BIOGRAFI
Helvy Tiana Rosa lahir di Medan, 2 April 1970, Helvy hidup dalam keluarga yang sederhana.
Keluarganya bahkan pernah sempat tinggal di tepian rel kereta api yang membuat mereka harus
bertahan dengan suara bising kereta setiap saat. Hidup dalam kesederhanaan, setiap harinya
Helvy dan adik-adiknya, Asma Nadia dan Aeron Tomino, mendapatkan dongeng dan wejangan
dari ibunya yang sering kali berpesan akan optimisme hidup. Tak hanya pesan akan optimisme
hidup yang berhasil ditanamkan Helvy dalam hidupnya, namun, kemampuan dan kebiasaan
menulis ibunya yang memotivasi dirinya untuk lebih optimis dalam hidup.
Barangkali bakat menulis itu memang diturunkan dari ibunya dan telah ada sejak kecil. Dapat
membaca sejak umur lima tahun nyatanya memudahkan Helvy dalam mengerti dan memaknai
arti dari sebuah tulisan. Ia mulai semangat membaca sejak ia bisa membaca dan tahu ada tempat
persewaan buku yang memajang banyak buku. Setiap harinya, ia sempatkan untuk mampir walau
hanya sekedar melihat-lihat jenis buku yang ada.
Maklum, kebutuhan finansial keluarga saat itu hanya cukup digunakan untuk membayar uang
sekolah. Namun, bukan Helvy namanya jika ia menyerah pada apa yang ia inginkan. Menginjak
kelas 3 SD, Helvy mulai mengumpulkan buku dari hasil tabungannya. Buku-buku yang telah ia
kumpulkan lalu disewakan kepada teman-teman sebayanya agar mereka bisa dapat membaca dan
mengerti akan luasnya pengetahuan.
Benar, ketika ada suatu ungkapan bahwa dengan membaca kita akan mengetahui isi dunia dan
dengan membaca pula kita bisa menuliskan betapa luas dan beragamnya dunia. Agaknya
ungkapan tersebut memang berlaku dalam hidup Helvy, hobi membacanya kerap kali ditularkan
pada adik-adiknya.
Tak hanya itu, ia juga mulai aktif menulis puisi dan cerpen lalu mengirimkan ke redaksi majalah
anak. Benar saja, tak ada perjuangan yang sia-sia, karya Helvy banyak dimuat di majalah anak-
anak yang kemudian semakin menyemangatinya untuk terus menulis dan memberikan contoh
bagi adik-adiknya.
Helvy kecil tak hanya pandai menulis puisi dan cerpen, ia juga pandai menulis syair lagu.
Ayahnya seorang musisi dan percaya bahwa suatu saat nanti Helvy dapat menjadi seorang
penulis kenamaan Indonesia. Selama membuat syair lagu, ayahnya selalu mempercayakan Helvy
untuk memeriksa syair-syair yang kurang pas kemudian digubah.
Di sekolah, Helvy pun sering mengikuti lomba membaca puisi yang mengantarkannya menjadi
seorang sastrawan terkemuka saat ini. Di samping selalu menulis puisi dan cerpen, Helvy juga
mulai belajar seni peran yang sering kali ia lihat dan pelajari saat ia berkunjung ke Taman Ismail
Marzuki (TIM) setiap minggunya.
Perlahan-lahan bakat istri Widanardi Satryatomo di dunia sastra mulai tampak. Berbagai
kejuaraan lomba puisi berhasil ia menangkan dan berbagai pementasan seni peran juga sering ia
perankan hingga pada tahun 1990 ibu dari Abdurahman Faiz dan Nadya Paramitha ini
mendirikan Teater Bening dan sering menuliskan naskah drama untuk dipentaskan saat dirinya
berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Tak hanya aktif kuliah dan berkecimpung dalam dunia sastra, Helvy membagi waktunya dengan
bekerja sebagai redaktur majalah Annida yang merupakan majalah pelopor anak muda berbasis
reliji yang ada saat itu. Sebagai redaktur, Helvy menjadi semakin keranjingan untuk menulis dan
menulis. Karyanya banyak dimuat di majalah Annida dan berhasil mengekskusi dirinya untuk
naik jabatan menjadi seorang redaktur pelaksana.
Banyak karya Helvy yang dimuat di berbagai majalah, cerpen-cerpennya dianggap sebagai
cerpen inspiratif anak muda jaman itu. Cerpennya yang sangat fenomenal dan mendobrak dunia
sastra saat itu adalah Ketika Mas Gagah Pergi yang diterbitkan di Annida pada tahun 1993.
Cerpen tersebut bersama dengan cerpen lain Helvy yang dibukukan Annida berhasil naik cetak
puluhan kali dan dicetak dalam jumlah yang sangat banyak.
Adanya fenomena tersebut banyak sastrawan menyebutnya sebagai pendobrak dunia sastra
modern. Rupanya bakat Helvy memang tak lagi bisa diragukan meski karyanya sempat
mengalami pembajakan oleh warga Malaysia yang mengumpulkan karya-karya Helvy di
berbagai media, nama Helvy tetap berkembang dan semakin dikenal.
Hingga akhirnya pada tahun 1997 bersama dengan adiknya, Asma Nadia, Helvy mendirikan
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku. Takut diklaim sebagai usaha
keluarga, Helvy mengajak cerpenis Annida lain untuk ikut bergabung dengan perusahaan yang ia
beri nama Forum Lingkar Pena (FLP). FLP adalah sebuah tempat bagi siapapun kaum muda dari
berbagai kalangan yang ingin menjadi penulis. Melalui FLP, nama Helvy semakin dikenal di
berbagai negara. Perusahaan yang bertujuan mencari para penulis muda yang ia dirikan tersebut
akhirnya menuai keberhasilan.
Didapatkan ratusan ribu penulis muda dari berbagai pelosok kota di Indonesia turut bergabung.
Bahkan, pada tahun 2008, FLP meraih Danamon Award, sebuah penghargaan tingkat nasional
yang diberikan kepada inspirator dan inisiator yang berhasil melakukan pemberdayaan terhadap
masyarakat sekitar secara signifikan. Sebelumnya, pada tahun 2002, FLP mendirikan Rumah
Cahaya yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas membaca masyarakat dan pada tahun
2004 bergabung dengan Penerbit Mizan menjadi Lingkar Pena Publishing House. Di sana, Helvy
menjabat sebagai direktur utama PT. Lingkar Pena Kreativa tahun 2004-2011. Kini, FLP sudah
tersebar luas di pelosok Indonesia bahkan sudah sampai luar negeri seperti Hongkong, Malaysia,
dan banyak lagi.
Ditanya bagaimana mulanya ia meraih banyak kesuksesan, seperti meraih The 500 Most
Influential Muslims in The World (500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia), Royal
Islamic Studies Centre, Jordan dan Georgetown University selama tiga tahun berturut-turut
(2009-2011), Helvy mengaku bahwa bakat adalah bonus yang diberikan oleh Allah, tinggal
bagaimana individu tersebut mengasah dan melatih bakatnya, kata dosen Fakultas Sastra
Universitas Negeri Jakarta yang tengah menyelesaikan studi doktoral di tempat yang sama ini.
PENDIDIKAN
www.helvytianarosa.net
Facebook: Helvy Tiana Rosa
Twitter: @helvy
HINGGA BATU BICARA
Biarkan aku!” seru gadis itu sekali lagi sambil menatapku tajam.
Aku memandangnya lama, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ini ketiga kalinya ia berada di
tempat ini. Melakukan hal yang sangat tidak wajar. Ia bicara pada batu-batu! Ya, pada batu! Ia
bisa tampak serius, lalu tiba-tiba tertawa atau menangis sendiri. Ia membelai batu-batu.
Menggendongnya seperti menggendong bayi, memasukkan batu-batu tersebut ke dalam tas
kainnya yang kusam.
“Bukankah kalian telah merampas semua? Sekarang, biarkan aku bicara pada batu-batu itu!”
teriaknya lagi.
Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun berlalu begitu saja dari hadapan gadis itu sambil
membetulkan letak senapan laras panjang yang kusandang. Namun sampai di pos penjagaan,
beberapa meter dari tempat perempuan itu berada, mataku masih lekat padanya.
Aku tak tahu siapa perempuan itu. Diakah? Sejak pindah tugas bulan lalu dari Tel Aviv ke tanah
kelahiranku, Yerusalem, tepatnya di sekitar Al Aqsha dan Dinding Ratapan ini, hampir setiap
hari aku, juga tentara yang lain melihatnya.
“Suatu hari aku akan bersenang-senang dengannya!” ujar David, teman bertugasku di sini yang
senantiasa memproklamirkan dirinya sebagai Lohamei Herut Israel sejati. Ia menyeringai,
menampakkan gigi-giginya yang kecoklatan. “Lihat saja nanti!” serunya.
“Ya, setelah itu kita akan menghabisi perempuan gila itu!” sambung Goldstein, temanku yang
lain dengan nada dingin, sambil melipat koran Yediot Aharonot, yang sejak tadi dibacanya.
Perempuan itu memang masih muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh sampai dua puluh lima
tahun. Wajahnya cantik, seperti kebanyakan gadis Palestina, hanya sedikit lebih runcing.
Matanya kelabu, bulat dan bening. Kedua alisnya yang hitam dan tebal hampir menyatu di atas
hidung yang mencuat. Ia tinggi namun sangat kurus dan tampak semakin tenggelam dalam abaya
dan kerudung hitamnya yang besar, longgar dan lusuh. Dari jauh sosok- nya mengingatkanku
pada tiang-tiang abu-abu dan hitam yang sering kami pancangkan di perbatasan daerah
pemukiman.
“Apa yang dibicarakannya dengan…,” David tak sanggup menahan tawa, “batu-batu itu…?”
Aku mengangkat bahu. Membuka helm ‘perang’ dengan kaca plastik yang kerap menutupi
wajahku. Kini aku dapat memandang gadis itu lebih jelas. Wajah pasinya tak wajar. Kulihat ia
komat kamit, berbicara pada batu-batu itu. Tangannya cekatan menyusun bebatuan tersebut
dalam satu barisan panjang. Lalu ia memberi aba-aba, layaknya seorang komandan
mempersiapkan para prajuritnya. Perempuan itu menghentak-hentakkan kaki ke bumi, berjalan
di tempat, berulangkali. Wajahnya lurus ke depan, tepat ke arah kami. Namun pandangannya
kosong. Beberapa saat kemudian ia sudah duduk begitu saja di tanah. Menyusun batu-batu lain,
me- numpukkannya ke atas dan tersenyum-senyum sendiri. Pernah pula aku melihatnya sedang
melakukan gerakan-gerakan sembahyang. Sementara batu-batu besar dan kecil berjajar rapi di
belakang- nya.
“Selama ia cuma bicara pada batu, biarkan saja. Kita juga butuh hiburan kan?” Goldstein
mendengus, kemudian meludah.
“Kau tak akan percaya, tetapi batu-batu ini memang bicara padaku!” Gadis itu berusaha
meyakinkanku. “Kau mau tahu apa katanya?”
Mata gadis itu berubah liar. Bibirnya melengkung ke bawah. Penuh keyakinan ia berkata,
“Mereka, batu-batu itu akan membinasakan kalian, sebagaimana kalian membinasakan bangsa
kami!” Ia tertawa-tawa, sambil mengusap batu-batu itu. Makin lama makin keras. Mengikik,
menukik-nukik. Menyeramkan. Lalu tiba-tiba dingin. Angin! Tawa itu menjelma angin puyuh
yang berputar, terus berputar menggulungku…, lalu menghempaskanku ke sebuah tepian.
