Anda di halaman 1dari 21

BIOGRAFI CHAIRIL ANWAR

Chairil Anwar adalah penyair Angkatan '45 yang terkenal dengan puisinya yang berjudul "Aku".
Berkat puisinya itu, ia memiliki julukan 'Si Binatang Jalang'. Chairil banyak menelurkan puisi-puisi
yang mayoritas bertemakan kematian, individualisme, dan ekstensialisme. Karya-karya Chairil
dikompilasikan dalam tiga buku, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan
Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir yang merupakan kumpulan puisi bersama Asrul Sani
dan Rivai Apin (1950), serta diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Jerman, dan Spanyol.

Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Ia adalah putra mantan Bupati Indragiri Riau, dan masih memiliki
ikatan keluarga dengan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir. Ia bersekolah di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang kemudian dilanjutkan di MULO, tetapi tidak sampai tamat.
Walaupun latar belakang pendidikannya terbatas, Chairil menguasai tiga bahasa, yaitu Bahasa
Inggris, Belanda, dan Jerman.

Ia mulai mengenal dunia sastra di usia 19 tahun, namun namanya mulai dikenal ketika tulisannya
dimuat di Majalah Nisan pada 1942. Setelah itu, ia menciptakan karya-karya lain yang sangat terkenal
bahkan sampai saat ini seperti "Krawang Bekasi" dan "Aku".

Wanita adalah dunia kedua pria flamboyan ini setelah sastra. Dalam lingkup keluarga, nenek adalah
orang terdekat Chairil sebelum sang ibu sendiri. Ketika dewasa, ia diketahui menjalin hubungan
dengan banyak wanita dan Hapsah adalah satu-satunya wanita yang pernah dinikahinya walaupun
ikatan suci tersebut tidak berlangsung lama. Perceraian itu dikarenakan gaya hidup Chairil yang tidak
berubah bahkan setelah memiliki istri dan anak. Pernikahan tersebut menghasilkan seorang putri
yang bernama Evawani Chairil Anwar yang sekarang berprofesi sebagai notaris.

Belum genap 27 tahun, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang penyebab kematiannya,
namun satu hal yang pasti adalah ia mengidap TBC disinyalir menjadi sebab kepergiannya.
Walaupun hidupnya di dunia sangat singkat, Chairil Anwar dan karya-karyanya sangat melekat pada
dunia sastra Indonesia. Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing,
antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Sebagai tanda penghormatan, dibangun patung
dada Chairil Anwar di kawasan Jakarta dan hari kematiannya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar
oleh para pengagumnya.

Chairil Anwar adalah penyair terkemuka di Indonesia yang sudah melahirkan 96 karya, termasuk 70 puisi.
Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah puisi bertajuk Aku yang di dalamnya termuat tulisan "Aku
ini binatang jalang". Lewat karya tersebut, Chairil Anwar pun dijuluki oleh teman-temanya sebagai "Si
Binatang Jalang".

Awal Kehidupan Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatra Utara, tanggal 26 Juli 1922. Ia merupakan putra dari
pasangan Toeloes dan Saleha, yang keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.
Ayahnya adalah seorang Bupati Indragiri, Riau, yang tewas dalam Pembantaian Rengat. Chairil Anwar masih
memiliki hubungan persaudaraan dengan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Syahrir. Syahrir adalah
pamannya.

Sewaktu muda, Chairil memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau sekolah dasar
untuk kaum pribumi. Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO). Ketika usianya menginjak 18 tahun, Chairil tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan
bahwa sejak usia 15 tahun, ia sudah bertekad untuk menjadi seniman. Pada usia 19 tahun, pasca-perceraian
kedua orangtuanya, Chairil pindah bersama ibunya ke Batavia (Jakarta). Saat di Jakarta inilah Chairil mulai
lebih mendalami dunia sastra.

Karier Penyair Karya sastra pertama yang Chairil tulis adalah puisi bertajuk Nisan, tahun 1942, yang
terinspirasi dari kematian neneknya. Setelah itu, tahun 1943, Chairil mulai mengirimkan puisi-puisi ciptaannya
ke majalah Pandji Pustaka untuk dimuat. Namun, puisi-puisinya terkadang masih menerima penolakan karena
dianggap terlalu individualistis. Salah satunya adalah puisi bertajuk Aku. Akibatnya, puisi-puisinya pun beredar
di atas kertas murah dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Selama periode ini, Chairil banyak bertukar
bergaul dan bertukar ide dengan penulis-penulis lain.

Ia kemudian menjadi pemimpin di antara mereka dan mendirikan majalah Gema Gelanggang. Pelopor
Angkatan 45 Pada 1943, Jepang membentuk Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso). Niat baik Jepang ini
sebenarnya membuat Chairil curiga, karena Chairil tidak senang terhadap usaha pemerintah Jepang yang
memanfaatkan semangat kebudayaan bangsa Indonesia sebagai potensi perang demi memenangkan kepentingan
Jepang. Oleh sebab itu, Chairil Anwar memiliki pandangan tersendiri mengenai seni di Indonesia dan ingin
mengadakan revolusi dalam dunia sastra.

Ia mengkritisi Angkatan Pujangga Baru dari sisi semangat dan bentuk sajaknya. Kemudian, Chairil
mengemukakan puisi-puisinya sendiri yang revolusioner dari segi sisi bentuk maupun isi. Bentuk irama pada
sajak karya Chairil Anwar jauh dari pantun, syair, maupun sajak bebas. Isinya lebih menggambarkan
pemberontakan yang menggelora dari dalam jiwa. Pembaharuan yang dilakukan Chairil Anwar ini bertujuan
agar manusia dapat secara merdeka mengeluarkan pendapat. Maka dari itu, Chairil Anwar pun disebut sebagai
pelopor Angkatan 45.

Gaya Tulisan Chairil Anwar Satu-satunya ciri umum dari semua karya Chairil Anwar adalah intensitas yang
mencerminkan semua aspek kehidupannya. Puisi-puisi buatannya meskipun terkadang terlihat
menggembirakan, umumnya mencerminkan ketakutan akan kematian atau depresi. Selain itu, karya-karya
Chairil Anwar juga bersifat multitafsir, di mana setiap pembaca dapat mengambil makna sesuai yang mereka
pahami atau inginkan. Sebagai penulis yang beraliran ekspresionisme, Chairil Anwar kerap membuat karya
tulis dengan menggunakan bahasa sehari-hari.

BIOGRAFI REMY SILADO


Remy Sylado mempunyai nama lengkap Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong. Dia
lahir 12 Juli 1943 di Malino, Makasar, Sulawesi Selatan, dari keluarga gereja Christian and Missionary
Alliance. Ayahnya bernama Johannes Hendrik Tambajong dan ibunya Juliana Caterina Panda. Istri
Remy Silado bernama Maria Louise Tambayong. Mereka tinggal di rumah ketiganya di Bogor dengan
luas bangunan 220 meter persegi di atas tanah seluas 4000 meter, di jalan Cikakawang dekat
kampus IPB Darmaga. Seniman serba bisa ini memiliki berbagai profesi yakni penyair, novelis,
cerpenis, dramawan, kritikus sastra, pemusik, penyanyi, penata rias, aktor, ilustrator, wartawan, dan
dosen. Berkaitan dengan dunia tulis- menulis, Remy tidak lepas dari riset yang mendalam. Bahkan, ia
memburu bahan-bahan untuk novelnya sampai ke perpustakaan luar negeri. Remy dikenal sebagai
pelopor puisi mbeling. Puisi mbeling adalah bagian gerakan mbeling yang dicetuskan Remy Sylado;
suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan
munafik. Benih gerakan ini mulai disemaikan oleh Remy Sylado pada tahun 1971 ketika ia
mementaskan dramanya yang berjudul Messiah II di Bandung. Namun, waktu itu istilah mbeling
belum diperkenalkan. Istilah itu baru dipopulerkan pada tahun 1972 ketika Remy mementaskan
dramanya Genessis II di Bandung. Dalam undangan pertunjukan drama itu Remy menyebut
teaternya sebagai teater mbeling. Yang hendak didobrak gerakan puisi mbeling adalah pandangan
estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika
yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum muda
takut berkreasi secara bebas. Bagi gerakan puisi mbeling bahasa puisi dapat saja diambil dari
ungkapan sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Yang penting adalah apakah puisi yang
tercipta dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, berfaedah bagi masyarakat atau tidak.
Pendek kata, dalam kamus gerakan puisi mbeling tidak ada istilah major art atau minor art. Dalam
salah satu kata pengantarnya di rubik "Puisi Mbeling", sebagaimana dicatat oleh Sapardi Djoko
Damono, Remy mengungkapkan bahwa dramawan dan penyair Rustandi Kartakusuma menjadi
frustrasi karena karya-karyanya tidak dibicarakan H.B. Jassin. Oleh karena itu, dalam nasihatnya
kepada kaum muda calon penyair, Remy menegaskan, "Kamu jangan tawar hati jika puisimu tidak
ditanggapi. Satu sikap yang harus kaumiliki sekarang adalah bagaimana kautampilkan di muka untuk
sekaligus membicarakan puisimu." Lebih jauh Remy mengatakan, "Puisi adalah pernyataan akan apa
adanya. Jika puisi adalah apa adanya, dengan begitu terjemahan mentalnya hendaknya diartikan
bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana ia memandang semua kehidupan
dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu, dan apa adanya. ... Tetapi tanggung
jawab penyair yang pertama adalah bahwa sebagai seniman, ia harus memiliki gagasan." Remy
menamatkan sekolah dasarnya di Makasar. Pada tahun 1954 ia melanjutkan sekolahnya ke
Semarang dan lulus SMA tahun 1959. Di Semarang ia sempat bermain drama berjudul "Midsummer
Night's Dream" karya Shakespeare. Tahun 1959—1962 ia belajar di Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI), Solo, dan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Solo, kemudian Akademi
Bahasa Asing (Jakarta). Kegiatan di bidang jurnalistik, antara lain, menjadi wartawan harian Sinar
Harapan (1963—1965), menjadi Redaktur Pelaksana harian Tempo di Semarang (1965—1966),
majalah Top (1973—1976), majalah Fokus (1982—1984), dan Redaktur majalah Vista (1984—...).
Dia juga menjadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971. Dia adalah redaktur
pertama rubik "Puisi Mbeling" dalam majalah Aktuil di Bandung (1972—1975). Bulan Agustus 1968 ia
berkunjung ke Bandung dan bertemu dengan Fred Wetik, salah seorang tokoh di Akademi Teater dan
Film (ATF) Bandung. Pada tahun itu Jim Lim (pemimpin ATF) sudah berangkat ke Perancis. Grup
Teater 23761 (Remy Sylado) baru dibentuk akhir tahun 1969. Yang tergabung di dalamnya ialah
partisan Jim Lim dan mahasiswa Akademi Sinematografi yang berjumlah sekitar 50 orang. Di
akademi itu Remy mengajarkan bidang Dramaturgi, Ikonografi, dan Make Up. Remy Silado
menguasai beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan
Belanda. Dia mulai menulis ketika berumur 16 tahun. Guru bahasa Indonesianyalah yang mendorong
semangatnya untuk terus menulis saat itu. Kegemarannya membaca sejak kecil, tampaknya ikut
mendukung keberhasilannya dalam menulis. Sejak kecil, ia sudah membaca buku-buku "berat".
Ketika SD kelas 5, Remy telah membaca buku-buku teologia, membeli buku-buku berbahasa Inggris,
dan mempelajari sejarah sehingga mengagumi hampir semua tokoh sejarah. Akan tetapi, ia tidak
betah bersekolah dan lebih suka bermain atau membolos. Remy juga senang akan musik dan
ayahnya menyadari bakat anaknya itu sehingga Remy dijuluki Jubal, artinya 'bapak musik', yang
diambilnya dari Kitab Genesis. Keluarganya penggemar musik klasik, terutama karya Frederick
Handel pada periode Roccoco dan Beethoven, sedangkan Remy menyenangi grup musik Led
Zeppelin, Grand Funk, Railroad, dan The Beatles. Menurut pendapatnya, grup musik tersebut telah
mencapai jenis klasik. Aktivitasnya di bidang musik, antara lain, adalah sebagai pembimbing
beberapa penyanyi dan perkumpulan band.Dia juga banyak menulis tentang musik dan
mementaskan drama yang ditulisnya, seperti Genesis, Generasi Semau Gue, dan Messiah II. Pada
tahun 2000-an Remy menulis artikel lepas untuk mengisi rubik seni "Bentara" Kompas, terutama yang
menyangkut pengenalan atas tokoh atau gagasan yang berkembang dalam sastra Barat dan sastra
dunia pada umumnya. Tentang proses kreatifnya, Remy menyatakan bahwa perkembangan dan
perubahan pada publik pembaca memperlihatkan bagaimana mereka tidak melulu membaca novel
untuk menikmati sebuah cerita, tetapi juga menghendaki adanya suatu gagasan pemikiran yang
tertuang di balik cerita. Oleh karena itu, sebuah novel haruslah dilihat sebagai sebuah kerja riset,
sehingga tidak menjadi kering. Gunawan Budi Susanto dalam Suara Merdeka 15 Februari 2004
menyatakan bahwa setelah membaca novel-novel Remy, saya memperoleh makna kemanusiaan,
bahwa yang pertama-tama kita takar bukan apakah itu Jawa, Tionghoa, Arab, atau Belanda; bukan
pula lelaki, perempuan, atau waria, melainkan apakah ia memang manusia dan masih manusia,
bukan buaya dan bukan pula berhala. Seseorang menjadi jahat, korup, dan berkhianat bukan
lantaran ketionghoaan, kebelandaan, atau kearaban yang tampak dalam ciri fisik mereka. Kesadaran
itu menghapus prasangka bahwa ada suatu bangsa atau jenis kelamin tertentu yang diciptakan
Tuhan semata-mata untuk menjadi jahat atau menjadi pendosa. Remy memperoleh penghargaan
Khatulistiwa Award 2002 dengan novelnya Kerudung Merah Kirmizi. Pada tahun 2006 ia mendapat
penghargaan dari Pusat Bahasa bersama-sama dengan Sitor Situmorang dan Sitok Srengenge.
Sebagai novelis, Remy Sylado telah menulis lebih dari 50 novel, 20 di antaranya novel anak-anak,
dan 30-an novel keluarga. Dia juga menulis novel sejarah. Novelnya Ca Bau Kan, yang berlatar
belakang kehidupan pedagang Tionghoa di Jawa, terutama di Betawi (Jakarta), telah difilmkan. Di
samping itu, Remy Sylado tampaknya tidak ingin berhenti berkarya dalam usia menjelang senja. Dia
bekerja sama dengan PT Annzora Idecitra Semarang, Februari 2002, membuat film berdasarkan
cerita rakyat Cina, seperti Sam Poo Kong.
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Remy_Sylado | Ensiklopedia Sastra
Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia

Remy Sylado sudah luas dikenal sebagai penggagas gerakan puisi mbeling dalam dunia kesusastraan
Indonesia. Seorang sastrawan yang memiliki banyak talenta.Dengan pemahaman yang mendalam dan
pemikiran yang selalu tajam mengkritik berbagai fenomena dalam lingkup sastra dan seni. Dari puisi-
puisi sakral sampai lagu-lagu pop khas Bimbo, Koes Plus, dan Rollies tak lepas dari kritikan
frontalnya.Ia juga sering menuliskan namanya dengan not angka 23761. Angka ini diambil dari kord
pertama lirik lagu And I Lover Her milik The Beatles: 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do). Interpretasi lain, konon
angka ini merupakan sebuah tanggal dimana Remy pertama kali mencium seorang perempuan pada
23 Juli 1961.Namun, Remy sendiri mengaku angka itu dibuat secara asal-asalan. Angka ini kemudian ia
gunakan untuk nama sebuah kelompok teater yang ia buat di Bandung, Dapur Teater 23761.Remy
merupakan anak bungsu yang tak terlalu ingat sosok ayahnya. Ayahnya, Johannes Hendrik
Tambajong, wafat setelah ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang.Mengutip dari cerita Remy kepada
Beritagar.id, Ayahnya merupakan seorang pendeta kelahiran Magelang, Jawa Tengah. Ia ditangkap
karena dituduh memberikan lampu kepada pesawat yang sedang melewati Malino, Sulawesi Selatan.
Ia katakan:“Ayah saya dituduh antek Amerika Serikat karena dia bekerja untuk misi zending dari
negara itu. Kakek saya tentara Belanda.”Tentara Jepang yang tak suka dengan aksi Johannes
Tambajong, menangkap dan menyiksanya. Selain menerima pukulan, Johannes juga harus tidur dalam
sebuah papan sepanjang 30 sentimeter yang berada di atas got depan kantor Kompeitai (polisi militer
Jepang) selama berhari-hari.

Seorang politisi asal Minahasa yang cukup berwibawa dan berpengaruh saat itu, Sam Ratulangi,
melakukan perundingan dengan Jepang untuk membebaskan Johannes. “Ya bebas, tapi keluar dari
situ dia (jalannya) sudah bongkok. Tidak lama dia meninggal,” ujar Remmy mengingat cerita
ibunya.Tentara Jepang yang dulu menyiksa ayah Remy, memberikan sebuah buku untuknya sebagai
permintaan maaf. Remy masih ingat nama tentara itu, Miyahira.Buku itu masih tersimpan rapi di
rumah Remy. isinya berupa kumpulan puisi dari abad sebelum masehi sampai tahun 1939.
“Bayangkan, di buku itu disertai lukisan-lukisan pendeta Shinto yang menulis sastra,” katanya.Teks dari
buku itu pun pernah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis. “Dia ternyata
pembaca sastra tapi kejamnya luar biasa. Tapi setelah itu dia minta-minta ampun dan menjadi baik”,
kata Remy dalam perbincangan dengan Beritagar.

Ibu Remy, Juliana Caterina Panda, membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Setelah ayahnya wafat,
sang ibu yang seorang petani dan sempat sekolah tiga tahun, membawa ketiga anaknya ke Semarang
dan bekerja di Seminari Teologia Baptis.Perjalanan Remy dalam dunia seni berawal dari sana. Sejak
duduk di bangku Sekolah Dasar, Remy sudah bisa bernyanyi dengan teknik yodel dan menulis kaligrafi
Arab dan ayat-ayat Alquran.Remy juga berbakat di bidang seni rupa. Diceritakan semasa di sekolah
dasar, Remy sempat memenangkan sebuah lomba seni lukis tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten
Semarang. Bakatnya ini kelak mendorongnya masuk di Akademi Kesenian Surakarta untuk mendalami
seni rupa.Dalam dunia seni peran, Remy pernah melakonkan sebuah drama ketika berumur empat
tahun sebagai seekor domba di kandang natal. Ketika tubuhnya tumbuh menjadi lebih besar,
lakonnya berubah menjadi seekor anak sapi.

Atas dasar ketertarikan Remy dan pengalamannya pada seni peran, kelak menuntutnya belajar di
Akademi Teater Nasional dan mendirikan sebuah kelompok teater yang diberi nama Teater
23761.Buku bacaanya merentang dari dongeng, cerita-cerita anak, buku teologi, buku-buku sejarah,
sampai buku-buku berbahasa Inggris. Pada masa kecilnya, Remy seringkali membolos sekolah karena
memang ia termasuk anak yang tak betah sekolah.
Dikisahkan juga sewaktu duduk di bangku SMP, seorang guru bahasa memberi tugas kepada murid-
muridnya mengarang sebuah cerita sepanjang satu halaman. Namun Remy mampu mengarang tak
kurang dari empat halaman. Bahkan, hasil karangannya dibacakan di kelas-kelas lain.Ketika remaja,
Remy membuat sebuah grup musik, Remy Sylado and The Company dan kerap membawakan lagu-
lagu Elvis Presley. Dari sini, ia menemukan nama Remy Sylado yang diambil dari sebuah not dari intro
lagu And I Lover Her milik The Beatles, 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do).

Karier Remy Sylado


Remy mengawali kariernya sebagai seorang penulis ketika dirinya berusia 18 tahun. Tahun 1963, ia
menjadi seorang wartawan dari surat kabar Sinar Harapan. Ia juga banyak menulis kritik, puisi, cerpen,
dan novel.Pada tahun 1965, Remy telah menjadi redaktur Harian Tempo Semarang sampai tahun
1966. Ia lanjutkan kariernya menjadi redaktur Majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970.Selain
berkarier sebagai jurnalis, Remy juga aktif mengajar di Akademi Sinematografi Bandung sejak 1971
dalam mata kuliah Estetika dan Dramaturgi.

Selain berkesenian, Remy juga banyak diundang untuk mengisi ceramah teologi. Secara khusus, ia
mendalami teologi kontekstual dan teologi apologetik.Dengan mementaskan drama Genesis II,
kemudian Exsodus II, dan Apocalypsis II melalui Dapur Teater 23761 garapannya, Remy mengenalkan
istilah “mbeling” yang menjadi simbol perlawanan terhadap apa yang sudah ada.Gerakan mbeling
sebagai perlawanan budaya lewat teater juga diakui Remy sebagai reaksi terhadap W.S. Rendra
dengan teaternya yang berpandangan bahwa perlawanan terhadap budaya mapan harus dilakukan
dengan sikap urakan.

Kata “urakan” menurut pandangan Remy yang dikemas dalam pentas teaternya, lebih berkonotasi
negatif: tidak sopan, tak tahu aturan, dan kurang ajar. Maka Remy mengenalkan istilah “mbeling” yang
menurutnya lebih berkonotasi positif.Walaupun sebenarnya tetap berkesan nakal, kata “mbeling”
berasosiasi dengan pengertian pintar, mengerti sopan-santun, dan bertanggung jawab.Gara-gara
pementasan Genesis II itu, Remy diintrogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Namun hal
itu justru mendorongnya untuk tetap menggunakan istilah “mbeling” dan menjelaskan konsep di
belakangnya sebagai budaya tandingan.

Dasar Pemikiran Gerakan Puisi Mbeling

Pada tahun 1971, Remy bergabung dengan majalah Aktuil, sebuah majalah hiburan dan musik yang
berkantor di Bandung. Di sana, Remy menciptakan sebuah ruang khusus menampung sajak-sajak
yang diberi nama “Puisi Mbeling”.Puisi yang awalnya dipandang sebagai sesuatu yang sakral, berubah
menjadi barang yang biasa saja. Melalui rubrik cerpen dan puisi mbeling, Remy mengajak kawula
muda untuk bersastra.Kesakralan puisi dan keangkeran majalah sastra menjadi alasan utama
menjauhnya kaum muda dari budaya literasi yang sebenarnya berakar kuat di masyarakat.

Gerakan puisi mbeling yang dipelopori Remy merupakan kritik terhadap dunia sastra, dimana para
penyair menulis puisi hanya untuk dibaca oleh dirinya sendiri (karena hanya dipahami oleh dirinya
sendiri).Sebagai gerakan perlawanan terhadap gaya bahasa puisi yang berbunga-bunga namun susah
dipahami, puisi mbeling menawarkan konsep sebaliknya: puisi ditulis dengan bahasa yang sederhana
dengan maksud yang terang dan mudah dipahami.

Dengan konsep seperti itu, puisi tidak hanya mudah dipahami sebagai tanggung jawab penyair
terhadap realitas, namun ia juga memberikan akses seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi
penyair.
Tidak selamanya usaha perlawanan terhadap ketabuan itu berjalan mulus. Salah satu puisi Remy uang
dimuat majalah Aktuil pernah membuat Departemen Penerangan mengancam akan mencabut Surat
Izin Terbit (SIT) majalah Aktuil.

Hanya setelah pihak Aktuil memberi upeti seperti kelaziman yang berlaku pada waktu itu, ancaman
tersebut dibatalkan. Puisi Remy yang membuat perkara tersebut berjudul Pesan Seorang Ibu Kepada
Putranya.
Puisi Mbeling Berhasil Berkembang

Puisi mbeling memang terkesan main-main. Namun dengan cara seperti itu, Remy mengajak kawula
muda untuk menulis, termasuk bersastra. Dunia sastra dikesankan dengan keseharian, tempat
bergurau, dan mengungkapkan suatu gagasan tanpa harus berpikir terlalu lama.Selain Remy Sylado
sebagai penjaga gawang rubrik puisi mbeling majalah Aktuil, tercatat juga nama-nama − yang
belakangan juga dikenal sebagai sastrawan − yang ikut berpartisipasi pada gerakan puisi mbeling:
Abdul Hadi WM, Yudistira M. Massardi, Mustofa Bisri (dengan nama samaran Mustov Abi Sri) dan
nama-nama lainnya.

