD pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode
1995-1999 dan menjadi guru besar. Pada masa tersebut, SDD juga
menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa
Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country
editormajalah Tenggara di Kuala Lumpur. Saat ini SDD aktif
mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil
tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.

]
 Duka-Mu Abadi (1969)
 Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
 Mata Pisau (1974)
 Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George
Seferis)
 Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
 Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
 Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
 Perahu Kertas (1983), Dan karya lainnya
6.)Abdul Hadi WM

Prof. Dr. Abdul Hadi WM atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji
Muthari (lahir di Sumenep, 24 Juni 1946; umur 71 tahun) adalah
salah satu sastrawan, budayawan dan ahli filsafat Indonesia. Ia
dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-
penelitiannya dalam bidang kesusasteraan Melayu Nusantara dan
pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme.
Abdul Hadi WM terlahir dengan nama Abdul Hadi Wijaya. Ketika
dewasa ia mengubah nama Wijaya menjadi Wiji. Ia lahir dari garis
keturunan peranakan Tionghoa di wilayah Sumenep,
Madura.[1] Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K.
Abu Muthar, dan ibunya adalah putri keturunan Mangkunegaran
bernama RA Sumartiyah atau Martiyah. Mereka dikaruniai sepuluh
orang anak dan Abdul Hadi adalah putra ketiga; tetapi kedua
kakaknya dan empat adiknya yang lain meninggal dunia ketika masih
kecil. Anak sulung dari empat bersaudara (semua laki-laki) ini pada
masa kecilnya sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat
dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam
Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula
ia telah mencintai puisi dan dunia tulis menulis. Penulisannya
dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzahdan Chairil
Anwar. Bersama teman-temannya Zawawi Imron dan Ahmad Fudholi
Zaini, Hadi mendirikan sebuah pesantren di kota kelahirannya tahun
1990 yang diberi nama "Pesantren An-Naba", yang terdiri dari
masjid, asrama, dan sanggar seni tempat para santri diajari sastra,
seni rupa (berikut memahat dan mematung), desain, kaligrafi,
mengukir, keramik, musik, seni suara, dan drama.[2]
Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di
kota kelahirannya. Ketika memasuki sekolah menengah atas, Abdul
Hadi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke Surabaya untuk
menuntut ilmu di kota itu. Ia kemudian menempuh pendidikan di
Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga
tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di
universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak
diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas
Padjadjaran, Bandung dan mengambil program studi Antropologi.
Selama setahun sejak 1973-1974 Hadi bermukim di Iowa, Amerika
Serikat untuk mengikuti International Writing
Program di Universitas Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama
beberapa tahun untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun
1992 ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil
gelar master dan doktorFilsafat dari Universiti Sains
Malaysia di Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia
menjadi dosen di universitas tersebut. Sekembalinya ke Indonesia,
Hadi menerima tawaran dari teman lamanya Nurcholis Madjid untuk
mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, universitas yang sama
yang mengukuhkannya sebagai Guru Besar Falsafah dan Agama pada
tahun 2008.[3]
Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik diawali sejak menjadi
mahasiswa, di mana Hadi menjadi redaktur Gema Mahasiswa (1967-
1968) dan redaktur Mahasiswa Indonesia (1969-1974). Kemudian ia
menjadi Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya (1977-1978),
redaktur majalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)
(1979-1981), redaktur Balai Pustaka (1981-1983) dan redaktur jurnal
kebudayaan Ulumul Qur'an. Sejak 1979 sampai awal 1990-an ia
menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian Berita Buana. Tahun
1982 ia dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan ketika
reformasi bergulir, dalam pemilu multi partai 1999, atas desakan
rekannya Dr. H. Hamzah Haz, Abdul Hadi didesak maju sebagai wakil
daerah wilayah pemilihan Jawa Timur dari Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Tahun 2000 ia dilantik menjadi anggota Lembaga
Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat Ketua Dewan
Kurator Bayt al-Qur'an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis
Kebudayaan Muhammadiyah, anggota Dewan Pakar Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan anggota Dewan
Penasihat PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Keterlibatan
Abdul Hadi WM dalam lingkaran aktivis Muslim telah dimulai sejak ia
menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama menjadi
mahasiswa di UGM, kemudian ikut merintis lahirnya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tahun 1964 bersama-
sama Amin Rais dan sahabatnya sesama penyair, Slamet Sukirnanto
Sebagai pengajar, saat ini tercatat sebagai dosen tetap Fakultas
Falsafah Universitas Paramadina, dosen luar biasa Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, dan dosen pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan The Islamic College for Advanced
Studies (ICAS) London kampus Jakarta.
Sebagai sastrawan, Hadi bersama sahabat-sahabatnya antara
lain Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar dan Leon
Agustamenggerakkan program Sastrawan Masuk Sekolah (SMS), di
bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan Yayasan
Indonesia, dengan sponsor dari The Ford Foundation
Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta
puisi sufis. Ia memang menulis tentang kesepian, kematian, dan
waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh
tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan sahabat
karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia
membantah. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk
mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik
menekankan sisi moralistisnya.”
Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam
sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan
Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak
pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan
dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami,ikut mendorong
masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap
sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.[4]
Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian
filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai
Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam:
Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang
Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last
We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum
Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum
Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura:
Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan
sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz,
Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia
juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.
Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Ara
b, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.
7.) Pramoedya Ananta Toer

Beliau lahir pada tanggal 6 februari 1925 di daerah Blora yang


terletak di Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri
yang bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta dan
ibunya bernama Saidah bekerja sebagai seorang penghulu di daerah
Rembang. Nama asli dari Pramoedya adalah Pramoedya Ananta
Mastoer namun lama kelamaan orang lebih mengenalnya sebagai
Pramoedya Ananta Toer atau biasa dipanggil Pram. Beliau mulai
bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo di Blora di bawah
bimbingan ayahnya yang bekerja sebagai guru disana namun tercatat
bahwa Pramoedya beberapa kali tidak naik kelas. Tamat dari Boedi
utomo, ia kemudian bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya
selama 1,5 tahun di 1940 hingga 1941. Pada tahun 1942, Pramoedya
kemudian berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang ketik di
Kantor berita Jepang bernama 'Domei' pada saat masa kependudukan
jepang di Indonesia.