Tiba-tiba saja aku telah berada di tempat lain. Sekelilingku gelap. Aku berada dalam lorong
panjang yang pekat. Bulu kudukku berdiri. Aku merasakan tangan dan kakiku dingin, namun
hawa panas juga menyergapku. Keringat menetes, membasahi baju seragamku.
Hati-hati sekali aku berjalan. Aku tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Aku meraba-raba
mencari cahaya. Tertatih-tatih. Rasanya aku telah berjalan beratus-ratus jam, sampai kulihat
setitik sinar.
Detak jantungku makin keras. Setengah memicingkan mata, perlahan aku menghampiri sumber
cahaya tersebut. Tiba-tiba kudengar suara-suara isakan. Erangan-erangan yang memenuhi
segenap ruangan. Lalu tangisan, jerit kesakitan dan teriakan his- teris yang tak putus-putus.
Dan… aku nyaris terpekik. Aku biasa melihat mayat, namun tak sebanyak ini! Di hadapanku kini
kulihat ratusan mayat bergelimpangan. Semakin lama semakin banyak. Menjadi ribuan dan terus
bertambah lagi. Mayat-mayat itu berjejalan, seperti ikan-ikan sardin dalam kaleng. Darah terus
menetes-netes dari tubuh-tubuh itu. Anyir. Mengental, menganak sungai. Beberapa kali aku
terpeleset, dan jatuh di atas mayat-mayat itu.
Suara ayah, para rabbi dan erangan-erangan tadi seperti berebutan menarik-narik kedua
kupingku. Aku merasa kupingku meleleh. Pandanganku kabur.
Samar, kulihat gadis itu. Wajahnya beku. Ia tak bicara. Hanya buliran bening di matanya jatuh
menetes membasahi tanah dan batu-batu di sekitar yang telah meresap darah.
Batu-batu itu! Batu-batu itu bergerak, perlahan membubung ke atas. Aku terperanjat! Batu-batu
itu beterbangan! Mereka menuju ke arahku! Mereka berlomba-lomba mengejarku. Aku berlari di
atas mayat dan tulang-tulang berserakan. Tenagaku tinggal sisa-sisa. Kakiku perlahan membeku.
Semakin kaku.
Aku terjatuh. Terjerembab di atas mayat para kanak-kanak yang membusuk. Dan sebuah batu
yang paling besar sekonyong-konyong akan menimpa kepalaku. Aku terbelalak. Tak percaya,
kulihat kedua mata yang tiba-tiba tampak pada batu itu. Mata! Batu itu punya mata! Juga mulut!
Ia bahkan bersuara! Ia terus memanggil-manggil namaku.
“Aaaaaaaaaaaa!”
Belum pukul dua dini hari. Gadis itu. Gadis yang berbicara dengan batu-batu. Mengapa aku
memimpikannya? Aku mengusap peluh di dahi. Mimpi-mimpi seram telah memilihku menjadi
tempat persemayaman sejak aku berada di tanah ini dan semakin menjadi-jadi sejak aku mulai
bertugas lima tahun lalu. Sungguh, kami telah begitu karib. Tak pernah ada hal buruk yang
terjadi padaku sesudah mimpi-mimpi seram itu datang. Jadi…, secara logika, aku harus
meneruskan tidurku. Meneruskan hidupku.
Namun gadis itu…dan batu-batu yang berterbangan, kini berpindah dari dalam mimpi ke langit-
langit kamarku. Membentuk bayang-bayang aneh bersama lambaian pepohonan yang dibawa
cahya rembulan masuk, melalui celah jendela.
Aku melihat seorang lelaki bersimbah darah, merangkak tertatih mendekati mayat seorang
perempuan sebayanya. Di sisi mayat perempuan tersebut, seorang gadis kecil seusiaku menangis
sesenggukan. Ia membuang boneka kain yang sejak tadi bersamanya dan memeluk jasad ibunya
yang kaku dengan segenap jiwa. Lalu ia menatap ayahnya, meratap parau.
