Anda di halaman 1dari 10

Hafalan Shalat Delisa

Hafalan Shalat Delisa


Sutradara

Sony Gaokasak

Produser

Chand Parwez Servia

Penulis

Armantono

Berdasarkan

Hafalan Shalat Delisa oleh Tere Liye

Pemeran

Nirina Zubir
Reza Rahadian
Chantiq Schagerl
Al Fathir Muchtar
Mike Lewis
Loide Christina Teixeira
Ghina Salsabila
Reska Tania Apriadi
Riska Tania Apriadi

Distributor

Kharisma Starvision Plus

Tanggal rilis

22 Desember 2011

Durasi

150 menit

Negara

Indonesia

Hafalan Shalat Delisa merupakan film drama Indonesia yang dirilis pada 22
Desember 2011 yang disutradarai oleh Sony Gaokasakserta dibintangi oleh Nirina
Zubir dan Reza Rahadian. Film ini diangkat dari novel laris karya Tere Liye dengan judul
yang sama. Seluruh pengambilan adegan film ini dibuat di Aceh.

Sinopsis[sunting | sunting sumber]


Delisa (Chantiq Schagerl), gadis kecil kebanyakan yang periang, tinggal di Lhok Nga, sebuah
desa kecil yang berada di tepi pantai Aceh; dan mempunyai hidup yang indah. Sebagai anak
bungsu dari keluarga Abi Usman (Reza Rahadian), ayahnya bertugas di sebuah kapal tanker
perusahaan minyak internasional. Delisa sangat dekat dengan ibunya yang dia panggil Ummi
(Nirina Zubir), serta ketiga kakaknya yaitu Fatimah (Ghina Salsabila) dan si kembar Aisyah
(Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi).
Pada 26 Desember 2004, Delisa bersama Ummi sedang bersiap menuju ujian praktek shalat
ketika tiba-tiba terjadi gempa. Gempa yang cukup membuat ibu dan kakak-kakak Delisa
ketakutan. Tiba-tiba tsunami menghantam, menggulung desa kecil mereka, menggulung
sekolah mereka, dan menggulung tubuh kecil Delisa serta ratusan ribu lainnya di Aceh serta
berbagai pelosok pantai diAsia Tenggara.
Delisa berhasil diselamatkan Smith (Mike Lewis), seorang prajurit Angkatan Darat AS,
setelah berhari-hari pingsan di cadas bukit. Sayangnya luka parah membuat kaki kanan
Delisa harus diamputasi. Penderitaan Delisa menarik iba banyak orang. Smith sempat ingin
mengadopsi Delisa bila dia sebatang kara, tapi Abi Usman berhasil menemukan Delisa.
Delisa bahagia berkumpul lagi dengan ayahnya, walaupun sedih mendengar kabar ketiga
kakaknya telah pergi ke surga, dan Ummi belum ketahuan ada di mana.
Delisa bangkit, di tengah rasa sedih akibat kehilangan, di tengah rasa putus asa yang mendera
Abi Usman dan juga orang-orang Aceh lainnya, Delisa telah menjadi malaikat kecil yang
membagikan tawa di setiap kehadirannya. Walaupun terasa berat, Delisa telah mengajarkan
bagaimana kesedihan bisa menjadi kekuatan untuk tetap bertahan. Walau air mata rasanya tak
ingin berhenti mengalir, tapi Delisa mencoba memahami apa itu ikhlas, mengerjakan sesuatu
tanpa mengharap balasan.[1]
Pemeran[sunting | sunting sumber]
Delisa - Chantiq Schagerl
Abi Usman - Reza Rahardian
Ummi Salamah - Nirina Zubir
Fatimah - Ghina Salsabila
Aisyah - Reska Tania Apriadi
Zahra - Riska Tania Apriadi
Prajurit Smith - Mike Lewis

Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam
kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4
bidadari yang solehah: Alisa Fatimah (si kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah dan si bungsu
Alisa Delisa.