Sambil bekerja, Pramoedya juga mengikuti pendidikan di Taman


Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara antara tahun 1942
higga 1943. Selanjutnya di tahun 1944 hingga 1945, ia mengikuti
sebuah kursus Stenografi dan kemudian melanjutkan pendidikannya
di Sekolah Tinggi Islam Jakarta pada tahun 1945.
Kemudian memasuki masa pasca kemerdekaan Indonesia tepatnya
pada tahun 1946, Pramoedya Ananta Toer mengikuti pelatihan militer
Tentara Keamanan Rakyat dan bergabung dengan Resimen 6 dengan
pangkat letnan dua dan ditugaskan di Cikampek dan kemudian kembali
ke Jakarta pada tahun 1947.

Pramoedya Ananta Toer kemudian ditangkap Belanda pada tanggal 22


juli 1947 dengan tuduhan menyimpan dokumen pemberontakan
melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk berkuasa. Ia
kemudian di jatuhi hukuman penjara dan kemudian dipenjarakan di
pulau Edam dan kemudian dipindahkan ke penjara di daerah Bukit
Duri hingga tahun 1949 dan selama masa penahanannya tersebut, ia
lebih banyak menulis buku dan cerpen. Keluar dari penjara,
Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang redaktur
di Balai Pustaka Jakarta antara tahun 1950 hingga 1951, dan di tahun
berikutnya ia kemudian mendirikan Literary and Fitures Agency Duta
hingga tahun 1954. Ia bahkan sempat ke Belanda mengikuti program
pertukaran budaya dan tinggal disana beberapa bulan. Tidak lama
kemudian ia pulang ke Indonesia dan menjadi anggota Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) yang dikenal sebagai organisasi kebudayaan
berhaluan kiri.

Pada tahun 1956, Pramoedya Ananta Toer sempat ke Beijing untuk


menghadiri hari kematian Lu Sung. Kembali ke Indonesia, ia kemudian
mulai mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang
tionghoa di Indonesia. Pramoedya bahkan menjalin hubungan yang
erat dengan para penulis atau sastrawan dari Tiongkok. Di masa
tersebut, Pramoedya banyak menulis karya-karya sastra dan juga
tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintahan Indonesia mengenai
penyiksaan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1958, Pramoedya Ananta Toer didaulat menjadi


pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kesenian Jakarta) yang bernaung di
bawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N Aidit. Jabatannya
sebagai pimpinan pusat Lekra membuat banyak seniman menjadi
berseberangan pendapat dengan Pramoedya Ananta Toer teruta para
seniman yang menentang aliran komunis di Indonesia.

Di tahun 1962, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai


seorang dosen sastra di Universitas Res Republica. Ia juga menjadi
Dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai dan juga berprofesi
sebagai redaktur majalah Lentera.
8.)Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11


Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86
tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa
Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Universitas Nasional,
Jakarta.

Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA


melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia
meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi
di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas
Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia
(1987).Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan
kesenian. STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai
Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah
Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa
Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi
guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia,
Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru
besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di
Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa
Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), guru besar
dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala
Lumpur (1963-1968).Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA
pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite
Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain
itu, ia menjadi anggota Société de linguistique de Paris (sejak 1951),
anggota Commite of Directors of the International Federation of
Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of
the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies
Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk
Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia
juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua
Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan
Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali
(1994).

STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang


berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-
modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan
cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran
cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan
anti-Barat. Menurutnya, bangsa Indonesia haruslah mengejar
ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran,
dan belajar ilmu-ilmu Barat.

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi


Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi
Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang
menjadi pemersatu bangsa.[5] Ia yang pertama kali menulis Tata
Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia,
yang mana masih dipakai sampai sekarang. Serta Kamus Istilah yang
berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin
mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa
tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi
perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa
yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah
pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun
1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan
inisiator Konferensi Pertama Bahasa- bahasa Asia tentang "The
Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober
1967)

Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita


terbesarnya, yakni menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, Bahasa Indonesia
semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah
menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk
penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang
menjadi penutur Bahasa Melayu gagal mengantarkan bahasa itu
kembali menjadi bahasa pengantar kawasan.

Karya-karyanya

Sebagai penulis

Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)

Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)

Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)

Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)

Layar Terkembang (novel, 1936)

Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)

Puisi Lama (bunga rampai, 1941)

Puisi Baru (bunga rampai, 1946)

Pelangi (bunga rampai, 1946)

Pembimbing ke Filsafat (1946) DLL

Sebagai editor
 Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
 Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai,
1984).

Sebagai penerjemah

 Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)


 Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan
bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)

Penghargaan

 Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari


Pemerintah RI.
 STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".
 Honorary Member of Koninklijk Instituut voor Taal-, Land en
Volkenkunde, Netherlands (1976).
 The Order of the Sacred Treasure, Gold and Silver from The
Emperor of Japan (1987).
 Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African
Studies London 2 Mei 1990
 DR.HC dari Universitas Indonesia
 DR.HC dari Universitas Sains Malaysia
9.) Taufik Ismail

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak


sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah
rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan
menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi,
SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia
memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School
guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin,
AS, angkatan pertama dari Indonesia Ia melanjutkan pendidikan di
Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia
(sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963.

Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International


Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia
juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American
University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang
Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan.


Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–
1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor
(1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul
Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan
Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-
1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan
terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi
lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat
sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

aufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970.


Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan
Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga
melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia
memimpin majalah itu.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta


(DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq
mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj.
Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari
tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer
Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan


Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq
telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri
maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di
Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya,
seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa
Pengeboman Bali.

Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan


Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian
Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75
lagu. Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di
24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970.
Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali,
Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi


pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N.
Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua
Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan
Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya,
serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service,
AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia
terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS
International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan


Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu
“Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda
Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu,
bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan
dari Presiden Megawati (2002). Kini Taufiq menjadi anggota Badan
Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di
samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.

Hasil karya:

 Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)


 Benteng, Litera ( 1966)
 Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet
baca puisi) (1972)
 Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
 Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
 Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
 Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan)
(1993)
 Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
 Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum
Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi
puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa,
memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
 Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara
dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan
Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
 Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (199 8)
 Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar,
Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman,
Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia
dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation
(2001)
 Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1),
Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4)
(editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata,
Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan
Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001,
Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)
Karya terjemahan:

1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise


Sagan, 1960)
2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman,
1962)
3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku
The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal
(bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)

Anugerah yang diterima:

 Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)


 Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
 South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand
(1994)
 Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
 Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999)
 Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta
(2003)
Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan
dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia
tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120
10. Putu Wijaya

Putu Wijaya lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali, pada 11 April
1944. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga
bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni
sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan
punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang
pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak dan ibunya
bernama Mekel Ermawati. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi
dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah,
bahasa, dan ilmu bumi.

Putu menulis sejak SMP. Tulisan pertamanya sebuah cerita pendek


berjudul "Etsa" dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Pertama kali
main drama ketika di SMA, memainkan drama sendiri dan menyutradarai
dengan kelompok yang didirikannya sendiri di Yogyakarta. Ikut Bengkel
Teater 1967-1969. Kemudian bergabung dengan Teater Kecil di
Jakarta. Sempat main satu kali dalam pementasan Teater Populer.
Selanjutnya dengan Teater Mandiri yang didirikan pada tahun 1971,
dengan konsep "Bertolak dari Yang Ada."

Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama,


sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia
juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang
dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah
mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri, beberapa
diantaranya yaitu mementaskan naskah Gerr (Geez), dan Aum (Roar) di
Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York City, dan pada tahun
1991 membawa Teater Mandiri dengan pertunjukkan Yel keliling
Amerika. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario
sinetron.

Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas


dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah
Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali
meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Per4w4n Desa
(1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah
banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak
diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik,
Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, dan Nyali. Sejumlah karyanya sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis,
Jepang, Arab dan Thai.

Pendidikan

 SR, Tabanan (1956)


 SMP Negeri, Tabanan (1959)
 SMA-A, Singaraja (1962)
 Fakultas Hukum UGM (1969)
 ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
 LPPM, Jakarta (1981)
 International Writing Programme, Iowa, AS (1974)

Karya dan karier :


Teater

 Admin -R, YMI (2012-sekarang)

Penulis skenario film

Antara lain:

 Per4w4n Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980)


 Kembang Kembangan (memperoleh Piala Citra FFI 1985)
 Ramadhan dan Ramona
 Dr. Karmila
 Bayang-Bayang Kelabu
 Anak-Anak Bangsa
 Wolter Monginsidi
 Sepasang Merpati
 Telegaram

Penulis skenario sinetron

Antara lain:

 Keluarga Rahmat
 Pas
 None
 Warung Tegal
 Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995)
 Jari-Jari Cinta
 Balada Dangdut
 Dendam
 Cerpen Metropolitan
 Plot
 Klop
 Melangkah di Atas Awan
 Nostalgia
 Tiada Kata Berpisah
 Intrik
 Bukan Impian Semusim
 Pantang Menyerah
 Api Cinta Antonio Blanco
 Sejuta Makna dalam Kata
 Nona-Noni

Karya drama

 Dalam Cahaya Bulan (1966)


 Lautan Bernyanyi (1967)
 Bila Malam Bertambah Malam (1970)
 Invalid (1974)
 Tak Sampai Tiga Bulan (1974)
 Anu (1974)
 Aduh (1975)
 Dag-Dig-Dug (1976)
 Gerr (1986)
 Edan (1988)
 Hum-Pim-Pah (1992)
 Konspirasi Kemakmuran
 Blong
 Ayo
 Awas
 Labil Ekonomi
 Aum
 Zat
 Tai
 Front
 Aib
 Wah
 Hah
 Jepretin tuh Staples! (2011)
 Aeng
 Aut
 Dar-Dir-Dor

Karya novel

 Bila Malam Bertambah Malam (1971)


 Telegram (1972)
 Stasiun (1977)
 Pabrik (1976)
 Keok (1978)
 Aduh
 Bali
 Dag-dig-dug
 GURU
 Gres
 Lho (1982)
 Merdeka
 Nyali
 Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995)
 Kroco (Pustaka Firdaus, 1995)
 Dar Der Dor (Grasindo, 1996)
 Aus (Grasindo, 1996)
 Sobat (1981)
 Tiba-Tiba Malam (1977)
 Pol (1987)
 Putri
 Terror (1991)
 Merdeka (1994)
 Perang (1992)
 Lima (1992)
 Nol (1992)
 Dang Dut (1992)
 Cas-Cis-Cus (1995)

Karya cerpen
 Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen
Bom (1978)
 Es Campur (1980)
 Gres (1982)
 Klop
 Bor
 Protes (1994)
 Darah (1995)
 Yel (1995)
 Blok (1994)
 Zig Zag (1996)
 Tidak (1999)
 Peradilan Rakyat (2006)
 Keadilan (2012)

Karya Novelet:

 MS (1977)
 Tak Cukup Sedih (1977)
 Ratu (1977)
 Sah (1977)

Karya esai

Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar,


Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang
Ada.

Penghargaan yang telah diterima

 Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogyakarta)


 Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
 Pemenang penulisan novel IKAPI
 Pemenang penulisan drama BPTNI
 Pemenang penulisan drama Safari
 Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
 Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
 Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
 Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
 Pemenang penulisan esei DKJ
 Dua kali pemenang penulisan novel Femina
 Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
 Pemenang penulisan cerpen Kartini
 Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)
 Pemenang sinetron komedi FSI (1995)
 SEA Write Award 1980 di Bangkok
 Pemenang penulisan esei Kompas
 Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)
 Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto,
Jepang (1991-1992)
 Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
 Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan Presiden RI (2004)
 Penghargaan Achmad Bakrie (2007)
 Penghargaan Akademi Jakarta(2009)

Kegiatan lainnya

 Wartawan majalah Ekspres (1969)


 Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980)
 Wartawan majalah Tempo (1971-1979)
 Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985)
 Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas
Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988)
BIOGRAFI
PENGUSAHA SUKSES
1. Hary Tanoe

Pria asal Surabaya ini merupakan anak dari Ahmad Tanoesoedibjo, Ia


mengenyam pendidikan di SMAK St. Louis Surabaya dan kemudian
melanjutkan pendidikan sarjananya di Carleton University, Ottawa,
Canada untuk gelar bachelor of Commerce (Honours). Ia kemudian
menyelesaikan pendidikan masternya di Ottawa University program
master of business Administration. Hary Tano kini telah meraih
kesuksesan dalam dua bidang sekaligus, pada dunia bisnis melalui
MNC Group dan dunia politik melalui partai Perindo yang Ia dirikan
sendiri.

Pada tahun 1989, Hary Tanoe merupakan pendiri, pemegang saham


sekaligus presiden eksekutif grup PT Bhakti Investama Tbk. Sebelas
tahun kemudian perusahaan tersebut berhasil mengambil alih PT
Bimantara Citra Tbk. dan mengganti namanya menjadi PT Global
Mediacom Tbk.

Di bawah bendera PT Global Mediacom dan PT Bhakti Investama,


terdapat tiga stasiun televisi sekaligus dan beberapa radio bahkan
media cetak. Hary Tanoesoedibjo mengelola usaha pers dengan baik
dan mampu bertahan menghadapi persaingan dari berbagai stasiun
televisi.
Hary Tanoe memulai kiprah politiknya pada tahun 2011 dengan
bergabung dalam partai Nasional Demokrasi atau NasDem. Hary
Tanoesoedibjo dipercaya oleh NasDem untuk menduduki jabatan
ketua dewan pakar sekaligus wakil ketua majelis Nasional mengusung
semboyan gerakan perubahan.

Mengundurkan diri secara resmi dari partai NasDem pada tahun 2013
yang disebabkan adanya perbedaan pendapat. Hengkan dari NasDem,
Hary Tanoe kemudian bergabung dengan partai Hanura. Hanura
memberi kesempatan kepadanya untuk menduduki jabatan ketua
dewan pertimbangan dan kemudian menjadi ketua Bapilu dan mencalon
sebagai wakil presiden bersama Wiranto. Selang setahun
keanggotaannya di Hanura, Ia keluar dari partai tersebut, dan pada
tahun 2015 Ia medirikan Partai persatuan Indonesia (Perindo).

Hary Tanoesoedibjo meduduki peringkat 22 orang terkaya di


Indonesia versi majalah Forbes yang terbit tahun 2011. Hary Tanoe
juga menerima penghargaan sebagai Unpredictable Newsmaker 2011
dari media portal Rakyat Merdeka Online (RMOL).

Saat ini Hary tengah fokus mengelola bisnisnya yaitu Media


Nusantara Citra atau MNC Group. Saat ini Hary juga menjabat
sebagai CEO dari MNC Group yang terus berupaya menjadi media
pers nomor satu di Indonesia.
Biodata Hary Tanoesoedibjo

Nama lahir : Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo


Tempat Lahir : Surabaya, Indonesia
Tanggal lahir : 26 September 1965
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Profesi : Pengusaha & Politikus

Pendidikan:

 Bachelor of Commerce (Honours), Carleton University, Ottawa-


Kanada (1988)
 Master of Business Administration, Ottawa University,
Ottawa-Kanada (1989)

Karir:

 Pendiri, pemegang saham, dan Presiden Eksekutif Grup PT


Bhakti Investama Tbk.
 Presiden Direktur PT Global Mediacom Tbk
 Presiden Direktur PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC)
 Presiden Direktur PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI)
 Komisaris PT Mobile-8 Telecom Tbk,
 Komisaris Indovision
 Bendahara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)

Penghargaan:

 Peringkat ke-22 orang terkaya di Indonesia versi majalah


Forbes 2011.
 Unpredictable Newsmaker 2011 dari media portal Rakyat
Merdeka Online(RMOL)
Hary Tanoe memiliki 5 orang anak yaitu Angela Herliani
Tanoesoedibjo, Jessica Herliani Tanoesoedibjo, Valencia Herliani
Tanoesoedibjo, Clarissa Herliani Tanoesoedibjo & Warren Haryputra
Tanoesoedibjo dari seorang isteri Lilia Tanosoedibjo.

2
2. Bob Sadino

Beliau bernama lengkap Bob Sadino. Lahir di Lampung, tanggal 9


Maret 1933, wafat pada tanggal 19 Januari 2015. Beliau akrab
dipanggil dengan sebutan 'om Bob'. Ia adalah seorang pengusaha asal
Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia adalah
pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak
kesempatan, ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek
dan celana pendek yang menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari
sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari
lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika
itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya
karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.

Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling


dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap
selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di
kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di
Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami
Soejoed.

Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia


membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah
satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta
Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama
tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.

Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan


adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang
menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan
kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah.

Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan


menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat
mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk


melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam
itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan
ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang
untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual


beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan
istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena
mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan
Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing


sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki
pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi
feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang
berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar
swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja
lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke
agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur
mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga
menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan


demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia
dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu.
Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap
peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana


tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah
pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak
orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak
segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia


langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan
menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan
kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi
trampil dan profesional. Menurut Bob, banyak orang yang memulai
dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena
merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan


saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih
simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob,
kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena
itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua


anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang
utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.
Seorang Anak Guru
Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa
dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di
Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara,
hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo
yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal
dunia ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun
1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang,
Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar
sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob
sendiri sopirnya.

Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali,
tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya
ikut hancur,” kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas
bekerja jadi kuli bangunan.

Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman


sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan.
Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus
mencari nafkah.”

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam


ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob
menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan
pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik.

Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan


sebuah ”warung” shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan
awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual
40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan
100 ton sayuran segar.
”Saya hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan
usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil
fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ”Di mana
pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,” kata Bob.

Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di


luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak
ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-
macam. Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik
klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat
bersama istri dan dua anaknya.

Meninggal Dunia
Setelah sempat dirawat selama dua bulan, pengusaha nyentrik Bob
Sadino akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit
Pondok Indah Jakarta pada hari Senin, tanggal 19 januari 2015
setelah berjuang dengan penyakitnya yaitu infeksi saluran
pernafasan kronis.

Bob Sadino dikatakan sudah tak sadar dalam 2-3 minggu. Penyakitnya
terkait dengan usianya yang sudah lanjut serta kondisinya yang makin
menurun setelah istrinya meninggal dunia pada Juli 2014.
Profil dan Biodata Bob Sadino

Nama : Bob Sadino


Lahir : Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Wafat : Jakarta, 19 Januari 2015
Agama : Islam

Pendidikan :

 -SD, Yogyakarta (1947)


 -SMP, Jakarta (1950)
 -SMA, Jakarta (1953)
Karir :

 Karyawan Unilever (1954-1955)


 Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-
1967)
 Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
 Dirut PT Boga Catur Rata
 PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
 PT Kem Farms (kebun sayur)
Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telp: 793981

Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618
3. Susi Pudiastuti

Mengenai Ferry Unardi, anak muda ini lahir pada tanggal 16 Januari
1988 di kota Padang, Sumatera Barat. Selepas lulus SMA, ia
kemudian melanjutkan pendidikannya di luar negeri tepatnya di
Jurusan Science and Engineering di Purdue University yang terletak
di wilayah bagian Indiana, Amerika Serikat.

Setelah lulus kuliah pada tahun 2008, Ferry kemudian diterima


bekerja di perusahaan milik Microsoft di wilayah bagian Seattle.
Selama 3 tahun ia bekerja disana dan memiliki banyak pengalaman.
Tak lama kemudian ia melanjutkan pendidikannya di program master
di Harvard University.

Naluri bisnis Ferry Unardi mulai muncul ketika ia sudah melewati satu
semester di kampusnya. Ia memilih mengembangkan bisnis dibidang
reservasi tiket pesawat. Hal ini didasarkan pada pengalamannya saat
ia merasa kesulitan dalam reservasi tiket dari Amerika menuju
Padang sebab rute yang tersedia hanya sampai di Jakarta saja
sedangkan untuk ke Padang harus melanjutkan perjalanan lagi.
Disamping itu ia sudah berpengalaman selama 8 tahun mempelajari
sistem reservasi pesawat. Ferry juga berharap dengan bisnisnya ini
dapat memudahkan masyarakat dalam memudahkan pemesanan tiket
pesawat.

Dalam menajalankan bisnisnya, ia dibantu dua orang temannya yaitu


Derianto Kusuma dan Albert Zhang. Keyakinan Ferry terhadap
bisnisnya sangat tinggi. Hingga ia fokus dalam mengembangkan bisnis
pemesanan tiketnya tersebut. Untuk fokus dibisnisnya ia akhirnya
memilih berhenti melanjutkan kuliahnya di Harvard University.

Banyak pihak yang menyayangkan keputusan Fery Unardi ini, namun


Ferry percaya pada perusahaan rintisannya tersebut. Dibantu dengan
dua temannya tersebut, Ferry kemudian mulain merancang core
bisnis usahanya dan rencana mereka kedepan.

Ferry Unardi bersama dua temannya kemudian memilih nama


Traveloka dan resmi merilis Traveloka pada bulan oktober 2012.
Ibarat jalan yang tak selamanya mulus, bisnis mereka juga pada
awalnya tidak berjalan mulus. Pada awal-awal peluncuran, tak ada
maskapai yang mau bekerja sama dengan mereka.

Tidak cepat putus asa dan terus bekerja keras mengembangkan


bisnisnya, lambat laun Traveloka mulai berkembang sedikit demi
sedikit dan mulai banyak maskapai yang mau bekerja sama dengan
mereka.

Awalnya Traveloka hanya beranggotakan 8 orang dalam menjalankan


usahanya, saat ini Traveloka sudah memiliki karyawan sebanyak lebih
ratusan orang yang terbagi-bagi dalam berbagai divisi atau
departemen.

Traveloka sendiri saat ini berkembang sebagai salah satu startup


tersukses di Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 2012, Traveloka
rintisan Ferry Unardi terus mendapatkan suntikan dana dari berbagai
investor untuk mengembangkan bisnisnya. Bisnisnya tidak hanya
melayani penjualan tiket pesawat saja namun sudah merambah jasa
reservasi hotel dan juga tiket kereta api.

Hingga saat ini Traveloka memiliki nilai valuasi mencapai sekitar 26,2
triliun rupiah. Total kunjungan ke website traveloka mencapai 16.5
juta orang tiap bulannya. Hal ini membuat Traveloka dijuluki sebagai
perusahaan startup Unicorn bersama dengan Gojek dan Tokopedia
yaitu perusahaan startup dengan valuasi diatas 1 milyar dollar.
Kesuksesan Traveloka sebagai agen tiket online nomor satu di
Indonesia membuat nama Ferry Unardi yang kini menjabat sebagai
CEO Traveloka

Susi Pudjiastuti. Telahir pada tanggal 15 Januari 1965 di Pangadaran


dengan nama lengkap Susi Pudjiastuti.

Masa Kecil Susi Pudjiastuti

Ia memiliki Ayah bernama Haji Ahmad Karlan serta ibu yang bernama
Hajjah Suwuh Lasminah yang berasal dari Jawa Tengah. Keluarga
dari Susi Pudjiastuti merupakan adalah saudagar sapi dan kerbau,
yang membawa ratusan ternak dari Jawa Tengah untuk
diperdagangkan di Jawa Barat. Kakek buyutnya Haji Ireng dikenal
sebagai tuan tanah.

Berhenti Sekolah dan Menjadi Pengusaha

Hal yang menarik dari Susi Pudjiastuti adalah ia hanya memiliki ijazah
SMP. Setamat SMP ia sempat melanjutkan pendidikan ke SMA.
Namun, di kelas II SMAN Yogyakarta dia berhenti sekolah karena
keputusannya untuk terjun kedua bisnis.

Seputus sekolah, Susi menjual perhiasannya dan mengumpulkan modal


Rp.750.000 untuk menjadi pengepul ikan di Pangandaran pada tahun
1983. Bisnisnya berkembang hingga pada tahun 1996 Susi mendirikan
pabrik pengolahan ikan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan
produk unggulan berupa lobster yang diberi merek "Susi Brand."

Bisnis pengolahan ikan ini pun meluas dengan pasar hingga ke Asia dan
Amerika. Karena hal ini, susi memerlukan sarana transportasi udara
yang dapat dengan cepat mengangkut produk hasil lautnya dalam
keadaan masih segar.