“Jangan menangis, Hanan? Ja… ngan… menangis…, kau masih ingat cerita ayah tentang batu-
batu…itu?” Lelaki itu berusaha tersenyum sambil terus merayap. Perlahan ia menjatuhkan
badannya di samping mayat istrinya. Sebelah tangannya meng- genggam tangan sang istri.
Sebelah lagi, yang luka dan berlumuran darah membelai wajah gadis kecil bernama Hanan itu.
“Lelaki utama itu sudah mengatakannya, bannatii…, kiamat tak akan datang sampai tiba
pertempuran kita dengan mereka. Hingga…seluruh batu berbicara dan memberitahu kita: ya
hamba Allah, ini Yahudi di belakangku! Mereka tak akan… bisa sembunyi, Nak. Batu-batu dan
semua tentara Allah di alam ini akan membantu kita….”
“Abi!”
Dari balik pintu yang rapuh, aku melihat lelaki itu tak bergerak lagi. Dan Gadis delapan tahunan
itu menjatuhkan kepalanya di dada sang ayah.
“Yatom! Yatom!”
Aku terperanjat. Lututku gemeretak. Sekilas kulihat gadis itu memandang ke arah pintu dan
menemukan wajahku di sana. Matanya sembab. Kedua pipinya yang merah jambu, kini benar-
benar merona darah ayahnya.
“Anak nakal!” Suara ayah menggelegar. Ia menjewer dan nyaris menendangku dengan sepatu
larsnya.
“Tapi…, Ayah…,” aku mengusap keringat dingin di dahiku. Sementara gadis kecil itu menatap
kami dengan pandangan penuh tanya yang menusuk.
“Setelah dibersihkan, besok rumah ini bisa kita tempati. Ayo, beritahu ibumu!” seru Ayah tak
peduli.
Aku menatap gadis itu lagi dan menemukan diriku yang masih gemetar, tenggelam dalam bulat
matanya. Dan wajah runcing kanak-kanaknya memperlihatkan garis-garis tegar, tarikan-tarikan
keras. Aku merasa nyeri dan teriris-iris. Betapa pedih ditinggal ayah dan ibu. Bahkan bila kau tak
menyukai mereka!
Ya, aku menyaksikan sendiri! Ayahku telah membunuh ayah gadis itu. Teman-teman ayahku
menelanjangi sebelum membongkar tubuh ibunya, hingga darah bercipratan di mana-mana dan
tentara yang lain mengobrak abrik tempat ini dengan bengis.
“Mengapa… kita… harus tinggal… di sini, Ayah?” tanyaku ketika berlalu. Ah, aku selalu gagap
bila berbicara dengan Ayah.
“Sebab ini tanah yang dijanjikan untuk kita dan besok rumah ini menjadi milik kita, “Ayah
mengusap kumisnya yang lebat. “Yatom, apa pun yang terjadi kau harus jadi seperti aku dan
membela tanah ini. Sekarang coba sebutkan satanim atau harar!” perintahnya.
Setiap kali bicara, Ayah selalu menjelma raksasa yang menelanku bulat-bulat. Ketika aku
menjadi tentara lima tahun lalu, ia masih seorang raksasa. Hingga kini. Bagiku, tak seorang pun
mampu menghadapinya!
Keluargaku mulai menempati rumah itu dua hari kemudian. Kami membuat rumah tersebut
tampak lebih bagus dan nyaman. Pintu rapuh itu telah berganti dengan pintu baru yang kokoh.
Ibu menghias semua ruangan, diantaranya dengan perabotan yang diplitur mengkilap. Tetapi
tetap saja aku sering bergidik membayangkan bahwa pernah ada mayat yang terkapar di sana.
Sementara itu si gadis kecil entah ke mana. Aku menemukan boneka kainnya dalam keadaan
kotor dan lapuk, di samping rumah. Beberapa kali, kala senja, aku memergokinya tengah
memandangi tempat tinggal kami dari jauh. Ia tampak kurus, kumuh dan tak terurus. Bajunya
campang-camping, wajahnya penuh debu. Samar, kulihat sebongkah batu dalam genggaman
tangannya yang mungil.