Setiap subuh Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadarinya sholat jama'ah. Karena Abi
Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - Arun
yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh.
Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama'ah Aisyah
mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa
mengikuti bacaan sholat itu.

Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anakanaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa
yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat
dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi
Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat
dengan sempurna

Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas
dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu.
Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa Delisa tak pernah bisa
menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

26 Desember 2004

Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna
kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud
empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya
waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh
ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju Delisa akan
khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan
sahabat-sahabatnya.

"Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu." Nah jadi kalian sholat
harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar tetap khusuk.

Delisa pelan menyebut "ta'awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat


tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu
Akbar".

Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram
persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang.
LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan
kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat.
Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.

Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika.
Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa tepat ketika Delisa mengucapkan
kata "wa-ma-ma-ti" lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis
lepas berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolakbaliknya Lhok Nga bergetar terbolak-balik.

Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di
lantai satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan
ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!

"Innashalati wanusuki wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya wa-ma-ma-ti..."

Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah Delisa takut... Delisa
gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah.
Tapi bukankah kata Ustadz Rahman sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat
ketika punggungnya digigit kalajengking?

Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan
sholat dengan sempurna Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk ya Allah...

Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok
itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas
menunggui Delisa berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak
mempedulikan apa yang terjadi. Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang
tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa
mengerti apa yang diinginkan Delisa membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap
menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan diri membaca
takbir setelah "i'tidal..." "Al-la-hu-ak-bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak
peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.

Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu tepat sebelum kepalanya menghantam
tembok itu selaksa cahaya melesat dari "Arasy Allah." Tembok itu berguguran sebelum
sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai
masuk menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa
terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan
tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna
pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya
penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.

Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam Ibu Guru Nur melepas kerudung
robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan
kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti melepaskan papan itu dari tangannya
pelan-pelan sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.

"Kau harus menyelesaikan hafalan itu sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap
sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput
syahid.

Minggu 2 Januari 2005

Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di
semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith seorang
prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar tubuhnya
dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya berkemilau menakjubkan! Delisa segera
dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi kaki kanannya diamputasi. Siku

tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya dibalsem
tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.
Aisyah dan Zahra mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah
ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya
memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan
untuk menjadi mu'alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti
namanya menjadi Salam.

Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan
Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tendatenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan
berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan
sangat sederhana.

Delisa kembali bermain bola Delisa kembali mengaji Delisa dan anak-anak korban tsunami
lainnya kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal
bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang
kesulitan melakukan kebaikan itu mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas!
Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan
Delisa.

21 Mei 2005

Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat
dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa
dengan sempurna. Usai sholat Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia
menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di
atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan bukit itu
Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ.

Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas
kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya.
Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di
seberang sungai.

Kemilau kuning. Indah menakjubkan memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu
terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah!
Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D
untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut di tangan.
Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Utuh.
Bersandarkan semak belukar itu.

UMMI...............

Terima Kasih TElah Membaca... :)


~3

Film "Hafalan Shalat Delisa" Berkisah Tentang Tsunami Aceh


Rabu, 28 Desember 2011 22:05

net

TANGGAL 22 Desember lalu, ada dua momen yang dilaksanakan berbarengan dengan
peringatan tujuh tahun tsunami Aceh, yang pertama adalah Seminar Nasional bertajuk
"Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Manajemen Bencana" dalam rangka refleksi
(lesson learned) 7 Tahun Tsunami Aceh dan Arahan Kebijakan Manajemen Bencana di
Indonesia yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan

sekaligus pemutaran perdana di bioskop film fiksi tentang tsunami Aceh yang berjudul
"Hafalan Shalat Delisa."
Seminar Nasional ini menghadirkan keynote speech Prof. Dr. Sudibyakto (Unsur Pengarah
BNPB) dengan materi Peluang dan Tantangan Perguruan Tinggi dalam Manajemen Bencana
(Belajar dari Negara Maju dan Indonesia), dan pemateri berikutnya yaitu yaitu Ir. Budi
Atmadi Adiputro (Sekjen PMI Pusat) dengan materi Lesson Learned dari Pengalaman
Menangani Bencana Tsunami Aceh, Dr. Danang Sri Hadmoko, M. Sc (UGM) dengan materi
Risiko Multi Bencana di Indonesia, Prof. Sarwadi, MSCE, Ph. D (Guru Besar UII/Pengarah
BNPB) dengan materi Lesson Learned Hasil Monev Penanggulangan Bencana di Indonesia.
Acara seminar ini juga sekaligus dengan Pembentukan Student Association for Disaster
Management (Asosiasi Mahasiswa Peduli Bencana) dari beberapa universitas di Indonesia.
Seminar ini dihadiri hampir 300-an peserta yang memenuhi ruang seminar Lantai 5 Gedung
Lengkung Pascasarjana UGM. Dari beberapa pemateri, saya mencatat beberapa poin penting
dari pemaparan Pak Budi (Sekjen PMI Pusat) yang di awal presentasi memutar film
dokumenter bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi. Pak Budi pernah menjabat sebagai
Kepala Staf Darurat Operasi yang sehari-hari memimpin operasi tsunami di Aceh selama
hampir 3 bulan pertama bencana. Menurut Pak Budi ada tiga kata kunci yag menjadi konsep
dalam manajemen bencana yaitu cepat, tanggap, dan terkoordinir. Dan juga yang penting
yaitu masalah kemanusiaan harus diutamakan di atas segala kepentingan seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya.
Film "Hafalan Shalat Delisa"
Film Hafalan Surat Delisa yang diputar perdana serentak di seluruh jaringan bioskop pada
Kamis (22/12/2011) diangkat dari novel laris berjudul sama karya Tere Liye yang disutradarai
Sony Gaokasak dan diproduseri Chand Parwez Servia (Starvision). Pengambilan gambar
dilakukan di Ujung Genteng, Sukabumi Selatan. Penyanyi Aceh, Rafli juga ikut terlibat
dalam film ini dan menyanyikan musik pengiring film.
Dikisahkan bahwa Delisa (Chantiq Schagerl) sedang mengikuti ujian praktik hafalan shalat di
sekolahnya saat tsunami menghantam kawasan Lhoknga, Aceh Besar. Saat itu, Delisa
mengingat kata ustad Rahman (Fathir Muchtar) untuk khusyuk atau fokus saat beribadah,
sehingga Delisa tidak mendengar teriakan Ummi dan orang tua lainnya di sekolah saat itu
untuk menyelamatkan diri dari tsunami dan meninggalkan ujian praktik hafalan shalat.

Delisa hanyut dan akhirnya ditemukan oleh relawan dari AS, Smith (Mike Lewis). Kaki kiri
Delisa luka dan terpaksa harus diamputasi. Delisa tinggal sebatang kara hingga ayahnya, Abi
Usman (Reza Rahardian) yang selamat karena bekerja di kapal menemuinya di rumah sakit.
Ayahnya selamat sedangkan Ummi (Nirina Zubir) dan ketiga kakak Delisa, Fatimah (Ghina
Salsabila), Aisyah (Reska Tania Apriadi), dan Zahra (Riska Tania Apria) serta teman
sepermainannya banyak yang menjadi korban tsunami. Walaupun kakinya tinggal satu,
Delisa tetap mampu bertahan dan memberi semangat kepada teman-teman dan orang-orang
yang disayangi untuk tidak mudah putus asa.
Saat saya menonton, banyak keluarga yang membawa anaknya dan pemuda-pemudi muslim
yang jarang ke bioskop mengkhususkan diri untuk menonton film ini karena kisah tsunami
Aceh dan kisah agama yang diangkat. Tapi film ini menurut saya minus riset tentang kondisi
di Aceh saat tsunami dan konteks budaya.

Sinopsis Novel Hafalan Salat Delisa


Kategori : Novel Indonesia, Tere Liye

Penulis: Tere Liye


Penerbit: Republika
Tahun Pertama Terbit: 2007
Jumlah Halaman: 248

Novel manis yang satu ini mengangkat kisah seorang bocah perempuan bermata
hijau telaga yang baru berusia 6 tahun. Gadis cilik tersebut bernama Delisa. Ia
merupakan anak bungsu di dalam keluarganya. Adapun kakak-kakan Delisa adalah
Cut Fatimah, Cut Zahra dan juga Cut Aisyah. Keluarga Delisa berdomisili di Lhok Nga.
Delisa dan saudara-saudaranya hanya tinggal bersama Ummi, sebab sang Abi
bekerja sebagai mekanik kapal yang berbulan-bulan ikut di kapal yang berlayar.
Meski merindu, tetapi Delisa tetap menjalani hari-hari mereka tanpa sang Abi. Suatu
hari Delisa mendapat tugas dari sekolahnya. Tugas tersebut adalah menghafal
bacaan salat. Delisa giat sekali menghapas bacaan-bacaan tersebut. Terlebih ummi
menjanjikan ia hadiah jika Delisa berhasil menghafal baccan tersebut. Hadiah yang
membuat Delisa semangat adalah kalung emas yang dijual di toko Ko Acan. Ko Acan
sendiri merupakan sahabat Abi Delisa.
Tanggal 26 Desember tahun 2004, Delisa dan semua teman seisi kelasnya
dijadwalkan mempraktekkan hafalan solat yang telah mereka hapalkan beberapa
waktu. Saat tiba giliran Delisa, sembari mengucapkan bacaan solat, tiba-tiba bumi
bergetar hebat. Semua tampak gonjang ganjing. Dan seketika, air laut mulai naik ke
daratan dengan ganasnya. Ia bagai tangan raksasa yang merengkuh segala yang ia
jumpai. Bencana tersebut adalah gempa hebat yang disusul tsunami. Kurang lebih
15.000 orang yang meninggal akibat bencana ini. Termasuk di dalamnya Ummi dan
kakak-kakan Delisa.
Delisa sendiri selamat. Ia tersangkut di semak belukar. Siku kanan bocah tersebut
patah dan kakinya bagian kanannya terjepit di bebatuan. Setelah 6 hari terjebak di
tempat terebur, Delisa kemudian ditemukan oleh seorang prajurit relawan bernama
Smith. Delisa yang dilihatnya sangat bercahaya kemudian membawa prajurit
tersebut untuk masuk Islam.
Karena suasana yang kacau balau, Abi yang telah mengetahui bencana tersebut tak
bisa menemukan Delisa. Ia menghabiskan beberapa waktu sebelum akhirnya
bertemu gadis mungilnya. Saat bertemu Abinya, Delisa bercerita layaknya anakanak yang tak mengerti apa-apa. Bencana tak menghapus keceriannya. Termasuk
saat kaki kanan Delisa harus diamputasi, semuanya tak berhasil membuat ia
murung. Ia bersama Abi menjalani hidupnya. menata dari awal. Meski jasad Ummi
dan ketiga kakaknya belum ditemukan, tapi Delisa dan Abi harus hidup normal,
begitu pikirnya.
Suatu waktu Delisa melihat ada sebuah pantulan cahaya yang mengganggu
penglihatannya. Karena penasaran, Delisa pun mendekat. Dan tak disangka, cahaya
tersebut merupakan pantulan kalung dengan huruf D. Dan kalung tersebut berada
dalam pegangan seseorang. Ummi Delisa sendiri.
Kisah novel ini sangat menyentuh. Layak untuk Anda hadiahkan bagi keluarga
terdekat utamanya anal-anak yang sedang menghafalkan bacaan solatnya. Buku ini
bisa menjadi motivasi bagi mereka. Selamat berburu novel Hafalan Salat Delisa ya

Anda mungkin juga menyukai