Anda di halaman 1dari 9

BIOGRAFI SASTRAWAN INDONESIA

1. Chairil Anwar
Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan,


Sumatera
Utara,
26
Juli
1922 meninggal di Jakarta, 28 April
1949 pada umur 26 tahun), dijuluki
sebagai "Si Binatang Jalang" (dari
karyanya yang berjudul Aku), adalah
penyair terkemuka Indonesia. Ia
diperkirakan telah menulis 96 karya,
termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani
dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B.
Jassin sebagai pelopor Angkatan '45
sekaligus puisi modern Indonesia.

26

Juli
Lahir
Medan, Sumatera
Hindia Belanda
28
April
Meninggal
Jakarta, Indonesia
Pekerjaan
Penyair
Kewarganegaraan
Indonesia
Suku bangsa
Minangkabau
Periode menulis
19421949
Angkatan
Angkatan 45
Aku
Karya terkenal
Krawang Bekasi

Chairil lahir dan dibesarkan di Medan,


sebelum pindah ke Batavia (sekarang
Jakarta) dengan ibunya pada tahun
1922 1940, di mana ia mulai menggeluti
Utara, dunia sastra. Setelah mempublikasikan
puisi pertamanya pada tahun 1942,
1949 Chairil
terus
menulis.
Pusinya
menyangkut berbagai tema, mulai dari
pemberontakan,
kematian,
individualisme, dan eksistensialisme,
hingga tak jarang multi-interpretasi.
Kehidupan

Chairil Anwar dilahirkan di Medan,


Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia
merupakan anak satu-satunya dari
pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya
berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah
sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir,
Perdana Menteri pertama Indonesia.[1] Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu
memanjakannya.[2] Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan
apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah
dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan
pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun,
ia tidak lagi bersekolah.[3] Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad
menjadi seorang seniman.[4]
Penyair
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan
pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. [6] Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis
merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji
Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak

sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi
penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya
Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas
kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun
1945.[6][7] Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus
1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir
tahun 1948.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27
tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah
Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April
1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC.
Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.[8] Chairil
dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena
tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi
yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa
kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena
tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku..."
Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya,
diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang Republikan
termuka. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya
juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A.
Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah
yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".[3]
Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak
dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai
Jauh, ditulis pada tahun 1949,[4] sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan
Krawang Bekasi.[5] Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak,
dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul
Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang
Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai
Apin).

2. Taufiq Ismail

Taufiq Ismail

Taufiq Ismail gelar Datuk Panji Alam


Khalifatullah, (lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, 25 Juni 1935; umur 80
tahun), ialah seorang penyair dan
sastrawan Indonesia.

Latar Belakang
Taufiq Ismail lahir dari pasangan A.
Gaffar
Ismail
(1911-1998)
asal
Banuhampu, Agam dan Sitti Nur
Muhammad Nur (1914-1982) asal
Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera
Barat.[1] Ayahnya adalah seorang ulama
dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan
Taufiq Ismail
masa SD di Solo, Semarang, dan
Kewarganegaraan
Indonesia
Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan
Suku bangsa
Minang
SMA di Pekalongan. Taufiq tumbuh
Angkatan
Angkatan '66
dalam keluarga guru dan wartawan
Anugerah Seni, Pemerintah RI.
yang suka membaca. Ia telah bercitaPenghargaan
(1970)
cita menjadi sastrawan sejak masih
SMA. Dengan pilihan sendiri, ia
menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna
menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya
usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.

Kegiatan
Semasa kuliah aktif sebagai Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa
FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB.
Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan
di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai
media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi
pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima
beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai
Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar
antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan
menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di
New York, 1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya,
misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi,
seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu
Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara
Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi
Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah,
atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye,

Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam
ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai
festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970.
Baginya, puisi baru memperoleh tubuh yang lengkap jika setelah ditulis, dibaca di depan
orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang
yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993),
saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho
di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan
juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap
humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya.
Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul RendezVous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz
dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.). Di
deretan jejak langkah Taufiq yang panjang tersebut, penyair dan kritikus sastra Indonesia Saut
Situmorang memberitakan dalam media sastra yang diempunya bersama Katrin Bandel,
Boemipoetra, bahwa Taufiq melakukan aksi plagiarisme atas karya penyair Amerika bernama
Douglas Malloch (1877 1938) berjudul Be the Best of Whatever You Are.

Penghargaan
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah
Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya
Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika
Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur (1993).

