Anda di halaman 1dari 9

Sepotong Cinta dalam Diam

Karya Asma Nadia dalam kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa

Jakarta, tahun pertama


Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap dalam
bungkam.
Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam cinta. Sebab
cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu
dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya cinta.
Tapi aku memang tidak punya pilihan.
Maafkan!

SEBUAH bingkisan dan sepucuk surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan
keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka lebar. Sementara
mulutnya sejak tadi menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua bola mata gadis itu tak
beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat yang ditempel menyatu dengannya.
Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya pagi ini dari tukang pos, lelaki tua
yang mengayuh sepeda dengan susah payah. Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu masih
bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda, sementara tukang pos yang lain telah lama
meninggalkan kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.
“Buat siapa, Pak?”
Tukang pos itu tak menjawab. Hanya memintaku menerima paket kesasar itu.
“Kok nggak ada namanya, Pak? Yakin buat di sini?”
Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya pada alamat lengkap yang tertulis di bagian atas
amplop yang menempel pada sebuah paket.
Jl. Kebon Kosong Gg. I no 10 A.
Kemayoran, Jakarta Pusat
Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya. Sejak dulu lelaki itu tak
pernah banyak bicara. Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat. Jadi sama sekali
bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya dengan sedikit bicara atau sekedar menyodorkan
amplop. Lagipula tidak akan ada yang memberinya bonus lebih seandainya ia bersikap ramah
dan sedikit berbasa-basi.
Dee tidak menyalahkan si tukang pos yang tanpa ragu menyodorkan sebuah bingkisan dengan
sepucuk surat menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya memang tertera jelas.
Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa langkahnya masuk ke dalam rumah
sambil menenteng paket dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh tiga tahun itu
menjatuhkan paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis lainnya sedang asyik menonton tivi.
Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga gadis kaget, melupakan tontonan seru
Oprah Winfrey’s Show dan berebut lebih dulu mengambil paket yang jatuh. Andra yang pertama
berhasil merebut paket yang jatuh dekat pangkuan Ita. Hiruk-pikuk segera terjadi.
Ita berusaha merebut paket yang jatuh di pangkuannya sebab mengira itu memang ditujukan Dee
untuknya. Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung. Adegan a la anak kecil itu
berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee. Sayang semua menjadi antiklimaks ketika
Andra, Ita, dan Anik tak menemukan nama yang dituju sang pengirim. Amplop yang menempel
pada bingkisan itu kosong. Hanya ada sebuah alamat yang ditulis tangan.
Ketiganya lalu mengalihkan pandangan pada Dee yang barusan menjatuhkan badan ke sofa.
“Dee, paket siapa, nih?”
“Kok nggak ada nama pengirimnya?”
“Boro-boro pengirim. Nama yang dituju aja nggak ada!”
Dee tersenyum, menegakkan duduknya. Kepala gadis itu dicondongkan ke depan, hingga
berhadapan cukup dekat dengan wajah ketiga temannya.
“Aneh kan?”
Andra, Ita, dan Anik mengangguk.
“Memang aneh!”
Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa geli sendiri.
“Tidak lucu!” Andra serta-merta menukas.
Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya pasti memang ingin membuat
bingung kita!”
Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu merebut bingkisan di tangan Anik, lalu
mendekatkannya ke telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak mendengar suara detak
jam dari dalam bingkisan.
“Aman!”
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet dan punya banyak ide
langsung mengajukan usul.
“Kita buka saja!”
Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.
“Kita nggak bisa membuka paket yang bukan untuk kita, Dee. Itu namanya lancang dan tidak
amanah!”
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar lagi.
“Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi, gimana? Siapa tahu penjelasannya ada di dalam
bingkisan ini?”
Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita nggak boleh membuka bingkisan ini,
kecuali memang yakin milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah. Mungkin saja
kan pengirimnya salah menulis alamat.
Ya, memang mungkin.
Dee mengerutkan kening, bibirnya bergumam tak jelas, khas gadis itu jika sedang berpikir keras.
“Jadi gimana dong?”
Kali ini Ita yang paling tua di antara mereka angkat bicara,
“Kita biarkan dulu tiga hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos kembali dan mengatakan paket ini
salah alamat. Simpan saja sementara ini. Ok?”
Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun sebetulnya ingin menolak, tapi tak
berdaya. Sebab tiga rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka beramai-ramai mereka
menaruh paket misterius itu ke atas lemari. Lalu memandanginya lama.