Mendirikan Maskapai SUSI AIR

Pada 2004, Susi memutuskan membeli sebuah Cessna Caravan


seharga Rp 20 miliar menggunakan pinjaman bank. Melalui PT ASI
Pudjiastuti Aviation yang ia dirikan kemudian, satu-satunya pesawat
yang ia miliki itu ia gunakan untuk mengangkut lobster dan ikan segar
tangkapan nelayan di berbagai pantai di Indonesia ke pasar Jakarta
dan Jepang.

Call sign yang digunakan Cessna itu adalah Susi Air. Dua hari setelah
gempa tektonik dan tsunami Aceh melanda Aceh dan pantai barat
Sumatera pada 26 Desember 2004, Cessna Susi adalah pesawat
pertama yang berhasil mencapai lokasi bencana untuk
mendistribusikan bantuan kepada para korban yang berada di daerah
terisolasi.
Peristiwa itu mengubah arah bisnis Susi. Di saat bisnis perikanan
mulai merosot, Susi menyewakan pesawatnya itu yang semula
digunakan untuk mengangkut hasil laut untuk misi kemanusiaan.
Selama tiga tahun berjalan, maka perusahaan penerbangan ini
semakin berkembang hingga memiliki 14 pesawat, ada 4 di Papua, 4
pesawat di Balikpapan, Jawa dan Sumatera.

Perusahaannya memiliki 32 pesawat Cessna Grand Caravan, 9 pesawat


Pilatus Porter, 1 pesawat Diamond star dan 1 buah pesawat Diamond
Twin star. Sekarang Susi Air memiliki 49 dan mengoperasikan 50
pesawat terbang beragam jenis.

Kehidupan Pribadi Susi Pudjiastuti

Dalam kehidupan pribadinya, Susi Pudjiastuti sempat dua kali


bercerai dan kemudian menikah dengan Christian von Strombeck.
Dari pernikahan-pernikahannya, ia memiliki tiga orang anak, Panji
Hilmansyah, Nadine Kaiser (dari pernikahannya dengan Daniel Kaiser),
dan Alvy Xavier. Susi Pudjiastuti ditunjuk sebagai Menteri Kelautan
dan Perikanan dalam Kabinet Kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla,
yang ditetapkan secara resmi pada 26 Oktober 2014.

Sebelum dilantik, Susi melepas semua posisinya di perusahaan


penerbangan Susi Air dan beberapa posisi lainnya, termasuk Presiden
Direktur PT. ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan
serta PT ASI Pudjiastuti Aviation yang bergerak di bidang
penerbangan untuk menghindari konflik kepentingan antara dirinya
sebagai menteri dan sebagai pemimpin bisnis.

Selain itu, alasan lain Susi melepas semua jabatannya adalah agar
dapat bekerja maksimal menjalankan pemerintahan, khususnya di
bidang kelautan dan perikanan. Saat pelantikan, Susi menuai
kontroversi karena kedapatan menghisap sebatang rokok dan memiliki
tato di kakinya bergambar Burung Phoenix yang dalam mitologi kuno
diartikan sebagai burung api abadi.

Dibalik kontroversialnya, Menteri Susi Pudjiastuti merupakan sosok


yang tegas seperti keputusan tegasnya dalam memberantas pencurian
ikan yang sering terjadi di wilayah perairan nusantara serta usahanya
dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan selain itu ia juga sangat
mahir dalam berbahasa inggris., sesuatu yang tidak lazim dimiliki oleh
menteri Indonesia. Atas tindakannya ini, Susi mendapatkan baik
pujian dan kritikan di media sosial.

Susi menerima banyak penghargaan antara lain :

 Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa


Barat tahun 2004
 Young Entrepreneur of the Year dari Ernst and Young
Indonesia tahun 2005
 Primaniyarta Award for Best Small & Medium Enterprise
Exporter 2005 dari Presiden Republik Indonesia. Tahun 2006
 Metro TV Award for Economics-2006,
 Inspiring Woman 2005 dan Eagle Award 2006 dari Metro TV,
Indonesia
 Berprestasi Award dari PT Exelcomindo
 Sofyan Ilyas Award dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
pada tahun 2009
 Ganesha Widyajasa Aditama Award dari ITB, 2011
 Award for Innovative Achievements, Extraordinary Leadership
and Significant Contributions to the Economy, APEC, 2011
 Tokoh Wanita Inspiratif Penggerak Pembangunan, dari
Gubernur Jawa Barat, 2008
Pada tahun 2008 sebelumnya, ia mengembangkan bisnis aviasinya
dengan membuka sekolah pilot Susi Flying School melalui PT ASI
Pudjiastuti Flying School.

Kata kata bijak dari Susi Pudjiastuti :

"Bagi saya Ibu adalah segala-galanya, jalan rezeki dibuka dengan


bakti kita pada orangtua, hal yang membuat hati seorang ibu
bahagia bukanlah harta, melainkan akhlak seorang anak yang
mulia."
4. Rachmat Gobel

Rachmat Gobel lahir di Gorontola, 3 September 1962 dari pasangan


Drs. H. Thayeb Mohammad Gobel dan Annie Nento Gobel. Rachmat
adalah anak bungsu dari lima bersaudara dan dia satu-satunya putra
laki-laki.

Rachmat Gobel beruntung memiliki keluarga yang berada. Bapaknya


seorang pengusaha ternama dengan bendera perusahaan Gobel Group.
Namun, bukan berarti dengan mudah Rachmat mendapatkan
segalanya. Ia tetap dididik agar menjadi anak mandiri dan pekerja
keras.

Sejak usia remaja, saat libur sekolah, tiap pagi dia diajak orang
tuanya untuk ikut ke pabrik. Di sana ia ikut bekerja penuh seharian
layaknya buruh-buruh lainnya. Di situlah Rachmat menemukan
persoalan dan ia selalu mendiskusikan kepada bapaknya.

Setelah lulus dari sekolah menengah di Jakarta, pada usia 19 tahun,


ia memutuskan untuk belajar di Jepang daripada ke Amerika Serikat.
Dia memilih Jepang untuk membesarkan perusahaan bapaknya yang
memiliki kerja sama dengan perusahaan Jepang, Matsushita Group.
Kuliah di Jepang bukan perkara mudah. Awalnya, Rachmat tidak
masuk karena persoalan bahasa. Dengan tekad keras dan pada waktu
bersamaan kampusnya memerlukan mahasiswa luar negeri, akhirnya
lolos juga Rachmat. Untuk menebus itu, Rachmat selama satu
setengah tahun pertama di Jepang mendalami bahasa Jepang dan
kuliah reguler 4 tahun.

