Anda di halaman 1dari 6

NH.

DINI
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936;
umur 79 tahun atau lebih dikenal dengan nama NH Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis
NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima
bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia
masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, Nah, darah
Bugisnya muncul".
NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh
dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui
bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita
padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat,
Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai
pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan. Sekalipun
sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya,
ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau masinis. Tapi
ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon
masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca
dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya,
biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia
memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa
penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin
terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak
dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI
Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di
[[RRI]Semarang dalam acara Tunas Mekar.
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah
telanjur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang
pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap
lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca
NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini
yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku

Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998),
belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan
kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah
bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum
perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia
mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang
pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan
yang panjang.'
Adapun puisi yang telah ia tulis anatara lain sebagai berikut : Februari (1956), Pesan

Ibu (1956), Kapal di Pelabuhan Semarang (1956), Kematian (1968), Berdua (1958),
Surat Kepada Kawan (1964), Bertemu Kembali(1964), Dari Jendela (1966), Sahabat
(1968), Kotaku (1968), Penggembala (1968), Terpendam (1969), Pulau yang Ditinggal
(1969), Bulan di Abad yang Akan Datang (1969), Anakku Bertanya (1969), Tetangga
(1970), Kelahiran (1970), Burung Kecil (1970),Pagi Bersalju (1970), Sesaudara (1970),
Jam Berdentang (1970), Musim Gugur di Hutan (1970) Penyapu Jalan di Paris (1970),
Yang Telah Pergi(1970), Rinduku (1970). Tak Ada yang Kulupa (1971), Le havre
(1971), Paeis yang Kukenal (1971), Mimpi (1971), Dua yang Pokok (1971), dan Kemari
Dekatkan Kursimu (1971).
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu
bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa
aneh. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Itu penilaian sebagian
orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya
yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan
sebagai karya sastra.
Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini
menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak
ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang
tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan,
sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit
sekalipun, ia terus berkarya.
Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan
melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik
penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku
sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.

Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh


bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit
padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan
catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau
mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.
Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan
menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit
tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.
Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah
Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman
panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974,
di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor,
kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak
kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan
tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar
biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA,
mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.
Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia
menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya
ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya
makan dan pengobatan.
Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering
dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat
jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang
inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh
Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya
menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain
memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah,
mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guruguru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini,
mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak
16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di
Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman,
Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar

kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari
tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka
taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan
beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca
sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan
Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan
umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok
Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa
berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga
sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang.
Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.
Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. Ia merasa
beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang
senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawarantawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.
memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi
Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar.
Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah
ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.

KATA PENGATAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Laporan ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua yang telah bekerja sama dalam
pembuatan laporan ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga laporan tentang biografi singat sastrawan NH.DINI
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Palembang , agustus 2015
Penyusun

Gambar NH.DINI

CONTOH KARYA NH.DINI

Anda mungkin juga menyukai