Pengaruh puisi mbeling tak berhenti pada majalah Aktuil. Ketika Remy berpindah ke majalah Top, ia
meneruskan gerakan puisi mbeling dengan rubrik baru dengan tajuk Puisi Lugu.Sebagaimana yang
dicatat oleh penyair Heru Emka, pengaruh mbeling menyebar ke berbagai media massa: majalah Stop,
Astaga, Sonata, Yunior, dan lain-lain.

Beberapa surat kabar yang terbit di Jakarta maupun di daerah-daerah juga pun ikut tertular virus
mbeling. Begitu juga dengan majalah-majalah remaja. Heru Emka katakan, bahwa fenomena puisi
mbeling telah mewarnai sejarah sastra Indonesia di tahun 1970-an.

BIOGRAFI PIPIET SENJA


Pipiet Senja, lahir di Sumedang, 16 Mei 1956 dari pasangan Hj. Siti Hadijah dan SM. Arief (alm)
seorang pejuang’45.

Novel yang telah ditulisnya ratusan, tapi yang telah diterbitkan sebagai buku baru 105 judul, antara
lain Jejak Cinta Sevilla, Dalam Semesta Cinta, Jurang Keadilan, Cinta Dalam Sujudku, Catatan Cinta
Ibu dan Anak, Tuhan Jangan Tinggalkan Aku, Kepada YTH Presiden RI, Orang Bilang Aku Teroris,
Menoreh Janji di Tanah Suci, dsb.

Sahabat kaum TKW Hong Kong, Macau, dan Taiwan, aktivis Forum Lingkar Pena, sering diundang
seminar kepenulisan ke pelosok Tanah Air dan mancanegara.

Ibu dari Haekal Siregar dan Adzimattinur Siregar yang juga penulis. Manininya Zein dan Zia. Ngepos
di penerbit Zikrul Hakim, Jakarta.
Pipiet Senja atau Etty Hadiwati Arief dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, dan penulis cerita
anak, lahir di Sumedang pada tanggal 16 Mei 1957. Nama Pipiet Senja ternyata mempunyai kisah
tersendiri. Menurut Pipiet, suatu sore menjelang petang, ia tengah berdiri di tepian sungai sambil
memandangi persawahan dan langit di sebelah barat. Ketika itulah, ia melihat kawanan burung pipit
terbang menuju sarangnya. Hal itu memberikan ilham kepadanya. Pipit adalah burung kecil yang
ringkih. Hal itu sangat cocok dengan dirinya yang kecil dan penyakitan, sedangkan senja
menggambarkan dirinya yang berada di ujung harapan, seorang yang harapan hidupnya tidak lama
lagi. Supaya lebih keren, ia tambahkan huruf `e' pada pipit menjadi Pipiet. Tantangan hidup yang
harus dilewati Pipiet Senja sangat beragam. Tahun 1981, saat ia hamil delapan minggu, dokter
menyuruhnya agar mengeluarkan janin tersebut. Alasannya, selama ini tidak pernah ada pasien
thalassemia yang hamil, tetapi ternyata Pipiet dikaruniai dua orang anak dari suminya H.E. Yassin.
Setelah anak pertama lahir, badai menimpa rumah tangga Pipiet. Dia berpisah dengan suaminya
selama tiga tahun dan harus menjalankan peran sebagai orang tua tunggal. Di samping harus
merawat bayi yang baru berusia satu tahun, ia juga harus transfusi darah setiap bulan dan harus
berkarya. Karya Pipiet pada awalnya berupa puisi yang dikirim ke radio-radio di Bandung. Tahun
1974 nama Pipiet Senja sudah menggema di radio-radio di Bandung, tetapi pada waktu itu ia belum
berani mengirimkan karya ke majalah. Dari penulisan puisi, Pipiet merambah ke dunia penulisan
cerpen. Setahun kemudian, cerpennya dimuat di majalah Aktuil Bandung. Waktu itu, ada dua
cerpenis kembar, yakni Yudhistira A.N.M. Massardi dan Noorca M. Massardi yang karya-karyanya
sangat populer di media massa Jakarta. Pipiet merasa sangat tertantang untuk "menaklukkan"
Jakarta. Hampir 30 tahun sejak divonis mati oleh dokter akibat komplikasi penyakit, Pipiet masih
hidup dan terus berkarya. Selain produktif menulis lebih 70 novel dan cerpen, ia pun tidak pernah
segan membagi ilmu kepada siapa saja, khususnya para penulis pemula. Bersama suami, HE
Yassin, dan dua anaknya, yakni Haekal dan Azimatinnur Siregar, mereka saling berlomba menulis
cerpen dan novel, baik diterbitkan sendiri-sendiri maupun secara bersama. Karya-karyanya yang
terkenal, antara lain adalah Lukisan Rembulan (2003), Menggapai Kasih-Mu (2002), Namaku May
Sarah (2001), Tembang Lara (2003), Rembulan Sepasi (2002), Merah Jenin: Kado Cinta untuk
Palestina (2002) Meretas Ungu (2005), dan Langit Jingga Hatiku (2007). Bukunya diterbitkan oleh
berbagai penerbit, antara lain Mizan, Gema Insani Press, Zikrul, dan Senayan Abadi. Pipiet telah
berkeliling Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri untuk menularkan kiat-kiat menulis cerpen dan
novel. Di sisi lain, ia menganggap penyakit thalassemia adalah "teman" yang mendorongnya untuk
memanfaatkan sisa umur dengan berkarya sebanyak mungkin dan berbagi ilmu dengan orang lain.

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Pipiet_Senja | Ensiklopedia Sastra


Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia

BIOGRAFI DOROTHEA ROSSA HERLIANY


Dorothea Rossa Herliany lahir di Magelang 20 Oktober 1963 ini tidak hanya dikenal di Tanah Air tapi
juga hingga ke luar negeri. Dia telah beberapa kali ke luar negeri untuk mengikuti pertemuan dan
festival. Misalnya, tahun 1990 dia mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Filipina,
kemudian tahun 1995 dia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda, dan tahun
2000 dia menjadi writer-residence di Australia.

puisi pertama dalam kumpulan puisi Nikah Pisau karya Dorothea Rossa Herliany. Sebuah puisi yang
menawarkan gambaran ketidakjelasan dalam menempuh kehidupan. Bagaimana mungkin kita akan berjalan
tanpa peta? Ini bisa dikatakan sebuah perjalanan panjang yang bisa jadi penuh kesia-siaan. Kita mudah tersesat
dalam ambisi yang tidak di dasari dengan bekal yang mumpuni. Hingga akhirnya hanya menemu jalan buntu
dan jalan buntu lagi. Seperti yang diungkapnya berputar-putar dalam labirin.
Tumbuhnya teori feminis dalam kajian karya sastra memunculkan gawean baru di sekitar kita untuk semakin
meniadakan perbedaan gender. Di sisi lain, munculnya teori ini semakin mengukuhan adanya sebuah tradisi
patrilineal di lingkungan kita yang merugikan perempuan.

Dorothea melalui puisi-puisinya menyuarakan kegelisahan akan perbedaan tersebut. Dia banyak memberikan
pernyataan-pernyataan dalam puisinya. Seperti, /lalu pertumpahan darah tak terelakkan. /tapi lebih baik
ketimbang benci senantiasa /menjamur di balik senyum para malaikat /dan bidadari.
Bait terakhir dari sebuah puisi berjudul Elegi Para Pendaki tersebut di atas, salah satu contoh di mana
Dorothea menawarkan sebuah dunia yang keras. Tak hanya bait terakhir dari kumpulan puisi itu yang
menggambarkan dunia yang dibangun oleh Dorothea, namun juga puisi pertama yang menjadi pembuka dalam
kumpulan puisi tersebut. Silahkan dibaca ulang: sebelum kurampungkanmu juga: menikam/jantung dan
merobek zakarmu, dalam segala ngilu. Kemudian bait terakhir dari puisi berjudul Nikah
Perkampungan: kunikahi jaman yang sekarat minta susu. /pengantin yang takpernah kunikahi, tapi/minta
menetekku dengan bahasa ketakutan. Masih ada lagi dalam bait terakhir puisi berjudul Orkes Pengantin,
namun sebelum itu, Dorothea pun sudah menyuguhkan pada kita dunia yang keras, lebih banyak kebohongan,
intrik, dan lain-lain dari bait pertamanya, untukmu, ranjang basah pada tanah dan daun/yang tiba-tiba rebah.
Tak usah gorden terbuka,/sebab ada yang lebih fana. Dia menyuguhkan kesadaran pada pembaca. Seolah dia
mau mengatakan, “Lihat dunia baik-baik!. Yang dimiliki dan yang kita nikmati hanyalah kebahagiaan semu.
Akan hancur kapan saja atau bahkan tergerogoti oleh waktu dan begitu tersadar semua itu tidak kita
miliki.” /untukmu, lukisan mawar (dan kebahagiaan ulatulat/dan cacing-cacing tanah). Sebaris puisi yang
bernadakan pernyataan tegas bahwa: kebahagiaan akan selalu berada di dalam kegelapan.
Inilah bait terakhir dari Orkes Pengantin karya Dorothea; masuklah, sebelum mengekal dalam kalenderdinding/–
usia yang kembali terlipat, dan terlepas ke/lantai. Puisi ini dibuatnya tahun 1988.
Gambaran Sosok Perempuan dalam Kumpulan Puisi Dorothea
Perempuan di dalam kumpulan puisinyadigambarkannya sebagai sosok yang memiliki keberanian sama dengan
para lelaki. Dan bahkan cenderung lebih kuat dari padanya. Kemungkinan hal ini terjadi karena Dorothea juga
merupakan seseorang yang tidak menghendaki adanya ketiadaan perbedaan gender dalam berpuisi. Seperti
halnya Oka Rusmini, menuliskan puisi sebagai katarsis dirinya dari kesibukan sehari-hari sebagai ibu sekaligus
sebagai penyair. Dia mengatakan dunia perempuan tidak sebatas hanya ada di dapur dan mengurus anak. Namun
lebih daripadanya. “Perempuan memang tak memiliki banyak nafas, karena lelaki sering mencurinya, dan anak-
anak meminjam dengan senyumnya,” renung Oka di dalam prolog sebuah buku kumpulan puisinya yang
berjudul Warna Kita.
Baik Oka maupun Dorothea tersadar bahwasanya wajah sajak seorang penyair perempuan tetaplah berbeda dari
laki-laki. Akan tetapi, keberbedaan itu di satukan dalam suara yang berasal dari sanubari. Sari sisa dari
kesibukan yang dicoba untuk direnungkan setelah mencapai batasan keretakan kemudian mampu dituliskan
munculah puisi-puisi suara perempuan itu. tak terhindarkan pula akan dipilihnya diksi lelaki yang digunakannya
untuk menyusun puisi. jadi, baik perempuan maupau lelaki ketika bersajak seharusnya tak berjarak, begitu pula
di kehidupan, tak ada jarak untuk membedakan kedudukan keduanya.