Pada usia 24 tahun, Rachmat sudah menggondol gelar sarjana dari


jurusan Perdagangan Internasional di Chuo University, Tokyo,
Jepang. Setelah lulus, ia praktik kerja sekaligus menerapkan ilmunya
di Matsushita Group, dekat Kota Osaka, Jepang.

Tahun 1989, pada usia 26 tahun, ia diminta kembali ke Jakarta untuk


bergabung pada kelompok usaha Gobel. Dia menjadi Asisten Presiden
Direktur di PT. National Gobel, sekarang bernama PT. Panasonic
Manafacturing Indonesia. Perusahaan ini merupakan perusahaan joint
venture pertama antara pihak Jepang dengan Indonesia di bidang
industri manufaktur elektronik.

Sejak itulah, Rachmat diuji membangun dan membesarkan perusahaan


kelompok Gobel. Selama 25 tahun mengendalikan usaha gobel group,
Rachmat terbilang sukses. Dia salah satu pengusaha pribumi sukses
yang ada di Indonesia.

Kerja keras dan profesional selalu dia tunjukan. Berbagai jabatan di


luar bisnis disandangnya. Namanya sempat muncul sebagai kandidat
menteri pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
bahkan sempat dipanggil ke kediaman SBY di Cikeas.

Meski tidak terpilih, tidak membuat Rachmat prustasi. Dia tetap


menekuni usahanya dan dia juga tidak mau bergabung dengan partai
manapun.

Sikap kerja yang profesional, ikhlas dan suka menolong, membuat


namanya muncul kembali pasca Pilpres 2014.
Rachmat Gobel dipilih Presiden Jokowi sebagai menteri perdagangan
dalam Kabinet Kerja 2014-2019. Dia salah satu menteri yang dipilih
dari perwakilan profesional. Sayang, setahun sebagai menteri harus
terhenti karena ada reshuffle kabinet. Posisinya diisi oleh Thomas
Trikasih Lembong. (*)

KELUARGA
Istri : Retno Damayanti
Anak : Nurfitria Sekarwillis Kusumawardhani
Mohammad Arif Gobel.

PENDIDIKAN
Sarjana Ilmu Perdagangan Internasional, Chuo University, Tokyo,
Jepang (1987).

KARIER
Direktur Utama, PT. Gobel International (holding company Kelompok
Usaha, Gobel), 1994
Komisaris, PT. Panasonic Manufacturing Indonesia (d/h PT. National
Gobel), 2002
Wakil Direktur Utama, PT. National Gobel, 1993 – 2002
Direktur Perencanaan, PT. National Gobel, 1991 – 1993
Assisten Direktur Utama, PT. National Gobel, 1989 – 1991
Komisaris Utama,PT. Panasonic Gobel Indonesia(d/h PT. National
Panasonic Gobel), 2004 -
Direktur Utama, PT. National Panasonic Gobel, 1993 - 2004
Wakil Direktur Utama, PT. National Panasonic Gobel, 1992 – 1993
Komisaris Utama, PT. Panasonic Gobel Energy Indonesia (d/h PT.
Matsushita Gobel Battery Industry), 1998
Direktur, PT. Matsushita Gobel Battery Industry, 1994 - 1998
Komisaris Utama, PT. Panasonic Gobel Eco Solutions Manufacturing
Indonesia(d/h PT Matsushita Gobel Electric Works Manufacturing),
1994
Komisaris Utama, PT Panasonic Gobel Eco Solutions Sales
Indonesia(d/h PT Matsushita Denko Gobel), 1994 -
Komisaris Utama, PT Panasonic Healthcare Indonesia (d/h PT
Matsushita Kotobuki Electronic Industries Indonesia), 1995 -
sekarang
Komisaris Utama, PT Nusantara Parkerizing, 2000
Wakil Komisaris Utama, PT Nusantara Parkerizing, 1999 - 2000
Wakil Komisaris Utama, PT Parker Metal Treatment Indonesia, 2002
- sekarang
Komisaris Utama, PT. Gobel Dharma Nusantara, 2013
Direktur Utama, PT. Gobel Dharma Nusantara, 2006 – 2013
Komisaris, PT. Smart, Tbk, 2004
Komisaris, PT. Indosat, Tbk. (Agustus 2008, ditunjuk Qatar
Telecomm (Qtel) sebagai mitra strategis, sekaligus mewakili
kepentingan Qtel dalam jajaran Komisaris PT. Indosat, Tbk.), 2008 -
Komisaris Utama, PT Visi Media Asia, Tbk, 2014

PENGHARGAAN
Doktor Kehormatan dari Chuo University, Tokyo, Jepang (2014)
Doktor Kehormatan dari Takushoku University, Tokyo, Jepang
(2002)
“Anugerah Dharma Cipta Karsa”, sebagai tokoh promosi warisan
budaya dan ekonomi kreatif, atas karsa atau tindakannya yang telah
mendorong terbentuknya ekonomi kreatif. Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif RI (2014),
“Tokoh Standardisasi Indonesia”, atas prestasi dan kontribusi dalam
pengembangan standar nasional di Indonesia. Badan Standardisasi
Nasional (BSN) (2013)
“Special Achievement Award for Extraordinary Leadership and
Personal Commitment to Energy Saving and Industry”, atas prestasi
dan kontribusi positif dalam memasyaratkan kegiatan hemat energi,
serta pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Majalah bisnis dan
ekonomi WARTA EKONOMI, Jakarta (2012}
“The Jewel of Muslim World Award”, atas kerja keras dan kontribusi
dalam pengembangan ekonomi Islam. Majalah bisnis dan investasi
OIC Today Magazine, Organisasi Kerjasama Islam/Organization of
Islamic Cooperation, Kuala Lumpur 2012.
“Anugerah Olah-raga Indonesia”, atas kepedulian terhadap
pengembangan olah-raga nasional. Tabloid olah-raga BOLA, Kompas-
Gramedia Group, Jakarta (2012)
“Asian Productivity Organization Regional Award”, atas kontribusi
dalam mendorong peningkatan produktivitas sektor industri di
Indonesia, serta peranan yang signifikan sebagai pemimpin sektor
swasta dalam memperkenalkan pembangunan berkelanjutan melalui
produktivitas hijau dan mendorong terjalinnya kemitraan strategis di
Asia – Pasific. Asian Productivity Organization (APO), Tokyo, Japan
(2011).