3. Putu Wijaya
I
April
Ia

Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali, 11
1944; umur 71 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa.
penulis drama, cerpen, esai, novel dan juga skenario film dan sinetron. [1]
Riwayat

Putu

Wijaya adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga
bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang
dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat
dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah
Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak dan ibunya bernama
Mekel Ermawati. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam
ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Putu menulis sejak SMP. Tulisan pertamanya sebuah cerita pendek berjudul "Etsa" dimuat di
harian Suluh Indonesia, Bali. Pertama kali main drama ketika di SMA, memainkan drama
sendiri dan menyutradarai dengan kelompok yang didirikannya sendiri di Yogyakarta. Ikut
Bengkel Teater 1967-1969. Kemudian bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta. Sempat main
satu kali dalam pementasan Teater Populer. Selanjutnya dengan Teater Mandiri yang didirikan
pada tahun 1971, dengan konsep "Bertolak dari Yang Ada."
Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen,
ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron.
Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan
puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri, beberapa diantaranya yaitu mementaskan naskah
Gerr (Geez), dan Aum (Roar) di Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York City, dan
pada tahun 1991 membawa Teater Mandiri dengan pertunjukkan Yel keliling Amerika. [3].
Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron. Cerita pendek karangannya
kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering
muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali
meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang
Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di
antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram,
Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, dan Nyali. Sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, Arab dan Thai. [4]

4.

Abdul Malik Karim Amrullah


Abdul Malik Karim Amrullah

17 Februari 1908
Lahir
Sungai Batang, Tanjung
Raya, Agam, Sumatera Barat
24 Juli 1981 (umur 73)
Meninggal
Jakarta
Nama pena
Hamka
Kewarganegaraan
Indonesia
Roman, tafsir Al-Quran, sejarah
Tema
Islam
Angkatan
Balai Pustaka
Tafsir Al-Azhar
Tenggelamnya Kapal Van der
Karya terkenal
Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah
Sitti Raham
Pasangan
Sitti Khadijah
Orangtua
Abdul Karim Amrullah (ayah)
Ahmad Rasyid Sutan Mansur
Kerabat
(kakak ipar)

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim


Amrullah, pemilik nama pena Hamka
(lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung
Raya, Kabupaten Agam, Sumatera
Barat, 17 Februari 1908 meninggal di
Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73
tahun) adalah seorang ulama dan
sastrawan Indonesia. Ia melewatkan
waktunya sebagai wartawan, penulis,
dan pengajar. Ia terjun dalam politik
melalui Masyumi sampai partai tersebut
dibubarkan, menjabat Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan
aktif dalam Muhammadiyah sampai
akhir hayatnya. Universitas al-Azhar
dan Universitas Nasional Malaysia
menganugerahkannya gelar doktor
kehormatan, sementara Universitas
Moestopo,
Jakarta
mengukuhkan
Hamka sebagai guru besar. Namanya
disematkan untuk Universitas Hamka
milik Muhammadiyah dan masuk dalam
daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul


Karim Amrullah, Hamka sering
melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia
meninggalkan
pendidikannya
di
Thawalib, menempuh perjalanan ke
Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah
setahun melewatkan perantauannya,
Hamka kembali ke Padangpanjang
membesarkan
Muhammadiyah.
Pengalamannya ditolak sebagai guru di
sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya
berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang
dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah
Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama sementara
waktu di Medan. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan
tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali
ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat.
Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama
Hamka melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK)
menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat untuk menggalang persatuan menentang
kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski
mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur
politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil
Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar
negara. Sikap politik Maysumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin
memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden
5 Juli 1959, Hamka menerbitkan malalah Panji Masyarakat tetapi berumur pendek, dibredel
oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hattayang telah mengundurkan diri sebagai wakil
presidenberjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-

karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif
membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit
sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Seiring peralihan kekuasaan ke Suharto, Hamka dibebaskan pada Januari 1966. Ia mendapat
ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya
membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan
MUI pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya sebagai ketua. Namun, Hamka memilih
meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik
fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli
1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

5. Amir Hamzah
Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra
Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di Tanjung Pura,
Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 meninggal di Kwala
Begumit, Binjai, Langkat, Indoneia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) [a] adalah sastrawan
Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari
keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara, ia dididik di Sumatera
dan Jawa. Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, pemuda Amir terlibat dengan
gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan
setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta)
keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke
Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan

keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas


kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945,
ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun siapa nyana, pada tahun pertama
negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di
Sumatera yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah
kuburan massal.
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal,
yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke
Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan
Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya,
termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra
Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisipuisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan
Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian
sebagai buku yang diterbitkan.
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan
konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa
Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan
untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.
Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal,
sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua
koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah
disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman
Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era praRevolusi Nasional Indonesia.

KLIPING

BIOGRAFI SASTRAWAN
INDONESIA

DISUSUN OLEH
KELAS

: RIANA
: VII. B

SMP NEGERI 2 GANTUNG


TAHUN PELAJARAN 2015/2016

Anda mungkin juga menyukai