Lalu, bagimana wajah perempuan dalam puisi-puisi Dorothea? /nadiku mengalirkan sampahsampah dan
limbah/ ke kolam hatimu. keringat persetubuhan/ mengucur diantara selokan. lendir dan/ serat syahwat
membesarkan ikanikan rindu./
Sebuah penggambaran yang ditawarkan oleh Dorothea dengan bahasa kiasan /sampahsampah dan limbah/,
mengucur diantara selokan.lendir dan/… membangun kekuatan di dalam diri perempuan. Dihindarkannya dari
ketergantungan dan perlindungan berlebih lelaki.
Tak luput pula Dorothea menuliskan dunia harapan yang tak hanya ingin dibangun (dikuasai) oleh laki-
laki. /siapakah yang bersenandung? dan mempelai itu/bersidekap di antara gerimis.padang kering,/tibatiba
menjelma taman yang luas. Baris pertama dari sebuah puisi berjudul Wedding Song,dibuat di tahun 1995.
Dorothea menyajikan kehidupan baru bagi sepasang kekasih yang memilih kehidupan berumah
tangga. “perkawinan kita telah direstui musim”, desahnya./:ketika matahari berada di puncak
kulminasi,/rumput dan alangalang terbakar.ketika daundaun/gugur.ketika panen kembali menyebarkan
hama.ketika/tanahtanahgarapan terbentang di bawah kemarau panjang.
Dorothea menyajikan sebuah ironisitas di dalam puisinya. Sepasang pengantin ini baru saja melangsungkan
pernikahan namun ia segera menyadarkan kebahagiaan menjadi pengantin tidak akan terjadi selamanya.
Kehidupan terus berlanjut dan tantangan di depan mata semakin banyak. Semakin curam dan tajam. Bisa jadi di
dalam rumah tangga akan terjadi masalah yang mengakibatkan pertengkaran panjang hingga salah paham, dan
lain-lain. Seperti kata orang-orang yang selalu mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Bukan diartikan
menempuh kebahagiaan selama-lamanya namun lebih pada menghadapi tanggungjawab yang bertambah. Dan
apakah pasangan itu mampu hidup bersama sampai tua? “perkawinan kita telah direstui kesunyian”.mempelai/
itu menempuh perjalanan jauh menuju jagat/kosong:tempat pergulatan terbuka, tempat persetubuhan/dalam
gairah dan sengketa! Itu lah kehidupan.
Meskipun demikian,Dorothea tetap menyajikan pemujaan terhadap percintaan dalam kumpulan puisinya. Hal
ini menandakan tetap adanya kerapuhan di dalam diri setiap manusia. Tertuang dalam salah satu judul
puisi Nikah Bulan, Dorothea menggambarkan perempuan entah lelaki sebagai sosok yang memuja percintaan.
Terutama ketika sedang mekar-mekarnya. Namun bukan sebuah percintaan yang dipenuhi birahi kasih sayang.
Justru percintaan ini dipenuhi dengan rasa dendam, dan ketakutan. kutemukan untukmu, Kekasih!/sebab lebih
dekat mendekapmu,/ketimbang menikam agar lebih luka. Selain sajak itu, dendam, dan kekecewaan juga
muncul dalam sajak yang lain. /telah terlanjur kupenggal sebagian gambar/kepalamu.wajahmu tetap
berlumut.tak bisa kujilat/sajaksajak yang menetes dari lelehan darah itu.dan ketika tumbuh bunga yang aneh,
seperti ada yang/memijarkan sejarah kemanusiaan kita yang tak pernah utuh/
siapa yang membiarkan bungabunga itu tumbuh?/tangan gelap telah menyebarkan racun
yang/menyuburkannya.dan matahari, tak selalu bijak/menatapnya.
jadi, biarlah kita menimbun bagai taman dengan/racun-racun itu.aku hanya rumput yang/tak bakal dipetik,
menunggu sendiri waktu menua. (Cincin Kawin, 1987)
Inferioritas muncul di dalam sajaknya yang berjudul Cincin Kawin itu. walaupun demikian, Dorothea juga
menyimpankan sajak yang manis, sajak yang mengagung-agungkan hubungan antar manusia, tertama sepasang
kekasih dalam sajak Lagu Yang Diulangulang. Begini bunyi sajak itu, /biarlah ia sendirian di sudut
kamar.akan/ (adanya sebuah kesetiaan digambarkan di dalam sajak ini) senantiasa setia dengan warnamerah
dan putihnya./–bernama mawar dan melati.bernama cinta dan /sangsi. Nada-nada yang ditemukan lebih jinak
dari sebelumnya. Mungkin juga kedengaran menghanyutkan. Diantara semua puisi yang dituliskan oleh
Dorothea dalam kumpulan puisinya mungkin ini adalah salah satu puisi yang ditulis tanpa menggunakan rasa
dendam. Yang ada adalah pemujaan terhadap sesuatu, katakanlah sesuatu itu bersifat transenden. Meski tersakiti
yang penting perasaan kasih sayang itu tak pernah mati. Berikut ini kelanjutan dari sajak tersebut,
tapi wanginya takkan lepas dari bingkai hati. Mau menjaga atau terjaga tergantung bagaimana kita mau
menerjemahkan kata-kata dari tindakan berkhianat. Pemujaan ini berakhir dengan kalimat
pernyataan: /akupungut setangkaibunga yang engkaulemparkan/ di kotaksampah itu.masih tercium
wanginya/masih tertinggal tunasnya.kelak dalam hatiku/:bakal kusihir jadi taman. (1987) menjanjikan atau
menerima janji akan sesuatu adalah khas dari setiap pertemuan.
Tema-tema penulisan puisinya juga tidak dilepaskan dari tema-tema kelahiran dan kematian, selain perjalanan
dalam mensiasati kehidupan. Dia mengatakan sendiri, kematian dan kelahiran dalam dunia perempuan terjadi di
dalam diri perempuan itu sendiri lewat puisinya berjudul Kematian Kempompong, engkau ikut dalam
arakarakan itu, menuju/rumahcinta yang tak berpintu.aku mengusung/ dan kitagali liang buat dirisendiri,
doadoa lupa/ dibacakan: tiba-tiba terucapkan amin yang/ berkepanjangan.
engkau melayat: tubuhmu sendiri, tersesat, saat/ bertapa.tetapi pesta memangg teramat sederhana./ Dan
seterusnya. Hal ini bisa dihubungkan dengan kehidupan sosial yang ditempuh oleh perempuan itu sendiri.
Ketika mereka mulai menjual diri atau lain hal. Yang jelas kematian secara fisik maupun rohani saja dapat
diperhitungkan dalam puisi karya Doroteha yang penuh warna ini. Katakanlah dalam kumpulan puisi ini lebih
banyak warna muram daripada kesejukan.
Seni Menata Kata Dorothea
Dalam bersajak Dorothea memilih diksidiksi yang menarik.dia meramunya menjadi sejumput kata-kata yang
unik untuk di nikmati pembaca. Seperti yang sedang saya coba tiru dalam menuliskan diksidiksi, Dorothea
menuliskan garamgaram dalam puisi berjudul Nikah Laut tidak dipisahkannya lalu dihubungkannya dengan
tanda penghubung, menjadi garam-garam. Tentu saja ini punya maksud tertentu. Saya kira dia tidak mau tunduk
pada aturan ejaan bahasa Indonesia yang sudah dibakukan. Ekspresi tak bisa dibatasi, pun demikian dalam
meramu kata-kata ketika menulis kreatif. Selain kata garam yang diulang tersebut di atas, masih ada kata-kata
lain misalnya saja rindangperadaban, juntaianrambut, dindingdinding hati, anakkumuntah, dan orangorang.

Tawaran Dorothea terhadap sebuah gaya penulisan termasuk dekontruksi terhadap kebiasaan structural lama.
Dia juga tidak menggunkaan huruf besar dalam setiap mengawali kata setelah tanda baca titik. Dia justru
menggunakan huruf kecil.

Tentunya perlu pengkhayatan lebih untuk bisa menemukan dunia yang akan disampaikan oleh Dorothea lewat
puisinya. Dunia dari bentuk-bentuk sintaksis, tipologi, dan juga kata-kata yang sesungguhnya ditawarkan untuk
membangun kekuatan bangunan yang disuguhkan oleh Dorothea. Tidak mudah untuk mengerti, jika ketika
mulai memaknai satu kata saja terdapat ribuan kemungkinan makna. Akan tetapi memang demikianlah puisi
Dorothea, dipenuhi oleh kerumitan-kerumitan sekaligus keunikan yang mengesankan untuk
dikaji. (Mutayasaroh)

BIOGRAFI TAUFIQ ISMAIL


Taufiq Ismail adalah seorang sastrawan senior Indonesia yang dibesarkan di Pekalongan dalam
keluarga guru dan wartawan. Karena pengaruh lingkungan, profesi sebagai guru dan wartawan itu
pun juga pernah dilakoninya.

Taufiq dilahirkan di Bukittinggi dan menghabiskan masa SD di Yogyakarta, kemudian masa SMP
kembali ke Bukittingi. Setelah itu ia melanjutkan SMA di Bogor, dan dengan pilihan sendiri Taufiq
memilih jurusan kedokteran hewan di bangku kuliah karena ia ingin memiliki bisnis peternakan untuk
menafkahi cita-cita kesusastraannya.
Meskipun berhasil menamatkan kuliahnya, akan tetapi Taufiq gagal untuk memiliki sebuah usaha
ternak yang pernah ia rencanakan. Pendidikan singkat lain yang Taufiq tempuh adalah American
Field Service International School, International Writing Program di University of Iowa, dan di Faculty
of Languange and Literature, Mesir.

Sejak kecil, Taufiq sudah suka membaca dan bercita-cita jadi sastrawan ketika masih SMA. Sajak
pertamanya bahkan berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Sampai saat ini, Taufiq
telah menghasilkan puluhan sajak dan puisi, serta beberapa karya terjemahan. Karya-karya Taufiq
pun telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, misalnya Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis.

Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun
di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan
membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa
Pengeboman Bali. Ia bahkan sempat menulis puisi ketika kasus video Ariel Peterpan, Luna Maya,
dan Cut Tari beredar. Dibidang musik, Taufik juga mahir menciptakan lagu. Ia bersama Bimbo,
Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap menjalin kerjasama di bidang musik tahun 1974.

Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia
sempat batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Hal itu menyebabkan
Taufiq dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964. Namun bagaimanapun, kenyataan tersebut
tidak membuatnya putus asa dan berhenti berkarya.
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan.
Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan
menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke
Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional
School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari
Indonesia Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas
Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963.

Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa,
Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University
in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai
studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat
Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar
Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan
Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes
Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke
Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.Taufiq
menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K.
Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah
sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM),
dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat
berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah
berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever
Indonesia (1978-1990).
Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur,
Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri
maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil
dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa
Pengeboman Bali.

Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah
bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu. Ia
pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan
Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis,
Jerman, Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII,
Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua
Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya
(1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS
menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan
Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba
ia menulis puisi dan lirik lagu  “Genderang Perang Melawan Narkoba ” dan  “Himne Anak Muda Keluar
dari Neraka ” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain,
Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002). Kini Taufiq menjadi anggota Badan
Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur
senior majalah Horison.

Artikel diambil dari Biografiku.com. Silahkan di copy sebagai bahan referensi, Mohon cantumkan
sumber : https://www.biografiku.com/biografi-taufik-ismail.

BIOGRAFI SAPARDI DJOKO DAMONO


Bagi masyarakat Indonesia, Sapardi Djoko Damono merupakan sosok yang membanggakan. Meski
karya-karyanya telah terkenal dan begitu fenomenal, sosok penyair Tanah Air ini selalu terlihat
bersahaja.Sapardi lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta hingga
lulus SMA pada tahun 1958. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta. Tepatnya kuliah
di bidang Bahasa Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rajin menulis sejak duduk di bangku sekolah, membuat SDD -sapaan akrab sang penyair- telah
menulis sejumlah karya yang ia kirimkan ke beberapa majalah. Kebiasaan menulisnya
menghantarkannya menjadi direktur pelaksanaan Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah
sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia juga mengajar di Fakultas Sastra (yang sekarang menjadi
Fakultas Budaya) Universitas Indonesia.

Sapardi Djoko Damono tutup usia pada 19 Juli 2020 dalam usia 80 tahun akibat penurunan fungsi
organ tubuh. Meskipun kini sosoknya sudah tak ada lagi, tetapi karyanya akan tetap abadi di hati para
penikmatnya.Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka, yang
dikenal lewat berbagai puisi-puisinya, yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa
di antaranya sangat populer.

Sapardi merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sadyoko adalah abdi dalem
di Keraton Kasunanan, mengikuti jejak kakeknya. Berdasarkan kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar.
Hal itu menyebabkan orang tuanya memberinya nama Sapardi. Menurut kepercayaan orang Jawa,
orang yang lahir di bulan Sapar kelak akan menjadi sosok yang pemberani dan teguh dalam
keyakinan.

Awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-
karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang ketika dia
kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.Dari kemampuannya di bidang seni, mulai dari
menari, bermain gitar, bermain drama, dan sastrawan, tampaknya bidang sastralah yang paling
menonjol dimilikinya. Pria yang dijuluki sajak-sajak SDD ini tidak hanya menulis puisi, namun juga
cerita pendek. Ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, esai, dan sejumlah artikel di
surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Sapardi juga sedikit menguasai permainan wayang, karena
kakeknya selain menjadi abdi dalem juga bekerja sebagai dalang.

Penyair yang tersohor namanya di dalam maupun luar negeri ini juga sempat mengajar di Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia juga pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru
besar serta menjadi redaktur pada majalah Horison, Basis, dan Kalam. Namun kini ia telah pensiun.

Hal lain yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan memprakarsai
Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), setiap tahun dewasa ini ada penyelenggaraan
seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam organisasi tersebu
Menulis sejak duduk dibangku sekolah membuat SDD kaya akan sejumlah karya yang rajin ia
kirimkan ke majalah-majalah. Lewat karya-karyanya yang cemerlang, SDD telah banyak menerima
penghargaan. Pada tahun 1986. SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima
Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Sajak-sajak SDD telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa daerah. Ia tidak
saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya
penulis asing, menulis esay, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk
kolom sepak bola. Beberapa karya SDD di antaranya yaitu Duka-Mu Abadi (1969), Lelaki Tua dan
Laut (1973; terjemahan karya Enest Hemingway), Perahu Kertas (1983), Afrika yang Resah (1988),
Hujan Bulan Juni (1994), Mata Jendela (2002) dan masih banyak lainnya.
Sapardi Djoko Damono mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Eka Hospital BSD
Tanggerang Selatan pada hari Minggu, 19 Juli 2020. Rupanya, sebelum meninggal dunia, penyair
Sapardi Djoko Damono sempat mendapat perawatan intensif di Eka Hospital BSD Tangsel sejak 9
Juli 2020. Selama di rumah sakit, SDD mendapatkan penanganan dari beberapa dokter spesialis.

Meninggal di tengah pandemi Covid-19 membuat keluarga almarhum SDD tidak mengizinkan para
pelayat ikut serta dalam proses pemakaman. Hal ini tak lain untuk mematuhi protokol kesehatan yang
berlaku.Meskipun begitu, keluarga masih mengizinkan para pelayat untuk datang ke rumah duka di
Komplek Dosen UI Nomor 113, Jalan Ir H Djuanda, Ciputat, Kota Tanggerang Selatan. Penyair
kebanggaan Tanah Air ini kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Giritama Bogor, Jawa Barat.

Sapardi Djoko Damono terkenal sebagai penyair. Di samping itu, Sapardi juga terkenal sebagai
dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra. Sapardi Djoko Damono lahir sebagai anak
pertama pasangan Sadyoko dan Saparian, di Solo, Jawa Tengah, tanggal 20 Maret 1940. Dia berasal
dari Solo, tepatnya Ngadijayan. Sapardi Djoko Damono menikah dengan Wardiningsih, juga dari
Jawa. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak, seorang perempuan (Rasti Sunyandani)
dan seorang laki-laki (Rizki Henriko). Pendidikan yang dijalaninya adalah SR (sekolah rakyat) Kraton
"Kasatriyan", Baluwarti, Solo, lalu SMP Negeri II Solo. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah
menengah atas, Sapardi kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Jurusan Sastra Inggris. Dia pernah memperdalam pengetahuan tentang humanities di
University of Hawaii, Amerika Serikat, tahun 1970—1971. Tahun 1989 Sapardi Djoko Damono
memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi yang berjudul "Novel Jawa Tahun 1950-
an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur". Tahun 1995 ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia. Sapardi bekerja sebagai dosen tetap, Ketua Jurusan Bahasa Inggris,
IKIP Malang Cabang Madiun, tahun 1964—1968. Dia diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas
Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1968—1973. Sejak tahun 1974 bekerja
sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia. Dia
menjabat Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia tahun 1979—1982, lalu
diangkat sebagai Pembantu Dekan I pada 1982—1996 dan akhirnya menjabat Dekan pada 1996—
1999 di fakultas dan universitas yang sama. Dia memasuki masa pensiun sebagai guru besar
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia tahun 2005, tetapi masih diberi tugas sebagai promotor
konsultan dan penguji di beberapa perguruan tinggi, termasuk menjadi konsultan Badan Bahasa. Di
samping bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Sapardi pernah menjabat
Direktur Pelaksana "Yayasan Indonesia" Jakarta (1973—1980), redaksi majalah sastra Horison
(tahun 1973), sebagai Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (sejak 1975); sebagai
anggota Dewan Kesenian Jakarta (1977—1979); sebagai anggota redaksi majalah Pembinaan
Bahasa Indonesia, Jakarta (sejak 1983); sebagai anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai
Pustaka, Jakarta (sejak 1987); sebagai Sekretaris Yayasan Lontar, Jakarta (sejak 1987); dan sebagai
Ketua Pelaksana Pekan Apresiasi Sastra 1988, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
(1988). Tahun 1986 di Wisma Arga Mulya, Tugu, Bogor, di depan peserta Penataran Sastra Tahap I
dan Tahap II Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, ia mengemukakan argumen untuk
mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1988,
berhasil diumumkan nama organisasi yang didirikannya, yaitu Himpunan Sarjana-Kesusastraan
Indonesia (HISKI). Sapardi Djoko Damono terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga
periode. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI),
dan sebagai anggota Koninklijk Instituut vor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV). Dalam usaha
mendukung pengembangan kariernya sebagai sastrawan, Sapardi sering menghadiri berbagai
pertemuan internasional. Tahun 1971 ia menghadiri Translation Workshop dan Poetry International,
Rotterdam, negeri Belanda. Pada tahun 1978 itu juga ia menghadiri Seminar on Literature and Social
Change in Asia di Australia National University, Camberra, dan sebagai penulis dalam Festival Seni di
Adelaide. Pada tahun itu juga ia mengikuti Bienale International de Poesie di Knokke-Heusit, Belgia.
Sejak tahun 1978 Sapardi menjabat Country Editor majalah Tenggara Journal of Southeast Asian
Literature, Kuala Lumpur. Sejak 1982 ia tercatat sebagai anggota penyusun Anthropology of Asean
Literature, COCI, ASEAN. Tahun 1988 Sapardi menjadi panelis dalam Discussion dan sebagai
anggota Komite Pendiri Asean Poetry Centre di Bharat Bhavan, Bhopal, India. Peranan Sapardi
Djoko Damono dalam kehidupan sastra Indonesia sangat penting. A. Teeuw dalam bukunya Sastra
Indonesia Modern II (1989) menyatakan bahwa Sapardi adalah seorang cendekiawan muda yang
mulai menulis sekitar tahun 1960. Ada perkembangan yang jelas terlihat dalam puisi Sapardi,
terutama dalam hal susunan formal puisi-puisinya. Oleh sebab itu, sudah barang tentu sangat perlu
mengikuti jejak Sapardi dalam tahun-tahun mendatang. Dia seorang penyair yang orisinil dan kreatif,
dengan percobaan-percobaan pembaharuannya yang mengejutkan, tetapi dalam segala kerendahan
hatinya, boleh jadi menjadi petunjuk tentang perkembangan-perkembangan mendatang. Puisi
Sapardi dikagumi Abdul Hadi W.M. dengan alasan bahwa puisi Sapardi banyak kesamaan dengan
yang ada dalam persajakan Barat sejak akhir abad ke-19 yang disebut simbolisme. Untuk bisa
memahami karya-karya Sapardi dengan sebaik-baiknya, kita harus ingat bahwa ia dengan sengaja
memilih tetap berada dalam hubungan dengan konvensi-konvensi persajakan. Pamusuk Eneste
dalam bukunya Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (1988) memasukkan Sapardi Djoko Damono
ke dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an. Sapardi mengumpulkan sajaknya dalam buku
yang berjudul Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983),
Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), Mata Jendela (2000),
dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003). Dalam tahun 2001 terbit kumpulan cerpennya
berjudul Pengarang Telah Mati. Tahun 2009 terbit kumpulan sajaknya yang berjudul Kolam. Sebagai
pakar sastra, Sapardi menulis beberapa buku yang sangat penting, yaitu (1) Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas (1978), (2) Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), (3) Kesusastraan
Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), (4) Novel Jawa Tahun 1950-an:Telaah Fungsi, Isi, dan
Struktur (1996), (5) Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), (6) Sihir Rendra: Permainan Makna
(1999) dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal. Sapardi menerjemahkan
beberapa karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Hasil terjemahan tersebut antara lain Lelaki
Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway), Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James),
Puisi Brasilia Modern, George Siferis, Sepilihan Sajak, Puisi Cina Klasik, Puisi Klasik, Shakuntala,
Dimensi Mistik dalam Islam karya Annemarie Schimmel , Afrika yang Resah (Song of Lowino dan
Song of Ocol oleh Okot p'Bitek), Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra oleh Eugene
O'Neill), Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck), dan sebagainya. Beberapa
penghargaan dan hadiah sastra diterima Sapardi Djoko Damono atas prestasinya dalam menulis
puisi. Tahun 1963 ia mendapat Hadiah Majalah Basis atas puisinya "Ballada Matinya Seorang
Pemberontak"; tahun 1978 menerima penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia; tahun
1983 memperoleh hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia;
tahun 1984 mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu
Kertas; tahun 1985 menerima Mataram Award; dan tahun 1986 ia menerima hadiah SEA Write Award
(Hadiah Sastra Asean) dari Thailand. Sapardi juga mendapat Anugerah Seni dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1990. Dalam tahun 1996 ia memperoleh Kalyana Kretya dari
Menristek RI. Tahun 2003 Sapardi mendapat penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature
dan tahun 2004 Sapardi memperoleh Khatulistiwa Award. Pada tahun 2012, Sapardi juga mendapat
penghargaan dari Akademi Jakarta.
BIOGRAFI HELVY TIANA ROSSA

Helvy Tiana Rosa adalah cerpenis yang lahir di Medan, 2 April 1970 dari pasangan Amin Usman dan
Maria Eri Susianti. Kakak Asmanadia ini dikenal sebagai pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah
forum penulis muda beranggotakan lebih 5000 orang yang tersebar di lebih dari 125 kota di Indonesia
dan mancanegara. Istri Tomi Satryatomo serta ibu dari Abdurahman Faiz (12) serta Nadya Paramitha
(1,5) ini juga pendiri dan pengelola "Rumah baCA dan Hasilkan karYA" (Rumah Cahaya) yang
tersebar di berbagai kota di Indonesia. Pendidikan yang pernah ditempuhnya adalah Jurusan Arab,
Fakultas Sastra UI, dan terakhir ia memperoleh gelar magister dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Di samping sebagai cerpenis, Helvy adalah dosen di Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, Ketua Majelis
Penulis Forum Lingkar Pena, Direktur Lingkar Pena Publishing House, Dewan Pertimbangan
Perbukuan Balai Pustaka, dan Anggota Ahli Majelis Sastra Asia Tenggara. Dia pernah menjadi
redaktur dan pemimpin redaksi majalah Annida (1991—2001), sekretaris DPH Dewan Kesenian
Jakarta (2003), dan Anggota Komite Sastra DKJ (2003—2006). Dia juga pendiri dan penggiat Woman
Literacy Foundation. Selain menulis cerpen, Helvy juga menulis sajak, novel, dan esai. Helvy juga
aktif di dunia teater. Dia pendiri Teater Bening—sebuah teater kampus di FSUI yang seluruh
anggotanya adalah perempuan. Teater ini pernah pentas di Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail
Marzuki, Auditorium Fakultas Sastra UI, serta keliling Jawa dan Sumatra. Helvy juga menulis naskah
drama, salah satu naskah dramanya yang sudah terbit berjudul Tanah Perempuan (Lapena, 2007).
Sejak tahun 1996 hingga sekarang lebih dari 40 bukunya telah diterbitkan. Cerpen-cerpennya
diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jepang, Arab, Swedia, Jerman, dan Prancis. Tahun 1998 ia
diundang mengikuti Program Penulisan Cerpen yang diadakan Majelis Sastra Asia Tenggara. Helvy
menulis sejak tahun 1979. Karya cerpennya yang telah diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen,
antara lain, adalah Bukavu (Kumpulan Cerpen, Lingkar Pena Publishing House 2008), Lelaki Kabut
dan Boneka/ Dolls and The Man of Mist, Kumpulan Cerpen Dwi Bahasa (Syaamil, 2002), Titian
Pelangi, Kumpulan Cerpen (Mizan, 2000), Hari-Hari Cinta Tiara, Kumpulan Cerpen (Mizan, 2000),
Manusia-Manusia Langit, Kumpulan Cerpen (Syaamil, 2000), Nyanyian Perjalanan, Kumpulan
Cerpen (Syaamil, 1999), Hingga Batu Bicara, Kumpulan Cerpen (Syaamil, 1999), Sebab Sastra yang
Merenggutku dari Pasrah, Kumpulan Cerpen (Gunung Jati, 1999), Ketika Mas Gagah Pergi,
Kumpulan Cerpen (Pustaka Annida, 1997. Cet II dan seterusnya diterbitkan oleh Syaamil). Cerpen-
cerpennya juga dimuat di dalam antologi cerpen, antara lain adalah Perempuan Bermata Lembut
( Antologi Cerpen Bersama, FBA Press 2005), Ketika Cinta Menemukanmu (Antologi Cerpen
Bersama, GIP 2005), Dokumen Jibril (Antologi Cerpen Bersama, Republika 2005), Dari Pemburu ke
Teurapeutik (Antologi Cerpen Bersama, Pusat Bahasa 2004), Lelaki Semesta (Antologi Cerpen
Bersama, LPPH, 2004), Kitab Cerpen: Horison Sastra Indonesia (Antologi Bersama, Yayasan
Indonesia & Ford Foundation, 2002. Ed. Taufiq Ismail, dkk.), Luka Telah Menyapa Cinta (Antologi
Cerpen Bersama, FBA Press, 2002), Kado Pernikahan (Antologi Cerpen Bersama, Syaamil, 2002),
Dunia Perempuan (Antologi Cerpen Bersama, Bentang, 2002), Ini...Sirkus Senyum (Antologi Cerpen
Bersama, Komunitas Bumi Manusia, 2002), Ketika Duka Tersenyum (Antologi Cerpen Bersama, FBA
Press, 2001), Kembang Mayang (Antologi Cerpen Bersama, Penerbit Kelompok Cinta Baca, Jakarta,
2000), Sembilan Mata Hati (Antologi Cerpen Bersama, Pustaka Annida, Jakarta, 1998). Yang berupa
antologi puisi bersama, yakni Sajadah Kata (Antologi Puisi Bersama, Syaamil, 2002), Graffiti
Gratitude (Antologi Puisi Bersama, Angkasa, 2001). Yang berupa naskah drama, yakni Tanah
Perempuan, naskah Drama (Lapena, 2007). Yang berupa novel, antara lain Akira no Seisen/ Akira:
Muslim wa tashiwa, Novel (Syaamil, 2000) Kembara Kasih, Novel (Pustaka Annida, 1999), Mc
Alliester, Novel (Moslem Press, London, 1996). Yang berupa kumpulan tulisan bersama, antara lain
Jilbab Pertamaku (Kumpulan Tulisan Bersama, LPPH, 2005), Matahari Tak Pernah Sendiri I
(Kumpulan Tulisan Bersama, LPPH, 2004), Di Sini Ada Cinta! (Kumpulan Tulisan Bersama, LPPH,
2004), Dari Fansuri ke Handayani (Antologi Bersama, Penerbit Horison dan Ford Foundation, 2001).
Yang berupa cerita anak, antara lain 1001 Kisah Luar Biasa dari Orang-orang Biasa (Penerbit Anak
Saleh 2004), Pangeranku, Cerita Anak (Syaamil, 2000), Yang berupa tulisan lain-lain, antara lain
Risalah Cinta Untukmu (LPPH, 2007), Menulis Bisa Bikin Kaya! (MVP 2006), Leksikon Sastra Jakarta
(DKJ dan Penerbit Bentang Budaya, 2003), Segenggam Gumam, Esai-esai Sastra dan Budaya
(Syaamil, 2003), Bukan di Negeri Dongeng (Syaamil, 2003), Wanita yang Mengalahkan Setan, Kritik
Sastra (Tamboer Press, 2002), Pelangi Nurani (Syaamil, 2002), Lentera (An Najah Press,1999),
Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia (Kumpulan Tulisan Bersama, Grasindo, 2000). Helvy sering
diundang berbicara dalam berbagai forum sastra dan budaya di dalam dan luar negeri, seperti
Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Hong Kong, Jepang, Mesir hingga Amerika Serikat. Ia pernah
memenangkan berbagai perlombaan menulis tingkat nasional, termasuk sebuah lomba esai
berhadiah Rp 100 juta (2007). Namun menurutnya yang paling berkesan ketika 'Fisabilillah" menjadi
Juara Lomba Cipta Puisi Yayasan Iqra, tingkat nasional (1992), dengan HB Jassin sebagai Ketua
Dewan Juri. "Jaring-Jaring Merah" terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horison
dalam satu dekade (1990-2000). Lelaki Kabut dan Boneka mendapat Pena Award Forum Lingkar
Pena sebagai Kumpulan Cerpen Terpuji (2002). Beberapa penghargaan lain yang pernah
diperolehnya, antara lain sebagai Tokoh Perbukuan IBF Award (2006), Tokoh Sastra Eramuslim
Award (2006), Ikon Perempuan Indonesia versi Majalah Gatra (2007), Wanita Indonesia Inspiratif
versi Tabloid Wanita Indonesia (2008), Finalis Indonesia Berprestasi Award XL, Bidang Seni dan
Budaya (2007), Penghargaan Perempuan Indonesia Berprestasi dari Tabloid Nova dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan RI (2004), Ummi Award dari majalah Ummi (2004), Muslimah Teladan
versi Majalah Alia (2006), Muslimah Indonesia Berprestasi Bidang Penulisan versi Majalah Amanah
(2000), Dosen Berprestasi Universitas Negeri Jakarta (2008), dan lain-lain.

Helvy Tiana Rosa lahir di Medan, 2 April 1970, Helvy hidup dalam keluarga yang sederhana.
Keluarganya bahkan pernah sempat tinggal di tepian rel kereta api yang membuat mereka harus
bertahan dengan suara bising kereta setiap saat. Hidup dalam kesederhanaan, setiap harinya Helvy
dan adik-adiknya, Asma Nadia dan Aeron Tomino, mendapatkan dongeng dan wejangan dari ibunya
yang sering kali berpesan akan optimisme hidup. Tak hanya pesan akan optimisme hidup yang
berhasil ditanamkan Helvy dalam hidupnya, namun, kemampuan dan kebiasaan menulis ibunya yang
memotivasi dirinya untuk lebih optimis dalam hidup.

Barangkali bakat menulis itu memang diturunkan dari ibunya dan telah ada sejak kecil. Dapat
membaca sejak umur lima tahun nyatanya memudahkan Helvy dalam mengerti dan memaknai arti
dari sebuah tulisan. Ia mulai semangat membaca sejak ia bisa membaca dan tahu ada tempat
persewaan buku yang memajang banyak buku. Setiap harinya, ia sempatkan untuk mampir walau
hanya sekedar melihat-lihat jenis buku yang ada.

Maklum, kebutuhan finansial keluarga saat itu hanya cukup digunakan untuk membayar uang
sekolah. Namun, bukan Helvy namanya jika ia menyerah pada apa yang ia inginkan. Menginjak kelas
3 SD, Helvy mulai mengumpulkan buku dari hasil tabungannya. Buku-buku yang telah ia kumpulkan
lalu disewakan kepada teman-teman sebayanya agar mereka bisa dapat membaca dan mengerti
akan luasnya pengetahuan.

Benar, ketika ada suatu ungkapan bahwa dengan membaca kita akan mengetahui isi dunia dan
dengan membaca pula kita bisa menuliskan betapa luas dan beragamnya dunia. Agaknya ungkapan
tersebut memang berlaku dalam hidup Helvy, hobi membacanya kerap kali ditularkan pada adik-
adiknya.
Tak hanya itu, ia juga mulai aktif menulis puisi dan cerpen lalu mengirimkan ke redaksi majalah anak.
Benar saja, tak ada perjuangan yang sia-sia, karya Helvy banyak dimuat di majalah anak-anak yang
kemudian semakin menyemangatinya untuk terus menulis dan memberikan contoh bagi adik-adiknya.

Helvy kecil tak hanya pandai menulis puisi dan cerpen, ia juga pandai menulis syair lagu. Ayahnya
seorang musisi dan percaya bahwa suatu saat nanti Helvy dapat menjadi seorang penulis kenamaan
Indonesia. Selama membuat syair lagu, ayahnya selalu mempercayakan Helvy untuk memeriksa
syair-syair yang kurang pas kemudian digubah.

Di sekolah, Helvy pun sering mengikuti lomba membaca puisi yang mengantarkannya menjadi
seorang sastrawan terkemuka saat ini. Di samping selalu menulis puisi dan cerpen, Helvy juga mulai
belajar seni peran yang sering kali ia lihat dan pelajari saat ia berkunjung ke Taman Ismail Marzuki
(TIM) setiap minggunya.

Perlahan-lahan bakat istri Widanardi Satryatomo di dunia sastra mulai tampak. Berbagai kejuaraan
lomba puisi berhasil ia menangkan dan berbagai pementasan seni peran juga sering ia perankan
hingga pada tahun 1990 ibu dari Abdurahman Faiz dan Nadya Paramitha ini mendirikan Teater
Bening dan sering menuliskan naskah drama untuk dipentaskan saat dirinya berkuliah di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.

Tak hanya aktif kuliah dan berkecimpung dalam dunia sastra, Helvy membagi waktunya dengan
bekerja sebagai redaktur majalah Annida yang merupakan majalah pelopor anak muda berbasis reliji
yang ada saat itu. Sebagai redaktur, Helvy menjadi semakin keranjingan untuk menulis dan menulis.
Karyanya banyak dimuat di majalah Annida dan berhasil mengekskusi dirinya untuk naik jabatan
menjadi seorang redaktur pelaksana.

Banyak karya Helvy yang dimuat di berbagai majalah, cerpen-cerpennya dianggap sebagai cerpen
inspiratif anak muda jaman itu. Cerpennya yang sangat fenomenal dan mendobrak dunia sastra saat
itu adalah Ketika Mas Gagah Pergi yang diterbitkan di Annida pada tahun 1993. Cerpen tersebut
bersama dengan cerpen lain Helvy yang dibukukan Annida berhasil naik cetak puluhan kali dan
dicetak dalam jumlah yang sangat banyak.
Adanya fenomena tersebut banyak sastrawan menyebutnya sebagai pendobrak dunia sastra modern.
Rupanya bakat Helvy memang tak lagi bisa diragukan meski karyanya sempat mengalami
pembajakan oleh warga Malaysia yang mengumpulkan karya-karya Helvy di berbagai media, nama
Helvy tetap berkembang dan semakin dikenal.

Hingga akhirnya pada tahun 1997 bersama dengan adiknya, Asma Nadia, Helvy mendirikan sebuah
perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku. Takut diklaim sebagai usaha keluarga, Helvy
mengajak cerpenis Annida lain untuk ikut bergabung dengan perusahaan yang ia beri nama Forum
Lingkar Pena (FLP). FLP adalah sebuah tempat bagi siapapun kaum muda dari berbagai kalangan
yang ingin menjadi penulis. Melalui FLP, nama Helvy semakin dikenal di berbagai negara.
Perusahaan yang bertujuan mencari para penulis muda yang ia dirikan tersebut akhirnya menuai
keberhasilan.