***
Jakarta, tahun ketiga
Perempuan,
Hari-hariku adalah penantian. Perasaan gelisah yang kupikir tidak mungkin ada kini menjadi
rutinitas yang harus kuhadapi.
Dulu, aku memang menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta, untuk apa? Aku orang miskin yang
harus menyelesaikan sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak, salah satu perempuan
yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.
Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.
Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Tak jarang aku merasa seperti kapal
kecil yang berjalan tanpa rasi bintang. Terapung-apung, sesekali membentur karang, dan harus
berbalik arah.
Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.
Hatiku begitu saja bicara:
Kau adalah perempuanku. Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.
HARI KETIGA, Dee mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu menimang-nimangnya. Hatinya
menebak-nebak isi bungkusan di tangannya.
Tidak terlalu berat. Tidak sampai satu kilo. Dee tahu pasti sebab barusan ia menaruh bingkisan
itu di timbangan. Rasa ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu. Seharusnya teman-
temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba menemukan jawaban di dalamnya. Siapa tahu
ada label nama pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?
Dee menimang-nimangnya lagi, lalu hati-hati meletakkan bingkisan itu di pinggir ranjang.
Matanya menyusuri huruf demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu tegas, tegak lurus,
dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru bahasa Indonesianya waktu SMA dulu.
Tulisan orang zaman dulu, begitu teman-temannya sekelas biasa bercanda.
Pasti penulisnya seorang yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan di atas amplop memang jauh dari
modern. Begitupun pilihan amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah mengapa itu
menyiratkan sesuatu yang dalam.
Dee melihat lebih dekat amplop berwarna biru itu. Tampak guratan-guratan bekas lipitan, juga
warna biru yang agak pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak bertahun-tahun sebelum tiba
di rumah ini.
Dee tahu, ia tak bisa lagi menunggu.
Tangan gadis itu menyobek pinggiran kertas coklat dan meraih sebuah amplop yang meluncur
dari dalamnya. Namun baru sedikit ia membaca, terdengar langkah mendekati kamar. Ketika Dee
mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan tangan terlipat di dada, berdiri
gagah di pintu. Terlambat, Dee tak sempat menyembunyikan surat yang sedang dibacanya. Tak
ada kesempatan lagi. Ita langsung merebut dan mengembalikan surat yang juga tampak lusuh
dan penuh lipitan dan menaruhnya di atas bingkisan.
“Curang!”
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita menekuk muka mereka. Kegusaran
tergambar jelas, bahkan di dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.
“Kamu tidak amanah, Dee!”
Duh, kata ajaib itu lagi.
Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras merah, seperti maling jemuran yang
kepergok. Malu dan tak enak hati.
“Maafkan aku.”
Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang
membela diri, toh ia memang bersalah.
Empat orang gadis di dalam kamar termangu.
Bingkisan coklat dan amplop berisi surat tergeletak telentang. Beberapa amplop lagi barusan
meluncur dari dalam bingkisan yang sobek. Dee memandangnya dengan perasaan ingin tahu
yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini memetakan sederet tanda tanya di
kepalanya.
“Maafkan aku,” Dee memecah keheningan, “tapi tidak mungkin berharap kemajuan hanya
dengan menunggu. Sudah tiga hari lebih.”
Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu manggut-
manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak gelisah. Dee tertawa dalam hati, ia
kenal kedua sahabatnya itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya dengan dirinya. Surat-
surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.
“Surat itu indah, kalian harus membacanya.” Dee kembali memancing.
Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang bagian pinggirnya sudah disobek.
Dee sungguh menyebalkan!
Andra menarik nafas panjang. Lucu memang. Bingkisan itu bukan milik mereka. Aneh,
bagaimana rasa penasaran mereka terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara.
“Masalahnya, kita nggak berhak, Dee. Aku bukannya nggak penasaran. Surat ini, kalau benar
indah seperti katamu, hanya milik satu orang. Membacanya lebih dulu akan mengurangi rasa
hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya.”
Gagal lagi.
Dee memejamkan matanya. Terbayang sosok lelaki tanpa nama yang menanti di dekat jendela,
berharap balasan atas surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa nama, bertopang
dagu, mendekap rindu.
Dee tak sabar!
Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan mata menukik.
Sebuah bingkisan berwarna coklat dan beberapa pucuk surat. Dee menatapnya tak berkedip.
***
Jakarta, tahun kedelapan
Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan kepada
siapa cinta harus tumbuh? Tak ada!
Sebab cinta adalah anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan keyakinan penuh, aku menjatuhkan
pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau mengubah pilihan yang telah
dibuat. Aku adalah lelaki yang memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang kubuat.
Tak ada kata mundur.
Mereka bilang mustahil. Barangkali ada benarnya.
Tapi bukankah Tuhan adalah tempat bagi semua kemustahilan? Itulah kenapa, dalam iman yang
tak seberapa selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa pada-Nya. Cita-cita untuk
bisa menjadi tua bersamamu.
Adapun penantian panjang yang kulalui biarlah menjadi bagian sejarah betapapun sakit dan
membuatku tersiksa. Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di atas luka tersiram
cuka.
Untunglah,
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.
DEE termangu. Andra dan Ita menahan nafas, sementara Anik mengusap airmata.
Tidak penting lagi diceritakan bagaimana akhirnya mereka berempat bisa mendapatkan kata
sepakat untuk sama-sama membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam alunan ‘Knife’, lagu 80-an
yang memerihkan hati.
“Aku penasaran,” Dee tiba-tiba angkat bicara, “sebetulnya apa sih yang terjadi? Kenapa mereka
tidak bisa bersatu?” ujar Dee lagi dengan pertanyaan yang sedikit norak dan rada-rada sinetron,
tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin disergap haru.
“Mungkin perempuan itu tidak mencintai dia, Dee,” Ita menjawab.
“Terus?”
“Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu sampai si perempuan, suatu hari,
mencintainya.”
Anik menggelengkan kepala,
“Mungkin lelaki itu mencintai perempuan yang sudah menikah, makanya jadi mustahil.”
Bodoh! Desis Dee dalam hati. Mengapa membiarkan cinta yang begitu menguras kesedihan
tumbuh begitu dalam? Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa memilih. Dan ternyata itu
bukan sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat klise yang bisa ditemukan di buku-buku
picisan.
“Aku nggak ngerti, kenapa surat-surat itu tidak pernah diposkan sebelumnya? Begitu banyak
berlembar-lembar.”
“Lihat nih,” Andra yang sejak tadi tak banyak bersuara, akhirnya buka mulut, “di surat ini ditulis
bahwa sebagian surat yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca karena tertelan banjir.”
Lucu juga. Tapi Dee merasa keterlaluan kalau sampai tertawa. Biar bagaimanapun banjir kan
tragedi.
Mereka berempat seperti lupa waktu. Sejak tadi masing-masing memilah-milah surat dan
membaca sendiri-sendiri. Ada seuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang membuat keempat
mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti kisah si lelaki dan perempuan yang sampai
sekarang masih tanpa nama.
***
Jakarta, tahun kesebelas
Aku melihatmu hari ini. Indah seperti biasa. Kau mengenakan baju rok n blus bermotif pink dan
biru. Dua warna yang menjadi favoritmu.
Sebelas tahun berlalu, perempuan. Kau tetap satu-satunya perempuan yang membuatku sabar
dan rajin berdoa.
Waktu memang telah berlalu sangat cepat tanpa bisa dicegah. Harus kuakui itu sama sekali tidak
mengurangi keindahan perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam manis, tawa cerahmu,
dan sorot mata keibuan.
Ketika di tempat-tempat lain ketulusan telah menguap dan sulit ditemukan, aku pun datang
kepadamu. Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu, kunikmati ketulusan melimpah.
Maka dalam diam harapan kujahit. Suatu hari aku akan di sisimu, saat matahari terbit.
Anik kembali menghapus airmatanya. Andra tampak masih serius dengan sebuah surat di
tangannya. Mata sipit memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat. Di sampingnya Ita
mengikuti.
***
Jakarta, tahun kelimabelas
Perempuan,
Semoga kau bisa melihat perubahan yang telah kubuat dalam hidup.
Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah menjadi
sumber abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial namamu di setiap
tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus bersamamu, menjaga cita-cita. Juga kesetiaan.
Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana aku sebagai lelaki yang memiliki
kebutuhan bisa tetap sendiri dan tidak tergoda macam-macam.
Kesalahan mereka adalah mengira aku sendiri. Mereka tidak memahami wajahmu yang
menyapaku setiap pagi di komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang terselip di dompetku,
meski lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan aku mengambilnya tanpa meminta. Tapi foto
itu telah memberiku banyak energi). Mereka juga tidak tahu sosokmu yang terlukis di dalam hati
dan tak pernah pudar, meski belasan tahun berlalu.
