Anda di halaman 1dari 3

https://bukurepublika.

id
Judul: Si Anak Badai
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika Penerbit
Cetakan: Pertama, Agustus 2019
Tebal: iv+318 Halaman
ISBN: 978-602-5734-93-9

Buku-buku karya Tere Liye memang tidak pernah mengecewakan, termasuk karya terbarunya yang
satu ini. Buku ini merupakan buku ke enam dari Serial Anak Nusantara, berbeda dengan keluarga
sebelumnya, kali ini menceritakan keluarga Mamak Fatma, Bapak Zul, dan tiga anaknya, Za, Fatah
dan Thiyah.
Di Kampung Manowalah cerita ini bermula, rumah-rumah warga, masjid, bahkan sekolah, berada di
atas air dengan tiang-tiang sebagai penyangga. Mereka menggunakan perahu kecil untuk bepergian
juga terdapat jembatan dari kayu ulin sebagai penghubung ke daratan atau dari rumah satu ke rumah
lainnya. 
Setiap hari libur, geng Si Anak Badai yaitu Za, Ode, Malim, dan Awang  gemar menanti kapal di bale
pinggir sungai, sekali kapal terlihat dan membunyikan klakson, mereka bergegas menyelam,
melambai-lambai pada penumpang kapal agar melemparkan koin ke bawah, kemudian mereka
berloma-lomba menangkapnya. Di antara mereka, Awang yang paling pandai berenang dan
menyelam.
Namun situasi berubah sejak kedatangan Pak Alex, anak-anak Kampung Manowa menyebutnya
Bajak Laut, karena matanya ditutup satu. Pak Alex menginginkan Kampung Manowa dijadikan
pelabuhan besar sebab letaknya yang strategis, sekolah-sekolah dihancurkan, rumah warga
dipindahkan dengan semena-mena, bahkan Pak Kapten yang berusaha mencegah hal tersebut pun
ditangkap. Tapi semua itu batal akibat keberanian dan ide cerdas geng Si Anak Badai, mereka
mencari cara untuk mempertahankan Kampung Manowa.
Buku ini menyajikan begitu banyak pesan moral, persahabatan, pendidikan, gotong-royong, dan
kekeluargaan. Serta yang tidak akan terlewatkan adalah bab Seberapa Besar Kasih Sayang Mamak.
Pernah Mamak memasak tumis kangkung namun hambar rasanya, tempe goreng gosong, tidak
membuat sarapan karena sibuk menjahit baju kurung ibu-ibu grup rebana. Tapi di sinilah tokoh Bapak
berperan, Bapak selalu memuji masakan Mamak, bilang bahwa masakannya lezat.
"Kalian lihat sendiri, Mamak menjahit siang dan malam. Mamak pasti capek. Mesin perahu saja kalau
dipaksa menyala terus-menerus akan sangat panas. Bisa-bisa meledak. Padahal itu mesin perahu, yang
kerjanya itu-itu saja. Oi, Mamak sebaliknya, dia juga harus mencuci baju, menyetrika, membersihkan
rumah, menyiapkan makanan. Mamak melakukan segalanya di rumah ini, bukan? Hebatnya, mamak
kalian melakukan hal yang luar biasa itu di tengah kesibukannya menjahit. Maka rasa hambar yang
tidak enak itu di lidah Bapak malah terasa lezat," (Hal 122).
Tere Liye juga mengangkat kisah Nabi Nuh dengan kapal besarnya, menjelaskan dengan bahasa yang
lembut bahwa di dunia ini banyak yang kita tidak ketahui, mengapa salat magrib tiga rakaat,
sementara salat subuh dua rakaat. Mengapa ikan bisa berenang, sementara burung bisa terbang.
Ilmu Allah sangat luas, ibarat kita mencelupkan telunjuk kita di laut, lalu kita angkat telunjuk itu,
maka air yang menempel di telunjuk kita adalah ilmu yang Allah anugerahkan. Sedangkan air lautan
yang tak terhingga banyaknya, itulah ilmu Allah. (Hal 58)
Nilai pendidikan juga diselipkan lewat kisah Malim yang mendadak tidak masuk sekolah, sudah
sebelas hari Malim bolos. Za, Ode, dan Awang selalu menemui Malim, di rumahnya, di pinggir
sungai, untuk membujuknya agar mau kembali ke sekolah, sampai-sampai Malim mendorong Za
hingga tercebur ke sungai saking geramnya, namun mereka tidak menyerah, seperti kata Bu Rum,
seorang teman tidak akan meninggalkan temannya sendirian, (Hal 191).
Ternyata Malim menganggap sekolah itu tidak penting. Malim memilih mencari uang setiap hari,
menunggui kapal, memancing, hingga Malim kelelahan dan tenggelam saat melambai pada
penumpang. Berkat pertolongan teman-temannya yang setia dan tak pernah meninggalkan, Malim
akhirnya mau kembali ke sekolah.
Buku yang sangat menginspirasi dan menyentuh para pembaca, cerita yang dikemas dengan sangat
menarik, cocok dibaca untuk semua kalangan. Dengan keunikan karakter tokoh-tokohnya, Tere
Liye mencoba menjawab pertanyaan yang biasa dilontarkan anak-anak, mengapa sekolah itu penting,
mengapa rezeki setiap orang berbeda-beda.
Di antara kesibukan dan keterbatasan fasilitas, warga Kampung Manowa selalu salat berjamaah di
masjid, anak-anak rutin mengaji selepas magrib di rumah Guru Rudi. Pembaca dapat terbawa suasana
dalam cerita, keluarga yang kompak, kehidupan yang sederhana, persahabatan yang setia, juga
kerukunan warga kampung.
Bahasa yang digunakan pun mudah dipahami anak-anak yang membacanya. Buku ini sangat memberi
teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai