Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia
bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda
menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan
sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada
ibunya.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati,
Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan
semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada
gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang
Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama
Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-
1949″, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono
(1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan
Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre
Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga
Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari
Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln.
Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran
Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak
menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.
Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927
sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis
cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia,
penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film.
Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen
sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut
hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu
semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan
jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan
pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari
Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955
hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh
pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.
Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri
Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di
Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di
kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke
Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel
dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi
batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa
kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman
Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke
Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul
22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya
meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah
digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan.
Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik
kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya
terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia
masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan
sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu,
serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani
Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga
pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai
menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah
Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah
raja adat di daerahnya.
Usai Revolusi, tentara Jepang masuk ke tanan air dan menutup semua
sekolah kecuali beberapa perguruan tinggi. Asrul Sani memilih melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Dokter Hewan di Bogor (sekarang Institut Pertanian
Bogor). Satu-satunya sekolah yang luput dari kebijakan tentara Jepang menutup
sarana pendidikan saat itu. Asrul rupanya tak betah berkutat dengan kuda dan
jenis hewan lainnya. Ia justru tekun mempelajari berbagai jenis alat musik.
Dalam tempo yang singkat, ia berhasil menguasai berbagai instrumen musik
seperti biola dan klarinet. Selain itu, ia juga pandai bernyanyi. Asrul memang
dikenal sebagai anak yang serba bisa.