Didapatkan ratusan ribu penulis muda dari berbagai pelosok kota di Indonesia turut bergabung.
Bahkan, pada tahun 2008, FLP meraih Danamon Award, sebuah penghargaan tingkat nasional yang
diberikan kepada inspirator dan inisiator yang berhasil melakukan pemberdayaan terhadap
masyarakat sekitar secara signifikan. Sebelumnya, pada tahun 2002, FLP mendirikan Rumah Cahaya
yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas membaca masyarakat dan pada tahun 2004
bergabung dengan Penerbit Mizan menjadi Lingkar Pena Publishing House. Di sana, Helvy menjabat
sebagai direktur utama PT. Lingkar Pena Kreativa tahun 2004-2011. Kini, FLP sudah tersebar luas di
pelosok Indonesia bahkan sudah sampai luar negeri seperti Hongkong, Malaysia, dan banyak lagi.

Ditanya bagaimana mulanya ia meraih banyak kesuksesan, seperti meraih The 500 Most Influential
Muslims in The World (500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia), Royal Islamic Studies
Centre, Jordan dan Georgetown University selama tiga tahun berturut-turut (2009-2011), Helvy
mengaku bahwa bakat adalah bonus yang diberikan oleh Allah, tinggal bagaimana individu tersebut
mengasah dan melatih bakatnya, kata dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Jakarta yang tengah
menyelesaikan studi doktoral di tempat yang sama ini.
BIOGRAFI H.B. JASSIN

Hans Bague Jassin yang dikenal dengan nama H.B. Jassin lahir di Gorontalo, Sulawesi Utara, 31 Juli
1917 dan meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. Ayahnya bernama Bague Mantu Jassin, seorang
kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Ibunya bernama Habiba Jau. Kegemaran ayahnya
membaca dan mengoreksi bacaan-bacaan dalam perpustakaan pribadinya mempunyai pengaruh
besar terhadap Jassin. Jassin kecil sering membaca koleksi ayahnya secara diam-diam karena
dilarang membaca bacaan orang dewasa. Kegemaran membaca ini terus berlanjut dan inilah yang
kemudian menjadi pemicu baginya untuk menjadi kritikus dan kolektor dokumen sastra Indonesia. Di
kemudian hari kedudukan Jassin sebagai kritikus dan esais menjadi sangat kuat sehingga Gayus
Siagiaan menjulukinya sebagai "Paus Sastra Indonesia". Koleksi pribadinya dokumen sastranya
kemudian terkumpul di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, sebuah lembaga yang amat banyak
jasanya dalam pendokumentasian sastra Indonesia dan menjadi salah satu pusat penelitian sastra
Indonesia yang penting pula. Ia berasal dari keluarga Islam. Istrinya yang pertama bernama Tientje
van Buren. Istrinya yang kedua bernama Arsita yang meninggal tanggal 12 Maret 1962. Mereka
menikah tahun 1946 dan mempunyai anak bernama Hanibal Jassin dan Mastina Jassin. Setelah
Arsita meninggal, H.B. Jassin menikah lagi dengan Yuliko pada tanggal 16 Desember 1962. Mereka
dianugerahi dua orang anak, yaitu Yulius Firdaus Jassin dan Helena Magdalena Jassin. H.B. Jassin
sebagaimana telah dipaparkan di atas dijuluki Paus Sastra Indonesia oleh Gayus Siagian karena
otoritasnya sebagai kritikus dan esais terkemuka di Indonesia pada dasawarsa 1950—1960an.
Menurut Jassin, seseorang yang mau menjadi kritikus harus mempunyai bakat seniman, berjiwa
besar, dapat menghindari nafsu dengki, iri hati, dan benci. Seorang kritikus juga harus memiliki sikap
riang dalam berhadapan dengan siapa pun. Selain itu, seorang kritikus juga memerlukan pengalaman
hidup yang cukup agar dapat melihat suatu persoalan dari berbagai sudut. Dialah satu-satunya
kritikus sastra Indonesia yang tekun dan secara terus-menerus mengikuti perkembangan sastra
Indonesia dari tahun 1950-an hingga 1970-an. Karena usianya makin tua, sesudah tahun 1970 ia
kurang sempat lagi mengikuti perkembangan sastra. Namun, semangatnya untuk menghimpun
dokumentasi sastra masih terus berlanjut. Pada tahun 1970, Jassin pernah diajukan ke pengadilan
dan dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Ia dituduh
menghina agama Islam karena bertanggung jawab memuat cerpen Kipanjikusmin "Langit Makin
Mendung" dalam majalah Sastra, Agustus 1968. Pledoinya yang berjudul "Pembelaan Imajinasi"
merupakan salah satu dokumen historis terpenting mengenai sastra Indonesia. Selain itu, karena ikut
menandatangani Manifes Kebudayaan, ia dipecat dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia tahun
1965 beberapa bulan sebelum G-30-S/PKI meletus. H.B. Jassin menamatkan pendidikan HIS
Gorontalo tahun 1923, HBS-B selama 5 tahun di Medan tahun 1939, dan Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia tahun 1957. Kemudian, ia memperdalam pengetahuan dalam bidang Ilmu Perbandingan
Kesusasteraan di Universitas Yale, Amerika Serikat tahun 1958--1959. Karena jasanya dalam bidang
sastra Indonesia, ia menerima Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia tahun 1975. Menurut
Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada waktu itu,
pengetahuan orang tentang sastra Indonesia didasarkan pada pengetahuan yang dikembangkan oleh
H.B. Jassin. H.B. Jassin sangat berjasa dalam perkembangan sastra Indonesia karena kegiatan
menulis esai dan kritik sastranya. Sebagai seorang kritikus, H.B. Jassin adalah orang pertama yang
membela Chairil Anwar. Hal itu dilakukannya pada tahun 1956, yang saat itu Chairil Anwar dituduh
sebagai plagiat melalui bukunya Chairil Anwar Penyair Angkatan 45. Minatnya dalam bidang ini
dimulai awal tahun 1940-an. H.B. Jassin pernah bekerja di Kantor Asisten Residen Gorontalo tahun
1939, sebagai redaktur Balai Pustaka tahun 1940—1942, sebagai dosen di Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia tahun 1953—1959, sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia sejak tahun 1961 (menjadi pembimbing skripsi), dan menjadi Lektor tetap di Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia sejak tahun 1973 hingga pensiun. Dia menjadi pegawai di Lembaga
Bahasa Nasional (sekarang Pusat Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional tahun 1954—1973. Dia
pernah menjadi redaktur majalah Pudjangga Baroe tahun 1940—1942, Pandji Poestaka tahun 1942
—1945, Pantja Raja tahun 1945—1947, Mimbar Indonesia tahun 1947—1956, Zenith tahun 1951—
1954, Bahasa dan Budaja tahun 1952—1963, Kisah tahun 1953—1956, Seni tahun 1955, Sastra
tahun 1961—1964 dan 1967—1969, Medan Ilmu Pengetahuan, Buku Kita, dan Horison sejak tahun
1975 sampai 1980-an. Menurut Sapardi Djoko Damono, dalam banyak kritikannya, Jassin suka
mengelu-elukan kecenderungan baru dalam kesusasteraan baru, tetapi dalam karya kreatifnya ia
sama sekali tidak berminat terhadap pembaharuan. Cerpen-cerpennya dalam Poedjangga Baroe
ditulisnya secara lugas, yaitu mencatat kejadian di sekelilingnya dengan sedikit komentar. Cerpen-
cerpennya itu ditulis dan diterbitkan dalam tiga zaman. Buku sastra yang ditulis H.B. Jassin cukup
banyak, antara lain adalah Angkatan 45 (1951), Tifa Penyair dan Daerahnja (1952), Kesusasteraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai jilid I—IV (1954, 1967; edisi baru 1985), Kesusastraan Dunia
dalam Terdjemahan Indonesia (1966) Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggungjawaban (1970). Sastra
Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1963), Pengarang Indonesia dan Dunianja (1963), Surat-
Surat 1943—1983 (1984), Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), dan Koran dan Sastra
Indonesia (1994). H.B. Jassin juga tercatat sebagai editor sejumlah buku yang berupa bunga rampai,
yaitu Pantjaran Tjinta: Kumpulan Tjerita Pendek dan Lukisan (1948), Gema Tanah Air: Prosa dan
Puisi (1948), Kesusasteraan Indonesia di Masa Depan (1948), Kisah: 13 Tjerita Pendek (1955),
Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956), Analisis Sorotan Tjerita Pendek (1961), Amir Hamzah
Raja Penyair Pudjangga Baru (1962), Pudjangga Baru Prosa dan Puisi (1963), Tenggelamnya Kapal
van der Wijk dalam Polemik (editor bersama dengan Junus Amir Hamzah (1963), Angkatan 66: Prosa
dan Puisi (1968), Polemik: Suatu Pembahasan Sastra dan Kebebasan Mentjipta Berhadapan dengan
Undang-Undang dan Agama (kumpulan esai yang diterbitkan di Kuala Lumpur tahun 1972), dan
Kontroversi Al-Qur'an Berwajah Puisi (1995). Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983),
Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), Surat-Surat 1943—1983 (1984), Sastra Indonesia dan
Perjuangan Bangsa (1993), Koran dan Sastra Indonesia (1994), Darah Laut : Kumpulan Cerpen dan
Puisi (1997), dan Omong-Omong HB. Jassin (1997) H.B. Jassin juga menerjemahkan beberapa karya
sastra asing atau yang terpaut dengan kesusastraan, yaitu Renungan Indonesia dari Indonesiche
Overpeinzingen karya Sjahrazad (nama samaran Sutan Sjahrir), Terbang Malam dari Vol de Nuit
karya A. de St. Exupery (1947), Kisah-Kisah dari Rumania terjemahan bersama Taslim Ali dan Carla
Rampen dari Nouvelles Roumaines (1964). Tjerita Pandji dalam Perbandingan dari Pandji-verhalen
Onderling vergeleken karya Perbatjaraka (1966), Max Havelaar karya Multatuli (1972), The Complete
Poems of Chairil Anwar bersama Liauw Yock Fang (1974), Cuk dari cerpen Tjuk karya Vincent
Mahieu (1976), Pemberontakan Guandalajara dari novel De Opstand van Guandalajara karya J.
Slauerhoff (1976), Teriakan Kakatua Putih: Pemberontakan Patikura di Maluku dari De Schreeuw van
de Witte Kakatoea karya Johan Febricius (1980), dan Multatuli yang Penuh Teka-Teki dari karya
Willem Frederik Hermans (1988). Buku-buku yang diterjemahkannya ada yang di luar bidang sastra,
seperti Sepuluh Tahun Koperasi terjemahan dari Tien Jaren Cooperatie oleh R.M. Margono
Djojohadikusumo, Chushingura yang diterjemahkan bersama Karim Halim dari karya Sakae Shioya
(1945), Al-Quranu 'l-Karim-Bacaan Mulia (1978), Juz Amma Berita Besar (1984), Percakapan
Erasmus dari karya Desiderius Erasmus (1985), dan Sapi Betina dan Keluarga Imran (1985). Sebagai
editor, Jassin juga bertindak sebagai penulis kata pengantar untuk sejumlah buku, antara lain, dalam
terjemahan Idrus Kereta Api Baja 1469, dalam kumpulan drama karya Usmar Ismail Sedih dan
Gembira, dalam kumpulan drama Taufan di Atas Asia karya El Hakim, dalam buku Roman Atheis:
Sebuah Pembicaraan Karya Boen S. Oemarjati, dalam buku Djalan Tak Ada Udjung Mochtar Lubis
karya M.S. Hutagalung, dalam terjemahan Magdalena karya A.S. Alatas, kumpulan cerpen Orang-
Orang Terasing karya Pamusuk Eneste, dalam novel Sanu, Infinita-Kembar karya Motinggo Busye,
dan dalam novel Tiga Puntung Rokok karya Nasjah Djamin. Sejak tahun 1949, H.B. Jassin menjabat
sebagai penasihat berbagai penerbit, antara lain Balai Pustaka (1949—1952), Gapura (1949—1951),
Gunung Agung (1953—1970), Nusantara (1963—1967), Pembangunan (1964—1967), dan Pustaka
Jaya (1971—1972). Dia juga pernah ddiangkat sebagai pemeriksa beberapa universitas di luar
negeri, antara lain, di Universitas Malaya, Malaysia, serta Universitas Monash dan Univer-sitas
Sydney, Australia. Buku-buku yang membicarakan H.B. Jassin, antara lain adalah Antara Hukum dan
Imajinasi Sebuah Roman Biografi H.B. Jassin yang ditulis oleh Darsjaf Rachman dan diterbitkan
tahun 1986 dan H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia (1987) karya Pamusuk Eneste. Di samping yang
berupa buku, pembicaraan tentang H.B. Jassin banyak tersebar di berbagai majalah dan koran sejak
tahun 1977 sampai sekarang. H.B. Jassin menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah
Republik Indonesia tahun 1969. Tahun 1972 ia mendapat Cultural Visit Award dari pemerintah
Australia. Pada waktu itu selama delapan minggu ia mengunjungi pusat-pusat pengajaran bahasa
dan sastra Indonesia/Malaysia di Australia. Dia menerima hadiah Martinus Nijhoff dari Bernhard
Fonds, Belanda tahun 1973; Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1983; Hadiah
Magsaysay dari Yayasan Magsaysay, Filipina, tahun 1987. Tahun 1994 ia menerima Bintang
Mahaputra Nararaya dari Pemerintah Indonesia. Dia juga tercatat sebagai anggota Akademi Jakarta
sejak tahun 1970 yang berlaku seumur hidup dan sebagai Ketua Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra
H.B. Jassin sejak tahun 1976 sampai akhir hayatnya.
Hans Bague Jassin atau yang lebih dikenal dengan HB Jassin adalah seorang pengarang,
penyunting dan kritikus sastra asal Gorontalo. Ia dijuluki Paus Sastra Indonesia oleh sastrawan Gajus
Siagian (alm.). Saat itu berkembang suatu keadaan dimana seseorang dianggap sastrawan yang sah
bila HB Jassin sudah 'membaptisnya'. Meski kedengaran berlebihan, namun begitulah adanya.