Dari jauh kulihat engkau bahagia dengan kehitupanmu. Itu membuatku senang, meski di satu sisi
menorehkan luka.
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai, dan tidak membiarkan dirusak ego
semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan. Untuk tidak mengirimkan surat-surat
ini padamu sampai waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan melewati hari
dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta, cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia pilihkan untukku. Tapi
perempuanku juga keajaiban yang dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya perlu
bersabar
Dee meletakkan surat yang membuat dadanya sesak. Berfikir, perempuan itu sungguh beruntung
karena mendapatkan cinta begitu besar.
“Bingkisan itu isinya kira-kira apa ya? Gimana kalau kita buka juga?”
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita, dan Anik melotot. Di dalam kertas
coklat itu memang terdapat sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.
“Baca surat aja udah salah, Dee! Masa kita mau buka bingkisan itu juga.”
“Aku penasaran.”
“Lalu penasaran itu memberimu hak untuk melanggar privacy orang?”
Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-surat.
Belum ada kemajuan. Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih spesifik.
Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan keempat gadis itu menjadi lebih besar untuk
menyampaikan bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.
Dee memilih sebuah surat, lalu memutuskan membacanya keras-keras.
“Ini surat terbaru dan terpanjang…”
Dee mulai membaca dengan perlahan.
***
Jakarta, tahun kedelapanbelas
Cinta,
Aku harap surat ini sampai padamu. Sekaligus kukirimkan surat-surat sebelumnya yang tak
pernah kukirim.
Hanya dua alasan yang membuatku mengirimkan surat ini, beserta sebuah bingkisan yang telah
kusiapkan sejak delapan tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.
Sejak pertama aku mengenalmu, telah kutekadkan untuk menyerahkan semua ungkapan perasaan
dan bukti kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah memberi pertanda dan
membuang satu kemustahilan sehingga aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa waktuku
akan tiba tak lama lagi.
Tiga tahun ini kesehatanku memang kurang baik. Satu-satunya yang kusesali adalah itu
membuatku tak bisa lagi mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan ketulusan. Hal yang
dulu selalu kulakukan, memandangmu dari jauh. Dari depan rumah di mana daun-daun
nusaindah terserak. Melihatmu berbicara dan tertawa membuatku merasa hidup.
Barangkali memang harus begini ketentuan Allah. Bahwa selamanya aku hanya bisa memilikimu
dalam angan, harapan, dan impian. Tidak lebih.
Tapi, perempuan,
Tak pernah kusesali pilihan yang kubuat. Sebab, bisa memiliki harapan untuk bersamamu lebih
dari cukup bagiku. Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak pernah punya cita-
cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita itu.
Aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam cinta yang mungkin dirasakan seseorang.
Dan telah pula kubuktikan semampuku.
Delapanbelas tahun meneropong kebahagiaanmu. Melihat anak-anakmu tumbuh besar,
memberiku rasa aman. Sebab, kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi perisai
dan pelindung yang baik bagimu.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun.
ENTAH tangan siapa yang memulai menyobek bingkisan dengan sampul kertas koran itu. Di
dalamnya tampak sebuah kertas kado dengan bunga-bunga kecil warna pink dan biru.
Semua terpana. Dee menunggu persetujuan Andra, Ita, dan Anik sebelum menyobek kertas kado
dan terperangah melihat isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena dan sarung merah
jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang dalam jumlah yang ganjil. Juga sebuah cincin
bermata satu dalam wadah hati berwarna biru.
Dee merasa matanya berair. Anik menghapus airmata yang mengalir deras. Sementara, Ita dan
Andra tak urung menitikkan butiran kristal serupa.
Di dekat mereka, surat-surat berbeda tahun tergeletak berantakan di lantai. Sebagian hurufnya
ada yang pudar dan tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru yang menetes dari
keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang lara dari lelaki tanpa nama untuk perempuan tanpa
nama.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun.
Dulu aku selalu membayangkan memberikannya langsung kepadamu, sekaligus bersimpuh di
lutut dan mengucapkan kata-kata lamaran yang layak dikenang dalam sisa hidup. Melamarmu
dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak lagi menjadi halangan bagimu.
Delapanbelas tahun mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi mungkin habis waktuku. Tapi tak
pernah kusesali hari ketika aku melihatmu di teras masjid.
Terimakasih Tuhan atas cinta sekali yang Kau beri.

Anda mungkin juga menyukai