5. Chairul Tanjung
Chairul Tanjung MBA merupakan seorang pengusaha Indonesia yang
pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian pada 19 Mei 2014
hingga 20 Oktober 2014. Pria kelahiran Jakarta, 16 Juni 1962 ini
merupakan CEO utama CT Corp yaitu perusahaan konglomerasi yang
membawahi beberapa anak perusahaan seperti Trans Corp, Bank
Mega, dan CT Global Resources.

Kehidupan Pribadi

Chairul Tanjung merupakan putra dari pasangan Abdul Ghafar


Tanjung dan Halimah. Ayah Chairul berasal dari Sibolga, Sumatera
Utara dan sang ayah merupakan seorang wartawan pada orde lama
yang menerbitkan surat kabar beroplah kecil. Sedangkan ibunya
berasal dari Cibadak, Jawa Barat dan ibunya merupakan seorang ibu
rumah tangga.

Chairul berada dalam keluarga bersama enam saudara lainya. Pada


masa Orde Baru, usaha ayahnya dipaksa tutup karena berseberangan
secara politik dengan penguasa saat itu. Keadaan tersebut, memaksa
orang tua Chairul menjual rumah mereka dan mereka harus tinggal di
kamar losmen yang sempit.

Riwayat Pendidikan Chairul Tanjung

Chaerul Tanjung bersekolah di SD Van Lith, Jakarta dan lulus pada


tahun 1975. Kemudian, ia melanjutkan sekolahnya di SMP Van Lith,
Jakarta dan lulus pada tahun 1978, lalu ia melanjutkan pendidikan di
SMA Negeri 1 Boedi oetomo, Jakarta dan lulus pada tahun 1981.
Setelah lulus SMA, iamelanjutkan pendidikannya di Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1987,
kemudian ia melanjutkan pendidikannya kembali di Executive IPPM
dan luluas pada tahun 1993.

Perjalanan Karier Chairul Tanjung

Setelah lulus dati SMA, Chairul masuk Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Indonesia. Pada saat kuliah inilah ia mulai masuk kedalam
dunia bisnis san mendapatkan penghargaan sebagai Mahasiswa
Teladan Tingkat Nasional 1984-1985.

Untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya, Chairul berjualan buku kuliah


stensilan, kaos, dan foto kopi di kampus. Chairul juga pernah
mendirikan toko peralatan kedokteran dan laboratorium di bilangan
Senen, Jakarta Pusat, namun bangkrut.

Setelah selesai kuliah, pada tahun 1987 Chairul mendirikan PT


Pariarti Shindutama bersama tiga rekannya dengan modal awal Rp.150
juta dari Bank Exim. Mereka memproduksi sepatu anak-anak untuk
ekspor, keberuntungan berpihak padanya, karena perusahaan
tersebut langsung mendapat pesanan 160 ribu pasang sepatu dari
Italia. Namun, karena perbedaan visi tentang ekspansi usaha, Chairul
memilih pisah dan mendirikan usaha sendiri.

Kepiawaiannya membangun jaringan dan pengusaha, bisnisnya semakin


berkembang dengan mengarahkan usahanya ke konglomerasi. Chairul
memposisikan diri pada tiga bisnis utama yaitu keuangan, properti
dan multimedia. Pada bidang keuangan, ia mengambil alih Bank Karman
(kini bernama Bank Mega).

Di bawah Para Group, Chairul memiliki sejumlah perusahaan di bidang


finansial, antara lain Asuransi Umum Mega, Asuransi Jiwa Mega Life,
Para Multi Finance, Bank Mega, Mega Capital Indonesia, Bank Mega
Syariah, dan Mega Finance.
Pada bidang properti dan investasi, perusahaan Chairul Tanjung ini
membawahi Para Bandung Propertindo, Para Bali Propertindo, Batam
Indah Investindo dan Mega Indah Propertindo. Sedangkan, pada
bidang penyiaran dan multimedia, Para Group memiliki Trans TV,
Trans7, Mahagagaya Perdana, Trans Fashion, Trans Lifestyle, dan
Trans Studio.

Khusus pada bisang bisnis properti, Para Group memiliki Bandung


Supermall yang diluncurkan pada tahun 1999 sebagai Central Business
District dengan luas 3 hektar ini menghabiskan dana Rp 99 miliar.
Sementara, pada bidang investasi, pada awal tahun 2010, melalui anak
perusahaannya yaitu Trans Corp membeli sebagian besar saham
Carefour Indonesia, yaitu sebesar 40% dengan MoU (memorandum of
understanding) pembelian saham Carrefour tersebut ditandatangani
pada 12 Maret 2010 di Perancis.

Pada 1 Desember 2011, Chairul Tanjung meresmikan perubahan nama


Para Grup menjadi CT Corp dengan terdiri dari tiga perusahaan sub
holding yaitu Mega Corp, Trans Corp, dan CT Global Resources yang
meliputi layanan finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan dan
sumber daya alam.

Menjadi Menko Perekonomian

Pada 16 Mei 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk


Chairul Tanjung yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komite
Ekonomi Nasional (KEN) menjadi Menko Perekonomian menggantikan
Hatta Rajasa yang telah resmi mengundurkan diri. Pelantikan Chairul
Tanjung dilakukan di Istana Negara pada Senin, 19 Mei 2014
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2014.

Menjadi Guru Besar Universitas Airlangga

Pada 18 April 2015, Chairul Tanjung dikukuhkan sebagai guru besar


bidang ilmu kewirausahaan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Pengukuhan tersebut dilakukan di ruang Garuda Mukti, Gedung
Rektorat, kampus C Unair. Chairul Tanjung menjadi guru besar ke-
438 Unair.

Anda mungkin juga menyukai