Jassin menyelesaikan pendidikan dasarnya di Balikpapan, kemudian ikut ayahnya pindah ke


Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, dan menyelesaikan pendidikan menengahnya di sana. Pada
saat itu ia sudah mulai menulis dan karya-karyanya dimuat di beberapa majalah. Jassin sempat
bekerja sukarela di kantor Asisten Residen Gorontalo selama beberapa waktu sampai akhirnya ia
menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di penerbitan Balai Pustaka tahun 1940.
Setelah itu ia menjadi redaktur dan kritikus sastra pada berbagai majalah budaya dan sastra di
Indonesia, seperti Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, Horison,
dll.

Kritik Jassin umumnya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan kepekaan dan
perasaan daripada teori ilmiah sastra. Beberapa peristiwa dan kontroversi pernah melibatkan Jassin
karena kritiknya, salah satunya saat ia membela Chairil Anwar (1956) yang dituduh sebagai plagiat. Ia
juga turut menandatangani Manifesto Kebudayaan tahun 1963 yang membuatnya dipecat dari
Lembaga Bahasa Departemen P&K dan staf pengajar UI. Demikian pula ketika ia memuat cerpen
Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin di majalah Sastra tahun 1971. Karena menolak
mengungkapkan nama asli pengarang cerpen yang isinya dianggap 'menghina Tuhan', Jassin dijatuhi
hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.

Jassin telah menikah tiga kali. Istri pertama, Tientje van Buren, perempuan Indonesia yang suaminya
orang Belanda yang disekap Jepang, pisah cerai. Lalu Arsiti, ibu dua anaknya, meninggal pada 1962.
Sekitar 10 bulan kemudian, ia menikahi gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang terpaut usia 26
tahun dengannya dan memberinya dua anak.

Sejarah mencatat, sepanjang hidupnya Jassin telah menumpahkan perhatiannya mendorong


kemajuan sastra dan budaya di Indonesia. Berkat ketekunan, ketelitian dan ketelatenannya, ia dikenal
sebagai kritisi sastra terkemuka sekaligus dokumentator terlengkap. Kini, kurang dari 30 ribu buku
dan majalah sastra, guntingan surat kabar dan catatan-catatan pribadi pengarang yang dihimpunnya
tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Jassin meninggal pada usia 83 tahun, hari Sabtu dini hari pada 11 Maret 2000, saat dirawat akibat
penyakit stroke yang sudah dideritanya selama bertahun-tahun. Sebagai penghormatan, ia
dimakamkan dalam upacara kehormatan militer 'Apel Persada' di Taman Makam Pahlawan Nasional
Kalibata, Jakarta
BIOGRAFI ANDREA HIRATA

Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di pulau Belitung pada tanggal 24 Oktober 1982. Ia dikenal
sebagai seorang penulis novel yang karyanya diangkat ke layar lebar teater musikal.

Andrea Hirata adalah lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia. Setelah menyelesaikan studi S1 di
UI, pria yang kini masih bekerja di kantor pusat PT Telkom ini mendapat beasiswa Uni Eropa untuk
studi Master of Science di Université de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University,
United Kingdom.

Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas
tersebut dan ia lulus cumlaude. Tesis itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan
buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar
sebagai referensi Ilmiah.
Pada tahun 1997, Andrea Hirata resmi menjadi pegawai PT Telkom. Niatnya untuk menuliskan
pengabdian sang inspiratornya kembali membuncah manakala dia menjadi relawan untuk korban
tsunami di Aceh. Ketika dia melihat rumah, sekolah, dan berbagai bangunan yang ambruk,
memorinya akan masa kecilnya dan tentu saja, Bu Mus memantapkan hatinya untuk menuliskan
perjuangan guru tercintanya itu ke dalam sebuah karya sastra. Kemudian, Andrea Hirata berhasil
membuat novel Laskar Pelangi hanya dalam waktu tiga minggu.
Namanya makin melejit seiring kesuksesan novel pertamanya, LASKAR PELANGI. Novel tersebut
kemudian jadi best seller. Selain LASKAR PELANGI, ia juga menulis SANG
PEMIMPI dan EDENSOR, serta MARYAMAH KARPOV. Keempat novel tersebut tergabung dalam
tetralogi.

Walaupun sebenarnya Andrea Hirata tidak berniat untuk mempublikasikan novel atau
mengirimkannya pada penerbit, Laskar pelangi tetap sampai pada penerbit. Begitu banyak
penghargaan yang Andrea Hirata terima. Beberapa di antaranya adalah penghargaan dari
Khatulistiwa Literaly Award (KLA) pada tahun 2007, Aisyiyah Award, Paramadina Award, Netpac
Critics Award, dan lain sebagainya.

Sukses dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang pertama, telah diangkat
ke layar lebar, dengan judul sama, LASKAR PELANGI pada 2008. Dengan menggandeng Riri Riza
sebagai sutradara dan Mira Lesmana sebagai produser, film ini menjadi film yang paling fenomenal di
2008. Dan jelang akhir tahun 2009, Andrea bersama Miles Films dan Mizan Production kembali
merilis sekuelnya, SANG PEMIMPI.
Andrea Hirata Seman Said Harun atau lebih dikenal sebagai Andrea Hirata lahir di Belitong 24
Oktober 1967 adalah penulis novel Laskar Pelangi (Bentang, 2005) yang merupakan novel best seller
tahun 2006—2007. Pendidikan yang pernah ditempuhnya, antara lain, adalah Jurusan Ekonomi,
Universitas Indonesia yang kemudian mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Universite de
Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis yang ditulisnya di
bidang ekonomi telekomunikasi kini telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dan terbit sebagai
buku acuan teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Andrea Hirata,
anak kelima dari pasangan Seman Said Harun Hirata dan Masturah, berhasil menulis sebuah novel
yang dalam seminggu terbit sudah cetak ulang dan dalam waktu tujuh bulan mengalami cetak ulang
ke-3. Novel ini menurut penulisnya berbentuk memoar, tetapi ada fiksionalisasi yang terjadi. Dia
menyebut sebagai memoar yang dikemas dengan sastra dengan tambahan latar belakang
sosiokultural. Dengan novel ini, dianggap telah memberi warna jagad sastra dan pernovelan di
Indonesia di tengah-tengah dahaganya pembaca terhadap karya-karya bermutu. Novel ini disebut
sebagai penginspirasi banyak orang. Karya Andrea Hirata yang lain, adalah Sang Pemimpi (2006),
Edensor (2007), dan "Maryamah Karpov" (belum terbit). Edensor masuk nomine penghargaan
nasional sastra KLA (Khatulistiwa Literary Award) tahun 2007. Keempat karya Andrea ini (dengan
Laskar Pelangi) disebut sebagai tetralogi kenangan Andrea akan masa kecilnya. Dengan novelnya
Laskar Pelangi (dan penulis India Kiran Nagarkar dengan novelnya Die Statisten) ia memenangkan
penghargaan ITB Buch Awards 2013 di Jerman.
Masa Kecil dan Pendidikan Andrea Hirata
Andrea tumbuh dalam keluarga miskin yang berempat tinggal tidak jauh dari pertambangan timah
milik pemerintah yaitu PN Timah (Sekarang PT Timah Tbk.). Semasa kecil, orang tua Andrea Hirata
mengubah nama Andrea yang lahir Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun hingga 7 kali hingga
akhirnya ia diberi nama Andrea Hirata dengan nama lengkap Andrea Hirata Seman Said Harun
sewaktu menginjak masa remaja.
Andrea Hirata menempuh pendidikan Sekolah Dasarnya di SD Muhammadiyah (Yang ia ceritakan
dalam novel Laskar Pelangi), kondisi sekolah tersebut sangat mengenaskan bahkan hampir roboh
namun disekolah itu Andrea bertemu dengan Laskar Pelangi yaitu srbutan untuk para sahabatnya.
Setelah menamatkan pendidkan dikampung halamannya hingga SMA, Ia yang berkeinginan kuat
untuk menempuh pendidikan ke perguruan tinggi dan juga menjadi penulis, Ia merantau ke Jakarta.

Dengan penuh perjuangan, Andrea berhasil masuk ke Universitas Indonesia di Fakultas Ekonomi,
setelah lulus dari UI, Andrea kemudian mendapatkan beasiswa Uni ropa untuk studi Master of Science
di Université de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.
Tesis Andrea dalam bidang ekonomi telekomunikasi mendapatkan pengahrgaan dari kedua
Universitas tersebut dan Ia pun lulus dengan nilai cumlaude.

Bertemu Bu Muslimah
Saat bersekolah di SD Muhammadiyah, Andrea bertemu dengan guru yang sangat istimewa bernama
Bu Muslimah yang akrab di panggil dengan Bu Mus, Bu Mus yang dengan gigih dan semangat
mengajari muridnya yang berjumlah tidak lebih dari 11 orang itu sangatlah berarti bagi kehidupan
Andrea karena motivasi dari Bu Mus, Andrea mengalami perubahan dalam hidupnya.
Sebenarnya masih banyak sekolah lain yang layak selain SD Muhammadiyah, tapi karena keterbatasan
ekonomi keluarga dan sang ayah yang hanya pegawai rendahan membuat Andrea tidak berhak untuk
masuk di sekolah lain tersebut.

Peran Bu Mus memotivasi Andrea untuk menulis, pada saat masih duduk si bangku kelas 3 Andrea
bertekad agar dapat menulis cerita mengenai perjuangan Bu Muslimah.

Menjadi Penulis Novel Terkenal


Pada tahun 1997, Andrea resmi menjadi pegawai PT. Telkom. Niat untuk membuat tulisan tentang
inspiratornya kembali memuncak saat ia menjadi relawan saat tsunami Aceh. Kemudian pada tahun
2005, Andrea berhasil merilis novel pertamanya yaitu Laskar Pelangi yang Ia tulis hanya dalam waktu 3
minggu saja.

Pada awalnya Andrea tidak berniat mempublikasikan novel tersebut namun tetap saja sampai ke
tangan penerbit. Namanya semakin melejit akibat novel Laskar pelangi tersebut, hingga Ia
mendapatkan berbagai penghargaan seperti Khatulistiwa Literaly Award (KLA) pada tahun 2007,
Aisyiyah Award, Paramadina Award, Netpac Critics Award, dan lain sebagainya.

Penghargaan Andrea Hirata


Selama 8 tahun belakangan Andrea mendapatkan penghargaan karena kontribusinya di sastra
internasional, berkat novel pertama Andrea Hirata ‘Laskar Pelangi’ telah diterjemahkan ke dalam 34
bahasa asing dan diterbitkan di lebih dari 130 negara oleh penerbit-penerbit terkemuka.

Anda mungkin juga menyukai